Share

Malam Kelabu

Malam Kelabu 

  BAB 2

Malam ini begitu sepi dan dingin, mungkin karena sejam yang lalu bumi ini usai diguyur hujan, begitu adem dan sejuk. Akan tetapi, tidak dengan hatiku. Begitu pun dengan pipiku yang masih terasa perih dan sakit akibat bekas gambar tangannya kemarin malam.

 

Hari sudah menunjukkan malam, jarum jam sudah bergerak ke angka 12. Tetapi suamiku belum menampakkan batang hidungnya, kabar pun tak ada. Tidak seperti biasanya, kalau terlambat pulang dengan alasan apa pun pasti berkabar.

 

“Ke mana kamu, Mas, kenapa belum pulang?” lirihku seraya menantinya dengan penuh kecemasan. Meskipun akhir-akhir ini dia membuatku sedih dan kecewa karena perlakuannya, tapi dia masih suamiku, ayah dari anakku yang masih aku hormati.

 

Kuambil telepon genggam yang ada di sebelah televisi, kucari nama Mas Revan di deretan kontak, lalu kupencet tombol hijau untuk memanggil. Berkali-kali kupencet tombol memanggil, tetapi panggilanku dia abaikan hingga lelah jari ini, lelah pula hati ini. Entah dia tidak dengar atau tidak mau dengar panggilan telepon dariku.

 

Tidak lama kemudian, gadgetku berbunyi pertanda ada pesan masuk. Aku bergegas membukanya dan ternyata itu darinya.

 

[jangan menunggu Mas, malam ini Mas tidak pulang]

Aku duduk terpaku menatap layar datar persegi, mencerna kata demi kata. Lalu muncul di otakku asumsi negatif.

[Kenapa, Mas, apa lembur? Terus Mas tidur di mana?]

Cecarku dengan hati resah dan gelisah menanti balasannya.

[Jangan lupa kunci semua pintu dan jendela, terus tidur]

“Kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku, Mas, apa kamu sedang membohongiku?” gumamku seraya terisak, tangisku pecah seketika, butiran-butiran kristal jatuh tak tertahankan. Aku tidak sabar lagi, langsung aku menelefonnya untuk meminta penjelasannya. Namun, teleponnya sudah di nonaktifkan selepas kami berkirim pesan.

 

Aku duduk di tepi ranjang, di sebelah anakku-Manaf yang sudah terlelap. Menatap wajahnya, begitu syahdu, dan polos. Anak sekecil ini belum mengerti masalah orang dewasa.

 

Aku sedih kalau harus bertengkar setiap hari dengan ayahnya, aku takut tumbuh kembangnya terganggu karena seringnya mendengar dan melihat orang tuanya bertengkar.

 

Aku menciumi Manaf, kumerasa bersalah karena belum bisa jadi orang tua yang baik untuknya. Kucoba memejamkan mata ini, mencoba tuk melupakan masalah yang mendera. Namun, tetap tidak bisa.

 

Kucoba salat Sunah sebelum tidur, memohon dan meminta kepada Sang Maha Kuasa agar diberikan kekuatan dan ketabahan dalam menjalani kehidupan yang tak mudah ini.

 

Selepas berdoa, kulanjutkan membaca dan memahami isi Al-Quran. Disalah satu ayatnya menyebutkan bahwa, “ Allah tidak akan menguji hambanya melebihi batas kemampuannya.” Dengan berpedoman pada ayat ini, hatiku tenang dan yakin kalau aku bisa dan sanggup melewati ujian-ujian yang sudah Allah gariskan.

 

Mentari pagi sudah keluar dari peraduannya dari arah timur. Memancarkan sinarnya hingga menembus tirai jendela. Tak terasa jam sudah menunjuk di angka 06.00.

 

Sayup-sayup kudengar ketukan pintu dan suara orang memanggil. Kubergegas melihatnya, siapa orang yang sepagi ini bertamu?

 

Kuintip dari tirai jendela memastikan siapa yang datang, takutnya ada orang yang tak kukenal dan berniat jahat. Tapi ternyata itu Mas Revan, bergegas aku membukanya.

 

“Lama banget bukanya! Ngapain aja, sih, kamu!” sentaknya.

“Ma_maaf, Mas, aku baru bangun soalnya semalam tak bisa tidur,” jawabku gugup sambil mengucek mataku yang masih sayup mencoba melebarkan pandangan.

 

“Mas mau mandi dulu terus mau langsung ke kantor,” jawabnya seraya melangkah melewatiku.

Mataku membola seketika, tatapanku langsung tertuju pada tanda merah di leher suamiku. Bukan cuma satu, tapi sudah hampir memenuhi lehernya. Karena lelakiku ini berkulit putih, jadi terlihat sangat jelas.

