Share

Bab 6

Motor Albany berhenti di depan rumah yang kecil dan sederhana. Rumah ini pun letaknya agak jauh dari jalan raya. Masuk ke jalan perkampunganyang masih rimbun dengan pepohonan. Walaupun kecil, tapi rumahnya terlihat bersih dan asri. Di kiri kanan dan belakangnya terdapat lahan yang dimanfaatkan untuk berkebun.

Dia memarkirkan motornya di sebelah kiri rumah itu yang terlihat kosong. Kalau di bagian kanan ada tiang yang terbentang tali-tali jemuran.

Aku mengikuti Albany, walaupun dia sama sekali tidak ada basa-basi mengajakku.

“Assalamualaikum,” ucapnya sambil memutar gagang pintu sederhana. Aku memindai sekeliling. Sangat jauh berbeda dengan kondisi rumahku, apalagi jika dibandingkan dengan rumah Rico. Bagaikan langit dan bumi.

“Waalaikumsalam.” Terdengar jawaban dari dalam. Sepertinya seorang wanita yang umurnya tak jauh dariku.

“Eh, Aa udah pulang. Ibu dari kemarin  nanyain Aa terus,” katanya saat menyambut kedatangan kami. Dia melirik ke arahku dengan tatapan penuh tanya.

Aa, dia memanggilnya Aa. Sebuah sebutan untuk seorang kakak laki-laki. Apa perempuan ini adalah adiknya Al?

“Oh, iya. Maaf. Saya kemarin ada sedikit urusan. Ibu di kamarnya?” tanya Al.

“Iya, barusan Ibu ke kamar lagi abis berjemur tadi.”

“Ya sudah, saya ke kamarnya saja. Makasih ya, Ni.” Al tampak tersenyum pada gadis itu sebelum melangkah ke sebuah kamar.

“Teteh ini siapanya Aa?” tanya gadis itu padaku.

“Saya … saya istrinya,” jawabku lirih. Senyuman di wajah  gadis itu seketika menghilang. Dia membuang muka sekilas sebelum kembali berbicara.

“Oh, istrinya Aa. Kenalin, saya Ani. Tetanngganya Aa yang suka dimintain Aa untuk ngerawat Ibu Ningsih. Kalau gitu saya pamit dulu ya, mau nyuci,” katanya sopan.

Entah kenapa, aku sepertinya melihat mata gadis itu sedikit berkaca-kaca.

“Iya, Mbak. Makasih, ya,” jawabku sebelum gadis bernama Ani itu berlalu dari hadapanku.

Apa yang harus aku lakukan sekarang? Menunggu saja atau ikut melihat ibu mertuaku?sepertinya bukan sebuah kesalahan jika aku menyapa ibu mertuaku itu untuk pertama kalinya.

Aku akhirnya memutuskan untuk mengikuti ke mana Albany tadi. Sebuah kamar dengan dinding bercat putih yang sudah usang. Lantai rumah ini pun terbuat dari semen yang dibuat llicin. Walaupun begitu, rumah ini sangat bersih.

Aku mengintip mereka dari pintu yang yang separuh terbuka. Berdiri mematung tanpa berani ikut masuk ke dalam sana.

“Siapa dia?” tanya wanita paruh baya itu menatapku. Albany menoleh.

“Dia … yang nanti akan menjaga Ibu di sini. Namanya Za.”

“Za? Yang akan jagain Ibu? Bukannya sudah ada Ani?” tanya wanita yang menurut taksiranku tidak jauh beda drai Tante Rita. Hanya saja beban hidup yang membuatnya terlihat lebih tua.

“Mmh, Ani … kasihan dia kalau AL bikin repot terus, Bu. Mulai sekarang Za yang akan mengurus Ibu juga Al. Ibu nggak keberatan ‘kan?” tanyanya lembut. Berbeda sekali dengan saat dia berbicara pada sang ayah.

Wanita berdaster lusuh itu mengangguk dan tersenyum. Dia juga kemudian melambaikan tangannya padaku. Sebelum masuk, aku melilrik pada Albany. Dia menatapku sekilas tanpa menjawab. Mungkin dia menyetujui keinginan ibunya itu agar aku ikut masuk ke sana.

Aku membalas senyuman wanita berjilbab kaus itu seraya menghampirinya.

“Assalamualaikum, Bu.” Aku meraih tangan keriput itu dan menciumnya takzim.

“Kamu cantik sekali. Siapa tadi namamu, Nak? Za …?”

“Namaku Zanna Zhafira. Ibu bisa panggil aku, Za saja,” ucapku tak kalah lembut.

Dari dekat, aku bisa melihat sisa-sisa kecantikan di wajahnya yang kini keriput. Tentu saja, Om Hendro sampai tergila-gila pada wanita ini dulu. Begitu yang aku dengar dari Tante Rita. Bahkan memang, walaupun Tante Rita dengan kulitnya yang masih mulus dan terawat, tetapi Bu Ningsih masih jauh terlihat cantik.

“Za, kamu pacarnya Al?” tanyanya sambil tersenyum. “Atau calon istri?”

“Bukan, Bu. Dia … hanya orang yang Al bayar untuk menjaga Ibu,” jawab Albany yang seketika membuat hatiku teriris. Aku melirik ke arahnya dengan rasa kecewa.

“Oh, bukan, toh. Ibu kira kamu ini calon istrinya Al. padahal Ibu udah seneng kalau seandainya dia itu calon istri kamu, Al,” katanya melirik pada sang putra. Albany melengos.

Kenapa dia tidak mau mengakuiku sebagai istrinya? Masih menjadi teka-teki. Tapi akan aku temukan alasannya nanti.

