***
Di mobil biasanya anak anak pada debat tentang banyak hal. Seperti Setiyaki dan Lana yang berdebat pasal apakah betulan ada reinkarnasi. Dan jika reinkarnasi itu ada maka Lana ingin berubah menjadi choker nya Via Vallen biar tau kalo dia itu aneh pake begituan. Tapi Ali yang seorang Vianisti sejati tentu tidak terima. Perdebatan akan semakin panas jika Setiyaki membela salah satu diantara mereka.
Namun hari ini Aji sedang tidak ingin berdebat. Dilihat dari rear-view-mirror sosok yang mengganggu Aji sejak subuh tadi masih terlihat. Dia duduk di belakang bersama Ali. Jika Ali tau dia sedang bersebelahan dengan makhluk tak kasat mata sepertinya cowok itu akan pinsan. Beruntungnya sosok cewek itu tidak jahil seperti sosok lain yang sering menampakan diri meski tampilannya juga tidak terlihat baik.
Akan Aji deskripsikan. Dia cewek. Sepertinya seumuran dengan Aji bahkan seragamnya juga seragam yang sama dengan sekokah Aji. Rambutnya panjang hingga pinggang. Diikat kebelakang hanya untuk memperlihatkan bagian samping kepala kirinya yang seolah bocor. Telinga cewek itu merah karena darah dan sebagian lengan kirinya sudah tidak berbentuk seperti lengan. Jika Aji simpulkan sepertinya sosok itu mati karena kecelakaan.
"Malam ini mau makan apa?" tanya itu mengalihkan fokus Aji dari sosok di belakang.
"Mau semur ayam, mah. Kasih tahu sama kentang." Sahut cepat Setiyaki.
Yang lain mengangguk setuju dan Mama juga. Tapi Aji masih terdiam. Ia kembali memperhatikan sosok berseragam dibelakangnya. Mata cekung dan wajah pucatnya menambah ngeri belum lagi darah disekitarnya. Jujur, Aji masih sering takut dengan sosok seperti itu.
Sampai sekolah Aji berniat memisahkan diri dari Ali dan Setiyaki. Lana sudah lari duluan karena katanya ada tugas yang harus dikumpulkan pagi.
"Mau kemana?" tanya Ali mendapati saudara kembarnya berjalan tergesa lebih dulu.
"Gue mau ketemuan dulu. Kalian duluan aja." Cepat Aji lantas memberi kode pada sosok disampingnya untuk menemui Aji di rooftoop gedung perpustakaan.
"Jadi lo mau bantuin gue?" tanya sosok itu lagi.
"Lo rubah dulu penampilan lo. Jangan ada darah. Gue ngeri liatnya."
Sedetik kemudian sosok itu berubah lebih bersih. Meski kulit wajah dan tangannya masih sangat pucat. Dan mata cekung itu tak berubah bersinar. Masih menunjukan pupil gelap.
"Tergantung sama cerita lo."
"Btw, lo pernah bantuin setan lain sebelum ini?" tanya sosok itu. Aji menaikkan bahu.
"Belum. Dan gue nggak pernah mau nolong yang sejenis sama lo."
Mendengar jawab Aji sosok itu berdecih. Seperti meragukan apa yang Aji katakan. Namun Aji tak peduli.
"Gue mati di sekolah ini. Lima tahun lalu di rooftoop gedung kelas sebelas. Semua orang percaya gue mati bunuh diri padahal faktanya enggak. Gue dipaksa lompat." suara itu merendah. Di menit berikutnya angin berhembus ringan. Menerbangkan anak rambut Aji yang menutup setengah dahi. Namun sosok cewek itu seolah tak merasakan ada angin karena rambut dan seragamnya tak ikut serta bergoyang karena angin. "Satu-satunya orang yang percaya kalo gue nggak bunuh diri cuma sahabat gue. Sayangnya tiga tahun berikutnya dia juga mati."
"Sedih."
"Enggak. Gue lega karena gue akhirnya mati. Bukan malah kesakitan di rumah sakit. Walaupun sampe sekarang luka di kepala sama tangan gue masih terasa sakit." Sosok itu kemudian menatap Aji. Lantas mendekat dua langkah untuk lebih dekat. "Tapi gue nggak bisa pergi dari sini karena orang yang maksa gue buat mati justru bahagia di dunia ini."
