Share

Bab 7

“Apa ada yang ingin Ibu makan untuk siang nanti? Biar Za belikan,” tawarku.

 Bu Ningsih malah menggeleng.

“Ibu bisa makan bubur yang tadi Ani buatkan. Ibu justru khawatir dengan Al. dia sering sekali lupa makan. Kadang, hanya secangkir kopi yang dia minum seharian. Ibu takut dia sakit,” ucapnya. Di wajah tuanya tergambar kekhawatiran seorang ibu.

“Apa Za antarkan makanan untuk Mas Al saja, Bu? Apa Ibu tau makanan apa yang Mas Al suka? Biar Za masakan untuknya.”

Bu Ningsih tersenyum dan mengelus pundakku pelan.

“Masakan yang Al suka … sebenarnya apapun dia suka, karena sejak kecil Ibu tidak pernah memasak sesuatu yang istimewa. Tempe goreng, tahu oseng, ikan asin. Apapun dia makan. Hanya saja … sepertinya dia sangat suka kalau ibu buatkan dia sayur asem.”

Sayur asem? Seingatku, Om Hendro juga suka itu. Saat makan bersama dulu, di meja makan selalu tersedia sayur asem yang kata Tante Rita itu kesukaan Om Hendro.

Atau … apakah mungkin Om Hendro justru menyukai masakan itu karena teringat dengan Bu Ningsih?

“Oh, kalau gitu Za beli dulu sayurannya ya, Bu. Warungnya sebelah mana?” tanyaku bersemangat.

Bu Ningsih menjelaskan letak warung yang letaknya tak jauh dari rumah ini. Hanya menyusuri jalanan kampung ini, rumah kelima ke sebelah kanan. Baiklah, aku akan mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan ini.

Warung itu ternyata menyatu dengan rumah semi permanen. Tersedia aneka sayuran dan ikan basah juga makanan keringan. Ada beberapa ibu-ibu juga di sana.

Aku membaur dengan ibu-ibu yang juga sedang memilih sayuran. Salah satu dari mereka melirik padaku dan mengernyitkan dahi. Aku tersenyum dan menngangguk.

“Eh, ini siapa ya? baru lihat,” katanya dan membuat ibu-ibu yang lain ikut menoleh padaku.

“Emh, saya … istrinya Mas Al,” jawabku malu-malu.

Mata mereka seketika terbelalak.

“Al? Albany maksudnya? Anaknya Bu Ningsih?” cecarnya seolah tak percaya.

Aku mengangguk tak lupa tersenyum.

“Oh, kapan nikahnya? Nggak ada kabar-kabar,” gumamnya saling lirik dengan yang lain.

“Cantik begini, mau-maunya sama anaknya orang gila.”

“Iya, kelihatannya dia anak orang kaya. Lihat saja kulitnya bening gitu, bajunya juga bagus. Jauh amat kalau dibandingkan sama anaknya Bu Ningsih itu,” balas ibu yang lain.

Mereka menjelekan Albany, tapi entah kenapa hatiku yang sakit.  

Aku segera mengambil dua bungkus sayuran setelah menanyakan pada pemilik warung mana  sayuran untuk membuat sayur asem. Sepapan tempe dan lima butir telur ikut serta aku beli.

“Ini uangnya, Bu. Terima kasih. Permisi,” aku segera pamit, daripada harus mendengarkan desas-desus tentang suamiku.

“Eh, Neng, kok buru-buru. Kita kan belum selesai ngobrolnya,” kata ibu yang pertama kali menyapaku. Aku hanya manggut.

“Maaf, Bu, lain kali saja. Saya harus masak dulu,” pamitku lagi dan segera pergi dari sana.

Baru beberapa langkah, aku bertemu dengan Ani yang sepertinya mau ke warung juga.

“Eh, Teh Za? Abis dari warung Teh? “ tanyanya saat melihat tentenganku.

“Iya, Ni. Mau masakain buat makan siang Mas Al. oh iya, apa kamu tau di mana Mas Al kerja?” tanyaku.

Ani langsung mengerutkan keningnya. “Lho, masa Aa nggak nilang kerja di mana sama Teteh? Teteh kan istrinya.”

“Iya, aku belum sempat nanya. Tadi juga lupa,” jawabku gelagapan.

“Oh … itu, Aa kerja di proyek pembangunan rumah sakit.”

“Di mana, Ni? Jauh nggak?” tanyaku lagi.

