Motor Albany berhenti di depan rumah yang kecil dan sederhana. Rumah ini pun letaknya agak jauh dari jalan raya. Masuk ke jalan perkampunganyang masih rimbun dengan pepohonan. Walaupun kecil, tapi rumahnya terlihat bersih dan asri. Di kiri kanan dan belakangnya terdapat lahan yang dimanfaatkan untuk berkebun.
Dia memarkirkan motornya di sebelah kiri rumah itu yang terlihat kosong. Kalau di bagian kanan ada tiang yang terbentang tali-tali jemuran.
Aku mengikuti Albany, walaupun dia sama sekali tidak ada basa-basi mengajakku.
“Assalamualaikum,” ucapnya sambil memutar gagang pintu sederhana. Aku memindai sekeliling. Sangat jauh berbeda dengan kondisi rumahku, apalagi jika dibandingkan dengan rumah Rico. Bagaikan langit dan bumi.
“Waalaikumsalam.” Terdengar jawaban dari dalam. Sepertinya seorang wanita yang umurnya tak jauh dariku.
“Eh, Aa udah pulang. Ibu dari kemarin nanyain Aa terus,” katanya saat menyambut kedatangan kami. Dia melirik ke arahku dengan tatapan penuh tanya.
Aa, dia memanggilnya Aa. Sebuah sebutan untuk seorang kakak laki-laki. Apa perempuan ini adalah adiknya Al?
“Oh, iya. Maaf. Saya kemarin ada sedikit urusan. Ibu di kamarnya?” tanya Al.
“Iya, barusan Ibu ke kamar lagi abis berjemur tadi.”
“Ya sudah, saya ke kamarnya saja. Makasih ya, Ni.” Al tampak tersenyum pada gadis itu sebelum melangkah ke sebuah kamar.
“Teteh ini siapanya Aa?” tanya gadis itu padaku.
“Saya … saya istrinya,” jawabku lirih. Senyuman di wajah gadis itu seketika menghilang. Dia membuang muka sekilas sebelum kembali berbicara.
“Oh, istrinya Aa. Kenalin, saya Ani. Tetanngganya Aa yang suka dimintain Aa untuk ngerawat Ibu Ningsih. Kalau gitu saya pamit dulu ya, mau nyuci,” katanya sopan.
Entah kenapa, aku sepertinya melihat mata gadis itu sedikit berkaca-kaca.
“Iya, Mbak. Makasih, ya,” jawabku sebelum gadis bernama Ani itu berlalu dari hadapanku.
Apa yang harus aku lakukan sekarang? Menunggu saja atau ikut melihat ibu mertuaku?sepertinya bukan sebuah kesalahan jika aku menyapa ibu mertuaku itu untuk pertama kalinya.
Aku akhirnya memutuskan untuk mengikuti ke mana Albany tadi. Sebuah kamar dengan dinding bercat putih yang sudah usang. Lantai rumah ini pun terbuat dari semen yang dibuat llicin. Walaupun begitu, rumah ini sangat bersih.
Aku mengintip mereka dari pintu yang yang separuh terbuka. Berdiri mematung tanpa berani ikut masuk ke dalam sana.
“Siapa dia?” tanya wanita paruh baya itu menatapku. Albany menoleh.
“Dia … yang nanti akan menjaga Ibu di sini. Namanya Za.”
“Za? Yang akan jagain Ibu? Bukannya sudah ada Ani?” tanya wanita yang menurut taksiranku tidak jauh beda drai Tante Rita. Hanya saja beban hidup yang membuatnya terlihat lebih tua.
“Mmh, Ani … kasihan dia kalau AL bikin repot terus, Bu. Mulai sekarang Za yang akan mengurus Ibu juga Al. Ibu nggak keberatan ‘kan?” tanyanya lembut. Berbeda sekali dengan saat dia berbicara pada sang ayah.
