Ada sesuatu yang mengganjal ketika wanita itu menyebutkan namanya. Sepertinya cukup familiar di telingaku.
"Widya," sahutku yang masih diliputi rasa penasaran."Kami mau menjenguk Lilis, katanya lagi kurang sehat ya?" tanya Mas Anam memecah keheningan yang tercipta untuk sesaat."Oh, dia sedang istirahat, barusan aku menyuapinya, Mas. Masuk saja, paling juga belum tidur," sahutnya."Terima kasih ya, Er. Sudah merepotkanmu," ucap Mas Anam tulus."Nyantai aja lah, Mas. Kayak sama siapa saja," sahutnya sambil mengedipkan satu matanya. Oh Tuhan, drama apalagi ini?Lilis sedang berbaring sambil memainkan ponselnya, ketika kami masuk ke kamarnya. Saking seriusnya sampai-sampai dia tak menyadari kedatangan kami."Lis ....""Eh, Mas?" Gadis itu nampak terkejut. "Baru datang?" imbuhnya bertanya."Iya, gimana? Apanya yang sakit?" tanya Mas Anam penuh perhatian."Badanku meriang, Mas. Kepalaku pusing," sahut gadis itu manja. Aku tersenyum melihatnya. Beruntung sekali yang mempunyai seorang kakak."Udah minum obat?" tanya Mas Anam sambil mengelus rambut hitam gadis itu."Udah, untung ada Mbak Erna yang selalu memperhatikanku kalau Mbak Sri sedang gak di rumah."Aku mulai merasakan ada hal yang kurang enak di sini, saat kedua kali nama perempuan itu disebut."Mas, aku mau ke belakang, di mana kamar mandinya?" tanyaku di sela-sela kemesraan kakak dan adik itu."Lurus saja kebelakang, Wid. Ada di sebelah dapur," sahut Mas Anam. Sementara sedari tadi Lilis sama sekali tak melihatku apalagi meyapa. Sudahlah, aku sudah kebelet.Aku pun keluar dari kamar. Melangkah sesuai arahan Mas Anam, lurus kebelakang."Semoga sukses ya, Sri. Tadi Anam nampak terkesan gitu sama aku, pas aku bilang habis nyuapin Lilis."Apalagi ini, secara tak sengaja aku mendengar nama kakak ipar disebut. Agar tak penasaran, aku pun menahan hasrat yang ingin segera dituntaskan."Sekarang mereka sedang di dalam kamarnya Lilis."Lagi wanita itu berkata."Iya, pokoknya kamu harus bantu aku dapetin Anam. Kalau tidak, kamu harus bayar semua hutang-hutang kamu."Aku menutup mulut yang tiba-tiba terbuka karena saking terkejutnya."Oke, selamat bersenang-senang, ya. Hati-hati jangan sampai kebablasan."Siapapun pasti shock mendengar perbincangan seperti itu. Apa katanya tadi, minta bantuan untuk mendapatkan Mas Anam? Aku kembali melanjutkan langkah setelah wanita itu mengakhiri panggilannya. Erna nampak kaget melihat kehadiranku, wanita itu terlihat salah tingkah. Mungkin, khawatir aku mendengar obrolannya."Permisi, Mbak. Numpang ke kamar mandi," ucapku berusaha tetap ramah. Tak lupa sebuah senyuman manis kuukir di bibir ini."Oh, iya. Silakan, Mbak," sahutnya sambil membalas senyumku.Ketika berada dalam kamar mandi, aku berusaha mengingat siapa wanita itu, ternyata dia adalah Erna mantannya Mas Anam. Jadi yang bersekongkol dengan Mbak Sri untuk menghancurkan rumah tanggaku.Heran, kenapa sih mereka susah banget move on. Masih saja mengejar-ngejar mantan. Kayak gak ada yang lain aja.**Terdengar tawa dalam kamar Lilis saat aku sudah hampir membuka pintu."Coba dulu Mas Anam menikahnya sama Mbak Erna. Pasti kita akan bahagia, Mas. Aku, Mbak Sri juga kamu. Mbak Erna ini kurang apa sih, Mas. Sampai kamu gak jadi menikah dengannya?"Itu suara Lilis, aku tak menyangka kalau gadis itu bisa berkata begitu."Ya karena Erna gak berjodoh dengan Mas, Lis. Jodohnya Mas itu Widya. Jadi kamu gak usah bilang kayak gitu lagi ya." Terdengar suara Mas Anam menyahut.Aku merasa terharu mendengar penuturannya. Rupanya dia masih bisa berpikir waras."Iya, sih Lilis ini, ah! Gak baik bicara seperti itu, Lis. Nanti kalau Mbak Widya denger, kan bisa terjadi salah paham."Aku tercekat, berarti mereka berbicara bertiga, dan dengan gamblang Lilis mengatakan semua itu."Biarin, Mbak Er. Mbak Widya itu pelit dan jahat! Aku masih sakit hati ketika dulu kami gak boleh tinggal di rumahnya. Dan sampai saat ini kami masih berharap kalau kalian itu menikah." Lagi bocah itu angkat suara. Provokasi.Mendengar