Share

30 AGAIN
30 AGAIN
Penulis: Pone Syam

LAMARAN YANG TERTOLAK

LAMARAN YANG TERTOLAK

“Yumna,” teriak ayah dengan wajah memerah. Aku menelan ludahku dengan sangat kasar. Bukan Cuma kali ini ayah mengamuk. Hampir setiap proses pelamaran pasti ayah mengamuk. Wajah jika orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya. Namun versi terbaik untukku dan juga untuk ayah pastilah berbeda. Aku bukan perempuan sempurna, itu yang kadang ayah lupa tentangku. Sedangkan aku selalu terkurung pada masa lalu yang aku sembunyikan. Masa lalu yang aku kuur dalam-dalam dan tidak pernah erniat untuk mengenangnya kembali. Bagiku tidak ada pelajaran yang bisa aku ambil di masa lalu.

Aku menarik nafas berat. Menatap satu persatu orang-orang yang memandangku dengan tatapan benci. Di mata mereka aku pasti terkesan sombong. Memiliki wajah cantik, harta dan juga pekerjaan yang mapan. Mungkin menurut mereka, itulah alasanku menolak lamaran tersebut.

“Jangan jadi pemilih,’ kata perempuan bersanggul dengan kebaya biru yang belakangan aku ketahui bahwa itu ibu Andre lelaki yang melamarku. “Ini kesempatan terakhirmu. Semua teman seusiamu sudah menikah bahkan mereka sudah sibuk memikirkan mengenai sekolah anak mereka. Tidak sepertimu yang masih meributkan pernikahan,” lanjut perempuan itu.

“Bagaimana dengan putra anda?” tanyaku dengan dagu terangkat. Aku menyesali sikapku tetapi aku juga tidak ingin diremehkan hanya karena aku belum menikah.

“Dia seorang duda. Istrinya meninggal setelah melahirkan,” jawab perempuan itu dengan bangga.

“what?” teriakku dengan mata melotot dan mulut mengangga. Apa ini tidak salah? Apakah menurut mereka aku sudah terlalu putus asa sehingga menerima lamaran siapa saja yang datang?

“Tidak. Aku tidak mau,” teriakku lalu meninggalkan ruang tamu. Aku berbalik sekejap. Kembali mengedarkan pandangan pada orang-orang yang hadir. Ayah sudah berdiri dan dengan wajah marah ingin menerkamku, untung ibu saat itu berusaha untuk tenangkan ayah.

“Sok cantik.”

“Pemilih.”

“Jadi perawan tua baru tahu rasa,” begitulah kira-kira kata-kata pedas yang mereka katakan tentangku. Dan aku hanya bisa menghembuskan nafas berat mendengarnya. Aku lalu berbalik masuk ke kamarku kemudian menghempaskan pintu kamar dengan saangat kasar. Aku bersandar di pintu kamarku. Lalu tanpa aku sadari air mata mengalir di pelupuk mataku. Aku sudah lelah bertopeng menjadi orang yang sangat kuat dan hebat. Di depan orang-orang aku terlihat sangat sombong namun itu hanya untuk menutupi kekuranganku. Aku pun ingin seperti yang lain, menyempurnakan hidupku dengan pernikahan tetapi tidak mudah bagiku untuk melangkah memasuki gerbang pernikahan. Harus ada yang aku lewati, seperti bara api yang siap membakarku hidup-hidup. Jika aku tidak bisa melompati bara api itu maka seumur hidup aku harus berjalan diatas bara api, menghadapi pernikahanku yang mungkin lebih buruk dari neraka. Namun jika aku bisa melompat, seperti kaset cd yang bisa dipercepat tanpa harus melewati bara api itu, maka aku yakin, aku akan bisa hidup bahagia dan menikmati pernikahanku seperti surga dunia.

Lututku bergetar, seakan tidak mampu menahan berat badanku. Perlahan tubuhku ambruk diatas karpet merah kamarku. Aku tergugu. Menangis tanpa suara begitu sangat berat bagiku. Menyembunyikan dari semua orang akan rasa sakitku. Tampak baik-baik saja bahkan terkesan sombong di depan orang lain. Aku lupa menjadi diriku sendiri. Aku lupa menjadi orang baik. Aku hanya tahu melindungi diriku sendiri meski di mata orang itu sebuah keburukan. Hanya aku yang tahu rasa ini. Hanya aku yang paham bagaimana bisa bersikap seperti ini. Karena hanya aku yang mengalaminya sedangkan mereka hanya bisa menilai aku dari luarnya saja._..._

Aku mengaduk-aduk isi piringku. Di depanku sudah duduk paman saudara ayahku. Sedangkan yang lainnya duduk di ruang keluarga yang tidak jauh dari ruang makan seakan siap mencuri dengar pembicaraan kami tanpa mau ikut berkomentar. Ayah sendiri terlihat sangat gelisah namun aku bisa memastikan ayah kali ini tidak akan ikut campur.

