Luke tersenyum begitu cerah. Padahal saat ini pipinya terluka parah karena tertancap belati. Caroline yang sedang berkunjung sampai terlihat bingung.
"Apa kau sangat senang karena bertambah jelek?" kata Caroline.
Luke tidak mengatakan apa pun. Ia hanya menatap Caroline dengan senyum yang tidak kunjung luntur.
"Berhenti menatapku seperti itu!" seru Caroline sembari melangkan pukulan di bahu Luke.
"Aku senang kamu baik-baik saja," kata Luke.
Caroline membulatkan matanya. "Jangan berani menggunakan kata kamu padaku! Kita tidak sedekat itu!"
Luke menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa? Itu 'kan cuma kata-kata."
"Kau harus bicara formal padaku!"
Luke hanya mengangguk saja. Pandangannya kembali menoleh ke arah jendela untuk menikmati cahaya senja. Entah berapa lama ia tidak sadarkan diri. Begitu bangun, waktu sudah sore.
"Kau sudah makan, Joan?" tanya Caroline.
Luke menoleh, lalu menggeleng. "Memangnya kenapa?"
Caroline menunjuk makanan yang ada di meja rumah sakit. "Suster Elle membawakan itu untukmu."
Senyum Luke mengembang. Ia langsung melompat dari ranjang rumah sakit tanpa peduli slang infusnya terlepas. Lalu ia membuka kotak makanan tersebut dengan penuh semangat.
Caroline hanya memandanginya tanpa mengatakan apa pun. Selama beberapa hari ini ia terus mendengar pekerja membicarakan perubahan Joan. Setelah diperhatikan, Caroline juga mulai merasakan perubahan pria tersebut. Joan menjadi lebih ceria dari sebelumnya. Dia juga terlihat menikmati hidupnya, tidak seperti sebelumnya yang hanya mengurung diri di kamar.
Apa dia mau mati ya? batin Caroline.
~~~
Elle meringis berulang kali sambil membersihkan luka Luke dengan air hangat. Rasanya begitu mengerikan, sebab terbuka lebar. Jika tidak diperban, luka Luke seperti bisa menampung banyak kotoran di sana.
"Suster, tolong matikan pendingin ruangan. Rasanya lukaku seperti di sayat-sayat," ujar Luke.
Elle bergegas mengambil remote AC dan mematikannya. Setelah itu Luke baru bisa bernapas dengan lega. Apalagi saat lukanya kembali di perban. Tidak ada lagi rasa nyeri akibat angin yang menerpa lukanya.
"Bagaimana bisa Anda terluka sampai separah ini, Tuan?" tanya Elle.
Luke terkekeh pelan. "Inilah luka yang aku dapat untuk melindungi tunanganku, Suster."
Elle meringis. "Apa target mereka sebenarnya adalah Nona Caroline?"
"Mungkin iya. Mereka dengan terang-terangan menyerang Caroline." Luke mendengus sambil mengacak rambutnya. "Apa kejadian ini pernah terjadi sebelumnya?"
Elle mengangguk pelan. "Tapi kejadiannya sudah lama sekali. Sejak Nona Caroline duduk di sekolah dasar."
"Apa Caroline baik-baik saja saat itu?"
Kali ini Elle menggeleng. "Tidak, Nona Caroline kehilangan penglihatannya."
Mata Luke langsung membulat. Ia sangat terkejut mendengar ucapan Elle.
"Tapi sekarang Caroline bisa—"
"Mata itu milik ayah Anda, Tuan," potong Elle dengan cepat.
Luke menelan ludahnya dengan kasar. Ayahnya? Maksudnya Ayah Joan? Jadi mata yang selama ini menatapnya dengan tajam adalah mata milik ayah Joan. Bagaimana jika Joan mengetahui kebenaran ini?
"Mengapa Ayah saya bisa memberikan matanya pada Caroline?" tanya Luke, rasa penasarannya begitu besar.
Elle menunduk, ia terdiam cukup lama sampai akhirnya berani membuka mulut. "Ayah Anda dulunya pengawal pribadi Nona Caroline saat masih kecil. Namun saat itu, Ayah Anda gagal melindunginya. Sebagai bentuk tanggung jawab, Ayah Anda—"
"Apa pertunangan ini juga ada hubungannya dengan itu?" potong Luke.
"Ya, benar."
Luke mengusap wajahnya dengan kasar. "Jadi Caroline benar-benar terpaksa bertunangan denganku?"
"Tidak sepenuhnya benar. Saat itu Nona Caroline yang masih kecil dipaksa bertunangan dengan Tuan Bran, anak dari pengusaha kaya. Namun karena sikapnya buruk, Nona Caroline tidak mau. Nona Caroline memberontak dan lebih memilih Anda untuk menjadi tunangannya," jelas Elle panjang lebar.
