Mungkin apa, Mas? Katakan saja. Mungkin apa?" cecarku sedikit memaksa.
Bukannya menjawab Mas Anam malah membawaku dalam pelukannya. Ah, lelaki memang susah ditebak. Cukup lama kami berpelukan, seolah mencari rasa yang akhir-akhir ini terasa samar.Kami saling mencintai, kami saling mendukung dan kami saling membutuhkan, itulah yang terjadi. Dulu.Dalam pelukan eratnya, aku bisa merasakan detak jantung yang berpacu cukup cepat. Kasihan sekali suamiku, saat ini mungkin dia sedang dilema. Mana yang harus diutamakan olehnya, saudara atau istri. Mungkin."Anam!"Teriakan dengan suara cempreng itu benar-benar mengganggu. Hilang sudah suasana romantis yang sudah lama tidak terjadi ini.Mas Anam menahan tubuh ini ketika aku hendak mengurai pelukan. Bukannya melepaskan, lelaki itu malah semakin mempererat dekapannya. Tumben? Apa dia sedang rindu denganku. Aku mengalah, berusaha untuk menikmati momen ini, merasa kalau saat ini dia sedang berpihak padaku, bagaimana pun juga dia adalah suamiku, kami pernah bahagia berdua."Anam!" Lagi teriakan itu bergema di seluruh ruangan yang tidak terlalu besar ini.Lelakiku berdecak, tanpa bicara dia langsung meninggalkanku setelah mengurai pelukannya. Untuk sesaat aku hanya bisa diam, seperti seorang yang sedang linglung karena ditinggal pas lagi sayang-sayangnya. Namun, segera ikut keluar dari kamar setelah tersadar.Ketika sampai di ruang tamu, rupanya Mbak Sri sudah siap untuk pergi."Mbak, jangan lupa baju kotornya ada di belakang," ucapku mengingatkan.Ada tiga perempuan dan dua lelaki bersama dengan Mbak Sri, semuanya memandang sinis kepadaku. Sedangkan Lilis tak terlihat diantara mereka."Halah! Gak usah sok peduli! Sok perhatian! Padahal aslinya kamu senang kan? Bisa menguasai semua ini!" sentaknya dengan nada sinis.Mas Anam yang sudah bersiap mengangkat koper kembali diam. Lelaki itu hanya bisa menghela napas sambil memperhatikan kami, aku dan kakaknya."Terserah kamu lah, Mbak. Akukan hanya mengingatkan," sahutku santai, berusaha baik-baik saja meskipun Mbak Sri berusaha menjatuhkan diri ini di depan teman-temannya."Halah! Mau cari muka di depan teman-temanku? Hahaha, mereka semua sudah tahu bagaimana tabiatmu pada saudara ipar, Wid! Jadi, gak usah sok!" oloknya.Entah kenapa Mbak Sri sangat membenciku. Hal ini sungguh mengganggu pikiranku. Kapan-kapan akan kutanyakan pada author. Harus itu!Aku menghela napas mendengar ucapannya. Saudara ipar yang satu ini memang pintar menjatuhkan mental seseorang. Untung aku sudah kebal. Ibarat mesin, aku ini milik Yamaha. Bandel."Apa untungnya aku melakukan itu di depan teman-temanmu, Mbak? Gak ada," sahutku memberi sanggahan.Bukannya diam, perempuan itu tetap saja tertawa, entah apanya yang lucu."Ya iyalah, kan kamu sudah gak punya malu! Hahaha! Sok baik, sok cantik, sok kaya padahal hidupnya juga cuma numpang!" ledeknya lagi."Cukup, Mbak! Hentikan!" bentak Mas Anam dengan suara yang cukup lantang."Kamu juga diam, Wid," imbuhnya dengan suara lirih, dadanya naik turun menahan amarah."Kamu membentakku?" Wanita yang gemar memakai pakaian seksi itu bertanya dengan suara lirih. Tatapannya menyiratkan kesedihan yang sangat dalam.Mendadak suasana menjadi hening.Perempuan itu terlihat shock, matanya berkaca-kaca dan beberapa kali menggeleng, seolah tak percaya dengan perlakuan adik yang biasanya sangat menurut padanya. Mas Anam terlihat frustrasi, mungkin dia merasa bersalah telah berkata kasar pada kakak yang sangat dicintainya itu. Berkali-kali dia membuang napas melalui mulut."Udahlah, Mbak. Mending kita lekas berangkat. Ayo!" ajak Mas Anam, priaku itu mencoba membujuk Mbak Sri dan kembali melunak padanya."Tadi kamu membentakku, Nam?" tanya Mbak Sri lagi dengan suara bergetar, rupanya