Wanita berdaster lusuh itu mengangguk dan tersenyum. Dia juga kemudian melambaikan tangannya padaku. Sebelum masuk, aku melilrik pada Albany. Dia menatapku sekilas tanpa menjawab. Mungkin dia menyetujui keinginan ibunya itu agar aku ikut masuk ke sana.
Aku membalas senyuman wanita berjilbab kaus itu seraya menghampirinya.
“Assalamualaikum, Bu.” Aku meraih tangan keriput itu dan menciumnya takzim.
“Kamu cantik sekali. Siapa tadi namamu, Nak? Za …?”
“Namaku Zanna Zhafira. Ibu bisa panggil aku, Za saja,” ucapku tak kalah lembut.
Dari dekat, aku bisa melihat sisa-sisa kecantikan di wajahnya yang kini keriput. Tentu saja, Om Hendro sampai tergila-gila pada wanita ini dulu. Begitu yang aku dengar dari Tante Rita. Bahkan memang, walaupun Tante Rita dengan kulitnya yang masih mulus dan terawat, tetapi Bu Ningsih masih jauh terlihat cantik.
“Za, kamu pacarnya Al?” tanyanya sambil tersenyum. “Atau calon istri?”
“Bukan, Bu. Dia … hanya orang yang Al bayar untuk menjaga Ibu,” jawab Albany yang seketika membuat hatiku teriris. Aku melirik ke arahnya dengan rasa kecewa.
“Oh, bukan, toh. Ibu kira kamu ini calon istrinya Al. padahal Ibu udah seneng kalau seandainya dia itu calon istri kamu, Al,” katanya melirik pada sang putra. Albany melengos.
Kenapa dia tidak mau mengakuiku sebagai istrinya? Masih menjadi teka-teki. Tapi akan aku temukan alasannya nanti.
**
“Mas, aku tidur di mana?” tanyaku saat kami sudah berada di ruang tamu. Sementara Bu Ningsih sedang beristirahat di kamarnya.
Rumah ini kecil, jadi aku pastikan di sini tidak ada banyak kamar.
“Kamu boleh tidur di kamarku. Bawalah barang-barangmu ke sana,” katanya datar. Paling tidak sekarang dia tidak ketus lagi.
“Lalu, kamu tidur di mana?” tanyaku khawatir.
“Tidak usah kamu pikirkan. Aku mau berangkat kerja dulu. sudah terlambat.” Dia berpamitan, lalu meraih jaket kulitnya yang tersampir di kursi.
“Lalu, nanti Ibu makan apa? Aku belum tau kebiasaan Ibu. Aku masih bingung,” ujarku menahan langkahnya yang sudah di ambang pintu.
Dia menolehkan kepalanya. “Aku nanti pulang dulu saat makan siang dan bawakan makanan untuk kalian. Tidak usah takut,” ucapnya dan kembali melanjutkan langkah.
Aku menghela napas mengiringi kepergiannya. Aku bahkan belum tahu, di mana Albany bekerja. Terlalu banyak ketidaktahuanku tentang dirinya.
“Al,” desahku mencoba mengurai kegundahan hati.
Aku menatap setiap sudut rumah ini. Dari sini aku bisa membayangkan sulitnya kehidupan yang telah dijalani Al semenjak kecil. Sangat pantas jika dia membenci ayah kandung yang telah menelantarkan dia dan juga ibunya. Lalu, di detik-detik terakhir Om Hendro datang dan memintanya untuk menanggung dosa yang seharusnya hanya Rico dan aku yang menanggungnya.
Hatiku kembali teriris.
Bagaimana tidak Albany begitu benci pada Om Hendro, Tante Rita dan juga … aku. Dia hanya dilibatkan pada saat kesulitan saja. Lalu, di mana mereka di saat Albany menjalani hidup susah tanpa seorang ayah.
Tubuhku luruh dan terisak di lantai dingin rumah ini.
“Za ….” Suara itu terdengar merdu memanggil namaku. Aku segera bangkit dan menoleh ke sumber suara. Ternyata Bu Ningsih keluar dari kamarnya.
