Share

lima

"Enak saja! Kamu juga sakit hati kan kalau dikatakan sebagai wanita mandul! Pasti nangis-nangis ngadu sama Anam. Mangkanya Anam sekarang berani sama aku!" ujarnya tetap dengan nada tinggi.

Mas Anam melongo mendengar penuturan kakaknya, lelaki itu memandangku sekilas, lalu berdiri tegap kemudian menyeret koper yang berisi pakaian saudaranya dan membawanya keluar.

"Loh? Nam! Apa yang kamu lakukan?! Kamu lebih memilih Widya yang tinggal di sini?!" teriaknya sambil melangkah menyusul mas Anam keluar.

"Iya, Mbak." Mas Anam nampak emosi, rahangnya mengeras menahan amarah. "Karena ini rumahnya Widya. Bukan rumahku," lanjutnya dengan tegas. Saking kagetnya, Mbak Sri sampai mundur beberapa langkah.

Akhirnya, apa yang selama ini tak pernah terucap, terungkap sudah. Sungguh sesuatu yang sangat mengejutkan bagi Mbak Sri tentunya.

**

"Kenapa kamu gak bilang kalau Mbak Sri sering berkata seperti itu?" tanya Mas Anam sambil merangkul tubuh ini dari belakang saat kami berbaring di tempat tidur.

"Berkata apa?" tanyaku pura-pura gak mengerti.

Sungguh, sekuat apapun aku mencoba untuk bersikap biasa saja, hatiku tetap merasakan nyeri. Apalagi di saat mendapat perhatian dari orang tersayang.

"Itu ... em ... yang sering mengatai kamu mandul," sahutnya lirih. Setelah berucap lelakiku itu semakin mempererat rangkulannya, sesekali kurasakan dia tengah mencium rambutku.

"Kenapa harus bilang ke kamu? Bukankah yang dikatakannya itu benar, kalau aku belum punya anak, bisa saja kan?" Sengaja aku melontarkan tanya padanya.

"Maafkan aku, Wid. Jangan pernah berfikir untuk meninggalkanku, ya," ucapnya lagi dan semakin membuang jarak diantara kami.

"Hem." Hanya itu sahutku seraya menggeser tubuhku ke depan.

"Kok hanya, hem?" tanya sambil menarik lagi tubuhku.

"Ya kita lihat saja, aku atau kamu yang akan menyerah. Kalau aku sih tergantung kamu, Mas. Karena aku adalah cerminan dirimu. Udah ah, aku mau tidur. Ngantuk."

"Wid, boleh ya?" tanyanya dengan suara yang membuatku merinding.

"Libur, mangkanya jangan sok sibuk. Kemana saja kemarin?" Setelah berucap aku pun berusaha melepaskan diri darinya. Namun, usahaku sia-sia, nyatanya Mas Anam semakin mendekap dirimu dengan erat.

"Masak sih?" tanyanya tak percaya.

"Mau lihat?" tanyaku menantang.

Lelakiku itu berdecak dan itu sudah bisa menciptakan senyuman di bibirku. Kembali aku hendak bergeser. Namun, lagi-lagi dia menahannya.

"Udah, diem jangan bergerak," ucapnya dengan suara parau.

**

"Anam!" Lagi dan lagi terdengar teriakan diantara gedoran pintu.

Aku menghentikan kegiatanku yang sedang memasak nasi goreng. Kemudian bergegas ke luar. Ada rasa yang sulit untuk dijabarkan di hati ini. Rasanya senang campur gugup karena ini pertama kali aku akan bertemu lagi dengannya setelah kejadian beberapa waktu lalu.

"Waalaikumussalam," ucapku sambil membuka pintu.

Setelah beberapa bulan tidak bertemu, ada yang berubah dari penampilannya. Wanita itu kelihatan nampak berisi, seperti orang yang sedang hamil.

"Anam mana?" tanyanya dengan tatapan yang masih sama. Datar dan penuh dengan kebencian.

"Masuk dulu, Mbak. Mbak Sri, apa kabar? Lilis kok gak ikut?" Aku mencoba untuk bersikap ramah, walaupun tak digubris olehnya.

Perempuan itu enggan menjawab, sepertinya sangat berat untuk sekedar membuka mulut.

"Anam mana?" tanyanya lagi, bahkan dia sama sekali tak menatapku saat berbicara.

"Ada di dalam. Ayo, masuk dulu, Mbak."

Aku berusaha menjadi ipar yang baik untuknya, tapi baik itu gak harus mengalah dan diam kan?

"Gak perlu. Aku hanya ingin bertemu dengan Adikku!" sahutnya tetap dengan gayanya yang khas, judes, ketus dengan suara cempreng.