Luke terdiam, ia memijat pelipis saat kepalanya mulai terasa sakit. Kini sudah mulai terkuak sedikit demi sedikit kebenarannya. Tapi ada satu hal yang masih mengganjal pikirannya.
"Mengapa Caroline diincar? Siapa yang mengincarnya?" tanya Luke.
"Mungkin itu karena Nona Caroline—"
Brak!
Caroline langsung masuk ke dalam ruangan dengan sorot mata yang dingin. Elle langsung bungkam. Ia yakin kalau gadis itu mendengar percakapan mereka.
"Saya pamit pergi," ujar Elle sembari membungkuk melewati Caroline.
Gadis itu hanya diam, pandangannya mengarah pada Luke. Perlahan Caroline berjalan, lalu mendekatkan wajahnya dengan pria tersebut. Sorot matanya begitu tajam dan tegas.
Mata itu ... milik ayah Joan, batin Luke.
"Berhenti mencari tahu kehidupanku!" kata Caroline dengan ketus.
Luke menyipitkan kedua matanya. "Mengapa? Kamu takut semuanya terbongkar?"
Caroline menggeleng pelan sambil mundur menjauh. Ia menarik kursi dan duduk di dekat Luke. Matanya kini memandang jauh ke luar jendela. Tatapan tajamnya perlahan melunak.
"Aku cuma tidak mau melibatkanmu ke dalam hidupku yang berbahaya. Dia ... selalu mengawasi kita."
~~~
Luke keluar dari Rumah Sakit Royal Bucharest dengan isi kepala yang penuh. Ia tidak mengerti mengapa Caroline tidak mau melibatkannya. Saat ingin bertanya lagi, gadis itu langsung pergi.
Tiba-tiba saja pandangan Luke tertuju pada sebuah mobil dengan kaca terbuka. Kilatan cahaya terlihat dari dalam kendaraan tersebut karena sekitar sedikit gelap. Secepat mungkin Luke berlari ke arah mobil itu, namun sayangnya tidak terkejar.
"CC 123 AAA," gumam Luke.
Ia menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari tumpangan. Namun tidak ada satu pun mobil yang berhenti. Luke mulai merasa frustasi dan langsung berlari menyusuri jalan. Mobil itu sudah tidak terlihat, tapi entah mengapa ia bisa mencium aroma asapnya yang berbeda.
"Aku biasa menciumnya. Aroma pembunuh."
~~~
"Pasien atas nama Joan Grenis sudah keluar dari rumah sakit satu jam yang lalu."
Caroline mengerutkan dahinya. Ia nampak terkejut, sebab belum mendapat kabar apa pun. Bahkan Elle yang selalu bertanggung jawab tentang Luke, tidak mengatakan apa-apa.
"Bukannya pasien itu baru diizinkan pulang besok?" tanya Caroline.
Perawat itu terdiam sejenak sambil dibisikkan oleh rekannya. Ia terlihat mengangguk beberapa kali. Lalu kembali menatap Caroline dengan senyum ramahnya.
"Pasien itu yang memaksa pulang."
Caroline menatap perawat itu dengan tajam. "Sialan! Saya tidak akan datang ke rumah sakit ini lagi!"
Ucapan Caroline langsung menarik perhatian orang-orang di sekitar. Gadis itu dikenal banyak orang karena sering kali muncul di televisi dan majalah dalam acara florist. Caroline diketahui publik sebagai pribadi yang sopan dan ramah. Namun ucapannya itu membuat semua orang terkejut.
Banyak kamera yang mulai mengarah padanya. Padahal masalah pembunuhan di rumah utamanya masih menjadi berita hangat. Kini Caroline membuat satu masalah lagi.
Tapi Caroline tidak peduli. Ia tetap melangkah dengan tegas keluar dari rumah sakit. Begitu tiba di dekat parkiran, ia langsung menghubungi pengawal kepercayaannya.
"Joan menghilang. Kirim orang untuk mencarinya, sekarang!"
