Luke terus berjalan walau kakinya terasa hampir seperti lumpuh. Aroma itu semakin kuat dan masuk ke sebuah bar. Tanpa pikir panjang, ia langsung masuk ke tempat tersebut. Namun tiba-tiba langkahnya dipaksa berhenti oleh dua penjaga bertubuh besar yang langsung menyeretnya kembali keluar.
Salah satunya menatap Luke dengan sorot tajam. "Tolong kartu identitasnya."
Luke menaikkan kedua alisnya dengan bingung. "Kartu identitas? Apa semacam kartu emas saat naik level?"
Dua penjaga itu saling beradu pandang dengan wajah bingung. "Bicara apa orang ini?"
"Aku tidak punya kartu seperti yang kalian minta, tapi ..." Luke mendesis pelan saat bau itu mulai samar lagi. "Sial! Sepertinya mereka mau kabur!"
Luke memanfaatkan tubuh kecil Joan untuk kabur melalui tengah-tengah kedua penjaga. Ia tidak peduli dengan seruan-seruan penuh ancaman. Saat ini, ia hanya ingin menangkap orang yang memotretnya.
Begitu tiba di dalam bar, Luke menoleh ke sana dan ke mari seperti orang bingung. Saat kedua penjaga itu masuk, ia bergegas mengambil jas dan topi yang tergeletak di atas meja. Kini penyamarannya pasti akan memudahkan rencananya.
Saat Luke sedang berjalan dengan sangat perlahan, tiba-tiba aroma itu membawanya ke depan sebuah ruangan. Luke sedikit mengintip dari celah pintu yang terbuka. Ada sekitar 4 orang di dalam sana. Aroma pembunuh memenuhi tempat tersebut.
"Apa tidak terlihat aneh?"
"Apa yang aneh?"
"Tunangan Caroline, pria lemah dan miskin bernama Joan. Bagaimana bisa dia diam saja diperlakukan seperti itu oleh orang tua Caroline?"
"Benar juga. Tapi bukannya itu jadi menguntungkan kita? Kita jadi bisa dengan mudah menyingkirkan Joan."
"Setelah membunuh Joan, mari kita makan di restoran mewah!"
"Ah ... Aku tidak sabar ingin makan enak."
'Sialan! Mereka mau makan enak setelah membunuhku?'
"Oh iya, aku baru saja melihat orang itu di rumah sakit. Sepertinya dia sudah diperbolehkan pulang."
"Benarkah?"
"Ya. Aku sedikit memotretnya untuk laporan hari ini. Tapi sayangnya ketahuan. Dia sampai mengejarku!"
"Aku ingin melihat fotonya. Pasti sangat menyedihkan punya luka di wajah."
"Benar! Dia bertambah buruk rupa."
Srak!
Suara kertas yang jatuh berantakan itu membuat Luke semakin emosi. Ia naik pitam, tanpa pintu terdorong cukup kuat hingga terbuka. Kini keempat orang itu menatapnya dengan raut tidak suka. Untung saja topi itu berhasil menutupi setengah wajahnya.
"Ma-maafkan saya, Tuan. Saya sedikit mabuk," kata Luke dengan suara yang dibuat lebih rendah.
"Hah, ternyata cuma orang mabuk!"
"Pergi sana!"
Luke mengangguk. Sebelum pergi, ia melirik ke atas meja yang dipenuhi kertas. Ada gambar wajahnya, masih dengan pakaian yang sama.
Baru saja selamat dari kandang harimau, kini ia kembali dihampiri buaya. Ia langsung ditarik oleh dua penjaga yang sedari tadi mencarinya. Tubuh lemah Joan dihempaskan ke jalan dengan begitu keras.
"Beraninya anak lemah sepertimu membodohi kami!" seru salah satu penjaga.
Luke meringis sembari memegangi sikunya yang tergores aspal. "Sial ... beraninya hanya pada yang lemah!"
"Jangan pernah menginjakkan kakimu di tempat ini, Nak."
"Benar. Itu juga kalau kau tidak mau kehilangan empat tulang rusuk."
"Tentu saja! Dia tidak akan pernah datang ke tempat ini!"
Luke dan dua penjaga itu langsung menoleh ke suara tersebut. Nampak Caroline yang diikuti lebih dari dua puluh pengawal. Gadis itu berjalan ke arah Luke dengan tangan terlipat di dada. Gaya angkuhnya masih seperti biasa.
"Karena mulai sekarang, tempat ini ditutup!"
Plak!
Plak!
Caroline menempelkan tulisan segel di dahi kedua penjaga itu. Tatapan tajamnya berhasil membuat mereka bungkam. Lalu Caroline mendekati Luke yang masih duduk di aspal dengan wajah bingung.
