Share

05. Joan menghilang

Luke tersenyum begitu cerah. Padahal saat ini pipinya terluka parah karena tertancap belati. Caroline yang sedang berkunjung sampai terlihat bingung.

"Apa kau sangat senang karena bertambah jelek?" kata Caroline.

Luke tidak mengatakan apa pun. Ia hanya menatap Caroline dengan senyum yang tidak kunjung luntur.

"Berhenti menatapku seperti itu!" seru Caroline sembari melangkan pukulan di bahu Luke.

"Aku senang kamu baik-baik saja," kata Luke.

Caroline membulatkan matanya. "Jangan berani menggunakan kata kamu padaku! Kita tidak sedekat itu!"

Luke menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa? Itu 'kan cuma kata-kata."

"Kau harus bicara formal padaku!"

Luke hanya mengangguk saja. Pandangannya kembali menoleh ke arah jendela untuk menikmati cahaya senja. Entah berapa lama ia tidak sadarkan diri. Begitu bangun, waktu sudah sore.

"Kau sudah makan, Joan?" tanya Caroline.

Luke menoleh, lalu menggeleng. "Memangnya kenapa?"

Caroline menunjuk makanan yang ada di meja rumah sakit. "Suster Elle membawakan itu untukmu."

Senyum Luke mengembang. Ia langsung melompat dari ranjang rumah sakit tanpa peduli slang infusnya terlepas. Lalu ia membuka kotak makanan tersebut dengan penuh semangat.

Caroline hanya memandanginya tanpa mengatakan apa pun. Selama beberapa hari ini ia terus mendengar pekerja membicarakan perubahan Joan. Setelah diperhatikan, Caroline juga mulai merasakan perubahan pria tersebut. Joan menjadi lebih ceria dari sebelumnya. Dia juga terlihat menikmati hidupnya, tidak seperti sebelumnya yang hanya mengurung diri di kamar.

Apa dia mau mati ya? batin Caroline.

~~~

Elle meringis berulang kali sambil membersihkan luka Luke dengan air hangat. Rasanya begitu mengerikan, sebab terbuka lebar. Jika tidak diperban, luka Luke seperti bisa menampung banyak kotoran di sana.

"Suster, tolong matikan pendingin ruangan. Rasanya lukaku seperti di sayat-sayat," ujar Luke.

Elle bergegas mengambil remote AC dan mematikannya. Setelah itu Luke baru bisa bernapas dengan lega. Apalagi saat lukanya kembali di perban. Tidak ada lagi rasa nyeri akibat angin yang menerpa lukanya.

"Bagaimana bisa Anda terluka sampai separah ini, Tuan?" tanya Elle.

Luke terkekeh pelan. "Inilah luka yang aku dapat untuk melindungi tunanganku, Suster."

Elle meringis. "Apa target mereka sebenarnya adalah Nona Caroline?"

"Mungkin iya. Mereka dengan terang-terangan menyerang Caroline." Luke mendengus sambil mengacak rambutnya. "Apa kejadian ini pernah terjadi sebelumnya?"

Elle mengangguk pelan. "Tapi kejadiannya sudah lama sekali. Sejak Nona Caroline duduk di sekolah dasar."

"Apa Caroline baik-baik saja saat itu?"

Kali ini Elle menggeleng. "Tidak, Nona Caroline kehilangan penglihatannya."

Mata Luke langsung membulat. Ia sangat terkejut mendengar ucapan Elle.

"Tapi sekarang Caroline bisa—"

"Mata itu milik ayah Anda, Tuan," potong Elle dengan cepat.

Luke menelan ludahnya dengan kasar. Ayahnya? Maksudnya Ayah Joan? Jadi mata yang selama ini menatapnya dengan tajam adalah mata milik ayah Joan. Bagaimana jika Joan mengetahui kebenaran ini?

"Mengapa Ayah saya bisa memberikan matanya pada Caroline?" tanya Luke, rasa penasarannya begitu besar.

Elle menunduk, ia terdiam cukup lama sampai akhirnya berani membuka mulut. "Ayah Anda dulunya pengawal pribadi Nona Caroline saat masih kecil. Namun saat itu, Ayah Anda gagal melindunginya. Sebagai bentuk tanggung jawab, Ayah Anda—"

"Apa pertunangan ini juga ada hubungannya dengan itu?" potong Luke.

"Ya, benar."

Luke mengusap wajahnya dengan kasar. "Jadi Caroline benar-benar terpaksa bertunangan denganku?"

"Tidak sepenuhnya benar. Saat itu Nona Caroline yang masih kecil dipaksa bertunangan dengan Tuan Bran, anak dari pengusaha kaya. Namun karena sikapnya buruk, Nona Caroline tidak mau. Nona Caroline memberontak dan lebih memilih Anda untuk menjadi tunangannya," jelas Elle panjang lebar.

Luke terdiam, ia memijat pelipis saat kepalanya mulai terasa sakit. Kini sudah mulai terkuak sedikit demi sedikit kebenarannya. Tapi ada satu hal yang masih mengganjal pikirannya.

"Mengapa Caroline diincar? Siapa yang mengincarnya?" tanya Luke.

"Mungkin itu karena Nona Caroline—"

Brak!

Caroline langsung masuk ke dalam ruangan dengan sorot mata yang dingin. Elle langsung bungkam. Ia yakin kalau gadis itu mendengar percakapan mereka.

"Saya pamit pergi," ujar Elle sembari membungkuk melewati Caroline.

Gadis itu hanya diam, pandangannya mengarah pada Luke. Perlahan Caroline berjalan, lalu mendekatkan wajahnya dengan pria tersebut. Sorot matanya begitu tajam dan tegas.

Mata itu ... milik ayah Joan, batin Luke.

"Berhenti mencari tahu kehidupanku!" kata Caroline dengan ketus.

Luke menyipitkan kedua matanya. "Mengapa? Kamu takut semuanya terbongkar?"

Caroline menggeleng pelan sambil mundur menjauh. Ia menarik kursi dan duduk di dekat Luke. Matanya kini memandang jauh ke luar jendela. Tatapan tajamnya perlahan melunak.

"Aku cuma tidak mau melibatkanmu ke dalam hidupku yang berbahaya. Dia ... selalu mengawasi kita."

