Penyelidikan 1
"Bang Faiz!" teriakku. "Abang mau kemana?" Bang Faiz menghentikan langkahnya lalu berbalik melihat ke arahku."Ini … anu …." Bang Faiz menggaruk kepalanya yang tak gatal."Anu apa, Bang?" tanyaku heran."Abang mau bantu Chintya membawakan tasnya. Lihatlah, dia kerepotan!" jawab Bang Faiz, semakin menambah kecurigaanku. Harusnya dia bisa menelepon Mbak Surti untuk membantunya, kan?"Tak perlu repot, Bang. Biar aku saja yang membantunya," aku berlari melewati Bang Faiz, lalu membantu Chintya membawakan tasnya.Aku tak boleh memberi kesempatan pada Bang Faiz dan Chintya berduaan. Sekuat-kuatnya iman Bang Faiz, kalau terus digoda, aku takut dia luluh juga.Semakin kuat iman seseorang, godaan yang datang pun akan semakin kuat pula. Bukankah, semakin tinggi pohon semakin kencang pula angin yang menerpanya?Setelah sampai di kamar tempat Chintya menginap. Seorang wanita paruh baya langsung menyambut daPenyelidikan 2Air mata seketika membasahi kedua pipi ini. Perih rasanya. Sekian lama merajut kasih, membina mahligai rumah tangga. Haruskah berakhir karena hadirnya orang ketiga? Aku tak rela, sungguh ini tak adil bagiku. Tega Abang mengkhianati perkawinan kita.*** Malam menjelang. Tepat jam sepuluh malam, Mama, Maya dan Kak Intan sekeluarga tiba di rumah. "Assalamualaikum! Ratna ... Ratna! Buka pintu!" teriak Mama sembari mengetuk-ngetuk pintu dengan keras. Aku buru-buru membuka mukena, karena baru saja selesai melaksanakan shalat Isya dan mengadukan nasibku pada Sang Khaliq.Aku berlari menuju pintu lalu memutar pegangan pintu. Pintu terbuka. "Lama amat sih, Ratna! Ngapain aja di dalam? Molor? Jam segini udah tidur.' Ketus mama"Ratna baru selesai shalat, Ma," ucapku pelan"Alaaah ... alasan!" Ucap Kak Intan menimpali. Matanya membulat menatapku."Sudah ayo masuk! Mama capek, mau istirahat!
Fakta yang menyakitkanKucoba menetralisir gemuruh di dalam dada ini. Mungkin saja lelaki yang menyahut itu adalah suaminya. Pintu megah dan berukuran tinggi itu terbuka.Jantungku seperti berhenti berdetak. Darahku rasanya berhenti mengalir. Jantungku tak mampu lagi memompa oksigen ke seluruh aliran darah. Tubuhku terasa lemas. Aku hampir tak mampu berdiri, menyaksikan pemandangan di hadapanku sekarang. Bang Faiz berdiri tegak menyambut kedatangan kami. Matanya membulat menatap kami. "Ra—Ratna!? ucapnya pelan."Bang Faiz!?" Bibirku bergetar mengucapkan namanya. Seketika netra ini dipenuhi butiran-butiran bening yang siap meluncur dengan bebas.Kutekan berkali dada ini, rasanya sesak sekali. Tenggorokanku seperti tercekat. Aku tak mampu berkata-kata lagi."Siapa yang datang, Bang?" Tiba-tiba seorang wanita muncul di belakang tubuh Bang Faiz. "Kok nggak disuruh ma—," kata-katanya terputus begitu melihat kehadiranku.
PertengkaranTerakhir dia datang kemarin bersama anaknya. Ternyata ... anak itu anak hasil perselingkuhannya dengan Bang Faiz. Ya, Allah bodohnya aku. Tapi, mengapa hati ini begitu tersentuh ketika melihat anak itu menangis, bahkan aku merasakan rindu yang teramat padanya dan ingin selalu melihat dan memeluknya. Mungkin karena anak itu seumuran dengan anakku. Semoga kelak anakku bisa kembali ke pelukanku."Ayok, Rat, turun!" Ajakan Vera membuyarkan lamunanku. "Iy—iya, Ver."Kami bergegas turun dari taxi, lalu masuk ke dalam kos-kosan Vera. Kami mengemas barang-barang yang akan kami bawa ke rumah Vera. Setelah semuanya beres, aku melaksanakan salat maghrib sejenak, karena waktu salat telah tiba. Vera sedang libur, dia sedang datang bulan.Setelah dirasa semua baramg masuk ke dalam tas. kami segera beranjak meninggalkan kos-kosan itu dan menuju terminal bus.Sekitar 15 menit menunggu, bus yang akan kami tumpangi tiba di terminal. Kami segera naik ke dalam bu
Menghindar dari Bang FaizMengapa air mata ini mengalir lagi? Sudah seharian aku menangis, namun, setiap aku mengingat Bang Faiz, bulir-bulir bening itu semakin deras dan semakin banyak yang keluar. Beginikah rasanya dikhianati? Beginikah rasanya dibohongi? Sakit sekali ya, Allah. Rasanya, bagaikan luka yang disiram oleh air cuka. Ya, Bang faiz telah menyiramkan cuka itu ke atas lukaku. Luka itu bertambah dalam dan perih. Sampai subuh menjelang, semenit pun mata ini tak mau terpejam. Kejadian siang tadi terus menari-nari di pelupuk mata ini. Entah bagaimana aku dapat menyembuhkan luka ini. Luka kehilangan bayiku belum lagi sembuh, kini, hati ini tergores lagi oleh Bang Faiz. Kutarik napas dalam-dalam lalu kukeluarkan perlahan, semoga dengan begitu sesak di dada ini semakin berkurang. Kulirik Vera di sebelahku, dia masih tertidur pulas. Azan subuh sudah berkumandang. Aku bergegas beranjak dari atas ranjang lalu menuju kamar mandi untuk mandi