“Ibu, ada yang diinginkan?” tanyaku segera menghampirinya. Dia menggeleng.
“Ibu hanya ingin ke kamar mandi,” ucapnya sambil tersenyum.
“Kamu kenapa seperti sedang menangis?” tanyanya. Aku menggeleng cepat dan menghapus air mata yang masih ada dengan punggung tangan.
“Ayo, sini Za antar ya, Bu. Takutnya Ibu jatuh,” kataku meraih lengan kurus itu dan menggamitnya.
Dia mengangguk dan mulai melangkah dengan ringkih.
“Apa Ibu sakit?” tanyaku saat kami menuju ke kamar Bu Ningsih lagi. Dia hanya tertawa kecil.
“Sini duduk, Sayang. Ibu mau cerita masa kecilnya Albany sama kamu,” katanya.
Aku menuruti permintaannya. Duduk di kursi yang berada di bawah jendela yang terbuka.
“Anak itu sangat kuat dan tangguh. Dia bahkan tidak pernah pedulikan dengan cemoohan orang-orang saat menghinanya anak haram. Dia bahkan berjuang mati-matian saat Ibu seperti orang gila.” Ucapan Bu Ningsih menggantung.
Seperti orang gila, katanya? Apakah ini yang sempat dibilang oleh Al pada Tante Rita?
“Ibu,” potongku. “Kenapa Ibu mau menceritakan ini padaku yang bukan siapa-siapa?” tanyaku penasaran. Dia malah tersenyum.
“Kamu pikir Ibu akan percaya saat Al bilang kalau kamu hanya seorang wanita suruhannya? Dia itu anakku. Ibu tahu bagaimana dia. Dia tidak akan pernah mau membawa seorang perempuan ke rumah ini, kalau bukan siapa-siapa.”
Benarkah? Apakah benar Bu Ningsih bisa membacanya?
“Apakah kalian sudah menikah?” tanyanya kemudian. Aku hanya bisa menunduk dalam.
“Bagaimana dengan Ani?” aku mengalihkan pembicaraan.
Bu Ningsih kembali tertawa kecil. “Kamu anak nakal. Ditanya malah balik bertanya. Ani itu berbeda. Dia itu sudah Ibu anggap anak sendiri. Dia sudah sering membantu karena kami tetangga. Ya … walaupun kadang Ibu bisa melihat gelagat lain dari anak itu. Ani suka pada Al sejak lama.”
“Lalu, Al sendiri, bagaimana dengan dia?” potongku lagi. Bu Ningsih terkekeh.
“Al tipikal lelaki yang tidak mudah jatuh cinta. Sedari kecil dia hanya memikirkan Ibu, orang yang selalu menyusahkannya. Membawanya lahir ke dunia dan membuatnya terluka.”
Aku mendengarkan cerita Bu Ningsih dengan hati yang tak henti-hentinya seolah terhujam belati berkali-kali. Itu juga yang sedang aku lakukan padanya. Menyeretnya pada sebuah pernikahan yang akan membuatnya terluka.
Aku meremas jemari keriput itu dan menciumnya.
Bagaimana aku akan mengembalikan kebahagiaan pada kalian?jeritkku dalam hati.
Tidak semata-mata Tuhan menakdirkan ini untukku, jika Dia tak memberikan hikmah di balik semua ini.