 

Pulang pagi, dengan rambut acak-acakan, dan juga ada tanda merah di lehernya. Istri mana yang tidak curiga melihat pemandangan menjijikkan seperti ini.

 

Meskipun aku marah dan kecewa padanya, tapi aku masih tetap mau melayaninya. Kubuatkan sarapan seadanya, tak lupa aku buatkan susu hangat kesukaannya.

 

“Mas, sarapan dulu! Ini aku sudah buatkan,”  ajakku sambil menyendokkan nasi serta lauknya dan kusodorkan ke arahnya.

“Iya, terima kasih,” jawabnya dengan sedikit senyum yang dipaksakan.

“Mas, semalam tidur di mana?” tanyaku penasaran sambil netraku masih terus tertuju pada lehernya.

“Mas tidur di kantor,” kelitnya sambil menyuapkan makanan ke mulutnya.

 

“Mas, itu leher pada merah, kenapa?” tanyaku pura-pura tidak paham.

“Oh, ini ... , anu ... , digigit nyamuk. Iya di kantor banyak nyamuk, makanya Mas jadi gatal-gatal,”  imbuhnya seraya menggaruk-garuk lehernya yang tak gatal.

 

Mas, Mas, kamu pikir aku anak culun yang tidak bisa bedakan mana gigitan nyamuk, mana gigitan perempuan jalang, batinku kesel dengan mulut membentuk huruf O.

“Mas berangkat dulu ya, hati-hati di rumah, jaga Manaf baik-baik,” pamitnya sambil menyambar tas kerjanya di atas nakas.

 

“Iya, Mas,” balasku singkat.

“Mas buru- buru soalnya ada rapat pagi ini, tidak boleh terlambat.” Sambil melangkah pergi tanpa ada senyum di wajahnya.

 

Kuantar suamiku sampai depan pintu hingga mobil bercat merah yang dikemudikannya hilang dari pandanganku.

 

Seperti hari-hari biasanya, aku di rumah berdua bersama Manaf-anakku. Sebelum anakku yang semakin lincah bangun, kusibukkan diri beres-beres rumah. Setiap hari rumah dibuat berantakkan oleh tingkahnya.

 

Di rumah, aku tidak memakai jasa ART karena lelaki pemarah itu melarangnya. Katanya, kalau pakai jasa ART nanti aku banyak bengongnya, kurang geraklah, biar tidak bosanlah, kelitnya.

 

Setelah anakku bangun, lalu memandikannya dan menyuapinya. Setelah semua selesai, tinggal santai sambil mengawasi anakku yang semakin aktif.

 

Samar-samar kudengar suara HP-ku bunyi, pertanda ada panggilan masuk. Lalu kuambil benda pipih itu di atas nakas, kulihat nama pemanggilnya ternyata dari kantor suamiku. Lekas kugeser tombol hijau.

“Halo, selamat pagi, Bu,” sapanya dengan suara yang sopan.

“Pagi, Pak,” balasku cepat.

“Maaf, Bu, apa Pak Revan sakit?” tanyanya tiba-tiba.

“Tidak, Pak, memangnya kenapa?” sambungku lagi.

“Pak Revan kenapa tidak masuk kantor?” tanyanya lagi membuatku bergeming.

Deg! Tersentak aku dibuatnya, bingung dan bertanya-tanya ke mana suamiku pergi?

“Pak Revan sudah berangkat ke kantor sejak pagi Pak, katanya ada rapat jam 08.00 pagi, sampai buru-buru,” terangku dengan pikiran yang kalut.

“Pak Revan tidak ada di kantor sejak pagi, dan juga tidak ada rapat pagi ini,” timpalnya lagi.

“Ya sudah nanti kalau Pak Revan telepon tolong suruh langsung ke kantor!” serunya dengan suara yang tegas.

“Iya, Pak, baik nanti saya sampaikan,” ucapku kemudian.

 

Panggilan telepon berakhir, tapi tidak dengan pikiranku yang masih menerka-nerka ke mana dan dengan siapa lelaki pemarah itu pergi?

 

Rasanya ingin sekali berteriak sekencang mungkin agar beban pikiranku berkurang, sakit hati ini dibohongi terus oleh orang yang selama ini kusayang dan kupuja.

 

“Teganya dirimu, Mas, terus saja kamu membohongi dan menghianati kepercayaanku selama ini, kalau kamu memang tak cinta lagi padaku, katakan saja terus terang, Mas!” gerutuku.

 

“Apa aku telefon saja, ya, biar jelas ke mana dia pergi!” gumamku sambil jariku mencari nomor kontaknya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Iftiati Maisyaroh
lanjuuut... suka deeh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status