“Apa ada yang ingin Ibu makan untuk siang nanti? Biar Za belikan,” tawarku.
Bu Ningsih malah menggeleng.
“Ibu bisa makan bubur yang tadi Ani buatkan. Ibu justru khawatir dengan Al. dia sering sekali lupa makan. Kadang, hanya secangkir kopi yang dia minum seharian. Ibu takut dia sakit,” ucapnya. Di wajah tuanya tergambar kekhawatiran seorang ibu.
“Apa Za antarkan makanan untuk Mas Al saja, Bu? Apa Ibu tau makanan apa yang Mas Al suka? Biar Za masakan untuknya.”
Bu Ningsih tersenyum dan mengelus pundakku pelan.
“Masakan yang Al suka … sebenarnya apapun dia suka, karena sejak kecil Ibu tidak pernah memasak sesuatu yang istimewa. Tempe goreng, tahu oseng, ikan asin. Apapun dia makan. Hanya saja … sepertinya dia sangat suka kalau ibu buatkan dia sayur asem.”
Sayur asem? Seingatku, Om Hendro juga suka itu. Saat makan bersama dulu, di meja makan selalu tersedia sayur asem yang kata Tante Rita itu kesukaan Om Hendro.
Atau … apakah mungkin Om Hendro justru menyukai masakan itu karena teringat dengan Bu Ningsih?
“Oh, kalau gitu Za beli dulu sayurannya ya, Bu. Warungnya sebelah mana?” tanyaku bersemangat.
Bu Ningsih menjelaskan letak warung yang letaknya tak jauh dari rumah ini. Hanya menyusuri jalanan kampung ini, rumah kelima ke sebelah kanan. Baiklah, aku akan mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan ini.
Warung itu ternyata menyatu dengan rumah semi permanen. Tersedia aneka sayuran dan ikan basah juga makanan keringan. Ada beberapa ibu-ibu juga di sana.
Aku membaur dengan ibu-ibu yang juga sedang memilih sayuran. Salah satu dari mereka melirik padaku dan mengernyitkan dahi. Aku tersenyum dan menngangguk.
“Eh, ini siapa ya? baru lihat,” katanya dan membuat ibu-ibu yang lain ikut menoleh padaku.
“Emh, saya … istrinya Mas Al,” jawabku malu-malu.
Mata mereka seketika terbelalak.
“Al? Albany maksudnya? Anaknya Bu Ningsih?” cecarnya seolah tak percaya.
Aku mengangguk tak lupa tersenyum.
“Oh, kapan nikahnya? Nggak ada kabar-kabar,” gumamnya saling lirik dengan yang lain.
“Cantik begini, mau-maunya sama anaknya orang gila.”
“Iya, kelihatannya dia anak orang kaya. Lihat saja kulitnya bening gitu, bajunya juga bagus. Jauh amat kalau dibandingkan sama anaknya Bu Ningsih itu,” balas ibu yang lain.
Mereka menjelekan Albany, tapi entah kenapa hatiku yang sakit.
Aku segera mengambil dua bungkus sayuran setelah menanyakan pada pemilik warung mana sayuran untuk membuat sayur asem. Sepapan tempe dan lima butir telur ikut serta aku beli.
“Ini uangnya, Bu. Terima kasih. Permisi,” aku segera pamit, daripada harus mendengarkan desas-desus tentang suamiku.
“Eh, Neng, kok buru-buru. Kita kan belum selesai ngobrolnya,” kata ibu yang pertama kali menyapaku. Aku hanya manggut.
“Maaf, Bu, lain kali saja. Saya harus masak dulu,” pamitku lagi dan segera pergi dari sana.
Baru beberapa langkah, aku bertemu dengan Ani yang sepertinya mau ke warung juga.
“Eh, Teh Za? Abis dari warung Teh? “ tanyanya saat melihat tentenganku.
“Iya, Ni. Mau masakain buat makan siang Mas Al. oh iya, apa kamu tau di mana Mas Al kerja?” tanyaku.
Ani langsung mengerutkan keningnya. “Lho, masa Aa nggak nilang kerja di mana sama Teteh? Teteh kan istrinya.”
“Iya, aku belum sempat nanya. Tadi juga lupa,” jawabku gelagapan.
“Oh … itu, Aa kerja di proyek pembangunan rumah sakit.”