PertemuanAku dan Vera menuruti lata-kata Bapak. Kami beranjak menuju kamarku. Tak tau sejak kapan aku tertidur, yang jelas saat kulirik jam di dinding kamarku sudah menunjuk di angka 3. Vera pun tak ada di dalam kamar. Apa dia sudah pulang tanpa pamit padaku?Aku beringsut dari tempat tidur, lalu beranjak ke luar kamar."Masih di sini rupanya, kukira sudah pulang," ucapku ketika melihat Vera sedang duduk menonton televisi bersama Ibu."Belumlah! Masak aku pulang tanpa pamit padamu," ucap Vera sembari melemparkan senyum."Makan dulu, Rat. Tadi belum makan, kan? Ajak Vera sekalian, bentar lagi dia mau pulang!" Mama menoleh pada Vera."Yok, Ver, makan dulu," ajakku sembari menarik tangan Vera.Selesai makan, Vera langsung pamit untuk pulang ke rumahnya."Hati-hati di jalan ya, Ver. Maaf, sudah terlalu merepotkanmu,"ucapku sendu."It's Ok! Kalau ada apa-apa langsung telepon aku, ya! Kapan pun aku siap membantumu." Aku tersenyum. Vera naik ke mobilnya
POV. FAIZ Namaku Faiz, anak Kedua dari tiga bersaudara. Sejak tujuh tahun yang lalu aku dan kedua saudariku diasuh oleh Mama, karena Papa meninggal dunia akibat serangan jantung.Setelah menamatkan kuliah, aku tak melamar pekerjaan kemana-mana, karena ada usaha keluarga yang kami jalankan bersama. Usaha yang terbilamg cukup sukses dan menjadi penyokong ekonomi keluarga kami.Aku merupakan lelaki yang sangat beruntung karena dapat menikahi wanita yang sangat kusayangi dan mendambakannya menjadi ibu dari anak-anakku kelak. Ratna, bunga desa yang menjadi rebutan banyak pria, berhasil kusunting menjadi istriku.Namun, kehidupan rumah tangga kami tak berjalan sesuai yang kami harapkan. Mama dan kedua saudariku tak menyukai kehadiran Ratna sebagai istriku. Mereka selalu memintaku untuk menceraikannya dan menikah dengan Chintya, anak sahabat Kak Intan yang cukup kaya.Chintya bahkan sering datang ke rumah atas permintaan Kak Intan. Dia ser
BerdamaiBaiklah, aku izinkan Abang memberi penjelasan. Tapi setelah itu, aku minta Abang segera mengurus perceraian kita," tegasku pada Bang Faiz. Bang Faiz mengangguk dan mulai bercerita.Mata Bang Faiz tampak berkaca-kaca. Dia menunduk sembari menyapu kedua matanya yang basah oleh air mata."Chintya mengancam, kalau Abang menceraikannya, dia akan membawa Keysha pergi jauh dari Abang. Abang tak sanggup kalau harus berpisah dengan Keysha, Rat." Bang Faiz menatap sendu."Kalau begitu sudah jelas, kan, Bang? Abang tak perlu bersusah hati memikirkan aku. Abang audah cukup bahagia bersama Chintya. Kalian sudah memiliki seorang putri yang cantik. Tinggalkan aku, lepaskan aku. Aku pun tak akan sanggup kalau harus berbagi suami," tegasku. "Sekali lagi Abang mohon, maafkan Abang, Rat. Tolong mengerti keadaan Abang. Semua ini bukan kemauan Abang. Semuanya terjadi begitu saja, di luar kesadarannya Abang," tambahnya lagi."Sudahlah, Bang.
Memulai UsahaSekarang aku harus mempersiapkan hati dan perasaanku untuk menghadapi cibiran-cibiran dari Mama, Maya dan Kak Intan. Mulai sekarang, aku harus lebih pintar menghadapi mereka. Aku yakin, sepulangnya aku nanti ke rumah itu, Mama dan Kak Intan akan semakin gencar melakukan hal-hal yang dapat memisahkan aku dengan Bang Faiz."Assalammualaikum" ucap Bang Faiz di depan pintu. Kami sudah sampai di depan rumah Bang Faiz sekarang."Waalaikumsalam," sahut Kak Intan dari dalam rumah. Pintu rumah pun terbuka lebar."Pulang juga kau rupanya. Kupikir kau sudah tak akan pulang ke rumah ini lagi!" ucap Kak Intan ketus."Kakak ngomong apa? Tolong, bersikap sopan pada Ratna, Kak! Dia istriku, Adik kakak juga," ucap Bang Faiz membelaku."Sopan? Mau sopan gimana lagi? Kakak harus menyembahnya? Silahkan masuk tuan putri! Begitu maksudnya? Faiz, bagi kakak, adik ipar yang terbaik itu adalah Chintya. Dia cantik, kaya r