Luke terus berjalan walau kakinya terasa hampir seperti lumpuh. Aroma itu semakin kuat dan masuk ke sebuah bar. Tanpa pikir panjang, ia langsung masuk ke tempat tersebut. Namun tiba-tiba langkahnya dipaksa berhenti oleh dua penjaga bertubuh besar yang langsung menyeretnya kembali keluar. Salah satunya menatap Luke dengan sorot tajam. "Tolong kartu identitasnya." Luke menaikkan kedua alisnya dengan bingung. "Kartu identitas? Apa semacam kartu emas saat naik level?" Dua penjaga itu saling beradu pandang dengan wajah bingung. "Bicara apa orang ini?" "Aku tidak punya kartu seperti yang kalian minta, tapi ..." Luke mendesis pelan saat bau itu mulai samar lagi. "Sial! Sepertinya mereka mau kabur!" Luke memanfaatkan tubuh kecil Joan untuk kabur melalui tengah-tengah kedua penjaga. Ia tidak peduli dengan seruan-seruan penuh ancaman. Saat ini, ia hanya ingin menangkap orang yang memotretnya. Begitu tiba di dalam bar, Luke menoleh ke sana dan ke mari seperti orang bingung. Saat kedua penja
Matahari masih enggan menampakkan diri, namun Luke sudah berada di taman. Padahal satu pun pekerja masih belum terlihat. Ia berlari kecil dengan penuh semangat. Ia menjilat ujung telunjuknya, lalu mengangkatnya ke udara."Baiklah! Arah anginnya sudah bagus! Saatnya meluncur!" seru Luke.Luke masih bersikeras ingin menyelesaikan tugasnya. Ia berusaha menyimpan seluruh oksigen di dadanya. Jika ia berhasil berlari 3 putaran hari ini, ia akan lebih cepat kembali ke dunianya."Tuan Joan!"Luke sontak menoleh sekilas tanpa menghentikan larinya. Entah mengapa ia sudah terbiasa dengan nama itu. Senyumnya langsung mengembang begitu melihat suster Elle."Suster Elle!" seru Joan."Tuan Joan! Mengapa Anda berlari di taman pagi-pagi sekali?! Anda baru pulang dari rumah sakit seminggu yang lalu!" kata Elle.Wanita itu berlari tergopoh-gopoh dan langsung menarik sebelah tangan Luke hingga terjatuh ke belakang. Untung saja Luke tidak menimpa Elle. Tiba-tiba saja cahaya datang entah dari mana. Ia memu
Luke membuka surat yang tiba hari ini. Berbeda dengan sebelumnya, amplop kali ini berwarna biru."Sepertinya benar-benar spesial ya," gumam Luke.Menjaga Caroline selama pesta dansa. Tetap berada di sampingnya!Luke tertawa pelan. "Ternyata semua surat ini sama saja, berkaitan dengan Caroline.""Benar. Karena dia adalah gambaran Anda, Tuan Kesatria.""Bagaimana bi—""Merendahkan orang lain, selalu merasa paling hebat dan sempurna, senang mengambil kebahagiaan orang, dan masih banyak lagi."Luke hanya bisa tersenyum getir saat mendengar ucapan cahaya tersebut. Mau mengelak pun tidak ada gunanya. Jika diingat kembali, memang sifatnya seperti itu.Sembari menunggu waktunya berangkat, Luke membuka ponsel yang entah sudah berapa lama tergeletak di meja. Ia tidak pernah membawanya ke mana pun.Luke mencari tahu bagaimana gaya berpakaian pria untuk pesta dansa. Setelah ketemu, ia langsung menghambur ke arah lemari pakaian.~~~Caroline melirik jam tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul 1 s
Luke sesekali melirik ke arah Caroline. Sejak mendengar ucapan ayahnya, gadis itu terus bungkam. Matanya menatap lurus ke tengah orang-orang yang sedang menikmati pesta. Begitu musik mulai diputar, Caroline langsung menarik tangan Luke ke tengah lingkaran dansa. "Kau tahu caranya berdansa, 'kan?" tanya Caroline. Luke menggaruk tengkuknya, ia nampak gugup. Sejujurnya ia tidak pernah berdansa sekali pun. Hanya ada satu tarian yang ia bisa, tentu saja tarian pelantikan Kesatria. "Sedikit," jawab Luke. Caroline memutar matanya dengan malas. Ia mulai meletakkan sebelah tangannya ke pundak Luke, sedangkan tangan satunya dibiarkan bergenggaman dengan Luke. Caroline seolah terhipnotis. Pandangannya tidak bisa lepas dari retina biru langit milik pria tersebut. "Aku baru tahu kalau warna matamu seterang ini." Luke menaikkan kedua alisnya dengan bingung. "Ya? Ma-mataku?" "Cepat letakkan tanganmu di pinggangku!" titah Caroline. Luke mengangguk kaku. Walau sudah sering menyentuh wanita di
