Apa yang didengar oleh Eugene benar adanya.
Setelah melewati dua perempatan utama jalanan besar di pusat Kota Suralaya, akhirnya kami menemukan sumber suara tersebut. Di celah cukup sempit di antara dua bangunan pencakar langit, terdapat tiga manusia dan dua makhluk kurus kering dengan bau busuk yang sangat menusuk ke hidung. Seorang lelaki, kakinya sedang dikunyah dengan begitu rakus oleh salah satu zombie tersebut. Matanya melotot kepada kami, terlihat kosong dan penuh kehampaan.
Dan tentu saja kami tahu. Dia telah mati.
Ada lagi seorang wanita. Sekarat di pelukan makhluk kurus kering itu. Suara kunyahan dan sebuah geraman terdengar dari sana. Leher wanita itu dikoyak cukup ganas oleh zombie tersebut. Pemandangan yang mengundang mual yang entah kenapa kami berlima seperti sudah terbiasa.
“Ada anak kecil di sudut sana,” bisik Helios yang kini berdiri di sebelah kiriku dan Eugene di sebelah kanan. Dia sudah membidik salah satu dari makhluk berbau busuk itu tanpa kehebohan. “Sepertinya dia terjebak di sana saat kedua orang tuanya berusaha menghalangi makhluk menjijikkan itu untuk menyerang putri mereka.”
“Bagaimana kau tahu kalau mereka sebuah keluarga?” Jeremy melontarkan pertanyaan konyol di waktu yang tidak tepat. Rasanya aku ingin membenturkan kepala pemuda bertubuh paling tinggi tersebut karena sempat-sempatnya mempermasalahkan hal kecil seperti ini.
“Anggap saja begitu,” Helios menjawabnya dengan begitu enteng tanpa memedulikan tatapan tajam Eugene yang tertuju kepadanya. “Perintahmu, Komandan Selvator!”
Ah benar. Kita harus bergerak dengan cepat sebelum dua zombie itu menyadari keberadaan kita dan berakhir tidak bisa menyelamatkan siapa pun. Atau bahkan bisa jadi kita dikepung oleh puluhan makhluk kurus kering tersebut dan berakhir kita mati di sini.
“Berikan tembakan beruntun pada dua makhluk kotor itu. Dan Eugene... aku serahkan anak kecil itu kepadamu.” Perintah Asher yang terdengar tidak masuk akal. Maksudnya, bagaimana caranya Eugene menyelamatkan anak kecil tersebut di bawah hujan tembakan?
Eugene tak bersuara namun sepertinya kakakku itu mengiyakan perintah Asher. Kami bertiga mulai mengangkat senjata, bersiap untuk menembakkan peluru Machine Gun tersebut kepada kedua makhluk berbau busuk tersebut.
“Mulai!”
Suara tembakan beruntun yang memekakkan telinga mulai terdengar, membuat terkejut dua zombie tersebut yang tubuhnya kini dihujani peluru oleh kami berempat. Disela-sela hujan tembakan itu, dengan lincahnya Eugene berlari. Menghindari peluru, melompat ke sana kemari dan kemudian berhasil menggapai anak kecil tersebut yang langsung memeluk Eugene.
Suara rentetan senjata itu terhenti bersamaan dengan jatuhnya dua makhluk mengerikan tersebut, berlutut kemudian terbaring kaku. Darah hitam mulai menggenang, mengucur dari lubang-lubang yang menjadi sarang peluru kami.
Dengan lembut Eugene menggendong anak kecil tersebut dan bergegas menghampiri kami. “Kita harus cepat berikan anak ini kepada tim penyelamat!”
“GGGGGRRRRRRRRHHHHHHHH!!”
Aku terkejut ketika tiba-tiba terdengar suara teriakan dari berbagai arah. Terdengar seperti geraman, ganas, dan terasa seperti sedang kelaparan? Apa pun itu, sepertinya kami sedang dalam bahaya.
Dan sepertinya bukan hanya aku yang merasakan sinyal bahaya setelah teriakan itu terdengar. Keempat rekan laki-lakiku juga merasakannya ternyata.
“Sial! Berapa banyak jumlah mereka!?” Helios bertanya dengan paniknya. Tangannya langsung bergerak mengisi amunisi senjata laras panjangnya. Kami, kecuali Eugene, juga mengisi amunisi senjata kami. Memasang sikap waspada terhadap sekitar.
“Persiapkan senjata jarak dekat kalian! Pertarungan jarak jauh tidak akan menguntungkan kita ketika jumlah musuh sedikit lebih banyak dari kita!” Asher memberi perintah dengan dirinya mulai menyimpan senapannya di punggung, kemudian menarik keluar sebuah pedang dengan lempeng besi yang meruncing di ujungnya. Bermata dua dan terlihat sangat tajam.
Kami berempat pun tidak ada pilihan lain selain menuruti perintah Asher. Mengeluarkan pedang kami sembari mengatur formasi, kami melangkah keluar dari gang kecil ini kemudian pergi menuju Tim Penyelamat yang berada di perbatasan.
Sinyal bahaya semakin berdering kuat di pikiranku begitu jalanan besar terlihat di mata. Perasaan gelisah yang mengocok perut mulai terasa, mengantarkan ketidaknyamanan yang membuat tanganku gemetar ketika memegang pedangku.