Aji melihat jam di pergelangan tangannya. Kemudian menatap sosok bermata cekung tadi. Walaupun agak takut dengan mata itu namun Aji memberanikan diri. Kata Mama itu etika berbicara dengan sesama manusia. Ya walaupun sosok didepannya bukan lagi manusia. Setidaknya dia pernah jadi manusia.
"Singkatnya?"
"Lo tau loker nomer tiga belas yang nggak pernah dibuka?"
Aji mengangguk. Itu rumor sudah ada sejak Aji masuk ke tingkat SMA di sekolahnya. Dan kini loker itu berada jarak dua loker dari miliknya.
"Gue mau lo buka loker itu. Dan kasih isinya ke guru bk."
"Kenapa?"
"Disana ada bukti bahwa gue bukan cuma mati karena bunuh diri."
"Kalo disana ada bukti seharusnya sekolah bisa buka paksa loker lo. Bukan malah nutupin kasusnya."
"Pelakunya anak wakil kepala sekolah. Mereka tau tapi berusaha melindungi. Kasus kematian gue belum ditutup sama orang tua gue. Jadi dengan bukti itu, mereka masih bisa nangkep pelakunya." Sosok tadi kembali menatap Aji. Pupil hitamnya tak bergerak dan itu lebih menambah kesan ngeri. "Gue juga pengen naik ke akhirat, tapi gue seolah terjebak sama dendam gue dan dendam orang tua gue di dunia. Jadi setelah ini, gue harap mereka melepas gue dengan layak."
Aji terdiam sejenak. Kemudian meninggalkan sosok tadi tanpa memberi jawab. Karena Aji juga tidak tahu apakah dia akan membantu atau tidak. Aji hanya tidak ingin diganggu sosok itu. Dia tau sosok itu menganggu Mas Abim beberapa hari terakhir, melihat bang Banyu yang sering telanjang dada saat tidur bahkan menjahili Mama ketika masak sarapan di pagi hari. Aji tak mau kejahilan sosok itu menjadi lebih parah.
***"Lo kembarannya Ali, kan?" tanya seorang cewek yang tiba-tiba mendekatinya. Aji terdiam kemudian mengangguk samar.
"Tolong kasihin ini ke Ali, dong. Gue udah lama nunggu dia disini tapi dia nggak dateng."
"Lo udah coba chat atau telfon dia?"
"Udah. Tapi nggak diangkat. Gue minta tolong, yah."
Cewek tadi berlalu setelah mengulurkan sebuah kotak kado. Aji tuh mukanya mirip budak atau gimana, sih? Kok orang bahkan setan sering memperlakukannya seperti itu.
Ah, ya. Itu bukan pacar Ali karena cowok itu masih ngebet mendekati anak pak rw yang sering pulang pergi ke mushola. Tapi Ali tuh terkenal. Wajahnya yang agak blasteran kadang bikin cewek tuh gampang klepek klepek. Sifat hangat Ali yang mudah menolong dan wajah polos Ali ketika tertawa kadang bikin jantung perawan begetar. Gitu katanya. Kata beberapa setan yang mengagumi sosok Ali dan tidak sengaja Aji dengar. Ali tuh bisa jadi the next kak Juna karena terlalu terkenal di sekolah. Bahkan Ali juga bisa saja mewarisi sifat playboy kak Juna tapi Ali lebih sopan. Karena tadi, sepertinya hati Ali hanya untuk Ana seorang. Dan katanya Ali tidak ingin namanya berubah jadi Adhitama Jancuk Ali Badas Prihatmoko. Nggak etis banget.
Sudah hampir masuk jadi Aji mengurungkan niat untuk mengunjungi Ali lantas menyerahkan kado dari penggemar rahasianya.
Aji memilih menyimpannya ke dalam loker di depan kelasnya.
"Jadi lo mau bantuin gue?" setan tadi muncul tiba-tiba. Dengan penampilan yang sama seperti pagi tadi. Dengan darah. Aji hampir jantungan tapi masih mencoba tetap tenang agar orang sekitar tak menganggapnya aneh.
"Ji, lihat. Ini lokernya," ucapnya.
Aji menatapnya sejenak kemudian mengabaikan. Cowok itu lebih memilih masuk kelas.
Namun setan cewek itu tetap mengikuti. Dia duduk di depan Aji yang entah kenapa kursi didepannya baru kosong karena sang pemilik tidak masuk. Aji terganggu, itu pasti.