Caroline menoleh ke sekelilingnya. Entah sejak kapan ia kehilangan sosok Bran. Padahal sedari tadi, ia ingat sekali sedang bergandengan tangan. Ia ingin keluar dari kerumunan, tapi jalannya seolah tertutup."Bran?!" serunya.Tidak ada sahutan, yang terdengar hanya suara alunan musik dan hiruk pikuk orang-orang berbincang di sekitar. Caroline menelan ludahnya dengan kasar. Ia bisa melihat meja kue lewat celah keramaian, namun ... tidak ada Joan di sana."Joan!!" teriaknya.Tiba-tiba saja pergelangan tangannya dicengkram dari belakang. Ia ditarik paksa menuju ke pintu keluar samping bangunan tersebut."Siapa kalian?!" jerit Caroline sembari meronta.Pria berjas cokelat yang kini berdiri di depannya hanya diam. Sampai akhirnya ia membekap wajah Caroline dengan kain beralkohol. Tidak perlu menunggu lama, Caroline pun tidak sadarkan diri."Bawa ke mobil."~~~Luke membasahi bibir bagian bawahnya. Ia melirik ke sekitar, suasananya begitu tenang. Pasti tidak akan ada orang yang datang ke tem
Kedua mata Luke melebar. Dadanya terasa sangat sesak dan kepalanya berputar. Apalagi saat Ciel terus menjilat darahnya yang menempel di pisau. "Hentikan!" seru Luke. Ciel tersenyum miring. Ia menarik kerah kemeja Luke hingga mengikis jarak mereka. Dalam jarak sedekat itu, Luke bisa bisikan dari gadis tersebut. "Mau menjemput ayahmu sekarang?" tanya Ciel. Pandangan Luke mulai tidak fokus. Ia memegangi kepalanya yang terasa seperti ditusuk jarum. Secepat mungkin ia mendorong tubuh Ciel. Sepertinya tubuh Joan bereaksi hanya dengan mendengar Ciel yang mengungkit kematian ayahnya. Luke berusaha keras untuk mengambil alih tubuhnya, namun tiba-tiba ... Jleb! Luke meringis saat pisau lipat milik Ciel sudah menancap di perutnya. Rasa nyeri berhasil membuatnya mulai lunglai dan jatuh terduduk. Sebelah tangannya memegang gagang pisau sambil sesekali menariknya. "Siaaal! Sakit sekali!" jeritnya. Ciel menatap Luke dengan tatapan sedih, namun bibirnya melengkung sempurna. Gadis itu benar-be
Beberapa menit sebelum melarikan diri...Luke memandang langit-langit bangunan mewah tersebut. Ia merasa sangat familiar dengan keadaan ini. Tepatnya saat berhasil dikalahkan oleh Naga emas generasi kedua. Namun kali ini ia dikalahkan oleh seorang gadis bertubuh ramping dan mungil.Ternyata aku sudah melemah, batinnya.Begitu memejamkan mata, cahaya langsung memenuhi pandangan Luke. Lalu terdengar suara-suara yang familiar menggema di telinganya."Bangunlah. Jangan melupakan tugasmu."Luke terkekeh pelan. Sepertinya ia sudah hilang kesadaran. Makanya ia bisa berada di tempat terang ini lagi."Apa aku mati untuk kedua kalinya?" tanya Luke.Cahaya itu tertawa. "Bagaimana saya bisa membiarkan jiwa yang kotor seperti Anda mati tanpa menyelesaikan tugas, Kesatria?""Jadi?""Buka mata Anda. Lalu selesaikan tugasnya!"Tiba-tiba saja mata Luke langsung terbuka lebar. Napasnya tersengal cukup lama. Ia bisa melihat sosok Ciel yang sedang merapikan rambut. Dressnya sudah berganti dengan celana p
"Oh ya, kereta akan tiba di stasiun pukul 7 malam. Berarti tersisa 7 menit sebelum Nona tertabrak di kereta."7 menit?Gadis itu pasrah."Caroline!"Caroline dengan cepat membuka matanya dan menoleh ke arah suara tersebut. Ia sedikit berharap kalau sosok yang memanggilnya adalah Joan. Tapi ... tentu saja bukan. Apalagi setelah melihat foto yang dikirim oleh penjahat tersebut."Hahaha. Pasti kau berharap si culun itu datang 'kan?"Caroline membuang mukanya dengan perasaan kecewa. Ia tidak tahu sudah berapa menit berlalu. Namun ia masih belum mendengar tanda-tanda adanya kereta yang mendekat."Bos, bagaimana kalau kita makan dulu?" tanya salah satu pria yang sedari tadi mengawasi Caroline.Pria yang dipanggil bos itu menoleh, lalu ia menyodorkan 4 lembar uang kertas 50 lei. Kedua rekannya itu tersenyum senang dan langsung berlari entah ke mana. Kini tersisa Caroline dan bos penjahat."Siapa nama Anda?" tanya Caroline.Pria itu menaikkan sebelah alisnya. "Untuk apa kau tahu namaku?""Jik