"Kau ini sangat merepotkan!" kata Caroline dengan ketus.
Entah mengapa ucapan Caroline membuat Luke tersenyum miring. Ia mengulurkan sebelah tangannya, berharap gadis itu mau mengulurkan tangannya juga. Namun yang datang justru sebuah pulpen berlapis emas kesayangan Caroline.
"Pegang itu. Tanganmu kotor, menjijikkan!"
Ya, benar. Inilah sosok Caroline.
~~~
"Joan, tolong perhatikan sikapmu."
Luke meracau dalam hati. Ia sangat kesal dipaksa berlutut di depan orang tua Caroline. Rupanya keluarga ini sangat terobsesi disembah layaknya tuhan.
Luke mengerutkan dahinya. "Mengapa saya harus memperhatikan sikap saya?"
"Karena sejak kamu bertunangan dengan Caroline, maka cacatmu akan menjadi aib bagi keluarga ini."
"Cacat ini yang Anda maksud?" tanya Luke sembari menunjuk wajahnya.
Ayah Caroline mengangguk. "Ya, selain cacat fisik, cacat kepribadianmu juga berpengaruh."
"Apa maksudnya? Aku sedikit tidak mengerti."
Ayah Caroline memijat batang hidungnya dengan mata terpejam. "Intinya, kamu hanya perlu memperhatikan sikapmu."
"Benar. Jangan membuat Caroline melakukan hal kekanak-kanakan seperti tadi malam!" sahut ibu Caroline.
Luke mengangguk pelan. Rupanya ini teguran karena kejadian semalam. Caroline memang berlebihan, ia sampai menutup bar itu dan membubarkan semua pengunjung. Ia salah menggunakan nama TIOR Company.
"Baik. Saya mengerti, Ayah."
"Ayah?" Pria berkumis hitam tebal itu mengerutkan dahinya.
Luke mengangkat kedua alisnya dengan wajah bingung. "Hah? Apa saya salah?"
"Jangan panggil saya Ayah, kamu bisa memanggil saya Tuan Galiard, sama seperti ayahmu. Lagi pula, kamu tidak akan menikah dengan putri saya."
Rupanya ada dinding pemisah. Joan hanya dianggap orang asing yang menumpang tinggal dengan Caroline. Tidak lain dan tidak bukan, orang tua Caroline menganggapnya sama dengan pekerja lainnya.
Dengan penuh paksaan, Luke menarik kedua sudut bibirnya. "Baik. Saya mengerti, Tuan Galiard."
"Apa yang kamu bicarakan dengan ayah pagi-pagi sekali?"
Luke tersenyum tipis. Ia baru saja tiba di gerbang dan langsung dihadiahi pertanyaan oleh Caroline. Gadis itu terus mengekorinya sampai ke lorong. Sebab saat ini, Luke masih enggan membuka mulutnya.
Duk!
Luke sangat terkejut saat belakang lututnya di tendang, hingga ia hilang keseimbangan dan hampir terjatuh. Untung saja Caroline berhasil memeluknya dari belakang.
Suasana mendadak hening untuk beberapa saat. Keduanya, bahkan pengawal dan pekerja yang menyaksikan ikut terdiam. Caroline yang terlebih dahulu sadar, langsung melepas pelukannya. Ia mendeham beberapa kali. Tidak lupa ia melayangkan beberapa cubitan pedas ke pinggang pria tersebut.
"Beraninya kau mengabaikanku!" seru Caroline.
Luke meringis, namun ia tersenyum lebar. "Terima kasih."
"Terima kasih?" Caroline langsung melotot. "Jangan meledekku! Itu karena tubuhku bergerak sendiri!"
"Baiklah. Kalau begitu, terima kasih tubuh Nona Caroline," kata Luke sembari menggenggam kedua tangan yang tadi memeluknya.
Wajah Caroline sudah berubah merah padam. Ia langsung menarik kedua tangannya dengan paksa, lalu berlari ke arah kamarnya. Luke yang melihat itu hanya bisa tertawa. Setidaknya, ia merasa tidak ingin mengatakan semua perbincangannya pagi ini.
Luke memandang jauh ke arah jendela. Tawanya perlahan mereda, berganti dengan ekspresi sedih, marah, dan kecewa.
"Rupanya tempat ini cukup mengerikan. Kau sangat hebat, Joan."