“Apa ada yang ingin Ibu makan untuk siang nanti? Biar Za belikan,” tawarku.Bu Ningsih malah menggeleng.“Ibu bisa makan bubur yang tadi Ani buatkan. Ibu justru khawatir dengan Al. dia sering sekali lupa makan. Kadang, hanya secangkir kopi yang dia minum seharian. Ibu takut dia sakit,” ucapnya. Di wajah tuanya tergambar kekhawatiran seorang ibu.“Apa Za antarkan makanan untuk Mas Al saja, Bu? Apa Ibu tau makanan apa yang Mas Al suka? Biar Za masakan untuknya.”Bu Ningsih tersenyum dan mengelus pundakku pelan.“Masakan yang Al suka … sebenarnya apapun dia suka, karena sejak kecil Ibu tidak pernah memasak sesuatu yang istimewa. Tempe goreng, tahu oseng, ikan asin. Apapun dia makan. Hanya saja … sepertinya dia sangat suka kalau ibu buatkan dia sayur asem.”Sayur asem? Seingatku, Om Hendro juga suka itu. Saat
“Aku ke sini mau nganterin makan siang buat kamu,” jawabku seraya menyodorkan rantang itu padanya. Sekilas dia tersenyum masam.“Sudah aku bilang, kamu tidak perlu peduli padaku. Aku bisa minum kopi di sini,” katanya dan lalu mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. Setelah menghisapnya, asapnya terlihat membumbung lalu lenyap tertiup angin.“Sayur asem,” ucapku lirih. Matanya langsung terlihat berbinar. Rokok di tangannya langsung dia matikan.“Bikinan Ibu?” tanyanya berapi-api. Aku tak menjawabnya.“Ya sudah, sini, biar aku makan. Rantangnya nanti aku bawa pulang,” katanya.Aku menggeleng. “Ibu bilang, aku harus membawa kembali rantang ini bersamaku dalam keadaan kosong. Jadi … aku harus nunggu kamu sampai beres makan semua ini.”Sengaja aku bilang seperti itu, agar yakin d
“Apa bisa kamu jelaskan pada Ibu, apa yang sedang terjadi di antara kalian? Beberapa hari yang lalu, Albany diajak pergi setelah kedatangan ayah kandungnya ke sini. Kata Mas Hendro, dia mau memberikan hak yang selama ini tidak pernah diperoleh Al. Hanya itu yang Ibu tahu. Lalu tiba-tiba dia kembali ke rumah ini membawa kamu. bukan Ibu tidak suka, hanya saja Ibu tidak mengerti, apa yang sedang terjadi,” katanya.Deg.Pertanyaan Bu Ningsih membuatku gugup. Haruskah aku mengatakan yang sebenarnya? Bagaimana jika Albany marah lagi?“Apa pernikahan kalian juga atas permintaan Mas Hendro?” tambah Bu Ningsih. Aku menunduk, tak mampu membalas tatapan Bu Ningsih yang seakan menghujam ke dalam dan mencari kebenaran.“Iya, Bu. Pernikahan saya dan Mas Al, atas perjodohan dari Om Hendro,” jawabku pelan.“Apa Albany tidak menginginkan pernikahan ini? A
“Kok, nangis, Neng?” tanya Bu NIngsih saat aku tiba di rumah. “Nggak apa-apa, Bu. Tadi aku kelilipan.” “Lho, terus rantangnya mana?” tanyanya lagi. Aku menata detak jantung yang berdebar lebih cepat dari biasanya. “Emh, itu … nanti katanya Mas Al yang bawa pulang. Tadi Mas Al lagi sibuk banget, jadi aku disuruh nyimpen makanannnya dulu.” Aku beralasan. Entah Bu Ningsih akan percaya atau tidak. Yang jelas dia hanya menatapku dalam diam. Aku melengos dan bergegas ke dapur membereskan peralatan bekas masak tadi. ** Al pulang sebelum Magrib. Dia masuk kamar saat aku sedang selonjoran karena rasa mual yang kembali menyiksa. Aku diam tak ingin menyapanya. Rasa sakit itu kembali datang, saat membayangkan apa yang terjadi tadi. Bu Ningsih kebetulan sedang ada pengajian di rumah tetangga. Dia berangkat selepas sholat Asar.  