penuturan Lilis, membuat napas ini tersengal. Seketika emosi menguasai hati dan pikiran. Ingin rasanya berteriak namun lidahku terasa keluh, benar-benar tak mengira akan mendengar hal yang sangat menyakitkan dari gadis manis itu.Aku mengambil napas dalam, sebelum memutuskan untuk mengetuk pintu. Aku sudah muak dengan semua ini.Perlahan aku melangkah mendekat, melihat kedatanganku semuanya terdiam, termasuk Mas Anam. Aku meneruskan langkahku sampai ke ranjang tempat Lilis berbaring."Cepat sembuh ya, Lis. Ini buat periksa ke dokter," ucapku sambil menyelipkan beberapa lembar uang berwarna merah di tangannya."Ayo, Mas. Kita balik, biar Lilis bisa istirahat," ajakku pada Mas Anam yang masih terpaku melihat sikapku."Aku masih kangen dengan Mas Anam! Jadi dia tak boleh kemana-mana!" cegah Lilis setengah berteriak."Ya udah, kalau gitu aku pulang sendiri ya, Mas. Kasihan Lilis masih kangen dengan kakaknya yang ganteng dan baik hati ini," ujarku."Gini aja. Lis, mas mau nganter
Tanpa menyahut lagi, Mas Anam melangkah ke kamar mandi. Sementara aku yang masih kesal hanya bisa memukul bantal sebagai pelampiasan.Setelah menumpahkan emosi pada benda empuk itu, perasaan ini sedikit merasa puas, walaupun napasku masih ngos-ngosan. Tak hanya merasa lega, aku juga merasa capek sekali, keringat juga sudah membasahi kening ini. Ah, lumayan olahraga.Sebelum emosi datang lagi, aku memilih untuk beranjak dari kamar menuju dapur untuk menyeduh kopi, menghirup aromanya yang menurutku bisa memenangkan pikiran yang sedang kalut."Aku mau balik ke rumah Lilis. Mungkin pulangnya malam, jadi kamu gak usah nungguin," ucap Mas Anam tiba-tiba. Aku menoleh sekilas, lelakiku itu memang terlihat tampan, apalagi sehabis mandi seperti saat ini. Alis yang tebal, hidung yang mancung serta mempunyai rahang yang kokoh ditambah tatapan matanya yang tajam. Sungguh pesona bagi wanita.Aku tak menjawab, kembali asyik menikmati aroma kopi yang dibawa oleh kepulan asapnya."Wid?" Terdengar lan
Pintu sedang dibuka dari luar ketika aku hendak meraih ganggangnya. Mas Anam menelan ludah saat mata kami beradu. Rupanya dia tidak pulang sendiri, ada Mbak Sri, Lilis juga Erna, ikut bersamanya."Ada apa ini?" tanyaku terkejut bercampur heran. Jujur aku kaget dengan kedatangan mereka. Bahkan berbagai pikiran buruk sudah berseliweran di kepala."Mau mampir saja, Wid. Ada yang kangen soalnya, biasalah CLBK. Hahaha," sahut Mbak Sri. Entah apanya yang lucu sehingga dia bisa tertawa bahagia seperti itu.Aku langsung bisa menangkap ke arah mana Mbak Sri berbicara. Kini dia semakin berani bahkan terang-terangan berkata demikian di depanku dan Mas Anam.Aku melirik kepada lelakiku, berharap dia menyangkal. Namun, dia hanya tersenyum kikuk, sambil mengusap tengkuk. Aku berdecak melihatnya yang tak bisa berkutik dihadapan kakaknya. Apa benar cinta mereka belum kelar?"Oh gitu? Ya udah silahkan ngobrol-ngobrol. Aku mau berangkat kerja dulu," sahutku sambil menutup pintu lalu menguncinya. Tak su
"Kamu—""Lekas pergi, Mbak. Sebelum aku semakin hilang kendali," tegasnya.Kini tinggal kami berdua. Aku memilih acuh, rasanya malas untuk mulai berkata."Maafkan aku, Wid," ucapnya sambil membuka pintu. Sementara tangan yang satunya tetap menggenggam tanganku, pelan dia menarik diri ini masuk.Setelah pintu kembali tertutup lelaki itu segera menarik tubuhku, mengurungnya dalam dekapan."Untuk apa minta maaf? Yang penting kan saudaramu bahagia," sahutku sambil berusaha mengurai pelukannya.Mendengar ucapanku Mas Anam berdecak lalu menghela napas kemudian semakin mempererat dekapannya."Udah ah! Aku udah telat, nanti Baba Ong marah lagi. Awas!" seruku sambil berusaha mendorong dadanya."Hari ini bolos aja," titahnya sambil terus saja mendekap diri ini."Enak aja, ogah!" sahutku yang terus berusaha melepaskan diri."Ini perintah suamimu, Wid." Suaranya terdengar lembut, tetapi tetap saja kalimat itu menjengkelkan."Enak ya jadi suami, tinggal perintah ini, perintah itu. Kalau gak nurut,
