Share

06. Diselamatkan Caroline

Luke terus berjalan walau kakinya terasa hampir seperti lumpuh. Aroma itu semakin kuat dan masuk ke sebuah bar. Tanpa pikir panjang, ia langsung masuk ke tempat tersebut. Namun tiba-tiba langkahnya dipaksa berhenti oleh dua penjaga bertubuh besar yang langsung menyeretnya kembali keluar.

Salah satunya menatap Luke dengan sorot tajam. "Tolong kartu identitasnya."

Luke menaikkan kedua alisnya dengan bingung. "Kartu identitas? Apa semacam kartu emas saat naik level?"

Dua penjaga itu saling beradu pandang dengan wajah bingung. "Bicara apa orang ini?"

"Aku tidak punya kartu seperti yang kalian minta, tapi ..." Luke mendesis pelan saat bau itu mulai samar lagi. "Sial! Sepertinya mereka mau kabur!"

Luke memanfaatkan tubuh kecil Joan untuk kabur melalui tengah-tengah kedua penjaga. Ia tidak peduli dengan seruan-seruan penuh ancaman. Saat ini, ia hanya ingin menangkap orang yang memotretnya.

Begitu tiba di dalam bar, Luke menoleh ke sana dan ke mari seperti orang bingung. Saat kedua penjaga itu masuk, ia bergegas mengambil jas dan topi yang tergeletak di atas meja. Kini penyamarannya pasti akan memudahkan rencananya.

Saat Luke sedang berjalan dengan sangat perlahan, tiba-tiba aroma itu membawanya ke depan sebuah ruangan. Luke sedikit mengintip dari celah pintu yang terbuka. Ada sekitar 4 orang di dalam sana. Aroma pembunuh memenuhi tempat tersebut.

"Apa tidak terlihat aneh?"

"Apa yang aneh?"

"Tunangan Caroline, pria lemah dan miskin bernama Joan. Bagaimana bisa dia diam saja diperlakukan seperti itu oleh orang tua Caroline?"

"Benar juga. Tapi bukannya itu jadi menguntungkan kita? Kita jadi bisa dengan mudah menyingkirkan Joan."

"Setelah membunuh Joan, mari kita makan di restoran mewah!"

"Ah ... Aku tidak sabar ingin makan enak."

'Sialan! Mereka mau makan enak setelah membunuhku?'

"Oh iya, aku baru saja melihat orang itu di rumah sakit. Sepertinya dia sudah diperbolehkan pulang."

"Benarkah?"

"Ya. Aku sedikit memotretnya untuk laporan hari ini. Tapi sayangnya ketahuan. Dia sampai mengejarku!"

"Aku ingin melihat fotonya. Pasti sangat menyedihkan punya luka di wajah."

"Benar! Dia bertambah buruk rupa."

Srak!

Suara kertas yang jatuh berantakan itu membuat Luke semakin emosi. Ia naik pitam, tanpa pintu terdorong cukup kuat hingga terbuka. Kini keempat orang itu menatapnya dengan raut tidak suka. Untung saja topi itu berhasil menutupi setengah wajahnya.

"Ma-maafkan saya, Tuan. Saya sedikit mabuk," kata Luke dengan suara yang dibuat lebih rendah.

"Hah, ternyata cuma orang mabuk!"

"Pergi sana!"

Luke mengangguk. Sebelum pergi, ia melirik ke atas meja yang dipenuhi kertas. Ada gambar wajahnya, masih dengan pakaian yang sama.

Baru saja selamat dari kandang harimau, kini ia kembali dihampiri buaya. Ia langsung ditarik oleh dua penjaga yang sedari tadi mencarinya. Tubuh lemah Joan dihempaskan ke jalan dengan begitu keras.

"Beraninya anak lemah sepertimu membodohi kami!" seru salah satu penjaga.

Luke meringis sembari memegangi sikunya yang tergores aspal. "Sial ... beraninya hanya pada yang lemah!"

"Jangan pernah menginjakkan kakimu di tempat ini, Nak."

"Benar. Itu juga kalau kau tidak mau kehilangan empat tulang rusuk."

"Tentu saja! Dia tidak akan pernah datang ke tempat ini!"

Luke dan dua penjaga itu langsung menoleh ke suara tersebut. Nampak Caroline yang diikuti lebih dari dua puluh pengawal. Gadis itu berjalan ke arah Luke dengan tangan terlipat di dada. Gaya angkuhnya masih seperti biasa.

"Karena mulai sekarang, tempat ini ditutup!"

Plak!

Plak!

