Semua Bab LUKA: Bab 1 - Bab 10
10 Bab
Prolog
"AYAH! AYAH! AYAH BANGUN!!"Teriakan memilukan itu terdengar begitu menyedihkan. Tatapan semua orang serasa mengiba. Mereka hanya diam embiarkan seorang gadis meraung, menangisi nasib yang menghampirinya. Satu-satunya penopang harus pergi meninggalkannya terlebih dahulu."Nggak! Aku gak mau, ayah bangun! Nara mohon bangun, Ayah!" pintanya seraya memeluk tubuh kaku yang kini terbujur beralaskan karpet dan terbungkus kain kafan. Tubuhnya mulai melemah, raungan keras yang sejak tadi ia keluarkan kini mulai memelan, "Ayah bangun.""Non, sudah. Bapak sudah tenang di sana. Jangan seperti ini, kasihan Bapak, Non.""Gak! Gak, Bi. Ayah gak boleh pergi!" jawabnya parau masih enggan melepas pelukannya. Tubuhnya perlahan ditarik menjauh, jika ini
Baca selengkapnya
Rasa dan komitmen
Suasana pagi di kediaman keluarga Hermansyah begitu menarik perhatian. Hiruk piuk masyarakat sekitar yang datang menimbulkan kegaduhan. Mereka berbondong membantu menyiapkan sebuah acara meski dari pihak keluarga tak meminta bantuan mereka. Acara yang dibuat sesederhana mungkin nyatanya tidak begitu, para masyarakat sekitar menyambut antusias hari ini. Putri sematawayang keluarga Hermansyah akan segera dipinang. Pertemuan kedua belah pihak akan terjadi hari ini. "Di sana!" seorang pria paruh baya berteriak meminta seorang lainnya meletakan hiasan di sudut ruangan.  Bunga-bunga segar hingga tenda yang begitu megah menghalangi sinar matahari pagi masuk sudah berdiri dengan kokoh. Mereka saling bahu membahu menyiapkan dekor yang begitu indah. Acara pertemuan keluarga kali ini harus terlihat meriah pikir mereka. Mungkin bagi orang yang tidak mengenal keluarga Hermansyah ini terlihat begitu berlebihan tapi bagi masyarakat di sekitar ini merupakan bentuk balas
Baca selengkapnya
Mimpi Buruk
Gluk. Gluk. Nara menyeka bibirnya, ia menatap lurus dapur tempatnya berdiri. Matanya bergetar  mengelilingi ruangan mencoba menenangkan hati yang mulai cemas. Mimpi yang begitu nyata membuat tubuhnya terasa letih.  "Mimpi yang menakutkan." Nara memilih meninggalkan dapur dan duduk di sofa ruang tamu. Ia masih enggan memejamkan mata, memikirkan mimpi barusan membuat bulu kudunya meremang. Kata orang mimpi dipertengahan malam merupakan sebuah tanda. Sebenarnya ia tidak percaya akan hal seperti itu, tapi memilih waspada bukankah hal yang lebih baik? Bukan kali pertama, semakin dekat tanggal pernikahan ia selalu bermimpi hal yang mengerikan. Elusan di kepala Nara membuatnya mendonga, ia tersenyum menatap manik mata teduh sang ayah. Nara berdiri memeluk ayahnya erat menumpahkan segala resah yang mulai melandanya. Pelukan yang Nara sukai sejak kecil. Dulu ia pernah berkata di dunia ini tidak ada yang lebih hebat dari ayahnya. Mungkin itu benar, ba
Baca selengkapnya
Pengkhianatan Yang Nyata
Langkah kaki Nara begitu berat, erangan hingga rintihan menjijikan terdengar  begitu nyata. Ia menelan slavinanya sulit, tenggorokan terasa  kering bahkan udara seolah menipis. Jantungnya berdegup kencang, sakit kian menusuk dadanya. Teringat kembali mimpi buruk beberapa hari, mimpi yang membawa luka seperti saat  ini.Tangan lembut milik Bi Inem menggenggam tangan Nara membuat gadis itu menoleh dan mendapati anggukan dari Bi Inem memberinya kekuatan. Nara menggeleng mencoba untuk menghindar dari kenyataan yang akan ia lalui.  Sekali lagi Bi Inem menggenggam kuat tangan Nara mengangguk meyakinkan gadis itu."Jika memang ini takdir yang harus Non hadapi, maka hadapilah. Lari tidak akan menyelesaikan masalah." suara Bi Inem terdengar pelan, hanya Nara yang dapat mendengar. Hal itu ia lakukan untuk membuat dua orang yan
Baca selengkapnya
Sakit itu?
Malam begitu terang menyinari tubuh ringkih seorang gadis yang duduk terdiam menatap kosong dinding di kamar. Air mata kian membanjiri pipinya, ini sudah dua hari namun mata indah itu enggan terpejam bahkan kini bengkak terlihat dimatanya. Ia mengalihkan pandangan, menatap ke sekitar kamar. Helaan napas terdengar begitu berat. sebenarnya apa yang ia tangisi selama ini? Kenapa ia harus menyiksa diri karena lelaki gila yang tega berkhianat didetik-detik terakhir sebelum mereka mengikat janji sehidup semati? Tuhan mungkin begitu sayang kepadanya, membuka semua borok yang selama ini ia abaikan. Sejujurnya selama ini ia sudah mulai sedikit ganjil dengan kedekatan keduanya hanya saja hati dan otaknya tidak pernah sinkron. Ia selalu mempercayai keduanya dan pada akhirnya semua terlihat begitu jelas, meninggalkan luka yang begitu menyakitkan.
