Share

Qiana Bisa Jantungan

Kalau Dewa tidak mau membantu. Qiana bisa mencari tau sendiri siapa Ayudia? Siapa yang menabraknya? Apa yang belum selesai. Pintu ini tidak pernah Qiana buka selama dua tahun ini, Qiana harus berkali-kali menghembuskan napas bersiap masuk, di dalam sana pasti banyak informasi yang bisa didapatkan tentang Ayudia. Tangannya mendorong pintu kayu lebar itu, saat terbuka ia menarik napas, baru kali ini Qiana datang ke perpustakaan selama Sekolah di sini. Bukan untuk belajar, tapi. Mencari buku informasi murid Sekolah ini.

Deretan rak-rak buku terisi penuh dengan pengunjung tertib tidak bersuara. Qiana heran kenapa orang-orang pintar ini betah sekali membaca, kalau Qiana akan lebih betah bila yang ia baca adalah komik bergambar bukan tulisan hitam putih seperti koran. Qiana mencari rak demi rak buku. Biologi, Ekonomi, Fisika, Matematika dan sebagainya. Melihat deretan tulisan itu sudah cukup membuat otaknya gersang apa lagi memahami bab demi bab. Qiana kembali serius mencari sambil membungkuk, sampai matanya melihat sepasang sepatu di hadapannya, arah kakinya menghadap padanya. Saat wajahnya menengadah, mata itu lagi yang dilihat.

Buku yang Dewa sembunyikan di belakang punggungnya menarik perhatian Qiana. "Itu buku yang gue cari, pinjam!" Qiana mengambil paksa tapi Dewa tidak mau kalah ia meninggikan buku itu, jadilah Qiana harus berjinjit-jinjit kecil untuk menggapainya.

Tinggi Qiana saja hanya sedadanya. 

Buku informasi itu harus didapatkan, jadilah dengan sekuat tenaga Qiana menginjak sepatu Dewa. Ia memang tidak meringis tapi itu cukup membuat hilang pertahanan. Buku Qiana dapatkan.

Ia duduk di lorong langsung membuka bukunya. Dewa ikut duduk di lantai, dihadapan Qiana kaki panjangnya tertekuk satu. 

Hening. 

Qiana terus mencari halaman demi halaman dengan serius kepalanya terus menunduk. Deretan nama ia cari satu-persatu dari kelas sepuluh. Kalau begini caranya kapan ia bisa menemukan Ayudia. Qiana ingin protes saat Dewa kembali mengambil bukunya, tapi melihat Dewa membuka halaman buku, akhirnya Qiana hanya diam. Beberapa saat Dewa kembali mengembalikan buku dengan halaman yang sudah terbuka. 

Di situ ada siswi berseragam SMP 

Nama: Ayudia

Alamat: xxxxx

Dan tulisan lainnya tentang pesan dan kesan selama masa orientasi. Ini adalah catatan pertama kali Ayudia masuk Sekolah menengah atas. Qiana menulis sesuatu di telapak tangannya. 

"Orang tuanya sudah pindah!" seakan tahu Qiana sedang mencatat alamat rumah Ayudia, Dewa bersuara menghentikan tulisan Qiana. Mereka saling melihat. 

"Pindah kemana?"

"Surabaya."

Qiana tidak bisa berkata, hanya ada kecewa dari matanya, mana bisa anak SMA seperti ia terbang ke Surabaya. Ia menutup bukunya.

"Kenapa deketin Fee?" begitu saja pertanyaan itu terlontar, sesekali Qiana memang harus memukul mulutnya yang kadang terlalu blak-blakan.

"Penasaran." Dewa mengeluarkan pemantik api dari saku seragamnya memutar-mutar di tangan. "Ini dikasih Fee. Korek api yang sama, yang Ayu ingin gue punya. Gantian?"

"Mm.. gantian apa?" harusnya Dewa tidak perlu melihat matanya sekarang itu berefek tidak baik bagi jantung seorang jomblo. 

"Sejak kapan bisa liat hantu?" tanyanya.

"Oohh.... Itu, mulai sadar dari kelas tujuh sering denger suara aneh, tapi orang lain nggak denger, lebih sering sekarang. lo percaya gue bisa liat hantu?" Keduanya hanya saling melihat dalam hening yang teduh. 

Pelita :

"Kemana aja? Istirahat ngilang, gue makan sendirian." 

"Abis perang." 

Pelita tertawa remeh. "Perang sama apa?"

"Sama hati." Qiana menelungkupkan kepalanya ke atas meja. Ia harus menata hati setelah sedekat itu dengan Dewa apa lagi setelah melihat senyum kecil cowok itu, Tiba-tiba saja pipi Qiana memanas. Bagaimana bisa nanti pulang Sekolah bersamanya. Katanya ada yang mau ditunjukan Dewa. 

"Fee," sapa Pelita.

Qiana menegakan kepalanya begitu Pelita memanggil Federica tatapan mereka saling beradu, Federica lebih dulu mengalihkan wajah.

"Fee caranya gak gini. Kita bisa ngomong baik-baik! nggak diem-dieman gini!"

"Lo bisa ngomong gitu karena gak ngerasain apa yang gue rasa, gue kaya orang sakit jiwa tau gak. Gue gak mau mati!"

"Jangan ngomong gitu dong Fee." Pelita memeluk Federica dari samping pundaknya.

"Kenapa juga harus ngomong mati."

"Gue lagi nyari tau, kenapa roh itu ganggu kita. Semoga sebelum lo pindah masalahnya selesai." 

Persahabatan bukan diukur dari seberapa lamanya bersama, tapi. Bisa tidaknya saling menghargai. Mereka bertiga hanya saling terdiam dalam pikirannya masing-masing.