Matahari masih enggan menampakkan diri, namun Luke sudah berada di taman. Padahal satu pun pekerja masih belum terlihat. Ia berlari kecil dengan penuh semangat. Ia menjilat ujung telunjuknya, lalu mengangkatnya ke udara."Baiklah! Arah anginnya sudah bagus! Saatnya meluncur!" seru Luke.Luke masih bersikeras ingin menyelesaikan tugasnya. Ia berusaha menyimpan seluruh oksigen di dadanya. Jika ia berhasil berlari 3 putaran hari ini, ia akan lebih cepat kembali ke dunianya."Tuan Joan!"Luke sontak menoleh sekilas tanpa menghentikan larinya. Entah mengapa ia sudah terbiasa dengan nama itu. Senyumnya langsung mengembang begitu melihat suster Elle."Suster Elle!" seru Joan."Tuan Joan! Mengapa Anda berlari di taman pagi-pagi sekali?! Anda baru pulang dari rumah sakit seminggu yang lalu!" kata Elle.Wanita itu berlari tergopoh-gopoh dan langsung menarik sebelah tangan Luke hingga terjatuh ke belakang. Untung saja Luke tidak menimpa Elle. Tiba-tiba saja cahaya datang entah dari mana. Ia memu
Luke membuka surat yang tiba hari ini. Berbeda dengan sebelumnya, amplop kali ini berwarna biru."Sepertinya benar-benar spesial ya," gumam Luke.Menjaga Caroline selama pesta dansa. Tetap berada di sampingnya!Luke tertawa pelan. "Ternyata semua surat ini sama saja, berkaitan dengan Caroline.""Benar. Karena dia adalah gambaran Anda, Tuan Kesatria.""Bagaimana bi—""Merendahkan orang lain, selalu merasa paling hebat dan sempurna, senang mengambil kebahagiaan orang, dan masih banyak lagi."Luke hanya bisa tersenyum getir saat mendengar ucapan cahaya tersebut. Mau mengelak pun tidak ada gunanya. Jika diingat kembali, memang sifatnya seperti itu.Sembari menunggu waktunya berangkat, Luke membuka ponsel yang entah sudah berapa lama tergeletak di meja. Ia tidak pernah membawanya ke mana pun.Luke mencari tahu bagaimana gaya berpakaian pria untuk pesta dansa. Setelah ketemu, ia langsung menghambur ke arah lemari pakaian.~~~Caroline melirik jam tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul 1 s
Luke sesekali melirik ke arah Caroline. Sejak mendengar ucapan ayahnya, gadis itu terus bungkam. Matanya menatap lurus ke tengah orang-orang yang sedang menikmati pesta. Begitu musik mulai diputar, Caroline langsung menarik tangan Luke ke tengah lingkaran dansa. "Kau tahu caranya berdansa, 'kan?" tanya Caroline. Luke menggaruk tengkuknya, ia nampak gugup. Sejujurnya ia tidak pernah berdansa sekali pun. Hanya ada satu tarian yang ia bisa, tentu saja tarian pelantikan Kesatria. "Sedikit," jawab Luke. Caroline memutar matanya dengan malas. Ia mulai meletakkan sebelah tangannya ke pundak Luke, sedangkan tangan satunya dibiarkan bergenggaman dengan Luke. Caroline seolah terhipnotis. Pandangannya tidak bisa lepas dari retina biru langit milik pria tersebut. "Aku baru tahu kalau warna matamu seterang ini." Luke menaikkan kedua alisnya dengan bingung. "Ya? Ma-mataku?" "Cepat letakkan tanganmu di pinggangku!" titah Caroline. Luke mengangguk kaku. Walau sudah sering menyentuh wanita di
Caroline menoleh ke sekelilingnya. Entah sejak kapan ia kehilangan sosok Bran. Padahal sedari tadi, ia ingat sekali sedang bergandengan tangan. Ia ingin keluar dari kerumunan, tapi jalannya seolah tertutup."Bran?!" serunya.Tidak ada sahutan, yang terdengar hanya suara alunan musik dan hiruk pikuk orang-orang berbincang di sekitar. Caroline menelan ludahnya dengan kasar. Ia bisa melihat meja kue lewat celah keramaian, namun ... tidak ada Joan di sana."Joan!!" teriaknya.Tiba-tiba saja pergelangan tangannya dicengkram dari belakang. Ia ditarik paksa menuju ke pintu keluar samping bangunan tersebut."Siapa kalian?!" jerit Caroline sembari meronta.Pria berjas cokelat yang kini berdiri di depannya hanya diam. Sampai akhirnya ia membekap wajah Caroline dengan kain beralkohol. Tidak perlu menunggu lama, Caroline pun tidak sadarkan diri."Bawa ke mobil."~~~Luke membasahi bibir bagian bawahnya. Ia melirik ke sekitar, suasananya begitu tenang. Pasti tidak akan ada orang yang datang ke tem