Baca selengkapnya
Kenyataan Lebih Pahit
Mata tajam Tuan Hermansyah menatap ke arah Alvin. Ingin rasanya Tuan Hermansyah mencabik tubuh Alvin saat ini juga. Karena perbuatan biadab yang telah ia lakukan membuat anak sematawayangnya terpuruk dalam kesedihan. Tidak ada luka yang lebih dalam selain melihat putrinya bersedih meratapi nasib yang malang. "Jadi, ini yang kamu ajarkan untuk anakmu, Gus?" ucapan dingin Tuan Hermansyah membuat suasana ruangan kian mencekam. Hanya ada ketegangan dipertemuan kali ini tidak ada suka cita seperti sebelumnya."Maaf saja mungkin tidak cukup. Semua memang salah kami yang membiarkannya terjerumus ke dalam pergaulan yang tidak sehat. Kesalahan kami karena kurang memperhatikannya dan mungkin harusnya kami tidak mengirimnya ke London untuk bersekolah kala itu.""Sebenarnya bukan salah diman
Baca selengkapnya
Hukuman Apa Lagi?
Percayalah, Tuhan tidak akan memberi cobaan melampaui batasan manusia itu sendiri.***"AYAH!!!!" "AYAHHH BANGUN AYAHHHH!!!""AYAHHHH!!!"Suara Nara begitu menggema. Tubuh Tuan Hemansyah kini tengah terbaring di atas ranjang dengan oksigen yang terpasang di wajah dan alat-alat yang memenuhi tubuhnya. Nara semakin menggila ia tidak bisa mengontrol emosinya. Marah, takut, sedih menjadi satu. "Non, tenang, Non." pinta Bi Inem sekali lagi. Bi Inem semakin mengeratkan pelukannya. Suara Nara seketika mengecil, tubuhnya melemas."Bi, Ayah, Bi."
Baca selengkapnya
Keteguhan
Suasana kesedihan di keluarga Hermansyah begitu terasa keseluruh komplek perumahan. Mereka berbondong datang melihat jenazah yang baru datang dari rumah sakit. Kain kafan yang sudah membungkus tubuh kekar yang biasa menyapa mereka membuat air mata kian tak tertahan.Nara hanya bisa menangis, meratapi nasib yang kianmalang. Berkali-kali ia jatuh ke dalam kegelapan. Tubuh ringkih yang ia paksa seolah mulai menjerit memintanya untuk beristirahat. Ia mengabaikan semua orang yang memintanya untuk tegar. Mudah mengucapkan hanya saja hal itu sangat sulit untuk ia lakukan.BI Inem yang senantiasa berada di samping Nara hanya bisa mengelus pelan punggung gadis kesayangannya. pak Satpam sejak tadi mengurusi semua keperluan, wajah lelahnya tidak ia hiraukan ini merupakan bukti pengabdiannya kepada keluarga Hermansyah yang telah menghidupinya selam
Baca selengkapnya
Harapan Baru
Hidup bagiakan roda yang berputar. Kadang kala kita di atas, dan ada kalanya kita berada di titik paling bawah.***Seminggu sudah berlalu, Nara memilih mengurung diri di kamar. Ia enggan membiarkan siapa pun masuk dan mengusik kesepian yang kini tengah ia nikmati. Rasa sakit masih begitu terasa, kini dunia seolah gelap ia rasa. Tubuhnya yang semakin ringkih membuat senyum perlahan terukir. Ia pikir jika terus begini, ia dapat bertemu dengan ayah dan ibunya. Biarlah, lagi pula tidak ada alasan lagi untuknya hidup. Semua kebahagiaan dan cahaya sudah direnggut dari hidupnya.Tok. Tok.Pintu terbuka membuatnya menoleh dan menatap hampa wanita paruh baya yang datang menghampiri dengan nampan di tangannya.
Baca selengkapnya
Sebuah Harapan
Satu minggu Nara terbaring di Kasur. Beberapa alat terpasang di tubuhnya. Kamar yang terbiasa menjadi tempat istirahat kini menjadi ruang rawat dadakan. Setiap hari Nara dipantau oleh dokter pribadinya. Bi Inem dan Pak satpam memutuskan untuk tidak membawa Nara ke rumah sakit, bukan tanpa alasan keduanya enggan membuat sikis Nara semakin terguncang. Rumah masih menjadi pilihan terbaik untuk merawat nonanya. Lagi pula dnegan fasilitas yang dapat mereka gunakan mampu membawa beberapa alat yang berada di rumah sakit. Dokter Gio yang menggantikan Dokter pribadi keluarga Hermansyah juga merupakan dokter yang kompeten, mereka dapat mempercayakan Nara kepadanya.“Non, bangun.” lirih Bi Inem menatap Nara yang semakin terlihat kurus. Mata indah itu enggan terbuka seolah masih menikmati mimpi indah yang kini ia lewati. Tidak tahu harus bagaimana, Bi Inem masih senantiasa menunggu Nara bangun.“Gimana kalua Nara kita bawa ke singapure?” tanya Pak Satpam me
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status