Qiana; 

Studio foto. Qiana baru saja keluar dari mobil Dewa. Untuk apa ia dibawa ke sini? Pertanyaan itu yang ada di kapalnya, tapi. Ia tetap mengikuti langkah kaki Dewa masuk. Baru saja pintu dibuka satu orang sudah menyambutnya.

"Hari ini cuma delapan sesi, gue balik duluan."

"Oke, thanks." Dewa membawa beberapa lembar kertas yang tadi ia terima. Qiana masih terus menyimak apa yang dilakukan Dewa tanpa bertanya dan terus mengikuti arah langkahnya menaiki anak tangga. Di tangga ia masih mendapat beberapa sapaan dan senyuman dari wanita dewasa. 

"Tunggu sebentar nggak lama!" barulah Dewa bersuara. Ruangan ini luas bernuansa putih hitam dengan lampu-lampu menyala terang, mengarah pada satu spot.

"Duduk di situ!" Dewa menunjuk sofa hitam panjang yang tidak jauh dari ia. Dewa kembali melanjutkan kegiatannya membuka tas ransel yang ia bawa.

Qiana terus melihat bagaimana Dewa piawai membongkar kamera dan lensa-lensanya, mencoba mengambil gambar lalu kembali membongkarnya saat dirasa kurang pas. 

Saat tadi baru datang Qiana sudah ingin bertanya untuk apa ia dibawa ke sini? Sekarang. Melihat apa yang Dewa bawa dan apa yang ia lakukan mengarahkan kamera. Qiana tau Dewa adalah fotografer.

Fotografer anak SMA. Qiana cukup takjub.

Dulu saat pertama kali Dewa datang dengan seragam SMA serta kamera yang tergantung di lehernya para model tertawa kecil meremehkan Dewa. Tidak percaya dengan kemampuannya membidik. Sekarang melihat seragam SMA dan kepiawaian Dewa dalam membidik model patut diseganti. 

Sedangkan untuk kaum hawa melihat Dewa dalam visual SMA membidik kamera sesekali memutar lensanya jadi ruang imajinasi tersendiri. Tidak sedikit model yang mengganggunya lantas meminta nomor telepon, tapi yah. Selalu diabaikan. Untuk Dewa mengarahkan lensa pada sasarannya adalah dunia kebebasannya sendiri.

Sesaat. Dewa kembali mengangkat kameranya kembali memotret. Kearahnya.

Qiana menepikan pikiran konyolnya itu. Tidak mungkin. 

Model berikutnya sudah masuk kembali, satu orang mengarahkan gerakan model. Ia laki-laki tapi memiliki jari-jari yang lentik menurut Qiana. Jef, tadi Dewa memanggilnya. Ia tinggi besar Kulitnya gelap dengan kutek merah di jari-jarinya. Qiana tersenyum saat lensa Dewa membidik. 

"Bep yang ini modelnya!" katanya pada Dewa sambil tangannya sedikit menarik dagu model. Dewa menggendikan bahu kameranya kembali ia putar lalu membidik sang model yang kembali Post.

"Diakah penggantinya?" tanya Jef laki-laki yang lentik menurut Qiana itu. 

"Mungkin." Dewa kembali membidik model saat Jef bertanya.

"Untuk minggu ini selesai, lo bisa libur, royalti udah gue kirim," ujarnya lagi, menyelesaikan sesi pemotretan.

Dewa sudah selesai dengan pemotretan, sekarang ia kembali membereskan kameranya. Satu demi satu lensa kamera ia bongkar kembali.

"Lo kerja disini?" Qiana mendekat melihat Dewa yang masih membersihkan kameranya dengan tisu.

"Sampingan." 

"Ohh... ngomong-ngomong apa yang mau lo tunjukin?" tanya Qiana lagi. 

Dewa menarik laci mejanya. Memberikan sebuah album pada Qiana, tanpa menunggu Qiana langsung membukanya. Album Ayudia. 

"Toilet dimana ya?" tanya Qiana. Dewa menjawab dengan geseran kepala ke arah kanannya. 

Qiana membuka pintu toilet mencari saklar lampu saat bersamaan tangan lain ikut menghidupkannya juga. Teriakan kaget Qiana sudah cukup menghentikan gerakan Dewa dengan kameranya.

"Kenap?" tidak ada jawaban.

"Qiana." Satu detik saja tidak ada jawaban tangan Dewa sudah mau membuka pintu.

"Nggak papa Wa." jawab Qiana akhirnya menghentikan gerakan Dewa.

"Saklar di kiri," kata Dewa yang masih diambang pintu. 

"Iya udah ko," Tidak ingin berlama-lama di sini. Qiana keluar dan untuk yang kedua kalinya ia kaget saat melihat Dewa. Berdiri di depan pintu seakan menunggunya keluar. 

"Kayaknya gue harus ke dokter jantung!"

Dewa berjalan mendekati Qiana, berhenti di hadapan, menutup pintu toilet dari depan. Bahu mereka hampir bersentuhan. Untuk Qiana dibanding tadi melihat penampakan gerakan Dewa kali ini lebih membuatnya tegang, bagaimana tidak sangking dekatnya mereka. Qiana bisa mencium bau parfum Dewa. 

"Kenapa tadi?" tanyanya. Qiana masih diam. 

"Mm... Ada kecoa." Untuk mengalihkan perhatian Dewa darinya Qiana mencari pelarian. "Kamera masih berantakan!" Dewa melihat kameranya barulah ia meninggalkan. Qiana harus benar-benar ke Dokter jantung sepertinya ada yang tidak beres dengan jantungnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status