dia masih belum bisa menerima perlakuan adiknya. Jangankan Mbak Sri, aku juga ikut kaget dibuatnya, baru kali ini aku melihat hal itu. Tanpa sadar spontan kututup mulutku sendiri."Bukan gitu, Mbak—""Sudahlah, Nam! Sekarang aku mengerti, ternyata kamu sudah dipengaruhi sama perempuan ini! Pantas saja, sekarang kamu sudah berubah," ujarnya, setelah itu dia menangis."Mbak, jangan begitu. Maafkan aku," ucap Mas Anam sambil berjalan mendekatinya.Aku hanya menyaksikan drama antara adik kakak tersebut. Andai saja Mbak Sri dan Lilis bisa sedikit saja baik padaku, tentu aku akan lebih baik pada mereka. Bukankah memang begitu hukuman. Jika kamu ingin orang lain baik padamu, maka berbuat baiklah kepada orang lain. "Aku akan memaafkan, tapi kamu harus memilih antara aku atau Widya yang akan tinggal di rumah ini!"Lagi dan lagi, Mbak Sri berusaha mengintimidasi Mas Anam. Hampir saja aku terbahak mendengar ucapannya. Apa memang Mbak Sri benar-benar tidak tahu jika rumah ini adalah milikku."Mbak, jangan kamu beri pilihan yang sulit untuk adikmu itu. Kamu tetap menjadi kakak tercintanya, takkan tergantikan. Sedangkan aku ini istrinya, seseorang yang sudah dipilihnya, tak main-main loh, Mbak. Mas Anam sudah berjanji dihadapan Allah. Jadi jangan menyuruhnya untuk memilih hal sulit seperti itu." Aku berkata panjang kali lebar agar dia bisa mengerti."Hei, Widya! Diam kamu! Denger ya, masih banyak wanita di luar sana yang mau menjadi istrinya Anam, dan yang pasti mereka itu baik pada kami, saudaranya! Gak kayak kamu, yang menjauhkan Anam dari kami!" sahutnya tak kalah sengit.Aku hanya bisa menghela napas, rupanya kebenciannya padaku benar-benar sudah menutup pintu hatinya, walau untuk sekedar mendengar sesuatu yang benar."Tuh kan gak bisa jawab, karena kamu itu memang gak bisa baik sama kami. Kamu itu maunya menguasai semua hartanya Anam, rumah, gaji semuanya kamu yang kuasai," tuduhnya sembarangan."Ya iyalah, Mbak. Aku kan istrinya, kalau gak diberikan padaku, mau diberikan pada siapa? Mangkanya cepetan nikah biar tahu bagaimana rasanya gaji suami. Ups!" Aku menutup mulut karena keceplosan, sungguh aku benar-benar menyesal karena tak bermaksud berbicara seperti itu."Dengar kan kamu, Nam?! Dia tadi bilang apa? Dia sudah menghinaku, Nam! Menghinaku!" teriaknya di depan Mas Anam sambil sesekali terisak."Kamu memang sudah keterlaluan Widya! Tak seharusnya kamu bicarakan seperti itu pada kakakku. Semakin kesini, semua yang diucapkan Mbak Sri semakin jelas!"Oh, jadi selama ini Mbak Sri selalu berbicara buruk tentangku pada Mas Anam. "Maafkan aku, Mas. Aku tadi keceplosan," ucapku jujur. Aku memang benar-benar menyesal, karena pasti Mbak Sri sakit hati dan yang lebih parah adalah rasa malu. Aku sering diperlakukan seperti itu, jadi aku tahu rasanya."Maaf?! Kamu pikir dengan meminta maaf semua akan selesai begitu saja? Hah?" Wanita yang suka dengan warna mencolok itu mencecarku. "Jawab! Kenapa diam saja!" lanjutnya dengan ketus."Maafkan aku, Mbak. Aku benar-benar gak bermaksud gimana-gimana, tadi itu benar-benar keceplosan, keluar begitu saja dari mulutku. Maaf ya, Mbak. Aku benar-benar menyesal." Kali ini aku benar-benar mengucapkannya dengan tulus."Enak saja! Kamu juga sakit hati kan kalau dikatakan sebagai wanita mandul! Pasti nangis-nangis ngadu sama Anam. Mangkanya Anam sekarang berani sama aku!" ujarnya tetap dengan nada tinggi.Mas Anam melongo mendengar penuturan kakaknya, lelaki itu memandangku sekilas, lalu berdiri tegap kemudian menyeret koper yang berisi pakaian saudaranya dan membawanya keluar."Loh? Nam! Apa yang kamu lakukan?! Kamu lebih memilih Widya yang tinggal di sini?!" teriaknya sambil melangkah menyusul mas Anam keluar."Iya, Mbak." Mas Anam nampak emosi, rahangnya mengeras menahan amarah. "Karena ini rumahnya Widya. Bukan rumahku," lanjutnya dengan tegas. Saking kagetnya, Mbak Sri sampai mundur beberapa langkah.Akhirnya, apa yang selama ini tak pernah terucap, terungkap sudah. Sungguh sesuatu yang sangat mengejutkan bagi Mbak Sri tentunya.**"Kenapa kamu gak bilang kalau Mbak Sri sering berkata seperti itu?" tanya Mas Anam sambil merangkul tubuh ini dari belakang saat kami berbaring di tempat tidur."Berk