***
***Setelah nasihat panjang lebar dari Raina sore itu Arjuna masih belum tau mau bertindak seperti apa. Lia sudah dia hubungi berkali-kali tapi selalu di tolak. Setiap sosial media Arjuna bahkan diblokir oleh cewek itu. Juna sudah minta bantuan dari Ecan dan Saka namun keduanya bilang tidak bisa membantu. Itu titah Lia katanya.Dan malam ini langit jakarta sangat suram. Bukan suram karena mendung namun polusi dan suasana hati Juna yang sedang kacau."Teh? Teteh?" teriak Arjuna dari pintu depan. Yang dipanggil muncul beberapa menit setelahnya."Apa?" jawab sang empunya rumah. Namun tanpa dipersilahkan Arjuna melenggang masuk begitu saja. Kalo sudah di apartement Teh Aya, Juna tuh kadang lupa sama sopan santun."Teh, mau curhat.""Kenapa lagi sama Lia?""Dia minta break. Aku harus gimana?" jawab Arjuna sambil nyomot toples keripik tempe. Teh Aya duduk disebelahnya, mengambil toples beris
***Sudah lebih dari satu minggu dan setan itu terus mengikuti Aji kemanapun ia pergi. Walaupun sosok itu tidak sejahil sosok lainnya namun tetap saja ia merasa ngeri. Sosok itu selalu muncul tiba tiba. Dan setiap kali muncul tak pernah dalam keadaan bersih. Selalu ada darah."Akhh, please. Jangan ganggu gue, dong.""Lo selama ini diajarin buat nolong orang nggak, sih?" sosok itu melipat kedua tangan di dada. Mencegat Aji yang hendak ke kamar mandi."Diajarin.""Berarti lo harusnya bisa nolong gue." Sosok itu bedecak sembari menghentakkan kakinya. Aji ikutan berdecih."Kakak-kakak gue ngajarin buat nolong sesama manusia. Gue tegasin, MANUSIA!" Aji sengaja menekan kata terakhir sebelum kembali menyusuri lorong sekolah menuju kamar mandi."Gue kan pernah jadi manusia! Aji! AAJIII!!"Aji tak peduli. Itu bukan urusannya. Didalam kamar mandi ada sosok lain yang sedang berdiri dengan gamang.
***Mama Juna sudah menyambut dengan celemek coklat di badannya. Tanpa ragu cewek berkaos biru itu melepas tas ransel kecilnya dan melenggang untuk menyapa Mama Juna."Mama," ucap Raina sambil memeluk Mama Juna dari belakang."Udah dateng?""Udah dari tadi, tapi berhenti di Indimaret dulu makan jajan," jawab Raina."Eh, tadi langsung kesini aja. Mama, kan, masak banyak. Bikin camilan juga.""Beli keripik tempe buat Ali." Raina berkata ringan. Tidak, sebetulnya bukan untuk alasan itu Raina mampir ke Indimaret. Hanya ingin duduk menikmati lalu-lalang jalanan yang ramai.Semalam Raina bertengkar hebat dengan Mamanya. Pasal Raina yang sudah lelah dengan sikap menyebalkan kedua orang tuanya. Raina tahu sejak lama bahwa Mamanya main belakang. Membawa pulang laki-laki lain setiap kali Papa sedang dinas keluar kota. Dan kemarin malam, lagi lagi Mama membawa laki-laki yang berumur setengah abad. Raina muak d
***Aji pamit ke Ali untuk pulang terlambat. Dia bilang akan ketemu dengan Setiaji untuk membicarakan sesuatu. Padahal itu hanya alibi karena Aji akan keluar bersama Zahra.Sore itu langit barat sedang cerah. Ada cahaya oranye yang memenuhi separuh langit meski matahari belum sepenuhnya tumbang."Kak Lino, hari ini Aji mau bilang suka ke Zahra. Bilangin ke Tuhan biar semua lancar, ya?" batin Aji ditengah ramai antrian bus. Entah ramai manusia atau ramai dengan sosok aneh, intinya sore itu sangat ramai.Zahra minta ketemuan di sebuah kafe yang tak terlalu jauh dari sekolah. Kafe yang selalu mereka datangi hanya untuk ngobrol atau mengerjakan tugas bersama kawan kawan lain. Kafe itu milik kakaknya Setiaji, jadi sekalian menjadi pengelaris.Macet jakarta selalu menjadi teman paling setia di sore hari. Bersamaan dengan pulang anak sekolahan dan pekerja kantoran. Membuat seluruh kota padat akan kendaraan atau manusi
***Raina memang sudah terbiasa dengan keluarga pak