“Ya … lumayan jauh. Harus naik angkot kalau dari sini.”

“Oh, gitu ya. Makasih ya, Ni. Saya pamit mau masak dulu ya. Takut nggak keburu,” ucapku berpamitan. Entah benar atau tidak, walaupun gadis ini baik, tapi sepertinya dia kurang suka terhadapku. Tapi, semoga saja perkiraanku itu salah.

**

Aku membuat sayur asem dengan panduan Bu Ningsih. Ini bukan pertama kalinya aku masak, karena aku memang menyukai kegiatan ini. Aku sering membantu Mama masak saat libur kuliah, jadi kalau sekarang aku harus membuat sayur asem, itu bukan hal yang sulit bagiku.

“Kamu pinter sekali, Za. Al pasti suka masakan kamu. Sayur asemnya enak sekali,” kata Bu Ningsih saat aku memintanya mencicipi sayur buatanku.

Hatiku berbunga mendengarnya. Semoga berawal dari sayur ini, hati Albany bisa mencair.

Aku pun segera memasukan sayur asem, nasi, tempe goreng dan telur dadar ke dalam rantang yang warnanya sudah usang. Sebuah sendok tak lupa aku bawa dan sempilkan di kuping rantang.

“Za berangkat dulu ya, Bu. Ibu nggak apa-apa kan, kalau Za tinggal dulu?”

“Nggak apa-apa, Sayang. Ibu nanti makan sendiri. Pergilah, keburu jam makan siang. Kamu tau kan AL kerja di mana?”

Aku diam sejenak. “Di … proyek pembangunan rumah sakit, kan, Bu?” tanyaku memastikan.

Bu Ningsih mengangguk. “Iya, sebulan yang lalu Al diangkat jadi mandor proyek, setelah sekian lama dia hanya menjadi buruh di sana. Ah, mungkin Al juga sudah cerita sama kamu,” katanya. “Sudah, ayo sana. Nanti keburu habis waktu makan siangnya. Sia-sia nanti kamu masak,” usirnya.

Aku pun berangkat dengan memakai angkot sesuai arahan dari Bu  Ningsih dan juga Ani, tadi. Sampai di sana sudah hampir jam 12. Proyek pembangunan rumah sakit itu ternyata tertutup, tidak sembarangan orang bisa masuk. Aku harus membujuk satpam di sana agar mengijinkanku masuk untuk bertemu Albany.

“Sebetulnya nggak boleh Mbak. Tapi kalau sebentar, nggak apa-apa. Tunggu saja di sana ya, nanti saya panggilkan Pak Al biar datang ke sini,” katanya dan Pak Satpam itu kemudian menghubungi seseorang dengan ponselnya.

“Pak Al, ada yang nyari di sini,” kata Pak Satpam. Mungkin Albany menanyakan siapa yang datang, karena Pak Satpam kemudian menyebutkan jika ada istrinya yang datang. Kemudian dia hanya mengucapkan kata baik dan menutup teleponnya.

“Tunggu saja ya, Mbak. Sebentar lagi Pak Al ke sini.”

“Eh, Bapak punya nomornya Al? boleh saya minta Pak?” tanyaku. Dia malah mengernyit, mungkin merasa aneh, aku mengaku sebagai istrinya tapi tidak punya nomor ponsel suami sendiri.

“Maaf, Pak. Saya … eh, maksud saya, kami baru menikah, jadi ….”

“Ooh …,” ucapnya panjang. Sepertinya dia mengerti jika kami baru kenal satu sama lain.

“Tunggu,” katanya sambil mengeluarkan ponsel dari saku celana. Dia kemudian menyebutkan sederet angka dan aku pun mencatatnya di ponsel. Memberi nama ‘Suamiku’ di sana.

Sepuluh menit menunggu, akhirnya Al datang juga ditemani seorang wanita cantik. Mereka sama-sama mengenakan helm proyek berwarna orange. Dari tampilannya, wanita itu sepertinya bukan orang biasa. Mungkin dia seorang arsitek.

Albany mengangguk hormat, sepertinya berpamitan pada wanita itu. Mereka berpisah di dekat pelataran parkir. Albany menuju ke arahku, sedangkan wanita itu menuju ke sebuah mobil sedan berwarna perak.

“Ngapain kamu ke sini?” tanya Albany saat kami sudah berhadapan. Dia juga meilirik ke tanganku yang menenteng satu set rantang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status