“Di mana, Ni? Jauh nggak?” tanyaku lagi.
“Ya … lumayan jauh. Harus naik angkot kalau dari sini.”
“Oh, gitu ya. Makasih ya, Ni. Saya pamit mau masak dulu ya. Takut nggak keburu,” ucapku berpamitan. Entah benar atau tidak, walaupun gadis ini baik, tapi sepertinya dia kurang suka terhadapku. Tapi, semoga saja perkiraanku itu salah.
**
Aku membuat sayur asem dengan panduan Bu Ningsih. Ini bukan pertama kalinya aku masak, karena aku memang menyukai kegiatan ini. Aku sering membantu Mama masak saat libur kuliah, jadi kalau sekarang aku harus membuat sayur asem, itu bukan hal yang sulit bagiku.
“Kamu pinter sekali, Za. Al pasti suka masakan kamu. Sayur asemnya enak sekali,” kata Bu Ningsih saat aku memintanya mencicipi sayur buatanku.
Hatiku berbunga mendengarnya. Semoga berawal dari sayur ini, hati Albany bisa mencair.
Aku pun segera memasukan sayur asem, nasi, tempe goreng dan telur dadar ke dalam rantang yang warnanya sudah usang. Sebuah sendok tak lupa aku bawa dan sempilkan di kuping rantang.
“Za berangkat dulu ya, Bu. Ibu nggak apa-apa kan, kalau Za tinggal dulu?”
“Nggak apa-apa, Sayang. Ibu nanti makan sendiri. Pergilah, keburu jam makan siang. Kamu tau kan AL kerja di mana?”
Aku diam sejenak. “Di … proyek pembangunan rumah sakit, kan, Bu?” tanyaku memastikan.
Bu Ningsih mengangguk. “Iya, sebulan yang lalu Al diangkat jadi mandor proyek, setelah sekian lama dia hanya menjadi buruh di sana. Ah, mungkin Al juga sudah cerita sama kamu,” katanya. “Sudah, ayo sana. Nanti keburu habis waktu makan siangnya. Sia-sia nanti kamu masak,” usirnya.
Aku pun berangkat dengan memakai angkot sesuai arahan dari Bu Ningsih dan juga Ani, tadi. Sampai di sana sudah hampir jam 12. Proyek pembangunan rumah sakit itu ternyata tertutup, tidak sembarangan orang bisa masuk. Aku harus membujuk satpam di sana agar mengijinkanku masuk untuk bertemu Albany.
“Sebetulnya nggak boleh Mbak. Tapi kalau sebentar, nggak apa-apa. Tunggu saja di sana ya, nanti saya panggilkan Pak Al biar datang ke sini,” katanya dan Pak Satpam itu kemudian menghubungi seseorang dengan ponselnya.
“Pak Al, ada yang nyari di sini,” kata Pak Satpam. Mungkin Albany menanyakan siapa yang datang, karena Pak Satpam kemudian menyebutkan jika ada istrinya yang datang. Kemudian dia hanya mengucapkan kata baik dan menutup teleponnya.
“Tunggu saja ya, Mbak. Sebentar lagi Pak Al ke sini.”
“Eh, Bapak punya nomornya Al? boleh saya minta Pak?” tanyaku. Dia malah mengernyit, mungkin merasa aneh, aku mengaku sebagai istrinya tapi tidak punya nomor ponsel suami sendiri.
“Maaf, Pak. Saya … eh, maksud saya, kami baru menikah, jadi ….”
“Ooh …,” ucapnya panjang. Sepertinya dia mengerti jika kami baru kenal satu sama lain.
“Tunggu,” katanya sambil mengeluarkan ponsel dari saku celana. Dia kemudian menyebutkan sederet angka dan aku pun mencatatnya di ponsel. Memberi nama ‘Suamiku’ di sana.
Sepuluh menit menunggu, akhirnya Al datang juga ditemani seorang wanita cantik. Mereka sama-sama mengenakan helm proyek berwarna orange. Dari tampilannya, wanita itu sepertinya bukan orang biasa. Mungkin dia seorang arsitek.
Albany mengangguk hormat, sepertinya berpamitan pada wanita itu. Mereka berpisah di dekat pelataran parkir. Albany menuju ke arahku, sedangkan wanita itu menuju ke sebuah mobil sedan berwarna perak.
