Share

enam

Ada sesuatu yang mengganjal ketika wanita itu menyebutkan namanya. Sepertinya cukup familiar di telingaku.

"Widya," sahutku yang masih diliputi rasa penasaran.

"Kami mau menjenguk Lilis, katanya lagi kurang sehat ya?" tanya Mas Anam memecah keheningan yang tercipta untuk sesaat.

"Oh, dia sedang istirahat, barusan aku menyuapinya, Mas. Masuk saja, paling juga belum tidur," sahutnya.

"Terima kasih ya, Er. Sudah merepotkanmu," ucap Mas Anam tulus.

"Nyantai aja lah, Mas. Kayak sama siapa saja," sahutnya sambil mengedipkan satu matanya. Oh Tuhan, drama apalagi ini?

Lilis sedang berbaring sambil memainkan ponselnya, ketika kami masuk ke kamarnya. Saking seriusnya sampai-sampai dia tak menyadari kedatangan kami.

"Lis ...."

"Eh, Mas?" Gadis itu nampak terkejut. "Baru datang?" imbuhnya bertanya.

"Iya, gimana? Apanya yang sakit?" tanya Mas Anam penuh perhatian.

"Badanku meriang, Mas. Kepalaku pusing," sahut gadis itu manja. Aku tersenyum melihatnya. Beruntung sekali yang mempunyai seorang kakak.

"Udah minum obat?" tanya Mas Anam sambil mengelus rambut hitam gadis itu.

"Udah, untung ada Mbak Erna yang selalu memperhatikanku kalau Mbak Sri sedang gak di rumah."

Aku mulai merasakan ada hal yang kurang enak di sini, saat kedua kali nama perempuan itu disebut.

"Mas, aku mau ke belakang, di mana kamar mandinya?" tanyaku di sela-sela kemesraan kakak dan adik itu.

"Lurus saja kebelakang, Wid. Ada di sebelah dapur," sahut Mas Anam. Sementara sedari tadi Lilis sama sekali tak melihatku apalagi meyapa. Sudahlah, aku sudah kebelet.

Aku pun keluar dari kamar. Melangkah sesuai arahan Mas Anam, lurus kebelakang.

"Semoga sukses ya, Sri. Tadi Anam nampak terkesan gitu sama aku, pas aku bilang habis nyuapin Lilis."

Apalagi ini, secara tak sengaja aku mendengar nama kakak ipar disebut. Agar tak penasaran, aku pun menahan hasrat yang ingin segera dituntaskan.

"Sekarang mereka sedang di dalam kamarnya Lilis."

Lagi wanita itu berkata.

"Iya, pokoknya kamu harus bantu aku dapetin Anam. Kalau tidak, kamu harus bayar semua hutang-hutang kamu."

Aku menutup mulut yang tiba-tiba terbuka karena saking terkejutnya.

"Oke, selamat bersenang-senang, ya. Hati-hati jangan sampai kebablasan."

Siapapun pasti shock mendengar perbincangan seperti itu. Apa katanya tadi, minta bantuan untuk mendapatkan Mas Anam? 

Aku kembali melanjutkan langkah setelah wanita itu mengakhiri panggilannya. Erna nampak kaget melihat kehadiranku, wanita itu terlihat salah tingkah. Mungkin, khawatir aku mendengar obrolannya.

"Permisi, Mbak. Numpang ke kamar mandi," ucapku berusaha tetap ramah. Tak lupa sebuah senyuman manis kuukir di bibir ini.

"Oh, iya. Silakan, Mbak," sahutnya sambil membalas senyumku.

Ketika berada dalam kamar mandi, aku berusaha mengingat siapa wanita itu, ternyata dia adalah Erna mantannya Mas Anam. Jadi  yang bersekongkol dengan Mbak Sri untuk menghancurkan rumah tanggaku.

Heran, kenapa sih mereka susah banget move on. Masih saja mengejar-ngejar mantan. Kayak gak ada yang lain aja.

**

Terdengar tawa dalam kamar Lilis saat aku sudah hampir membuka pintu.

"Coba dulu Mas Anam menikahnya sama Mbak Erna. Pasti kita akan bahagia, Mas. Aku, Mbak Sri juga kamu. Mbak Erna ini kurang apa sih, Mas. Sampai kamu gak jadi menikah dengannya?"

Itu suara Lilis, aku tak menyangka kalau gadis itu bisa berkata begitu.

"Ya karena Erna gak berjodoh dengan Mas, Lis. Jodohnya Mas itu Widya. Jadi kamu gak usah bilang kayak gitu lagi ya." Terdengar suara Mas Anam menyahut.

Aku merasa terharu mendengar penuturannya. Rupanya dia masih bisa berpikir waras.

"Iya, sih Lilis ini, ah! Gak baik bicara seperti itu, Lis. Nanti kalau Mbak Widya denger, kan bisa terjadi salah paham."

Aku tercekat, berarti mereka berbicara bertiga, dan dengan gamblang Lilis mengatakan semua itu.

"Biarin, Mbak Er. Mbak Widya itu pelit dan jahat! Aku masih sakit hati ketika dulu kami gak boleh tinggal di rumahnya. Dan sampai saat ini kami masih berharap kalau kalian itu menikah." Lagi bocah itu angkat suara. Provokasi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status