"Ok." Aku pun beranjak meninggalkannya untuk memberitahu Mas Anam. Takut mulut ini khilaf kalau lama-lama berhadapan dengannya.

"Ada Mbak Sri di depan, Mas. Dia gak mau masuk," kataku langsung, ketika melihatnya keluar dari kamar mandi.

Mas Anam nampak kaget, terlihat dari dahinya yang berkerut. Namun, itu tidak lama, dia segera bersikap biasa lagi.

"Iya." Hanya itu jawaban Mas Anam, setelah meletakkan handuk di belakang rumah, suamiku itu langsung ke depan untuk menemui kakaknya.

Gegas aku menyalakan kompor untuk membuat minuman. Setelah secangkir teh siap, aku segera membawanya ke depan.

"Aku kan sudah sering bilang, Mbak. Jangan terlalu dekat dengannya." Mas Anam berbicara pelan pada kakak perempuannya itu. Aku pun menghentikan langkah yang hampir sampai di ambang pintu, sepertinya mereka sedang berbicara serius.

"Kamu juga menyalakan aku?" tanyanya sambil terisak. Terlihat dari jendela kaca bahunya sampai bergetar. Aku yang semakin penasaran dengan apa yang terjadi, memilih diam di tempat sambil mempertajam pendengaran.

"Bukan mau menyalahkan, Mbak. Gini saja, sekarang Mbak Sri maunya gimana?" bujuk suamiku dengan suara lembut.

"Ya gimana lagi, Nam. Ya seperti yang sudah kukatakan tadi," ucapnya tersendat-sendat karena sesenggukan.

Mas Anam nampak menghela nafas. Lelakiku itu nampak gelisah.

"Aku akan mengusahakannya ya, Mbak," ucapnya lagi.

"Ya iyalah, kalau bukan kamu siapa lagi?" Sepertinya Mbak Sri sudah berhenti menangis, suaranya sudah terdengar normal, judes-judes cempreng.

Setelah sepersekian detik mereka saling diam, aku pun segera keluar dari persembunyian untuk menyuguhkan minuman.

Mbak Sri buru-buru berdiri setelah melihatku datang. "Ya udah. Aku pergi dulu. Oh iya, Lilis lagi kurang sehat, kamu datanglah ke rumah. Hari ini aku ada urusan," ujarnya tanpa melihat padaku.

"Diminum dulu, Mbak." Aku menawarkan teh untuknya sebelum dia benar-benar pergi.

"Aku pulang ya, Nam. Ingat pesanku." Bukannya menyahut tawaranku, perempuan itu malah berpesan pada Mas Anam.

"Ini diminum dulu, Mbak." Mas Anam ikut menawarinya.

"Gak usah!" Setelah berucap dia pun beranjak meninggalkan teras rumahku dengan langkah tergesa-gesa.

"Ada apa, Mas?" tanyaku. Jelas saja aku penasaran dengan obrolan mereka tadi. Sebenarnya apa yang terjadi kenapa Mbak Sri sampai menangis.

"Gak ada apa-apa, Wid. Kamu udah selesai masaknya?" Bukannya memberiku jawaban, dia malah bertanya hal lain. Aku semakin penasaran, kira-kira apa yang disembunyikan oleh Mas Anam.

"Belum, Mas. Kamu udah lapar?" Sebal juga karena Mas Anam tak jujur padaku.

"Belum juga sih, maksudku kalau sudah selesai kita ke tempat Lilis," ujarnya.

"Kalau nunggu selesai lama, Mas. Aku belum nyuci soalnya."

Aku berkata sambil melangkah masuk dengan membawa nampan.

"Ya udah, kamu lekas masak, aku yang mencuci," sahutnya setelah langkah kami beriringan.

"Baiklah ...."

**

Kami sampai di kontrakan Mbak Sri menjelang siang. Ternyata rumah ini cukup ramai, ada tiga wanita yang sedang duduk-duduk di ruang tamu ketika kami sampai. Mereka semua tersenyum melihat kedatangan kami. Jujur ini adalah pertama kalinya aku datang ke sini.

"Mereka ini temannya Mbak Sri sama Lilis?" tanyaku berbisik pada Mas Anam.

"Iya, mereka juga ngontrak di sini, Wid," sahutnya sambil terus membawaku masuk lebih dalam.

"Mas Anam?" sapa seorang wanita yang baru keluar dari sebuah kamar. Wanita itu cukup cantik, dia memiliki lesung pipi saat tersenyum.

"Baru datang? Sri-nya lagi gak di rumah, Mas," ucapnya lagi, terdengar sangat akrab dengan suamiku.

"Iya, kami sudah tahu kok. Oh iya, Er. Kenalkan ini istriku, Widya."

Wanita itu mengulurkan tangannya, dengan senang aku menerima uluran tangannya.

"Erna."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status