Ada sesuatu yang mengganjal ketika wanita itu menyebutkan namanya. Sepertinya cukup familiar di telingaku."Widya," sahutku yang masih diliputi rasa penasaran."Kami mau menjenguk Lilis, katanya lagi kurang sehat ya?" tanya Mas Anam memecah keheningan yang tercipta untuk sesaat."Oh, dia sedang istirahat, barusan aku menyuapinya, Mas. Masuk saja, paling juga belum tidur," sahutnya."Terima kasih ya, Er. Sudah merepotkanmu," ucap Mas Anam tulus."Nyantai aja lah, Mas. Kayak sama siapa saja," sahutnya sambil mengedipkan satu matanya. Oh Tuhan, drama apalagi ini?Lilis sedang berbaring sambil memainkan ponselnya, ketika kami masuk ke kamarnya. Saking seriusnya sampai-sampai dia tak menyadari kedatangan kami."Lis ....""Eh, Mas?" Gadis itu nampak terkejut. "Baru datang?" imbuhnya bertanya."Iya, gimana? Apanya yang sakit?" tanya Mas Anam penuh perhatian."Badanku meriang, Mas. Kepalaku pusing," sahut gadis itu manja. Aku tersenyum melihatnya. Beruntung sekali yang mempunyai seorang kakak
Mendengar penuturan Lilis, membuat napas ini tersengal. Seketika emosi menguasai hati dan pikiran. Ingin rasanya berteriak namun lidahku terasa keluh, benar-benar tak mengira akan mendengar hal yang sangat menyakitkan dari gadis manis itu.Aku mengambil napas dalam, sebelum memutuskan untuk mengetuk pintu. Aku sudah muak dengan semua ini.Perlahan aku melangkah mendekat, melihat kedatanganku semuanya terdiam, termasuk Mas Anam. Aku meneruskan langkahku sampai ke ranjang tempat Lilis berbaring."Cepat sembuh ya, Lis. Ini buat periksa ke dokter," ucapku sambil menyelipkan beberapa lembar uang berwarna merah di tangannya."Ayo, Mas. Kita balik, biar Lilis bisa istirahat," ajakku pada Mas Anam yang masih terpaku melihat sikapku."Aku masih kangen dengan Mas Anam! Jadi dia tak boleh kemana-mana!" cegah Lilis setengah berteriak."Ya udah, kalau gitu aku pulang sendiri ya, Mas. Kasihan Lilis masih kangen dengan kakaknya yang ganteng dan baik hati ini," ujarku."Gini aja. Lis, mas mau nganter
Tanpa menyahut lagi, Mas Anam melangkah ke kamar mandi. Sementara aku yang masih kesal hanya bisa memukul bantal sebagai pelampiasan.Setelah menumpahkan emosi pada benda empuk itu, perasaan ini sedikit merasa puas, walaupun napasku masih ngos-ngosan. Tak hanya merasa lega, aku juga merasa capek sekali, keringat juga sudah membasahi kening ini. Ah, lumayan olahraga.Sebelum emosi datang lagi, aku memilih untuk beranjak dari kamar menuju dapur untuk menyeduh kopi, menghirup aromanya yang menurutku bisa memenangkan pikiran yang sedang kalut."Aku mau balik ke rumah Lilis. Mungkin pulangnya malam, jadi kamu gak usah nungguin," ucap Mas Anam tiba-tiba. Aku menoleh sekilas, lelakiku itu memang terlihat tampan, apalagi sehabis mandi seperti saat ini. Alis yang tebal, hidung yang mancung serta mempunyai rahang yang kokoh ditambah tatapan matanya yang tajam. Sungguh pesona bagi wanita.Aku tak menjawab, kembali asyik menikmati aroma kopi yang dibawa oleh kepulan asapnya."Wid?" Terdengar lan