Aku mengelus perut dengan tangan yang tersambung selang infus. Kamu sudah tidak ada, Nak. Aku menelan saliva, berat. Tidak ada lagi hal yang bisa mengingatkanku pada Rico. “Apa susahnya kamu nurut? Tak bisakah kamu sekali saja menjadi orang yang berguna? Papa bisa berikan kamu segalanya—“ “Aku tidak mau!” potong Albany, kini matanya menatap nyalang pada sang ayah. “AKu tidak punya ayah dan selamanya akan berlaku seperti itu,” lanjutnya menantang dengan suara yang tegas. Om Hendro terpaku dengan wajah yang melongo. Mungkin dia tidak menyangka jika Albany akan menjawab seperti itu. Namun, sesaat kemudian, giliran aku dan Albany yang terpaku, saat tangan Om Hendro mendarat di pipi suamiku itu. “Pa, jangan kasar begitu.” Tante Rita menarik lengan suaminya. Om Hendro tampak tersengal menahan emosinya. Albany memegangi pipi kirinya dengan tatapan
Anak kecil berseragam lusuh, dengan peluh dan debu di keningnya. Dia berlari ke rumah kecil di mana sang ibu sedang menyapu teras.“Kenapa kamu nangis, Nak?” tanya sang ibu yang menyimpan dulu sapu di tangannya.“Kenapa aku nggak punya bapak, Bu? Kenapa aku selalu disebut anak haram sama temen-temen?” rengeknya. Ningsih menghela napas dan mengusap puncak kepala anak itu.“Nggak usah hiraukan kata-kata mereka ya, Sayang. Sana ganti baju dulu, terus makan.”Albany kecil tak lagi melanjutkan pertanyaan, karena rasa lapar kini menyerang. Dia masuk ke kamarnya dan berganti pakaian. Baju yang sama usangnya dengan seragam yanag tadi ia pakai. Ada sobekan yang dijahit di beberapa bagian. Makanan yang ia santap pun bukanlah makanan mewah seperti yang tersaji di rumah sang ayah kandung. Hanya tempe goreng dan ikan asin yang ada. Namun, anak itu tak pernah mengeluh. Yang dia
Hingga hari itu, sebuah mobil mewah berhenti di halaman rumah. Ningsih dan Albany saling melempar pandang.“Siapa?” gumam Albany.Matanya membulat saat melihat siapa yang datang. Laki-laki yang sering dia intip dari kejauhan, bersama wanita yang pernah mengusirnya waktu dulu. kenangan itu tak pernah hilang dari ingatannya.“Mas Hendro?” gumam Ningsih tak percaya.“Apakah dia itu ayahku?” tanya Albany dengan wajah suram. Ningsih menunduk tak berani menjawab.“Heh, sudah kuduga. Mau apa mereka ke sini?” ucap Albany dengan wajah tak suka.“Biar Ibu yang buka,” ucap Ningsih hendak bangkit, namun dicegah oleh sang putra.“Tidak usah, Ibu duduk saja. Biar aku yang menghadapi mereka,” ucap Albany.“Assalamualaikum,” ucap Hendro dari luar.
Dengan sikapnya yang acuh dan dingin, kini Zanna mulai sedikit menjaga jarak. Hati Albany mencelos, tapi justru itu yang diharapkan. Zanna tidak boleh terbawa suasana dan lalu mencintainya.“Nggak usah mengirimiku bekal, aku akan makan siang dengan Bu Amel.” Begitu katanya. Memang benar, kini Amel semakin sering mengajaknya makan siang dengan alasan sambil membicarakan pekerjaan. Lagi-lagi, Al tidak bisa menolaknya selama itu masih dalam batas wajar.Hingga hari itu, Albany tidak menyangka jika Amel akan berani mencumbunya. Saat itu, mereka sedang berdua di ruangan. Amel memperlihatkan desain dan denah. Albany memperhatikan dengan seksama. Perempuan itu semakin mendekat dan bahkan mereka bersisian. Albany yang merasa risih menggeser tubuhnya. Lalu tiba-tiba, Amel menarik kerah Albany hingga posisi mereka kini berdempetan. Albany sungguh tidak menyangka jika atasannya itu begitu berani. Lelaki itu hendak mendorong, namun Ame