"Widya!" bentak Mas Anam. Sepertinya lelaki itu tidak suka aku bicara seperti itu."Apa?" sahutku yang sudah tersulut emosi karena teriakannya tadi."Kamu jangan bilang seperti itu, aku gak suka," sahutnya. Tatapan matanya tajam menghujam manik mataku."Lah terus kenapa tadi bisa bareng-bareng gitu sama mantanmu? Kamu pikir aku suka?" bantahku tak kala sengit."Tadi itu kita gak bareng, Widya! Mereka datang setelah aku baru sampai. Mereka juga gak tahu kalau semalam aku gak pulang. Dan soal perkataan Mbak Sri tadi, gak usah kamu masukkan dalam hati," pesannya. Kali ini nada bicaranya sudah mulai turun."Widya!" bentak Mas Anam, mungkin dia tidak suka aku bicara seperti itu."Apa?" sahutku yang sudah tersulut emosi karena teriakannya tadi."Kamu jangan bilang seperti itu, aku gak suka," sahutnya."Lah terus kenapa tadi bisa bareng-bareng gitu sama mantanmu? Kamu pikir aku suka?""Tadi itu kita gak bareng, Widya! Mereka datang setelah aku baru sampai. Mereka juga gak tahu kalau semalam
Suasana kontrakan itu nampak ramai. Jeritan dan teriakan saling bersahutan, ditambah juga dengan riuh suara orang yang sesekali bersorak."Dasar pelakor!""Auh! Lepas!""Wanita sundal! Murahan!""Aaa!""Kurang ajar!""Auh!"Aku dan Mas Anam mencoba masuk dalam kerumunan, akhirnya dengan susah payah kami bisa sampai di depan kerumunan. Terlihat Mbak Sri dan seorang wanita saling jambak dan saling tindih."Astaghfirullah!" pekik kami berdua secara bersamaan."Hentikan!" Seorang lelaki berteriak sambil menerobos kerumunan dari arah berlawanan dengan kami. Lelaki itu segera memeluk wanita yang berduel dengan Mbak Sri. Sedangkan aku dan Mas Anam segera membantu Mbak Sri yang masih terkapar.Tanpa banyak bicara, lelaki itu langsung membopong wanita tadi pergi."Darah, Mas!" pekik Lilis sambil menunjuk kaki kakaknya.Kami serentak menengok arah yang ditunjuk oleh Lilis, dan itu membuat kami semua tersentak. Cairan merah itu mengalir deras dari sela-sela kedua kaki Mbak Sri."Mas, kita bawa M
Seorang wanita datang ke rumah, saat aku baru saja selesai menyapu setelah pulang kerja."Permisi, Mbak. Maaf mengganggu. Apa benar ini rumahnya Mas Anam?" tanyanya ramah padaku."Iya, Bu. Ada perlu apa ya kok mencari suamiku?" Aku menyahut. Namun, ada sesuatu yang membuatku terus memandanginya. Rasanya pernah melihatnya, tapi di mana ya?"Begini, Mbak, aku kesini mau minta tolong. Aku mau minta alamat rumahnya Mbak Sri," ucapnya sopan.Aku tak langsung menjawab, sekali lagi mengamati wajah wanita yang sedang berdiri di hadapanku ini. Setelah cukup keras berpikir akhirnya aku bisa ingat kalau dia adalah wanita yang dulu bertengkar dengan Mbak Sri waktu itu."Gini aja, Bu. Berhubung aku juga akan ke sana, jadi nanti bareng aja. Aku tak mandi dulu. Mari silahkan masuk."Memang tadi rencananya aku akan ke sana, menghampiri Mas Anam, sekaligus menengok Mbak Sri. Bahkan aku juga sudah membeli beberapa buah untuk dibawa ke sana."Wah kebetulan sekali, tapi saya nunggu di sini saja ya, Mbak.
"Nam, yakin Widya kamu suruh tinggal," sahut Mbak Sri dengan senyum misterius. Seolah menyadari sesuatu, perlahan Mas Anam melepaskan pegangannya."Widya, yakin kamu mau pulang? Gak ingin lihat ijab kabul sekali lagi, Nih?" imbuh Mbak Sri."Emang siapa yang mau menikah?" tanyaku pada Mas Anam. Lelaki itu tak menjawab, malah membuang muka.Seperti sekian detik kemudian Erna keluar dengan menggunakan pakaian pengantin adat jawa dengan senyum merekah di bibirnya. Wanita itu nampak cantik dengan balutan kebaya warna putih."Aku sudah siap, Mas," ucapnya tersenyum bahagia, wanita itu berjalan menghampiri Mas Anam, setelah itu tanpa canggung dia menggandeng tangan suamiku ini.Untuk sesaat aku hanya bisa terdiam karena masih bingung, otakku berusaha mencerna keadaan yang terjadi saat ini. Wanita itu bilang sudah siap pada Mas Anam, itu berarti suamiku akan menikah lagi, gitu? Dan yang lebih menyakitkan lelaki itu hanya diam tanpa membantah.Aku tak menyangka akan bernasib sama dengan Bu San