“Ngapain kamu ke sini?” tanya Albany saat kami sudah berhadapan. Dia juga meilirik ke tanganku yang menenteng satu set rantang.
“Aku ke sini mau nganterin makan siang buat kamu,” jawabku seraya menyodorkan rantang itu padanya. Sekilas dia tersenyum masam.“Sudah aku bilang, kamu tidak perlu peduli padaku. Aku bisa minum kopi di sini,” katanya dan lalu mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. Setelah menghisapnya, asapnya terlihat membumbung lalu lenyap tertiup angin.“Sayur asem,” ucapku lirih. Matanya langsung terlihat berbinar. Rokok di tangannya langsung dia matikan.“Bikinan Ibu?” tanyanya berapi-api. Aku tak menjawabnya.“Ya sudah, sini, biar aku makan. Rantangnya nanti aku bawa pulang,” katanya.Aku menggeleng. “Ibu bilang, aku harus membawa kembali rantang ini bersamaku dalam keadaan kosong. Jadi … aku harus nunggu kamu sampai beres makan semua ini.”Sengaja aku bilang seperti itu, agar yakin d
“Apa bisa kamu jelaskan pada Ibu, apa yang sedang terjadi di antara kalian? Beberapa hari yang lalu, Albany diajak pergi setelah kedatangan ayah kandungnya ke sini. Kata Mas Hendro, dia mau memberikan hak yang selama ini tidak pernah diperoleh Al. Hanya itu yang Ibu tahu. Lalu tiba-tiba dia kembali ke rumah ini membawa kamu. bukan Ibu tidak suka, hanya saja Ibu tidak mengerti, apa yang sedang terjadi,” katanya.Deg.Pertanyaan Bu Ningsih membuatku gugup. Haruskah aku mengatakan yang sebenarnya? Bagaimana jika Albany marah lagi?“Apa pernikahan kalian juga atas permintaan Mas Hendro?” tambah Bu Ningsih. Aku menunduk, tak mampu membalas tatapan Bu Ningsih yang seakan menghujam ke dalam dan mencari kebenaran.“Iya, Bu. Pernikahan saya dan Mas Al, atas perjodohan dari Om Hendro,” jawabku pelan.“Apa Albany tidak menginginkan pernikahan ini? A
“Kok, nangis, Neng?” tanya Bu NIngsih saat aku tiba di rumah. “Nggak apa-apa, Bu. Tadi aku kelilipan.” “Lho, terus rantangnya mana?” tanyanya lagi. Aku menata detak jantung yang berdebar lebih cepat dari biasanya. “Emh, itu … nanti katanya Mas Al yang bawa pulang. Tadi Mas Al lagi sibuk banget, jadi aku disuruh nyimpen makanannnya dulu.” Aku beralasan. Entah Bu Ningsih akan percaya atau tidak. Yang jelas dia hanya menatapku dalam diam. Aku melengos dan bergegas ke dapur membereskan peralatan bekas masak tadi. ** Al pulang sebelum Magrib. Dia masuk kamar saat aku sedang selonjoran karena rasa mual yang kembali menyiksa. Aku diam tak ingin menyapanya. Rasa sakit itu kembali datang, saat membayangkan apa yang terjadi tadi. Bu Ningsih kebetulan sedang ada pengajian di rumah tetangga. Dia berangkat selepas sholat Asar.  