Kedua mata Luke melebar. Dadanya terasa sangat sesak dan kepalanya berputar. Apalagi saat Ciel terus menjilat darahnya yang menempel di pisau. "Hentikan!" seru Luke. Ciel tersenyum miring. Ia menarik kerah kemeja Luke hingga mengikis jarak mereka. Dalam jarak sedekat itu, Luke bisa bisikan dari gadis tersebut. "Mau menjemput ayahmu sekarang?" tanya Ciel. Pandangan Luke mulai tidak fokus. Ia memegangi kepalanya yang terasa seperti ditusuk jarum. Secepat mungkin ia mendorong tubuh Ciel. Sepertinya tubuh Joan bereaksi hanya dengan mendengar Ciel yang mengungkit kematian ayahnya. Luke berusaha keras untuk mengambil alih tubuhnya, namun tiba-tiba ... Jleb! Luke meringis saat pisau lipat milik Ciel sudah menancap di perutnya. Rasa nyeri berhasil membuatnya mulai lunglai dan jatuh terduduk. Sebelah tangannya memegang gagang pisau sambil sesekali menariknya. "Siaaal! Sakit sekali!" jeritnya. Ciel menatap Luke dengan tatapan sedih, namun bibirnya melengkung sempurna. Gadis itu benar-be
Beberapa menit sebelum melarikan diri...Luke memandang langit-langit bangunan mewah tersebut. Ia merasa sangat familiar dengan keadaan ini. Tepatnya saat berhasil dikalahkan oleh Naga emas generasi kedua. Namun kali ini ia dikalahkan oleh seorang gadis bertubuh ramping dan mungil.Ternyata aku sudah melemah, batinnya.Begitu memejamkan mata, cahaya langsung memenuhi pandangan Luke. Lalu terdengar suara-suara yang familiar menggema di telinganya."Bangunlah. Jangan melupakan tugasmu."Luke terkekeh pelan. Sepertinya ia sudah hilang kesadaran. Makanya ia bisa berada di tempat terang ini lagi."Apa aku mati untuk kedua kalinya?" tanya Luke.Cahaya itu tertawa. "Bagaimana saya bisa membiarkan jiwa yang kotor seperti Anda mati tanpa menyelesaikan tugas, Kesatria?""Jadi?""Buka mata Anda. Lalu selesaikan tugasnya!"Tiba-tiba saja mata Luke langsung terbuka lebar. Napasnya tersengal cukup lama. Ia bisa melihat sosok Ciel yang sedang merapikan rambut. Dressnya sudah berganti dengan celana p
"Oh ya, kereta akan tiba di stasiun pukul 7 malam. Berarti tersisa 7 menit sebelum Nona tertabrak di kereta."7 menit?Gadis itu pasrah."Caroline!"Caroline dengan cepat membuka matanya dan menoleh ke arah suara tersebut. Ia sedikit berharap kalau sosok yang memanggilnya adalah Joan. Tapi ... tentu saja bukan. Apalagi setelah melihat foto yang dikirim oleh penjahat tersebut."Hahaha. Pasti kau berharap si culun itu datang 'kan?"Caroline membuang mukanya dengan perasaan kecewa. Ia tidak tahu sudah berapa menit berlalu. Namun ia masih belum mendengar tanda-tanda adanya kereta yang mendekat."Bos, bagaimana kalau kita makan dulu?" tanya salah satu pria yang sedari tadi mengawasi Caroline.Pria yang dipanggil bos itu menoleh, lalu ia menyodorkan 4 lembar uang kertas 50 lei. Kedua rekannya itu tersenyum senang dan langsung berlari entah ke mana. Kini tersisa Caroline dan bos penjahat."Siapa nama Anda?" tanya Caroline.Pria itu menaikkan sebelah alisnya. "Untuk apa kau tahu namaku?""Jik
"Caroline!!! Buka matamu!!!"Mata Caroline yang semula terpejam langsung terbuka lebar mendengar suara yang begitu familiar. Ia tidak menyangka akan melihat sosok Joan, walau dengan kondisi yang sangat berantakan.Dia ... benar-benar masih hidup, batin Caroline.Sementara itu Luke terus berusaha memacu langkahnya. Ia bisa melihat kepala kereta dari kejauhan. Ia berlari semakin cepat. Tidak peduli nyeri di sekujur kakinya akibat melompat dari jarak yang cukup tinggi.Begitu tiba di samping Caroline, Luke menoleh ke segala arah. Ia mencoba untuk menemukan sesuatu yang bisa digunakan untuk memutus tali.Hingga ia teringat dengan pisau lipat pemberian Ciel. Secepat mungkin ia mengambilnya dari saku celananya. Luke tersenyum saat tali yang mengikat Caroline terlepas. Namun tanpa disadari, kereta sudah berada sangat dekat dengan mereka. Secepat mungkin Luke mendorong gadis itu dan membiarkan tubuhnya tertabrak kereta.Caroline terdiam cukup lama. Pandangannya kosong ke arah kereta yang mela