Caroline menempelkan tulisan segel di dahi kedua penjaga itu. Tatapan tajamnya berhasil membuat mereka bungkam. Lalu Caroline mendekati Luke yang masih duduk di aspal dengan wajah bingung.

"Kau ini sangat merepotkan!" kata Caroline dengan ketus.

Entah mengapa ucapan Caroline membuat Luke tersenyum miring. Ia mengulurkan sebelah tangannya, berharap gadis itu mau mengulurkan tangannya juga. Namun yang datang justru sebuah pulpen berlapis emas kesayangan Caroline.

"Pegang itu. Tanganmu kotor, menjijikkan!"

Ya, benar.  Inilah sosok Caroline.

~~~

"Joan, tolong perhatikan sikapmu."

Luke meracau dalam hati. Ia sangat kesal dipaksa berlutut di depan orang tua Caroline. Rupanya keluarga ini sangat terobsesi disembah layaknya tuhan.

Luke mengerutkan dahinya. "Mengapa saya harus memperhatikan sikap saya?"

"Karena sejak kamu bertunangan dengan Caroline, maka cacatmu akan menjadi aib bagi keluarga ini."

"Cacat ini yang Anda maksud?" tanya Luke sembari menunjuk wajahnya.

Ayah Caroline mengangguk. "Ya, selain cacat fisik, cacat kepribadianmu juga berpengaruh."

"Apa maksudnya? Aku sedikit tidak mengerti."

Ayah Caroline memijat batang hidungnya dengan mata terpejam. "Intinya, kamu hanya perlu memperhatikan sikapmu."

"Benar. Jangan membuat Caroline melakukan hal kekanak-kanakan seperti tadi malam!" sahut ibu Caroline.

Luke mengangguk pelan. Rupanya ini teguran karena kejadian semalam. Caroline memang berlebihan, ia sampai menutup bar itu dan membubarkan semua pengunjung. Ia salah menggunakan nama TIOR Company.

"Baik. Saya mengerti, Ayah."

"Ayah?" Pria berkumis hitam tebal itu mengerutkan dahinya.

Luke mengangkat kedua alisnya dengan wajah bingung. "Hah? Apa saya salah?"

"Jangan panggil saya Ayah, kamu bisa memanggil saya Tuan Galiard, sama seperti ayahmu. Lagi pula, kamu tidak akan menikah dengan putri saya."

Rupanya ada dinding pemisah. Joan hanya dianggap orang asing yang menumpang tinggal dengan Caroline. Tidak lain dan tidak bukan, orang tua Caroline menganggapnya sama dengan pekerja lainnya.

Dengan penuh paksaan, Luke menarik kedua sudut bibirnya. "Baik. Saya mengerti, Tuan Galiard."

"Apa yang kamu bicarakan dengan ayah pagi-pagi sekali?"

Luke tersenyum tipis. Ia baru saja tiba di gerbang dan langsung dihadiahi pertanyaan oleh Caroline. Gadis itu terus mengekorinya sampai ke lorong. Sebab saat ini, Luke masih enggan membuka mulutnya.

Duk!

Luke sangat terkejut saat belakang lututnya di tendang, hingga ia hilang keseimbangan dan hampir terjatuh. Untung saja Caroline berhasil memeluknya dari belakang.

Suasana mendadak hening untuk beberapa saat. Keduanya, bahkan pengawal dan pekerja yang menyaksikan ikut terdiam. Caroline yang terlebih dahulu sadar, langsung melepas pelukannya. Ia mendeham beberapa kali. Tidak lupa ia melayangkan beberapa cubitan pedas ke pinggang pria tersebut.

"Beraninya kau mengabaikanku!" seru Caroline.

Luke meringis, namun ia tersenyum lebar. "Terima kasih."

"Terima kasih?" Caroline langsung melotot. "Jangan meledekku! Itu karena tubuhku bergerak sendiri!"

"Baiklah. Kalau begitu, terima kasih tubuh Nona Caroline," kata Luke sembari menggenggam kedua tangan yang tadi memeluknya.

Wajah Caroline sudah berubah merah padam. Ia langsung menarik kedua tangannya dengan paksa, lalu berlari ke arah kamarnya. Luke yang melihat itu hanya bisa tertawa. Setidaknya, ia merasa tidak ingin mengatakan semua perbincangannya pagi ini.

Luke memandang jauh ke arah jendela. Tawanya perlahan mereda, berganti dengan ekspresi sedih, marah, dan kecewa.

"Rupanya tempat ini cukup mengerikan. Kau sangat hebat, Joan."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status