Aku mengelus perut dengan tangan yang tersambung selang infus. Kamu sudah tidak ada, Nak. Aku menelan saliva, berat. Tidak ada lagi hal yang bisa mengingatkanku pada Rico. “Apa susahnya kamu nurut? Tak bisakah kamu sekali saja menjadi orang yang berguna? Papa bisa berikan kamu segalanya—“ “Aku tidak mau!” potong Albany, kini matanya menatap nyalang pada sang ayah. “AKu tidak punya ayah dan selamanya akan berlaku seperti itu,” lanjutnya menantang dengan suara yang tegas. Om Hendro terpaku dengan wajah yang melongo. Mungkin dia tidak menyangka jika Albany akan menjawab seperti itu. Namun, sesaat kemudian, giliran aku dan Albany yang terpaku, saat tangan Om Hendro mendarat di pipi suamiku itu. “Pa, jangan kasar begitu.” Tante Rita menarik lengan suaminya. Om Hendro tampak tersengal menahan emosinya. Albany memegangi pipi kirinya dengan tatapan
Anak kecil berseragam lusuh, dengan peluh dan debu di keningnya. Dia berlari ke rumah kecil di mana sang ibu sedang menyapu teras.“Kenapa kamu nangis, Nak?” tanya sang ibu yang menyimpan dulu sapu di tangannya.“Kenapa aku nggak punya bapak, Bu? Kenapa aku selalu disebut anak haram sama temen-temen?” rengeknya. Ningsih menghela napas dan mengusap puncak kepala anak itu.“Nggak usah hiraukan kata-kata mereka ya, Sayang. Sana ganti baju dulu, terus makan.”Albany kecil tak lagi melanjutkan pertanyaan, karena rasa lapar kini menyerang. Dia masuk ke kamarnya dan berganti pakaian. Baju yang sama usangnya dengan seragam yanag tadi ia pakai. Ada sobekan yang dijahit di beberapa bagian. Makanan yang ia santap pun bukanlah makanan mewah seperti yang tersaji di rumah sang ayah kandung. Hanya tempe goreng dan ikan asin yang ada. Namun, anak itu tak pernah mengeluh. Yang dia
Hingga hari itu, sebuah mobil mewah berhenti di halaman rumah. Ningsih dan Albany saling melempar pandang.“Siapa?” gumam Albany.Matanya membulat saat melihat siapa yang datang. Laki-laki yang sering dia intip dari kejauhan, bersama wanita yang pernah mengusirnya waktu dulu. kenangan itu tak pernah hilang dari ingatannya.“Mas Hendro?” gumam Ningsih tak percaya.“Apakah dia itu ayahku?” tanya Albany dengan wajah suram. Ningsih menunduk tak berani menjawab.“Heh, sudah kuduga. Mau apa mereka ke sini?” ucap Albany dengan wajah tak suka.“Biar Ibu yang buka,” ucap Ningsih hendak bangkit, namun dicegah oleh sang putra.“Tidak usah, Ibu duduk saja. Biar aku yang menghadapi mereka,” ucap Albany.“Assalamualaikum,” ucap Hendro dari luar.
Dengan sikapnya yang acuh dan dingin, kini Zanna mulai sedikit menjaga jarak. Hati Albany mencelos, tapi justru itu yang diharapkan. Zanna tidak boleh terbawa suasana dan lalu mencintainya.“Nggak usah mengirimiku bekal, aku akan makan siang dengan Bu Amel.” Begitu katanya. Memang benar, kini Amel semakin sering mengajaknya makan siang dengan alasan sambil membicarakan pekerjaan. Lagi-lagi, Al tidak bisa menolaknya selama itu masih dalam batas wajar.Hingga hari itu, Albany tidak menyangka jika Amel akan berani mencumbunya. Saat itu, mereka sedang berdua di ruangan. Amel memperlihatkan desain dan denah. Albany memperhatikan dengan seksama. Perempuan itu semakin mendekat dan bahkan mereka bersisian. Albany yang merasa risih menggeser tubuhnya. Lalu tiba-tiba, Amel menarik kerah Albany hingga posisi mereka kini berdempetan. Albany sungguh tidak menyangka jika atasannya itu begitu berani. Lelaki itu hendak mendorong, namun Ame
“Albany, kamu dimutasi ke unit RSF, ya,” kata Pak Tatang. “Di sana kurang orang. Mulai minggu depan kamu kerja di unit sana,” lanjut Pak Tatang.Albany menyanggupi, karena jarak unit pabrik yang disebutkan atasannya itu justru lebih dekat ke rumahnya.Hari pertamanya di sana, banyak sekali karwati yang berdesas-desus tentang ketampanannya. Tak sedikit pula yang menitip salam untuknya pada Bu Narti. Namun, Albany hanya menanggapinya dengan senyum.Tak hanya karyawati operator, bahkan staff pun banyak yang bergunjing tentang ketampanan office boy baru itu.“Keren. Badannya juga kekar, kayak model,” bisik seseroang saat Albany lewat ke ruangan besar itu. Bagaimana tidak kekar, selama hidupnya dia bekerja berat dan kasar.“Hei, Al, kok bisa sih kamu jadi OB? Kenapa gak daftar jadi model aja?” tanya Ayu saat mereka bertemu di pantr