~~~

Luke keluar dari Rumah Sakit Royal Bucharest dengan isi kepala yang penuh. Ia tidak mengerti mengapa Caroline tidak mau melibatkannya. Saat ingin bertanya lagi, gadis itu langsung pergi.

Tiba-tiba saja pandangan Luke tertuju pada sebuah mobil dengan kaca terbuka. Kilatan cahaya terlihat dari dalam kendaraan tersebut karena sekitar sedikit gelap. Secepat mungkin Luke berlari ke arah mobil itu, namun sayangnya tidak terkejar.

"CC 123 AAA," gumam Luke.

Ia menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari tumpangan. Namun tidak ada satu pun mobil yang berhenti. Luke mulai merasa frustasi dan langsung berlari menyusuri jalan. Mobil itu sudah tidak terlihat, tapi entah mengapa ia bisa mencium aroma asapnya yang berbeda.

"Aku biasa menciumnya. Aroma pembunuh."

~~~

"Pasien atas nama Joan Grenis sudah keluar dari rumah sakit satu jam yang lalu."

Caroline mengerutkan dahinya. Ia nampak terkejut, sebab belum mendapat kabar apa pun. Bahkan Elle yang selalu bertanggung jawab tentang Luke, tidak mengatakan apa-apa.

"Bukannya pasien itu baru diizinkan pulang besok?" tanya Caroline.

Perawat itu terdiam sejenak sambil dibisikkan oleh rekannya. Ia terlihat mengangguk beberapa kali. Lalu kembali menatap Caroline dengan senyum ramahnya.

"Pasien itu yang memaksa pulang."

Caroline menatap perawat itu dengan tajam. "Sialan! Saya tidak akan datang ke rumah sakit ini lagi!"

Ucapan Caroline langsung menarik perhatian orang-orang di sekitar. Gadis itu dikenal banyak orang karena sering kali muncul di televisi dan majalah dalam acara florist. Caroline diketahui publik sebagai pribadi yang sopan dan ramah. Namun ucapannya itu membuat semua orang terkejut.

Banyak kamera yang mulai mengarah padanya. Padahal masalah pembunuhan di rumah utamanya masih menjadi berita hangat. Kini Caroline membuat satu masalah lagi.

Tapi Caroline tidak peduli. Ia tetap melangkah dengan tegas keluar dari rumah sakit. Begitu tiba di dekat parkiran, ia langsung menghubungi pengawal kepercayaannya.

"Joan menghilang. Kirim orang untuk mencarinya, sekarang!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status