**

“Mas, aku tidur di mana?” tanyaku saat kami sudah berada di ruang tamu. Sementara Bu Ningsih sedang beristirahat di kamarnya.

Rumah ini kecil, jadi aku pastikan di sini tidak ada banyak kamar.

“Kamu boleh tidur di kamarku. Bawalah barang-barangmu ke sana,” katanya datar. Paling tidak sekarang dia tidak ketus lagi.

“Lalu, kamu tidur di mana?” tanyaku khawatir.

“Tidak usah kamu pikirkan. Aku mau berangkat kerja dulu. sudah terlambat.” Dia berpamitan, lalu meraih jaket kulitnya yang tersampir di kursi.

“Lalu, nanti Ibu makan apa? Aku belum tau kebiasaan Ibu. Aku masih bingung,” ujarku menahan langkahnya yang sudah di ambang pintu.

Dia menolehkan kepalanya. “Aku nanti pulang dulu saat makan siang dan bawakan makanan untuk kalian. Tidak usah takut,” ucapnya dan kembali melanjutkan langkah.

Aku menghela napas mengiringi kepergiannya. Aku bahkan belum tahu, di mana Albany bekerja. Terlalu banyak ketidaktahuanku tentang dirinya.

“Al,” desahku mencoba mengurai kegundahan hati.

Aku menatap setiap sudut rumah ini. Dari sini aku bisa membayangkan sulitnya kehidupan yang telah dijalani Al semenjak kecil. Sangat pantas jika dia membenci ayah kandung yang telah menelantarkan dia dan juga ibunya. Lalu, di detik-detik terakhir Om Hendro datang dan memintanya untuk menanggung dosa yang seharusnya hanya  Rico dan aku yang menanggungnya.

Hatiku kembali teriris.

Bagaimana tidak Albany begitu benci pada Om Hendro, Tante Rita dan juga … aku. Dia hanya dilibatkan pada saat kesulitan saja. Lalu, di mana mereka di saat Albany menjalani hidup susah tanpa seorang ayah.

Tubuhku luruh dan terisak di lantai dingin rumah ini.

“Za ….” Suara itu terdengar merdu memanggil namaku. Aku segera bangkit dan menoleh ke sumber suara. Ternyata Bu Ningsih keluar dari kamarnya.

“Ibu, ada yang diinginkan?” tanyaku segera menghampirinya. Dia menggeleng.

“Ibu hanya ingin ke kamar mandi,” ucapnya sambil tersenyum.

“Kamu kenapa seperti sedang menangis?” tanyanya. Aku menggeleng cepat dan menghapus air mata yang masih ada dengan punggung tangan.

“Ayo, sini Za antar ya, Bu. Takutnya Ibu jatuh,” kataku meraih lengan kurus itu dan menggamitnya.

Dia mengangguk dan mulai melangkah dengan ringkih.

“Apa Ibu sakit?” tanyaku saat kami menuju ke kamar Bu Ningsih lagi. Dia hanya tertawa kecil.

“Sini duduk, Sayang. Ibu mau cerita masa kecilnya Albany sama kamu,” katanya.

Aku menuruti permintaannya. Duduk di kursi yang berada di bawah jendela yang terbuka.

“Anak itu sangat kuat dan tangguh. Dia bahkan tidak pernah pedulikan dengan cemoohan orang-orang saat menghinanya anak haram. Dia bahkan berjuang mati-matian saat Ibu seperti orang gila.” Ucapan Bu Ningsih menggantung.

Seperti orang gila, katanya? Apakah ini yang sempat dibilang oleh Al pada Tante Rita?

“Ibu,” potongku. “Kenapa Ibu mau menceritakan ini padaku yang bukan siapa-siapa?” tanyaku penasaran. Dia malah tersenyum.

“Kamu pikir Ibu akan percaya saat Al bilang kalau kamu hanya seorang wanita suruhannya? Dia itu anakku. Ibu tahu bagaimana dia. Dia tidak akan pernah mau membawa seorang perempuan ke rumah ini, kalau bukan siapa-siapa.”

Benarkah? Apakah benar Bu Ningsih bisa membacanya?

“Apakah kalian sudah menikah?” tanyanya kemudian. Aku hanya bisa menunduk dalam.

“Bagaimana dengan Ani?” aku mengalihkan pembicaraan.

Bu Ningsih kembali tertawa kecil. “Kamu anak nakal. Ditanya malah balik bertanya. Ani itu berbeda. Dia itu sudah Ibu anggap anak sendiri. Dia sudah sering membantu karena kami tetangga. Ya … walaupun kadang Ibu bisa melihat gelagat lain dari anak itu. Ani suka pada Al sejak lama.”

“Lalu, Al sendiri, bagaimana dengan dia?” potongku lagi. Bu Ningsih terkekeh.

“Al tipikal lelaki yang tidak mudah jatuh cinta. Sedari kecil dia hanya memikirkan Ibu, orang yang selalu menyusahkannya. Membawanya lahir ke dunia dan membuatnya terluka.”

Aku mendengarkan cerita Bu Ningsih dengan hati yang tak henti-hentinya seolah terhujam belati berkali-kali. Itu juga yang sedang aku lakukan padanya. Menyeretnya pada sebuah pernikahan yang akan membuatnya terluka.

Aku meremas jemari keriput itu dan menciumnya.

Bagaimana aku akan mengembalikan kebahagiaan pada kalian?jeritkku dalam hati.

Tidak semata-mata Tuhan menakdirkan ini untukku, jika Dia tak memberikan hikmah di balik semua ini.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Zabdan N Iren
ya Tuhan ...menyayat sekali ceritanya .semoga za bisa memberikan kebahagiaan buat keluarga ini terutama Al n ibu nya ..
goodnovel comment avatar
Yenika Koesrini
makin suka sama Albani
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status