“Makanlah nak,” kata Paman Umar. Aku hanya memandangnya sebentar lalu kembali menatap piringku sambil terus mengaduknya.

“Apabila seseorang yang kalian ridhai agamanya dan akhlaknya datang kepada kalian untuk melamar (wanita kalian). Maka hendaknya kalian menikahan orang tersebut (dengan wanita kalian). Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan menjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar hadis riwayat Tirmidzi,” jelas Pamar Umar padaku.

“Apakah paman sudah tahu seperti apa agama orang-orang yang datang melamarku?” tanyaku lembut.

“Dia selalu membantah,” teriak ayah dengan berdiri dari duduknya. Ibu mendekati ayah, menenangkannya dengan mengelus lembut pundak ayah hingga ayah kembali duduk. Paman tidak bisa berbuat banyak, selain karena ayah itu kakanya, juga karena menurutnya ayah yang lebih pantas menasehatiku ketimbang yang lain. Paman akan turun tangan saat ayah sendiri memintanya.

“Kau bukan gadis seperti itu Yumna,” kata paman lembut. Namun aku tahu bahwa paman ingin menegaskan sesuatu hingga menyebut namaku.

“Hanya untuk urusan pernikahan saja, Yumna akan membantah paman. Selama ini Yumna selalu menuruti keinginan ayah. Bahkan kuliah dan kerja sesuai dengan keinginan ayah,” tuturku dengan manik yang tidak bisa aku bendung. Aku melirik sekilas ke arah ayah, dia terlihat merasa bersalah, gelisah dan tertunduk. Aku tidak pernah bermaksud untuk mempermalukan ayah. Hanya saja aku butuh membela diri.

“Pernikahan bukanlah sebuah permainan. Apalagi dengan apa yang pernah menimpaku. Jadi wajar jika aku menyeleksi,” kataku. Paman mengangguk setuju.

“Tapi pilihlah ketika lelaki itu sudah bagus agamnya,” kata Pamanku.

“Bukankah selama ini yang datang melamar adalah teman-temanku di bangku SMU dan perguruan tinggi? Orang-orang yang paman dan lainnya tidak tahu agamanya,” kataku.

“Kalau begitu akan aku pilihkan lelaki yang baik untukmu,” kata Ayah. Aku hanya terdiam. Menarik nafas berat. Semua orang menatapku, memintaku untuk segera menjawab. Aku tersenyum melihat wajah deg-degan mereka. Aku tidak pernah menyangka hanya untuk urusan pribadiku mereka rela berpusing-pusing memikirkannya. Baru aku sadari bahwa mereka sangat menyayangiku. Inginkan yang terbaik untukku. Tiba-tiba air mataku tidak bisa aku bendung lagi. Aku teriak menangis membuat semua orang tercengang. Untuk pertama kalinya aku merasa mereka sangat mencintaiku. Tidak ada yang berbisik, apalagi melangkah maju untuk menenangkanku. Ibu malah tersenyum melihat tingkahku. Usiaku sudah 30 tahun tetapi aku masih seperti anak-anak yang menangis meraung kala apa yang diinginkannya tidak dipenuhi oleh orang tuanya.

“aaaaaa” teriakku terus menangis. Ku biarkan air mata yang terus menetes mengalir membuat aliran deras di pipiku. Pamanpun terlihat tersenyum saat sekali-kali aku membuka mata memperhatikan orang di sekitarku.

Sudah lima belas menit aku menangis meraung. Kini yang tersisa hanyalah isakan tangis dan bahuku yang sesekali terangkat karena sisa tangis itu. Kemudian tiba-tiba ruang keluarga jadi heboh dengan tawa orang-orang yang sayang padaku.

“Pilihkan yang terbaik untukku,” kataku malu kemudian bangkit dari dudukku. Dengan tawa yang aku sembunyikan aku berlari masuk ke kamarku. Masih bisa aku dengar tawa mereka dari balik pintu kamarku. Aku menjatuhkan tubuhku di atas tempat tidur, menelungkuh ke kasur menyembunyikan wajahku yang malu dengan tingkahku sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status