Prihatmoko. Cewek itu bahkan sudah sangat bisa diajak adu mulut dengan Mas Abim, gelud dengan Ali dan Lana atau bersekongkol dengan Setiyaki untuk membuat Sonnie ngambek. Akrabnya Raina dengan keluarga Pak Prihatmoko dimulai belum lama. Namun cara Raina mendekatkan diri dengan keluarganya terlampaui hangat. Bahkan Papi dan Mama sempat ingin mengadopsi Raina. Tapi ya masa iya. Raina bukan kucing.Seperti malam ini. Raina ikutan pusing dengan Aji yang tidak memberi kabar hingga larut malam."Tenang aja, Mah. Paling Aji kejebak di kafenya Bang Jeno sama Setiaji. Nggak akan kenapa-napa." Ali berkata santai. Masih ngunyah keripik tempe yang tadi sempat dipending karena makan malam dan main uno."Iya, kali, mah. Mamah tidur aja. Pasti capek. Biar kita yang nunggu dia pulang." Setiyaki menimbuhi. Setiyaki memang pintar memprovokasi. Entah itu untuk sisi positif atau sisi negatif. Dan Mam
***Saka baru selesai mandi ketika ponselnya begetar begitu hebat. Sampai Echan yang sedang molor terganggu dan bangun dengan wajah kucel. Telfon dari Mama Raina yang menanyakan keberadaan gadis itu. Katanya sudah semalaman dia tidak pulang dan kala dihubungi tidak bisa. Saka menebak, pasti ada pertengkaran baru diantara mereka yang membuat Raina memilih keluar dari rumah. Namun setau Saka, Raina tak pernah punya tempat tujuan. Jika tidak pulang anak itu akan berdiam diri lama di depan minimarket hingga pagi menjelang.Saka tak perlu khawatir jika ada cowok yang menganggu Riana karena Raina itu preman namun khawatir Saka adalah apakah cewek itu akan baik-baik saja dan tidak melakukan hal bodoh yang Saka takutkan."Gue cuma mau tidur, bangsat." Echan bangun langsung memaki. Sedangkan Saka melenggang santai."Lo punya kamar kos sendiri, bego. Ngapain numpang tidur disini?""Raina aja boleh masa gue kagak." Echan bangkit
***"Lo berharga buat gue, jadi tolong jangan bikin gue sakit lagi," gitu katanya. Raina terdiam. Berharga?Sejauh ini tak ada seorangpun yang pernah bilang bahwa Raina berharga. Bahkan Raina sendiri berpikir tentang hidupnya yang sama sekali tak pernah berguna.Berharga bagi Raina terlalu istimewa. Hingga terdiam adalah satu-satunya cara untuk menanggapi apa yang baru saja Juna katakan.'Berharga menurut lo itu? Yang kayak gimamana?'Namun Raina tak berani bertanya. Takut akan jawab yang tak Raina inginkan terlontar dari mulut manis Arjuna.Baru saja, sebuah desiran hangat merambat dari bibir menuju hatinya. Raina sempat terpejam sebelum akhirnya sadar bahwa rasa manis itu bukan miliknya. Bahwa bibir lembut itu hanya singgah karena sebuah kekhawatiran akan banyak hal. Dan akan menghilang jika pemilik sah-nya hadir untuk memilikinya lagi."Jangan jauh-jauh dari gue mulai sekarang." Arjuna berkata de
***Hujan sudah berhenti sejak tadi namun rasanya masih banyak air yang menetes dari langit. Entah itu secara kasat mata atau hanya lamunan Aji saja. Tetap hawa suram menguasai langit malam ini.Zahra Sulistyaningrum dinyatakan meninggal pukul 10.13 menit. Masih ditanggal dan suasana yang sama. Disaksikan kakak perempuan Zahra, Setiaji, Bang Jeno dan Aji sendiri. Gadis itu terpejam meski tangis dari kakak perempuannya menggema hebat. Seolah ia tak terganggu dan tetap terlelap dengan tenang. Pucat wajah Zahra membiru, berbeda dengan sosok Zahra yang menghilang beberapa saat lalu. Bibir itu tak tersenyum dan tangan itu, Aji enggan menyentuhnya. Karena pada akhirnya meski ia genggam erat sebuah balasan tak akan Aji dapat.Aji tak menangis sama sekali. Bukan karena dia tak sedih akan kepergian itu, namun karena dia tau Zahra benci melihatnya menangis."Aji, Setiaji. Buruan sini!" teriak Zahra hari itu terngiang lagi. Teriak yang hadir