Pintu sedang dibuka dari luar ketika aku hendak meraih ganggangnya. Mas Anam menelan ludah saat mata kami beradu. Rupanya dia tidak pulang sendiri, ada Mbak Sri, Lilis juga Erna, ikut bersamanya."Ada apa ini?" tanyaku terkejut bercampur heran. Jujur aku kaget dengan kedatangan mereka. Bahkan berbagai pikiran buruk sudah berseliweran di kepala."Mau mampir saja, Wid. Ada yang kangen soalnya, biasalah CLBK. Hahaha," sahut Mbak Sri. Entah apanya yang lucu sehingga dia bisa tertawa bahagia seperti itu.Aku langsung bisa menangkap ke arah mana Mbak Sri berbicara. Kini dia semakin berani bahkan terang-terangan berkata demikian di depanku dan Mas Anam.Aku melirik kepada lelakiku, berharap dia menyangkal. Namun, dia hanya tersenyum kikuk, sambil mengusap tengkuk. Aku berdecak melihatnya yang tak bisa berkutik dihadapan kakaknya. Apa benar cinta mereka belum kelar?"Oh gitu? Ya udah silahkan ngobrol-ngobrol. Aku mau berangkat kerja dulu," sahutku sambil menutup pintu lalu menguncinya. Tak su
"Kamu—""Lekas pergi, Mbak. Sebelum aku semakin hilang kendali," tegasnya.Kini tinggal kami berdua. Aku memilih acuh, rasanya malas untuk mulai berkata."Maafkan aku, Wid," ucapnya sambil membuka pintu. Sementara tangan yang satunya tetap menggenggam tanganku, pelan dia menarik diri ini masuk.Setelah pintu kembali tertutup lelaki itu segera menarik tubuhku, mengurungnya dalam dekapan."Untuk apa minta maaf? Yang penting kan saudaramu bahagia," sahutku sambil berusaha mengurai pelukannya.Mendengar ucapanku Mas Anam berdecak lalu menghela napas kemudian semakin mempererat dekapannya."Udah ah! Aku udah telat, nanti Baba Ong marah lagi. Awas!" seruku sambil berusaha mendorong dadanya."Hari ini bolos aja," titahnya sambil terus saja mendekap diri ini."Enak aja, ogah!" sahutku yang terus berusaha melepaskan diri."Ini perintah suamimu, Wid." Suaranya terdengar lembut, tetapi tetap saja kalimat itu menjengkelkan."Enak ya jadi suami, tinggal perintah ini, perintah itu. Kalau gak nurut,
"Widya!" bentak Mas Anam. Sepertinya lelaki itu tidak suka aku bicara seperti itu."Apa?" sahutku yang sudah tersulut emosi karena teriakannya tadi."Kamu jangan bilang seperti itu, aku gak suka," sahutnya. Tatapan matanya tajam menghujam manik mataku."Lah terus kenapa tadi bisa bareng-bareng gitu sama mantanmu? Kamu pikir aku suka?" bantahku tak kala sengit."Tadi itu kita gak bareng, Widya! Mereka datang setelah aku baru sampai. Mereka juga gak tahu kalau semalam aku gak pulang. Dan soal perkataan Mbak Sri tadi, gak usah kamu masukkan dalam hati," pesannya. Kali ini nada bicaranya sudah mulai turun."Widya!" bentak Mas Anam, mungkin dia tidak suka aku bicara seperti itu."Apa?" sahutku yang sudah tersulut emosi karena teriakannya tadi."Kamu jangan bilang seperti itu, aku gak suka," sahutnya."Lah terus kenapa tadi bisa bareng-bareng gitu sama mantanmu? Kamu pikir aku suka?""Tadi itu kita gak bareng, Widya! Mereka datang setelah aku baru sampai. Mereka juga gak tahu kalau semalam
Suasana kontrakan itu nampak ramai. Jeritan dan teriakan saling bersahutan, ditambah juga dengan riuh suara orang yang sesekali bersorak."Dasar pelakor!""Auh! Lepas!""Wanita sundal! Murahan!""Aaa!""Kurang ajar!""Auh!"Aku dan Mas Anam mencoba masuk dalam kerumunan, akhirnya dengan susah payah kami bisa sampai di depan kerumunan. Terlihat Mbak Sri dan seorang wanita saling jambak dan saling tindih."Astaghfirullah!" pekik kami berdua secara bersamaan."Hentikan!" Seorang lelaki berteriak sambil menerobos kerumunan dari arah berlawanan dengan kami. Lelaki itu segera memeluk wanita yang berduel dengan Mbak Sri. Sedangkan aku dan Mas Anam segera membantu Mbak Sri yang masih terkapar.Tanpa banyak bicara, lelaki itu langsung membopong wanita tadi pergi."Darah, Mas!" pekik Lilis sambil menunjuk kaki kakaknya.Kami serentak menengok arah yang ditunjuk oleh Lilis, dan itu membuat kami semua tersentak. Cairan merah itu mengalir deras dari sela-sela kedua kaki Mbak Sri."Mas, kita bawa M