Suara desisan, geraman, dan langkah kaki yang terkesan terburu-buru mulai terdengar ketika kami berada di hadapan sebuah perempatan besar. Aku semakin meningkatkan kewaspadaan, mengantisipasi kemunculan mendadak agar aku tidak begitu terkejut dan berakhir melakukan hal ceroboh yang membahayakan nyawa.
Mataku membulat saat kami berlima benar-benar menapakkan kaki di perempatan jalan. Dari sisi kanan dan kiri, puluhan makhluk kurus kering berlarian hendak menerjang kami. Suara melengking kesenangan ketika melihat enam orang manusia hidup terdengar seiring kecepatan berlari mereka semakin bertambah.
“Lebih baik kita lari! Kita hanya berlima, tidak mungkin untuk menghabisi mereka sekaligus.” Jeremy bersuara dengan wajah paniknya. Kami menatap Asher yang mengeraskan wajahnya. Terlihat berpikir apakah dia harus menuruti perkataan Jeremy atau tidak.
“Asher!” bentakku ketika sekian banyak waktu mulai terbuang karena lamunan Asher yang entah memikirkan apa. Tapi yang pasti, aku mengetahui jika Asher tidak ingin secepat itu berlari ke Tim Penyelamat. Dia pasti ingin menghabisi zombie-zombie ini agar mempermudah kami dalam menjalan misi selanjutnya.
“Baiklah, baiklah! Kita lari saja, sial!” teriak Asher penuh kemarahan karena terjebak dalam kegundahannya sendiri. Kami kemudian berlari, membiarkan Jeremy dan Asher berada di barisan paling belakang formasi kami. Sedangkan aku berlari paling depan bersama Eugene yang menggendong anak kecil yang kami selamatkan.
Suara rentetan senjata kembali terdengar. Asher, Jeremy, dan Helios sedang menembakkan peluru amunisi mereka, mencegah gerombolan makhluk berbau busuk itu mendekati kami. Mataku kembali membulat saat meluruskan pandanganku ke depan.
Ada sekitar tiga zombie yang tiba-tiba muncul dari sebuah pertigaan kecil. Mereka terlihat linglung, sepertinya mereka merasa tertarik setelah mendengar suara rentetan senjata tadi.
“Kau siap, Adik?” Eugene bertanya dengan sebelah tangannya yang mengeluarkan pedang dari sarungnya. Aku sontak menatapnya yang sedang menatap datar zombie-zombie di depan kami yang berlarian menghampiri kami.
Aku mengangguk, menarik keluar katana milikku dari sarungnya. Berlari terlebih dahulu untuk menerjang tiga zombie tersebut yang juga menghunuskan cakar mereka. Bilah logam dengan satu mata pedang milikku melesat dan menari di udara. Memotong tulang yang terbalut kulit makhluk menjijikkan tersebut secara brutal. Darah hitam terciprat, mengotori jalanan dan juga pedangku.
“Nice job, Yveria!” sebuah teriakan terdengar nyaring di belakangku saat aku selesai membelah para zombie yang mengganggu jalan kami. Aku berbalik dan mendapati Helios tengah mengacungkan ibu jarinya sambil berlari mendekatiku.
“Cepat berlari kembali!” seru Asher dan kami kembali berlari dengan formasi yang sama seperti sebelumnya. Mobil Tim Penyelamat sudah terlihat dan sepertinya hendak menancapkan gasnya ketika kami terlihat di radar mereka.
Melihat itu Eugene mempercepat larinya, memegang kepala belakang anak kecil tersebut agar tak berguncang hebat karena berlari secepat angin. Aku bernapas lega ketika anak kecil itu langsung diterima oleh salah satu Tim Penyelamat yang menunggu di mobil.
“Cepat pergilah! Kami masih harus mengumpulkan bahan makanan!” seru Asher saat anggota Tim Penyelamat menatap kami yang tak kunjung menaiki mobil besar tersebut. “Masih banyak kendaraan layak pakai di sini. Kami akan mengendarai mereka untuk kembali ke Erythroupoli!” Lanjutnya berusaha meyakin anggota Tim Penyelamat itu untuk membiarkan kami untuk berada di sini sedikit lebih lama lagi.
Mobil itu akhirnya menggeram kemudian melaju dengan kecepatan sedang ke arah timur, menuju ke kota dibalik tembok yang menjadi tempat teraman dari wabah zombie ini.
“Baiklah, sekarang... apa yang harus kita lakukan dengan mereka?” tanya Helios dengan wajah jengkelnya menatap gerombolan makhluk kurus kering yang berteriak-teriak dengan air liur menetes dari mulut mereka. Aku mengernyit jijik begitu melihatnya.
“Haruskah kita melawan mereka?” tanyaku tanpa sadar memberikan tatapan ngeri pada Asher yang sialnya menganggukkan kepalanya. “Kau serius!? Kita menebas mereka sebanyak ini!?” Aku marah dengan keputusan akhir Asher. Rasanya ingin sekali aku memukulnya dengan gagang katanaku, tepat di belakang kepalanya. Hanya saja aku mengurungkannya karena itu percuma.
“Tidak ada pilihan lain,” cicit Asher seraya menghunuskan pedangnya.
Tidak ada pilihan lain. Kami menghunuskan pedang, berlari menerjang kawanan makhluk kurus kering tersebut.
To Be Continue.
Lautan darah hitam tercipta, memenuhi jalan utama Kota Suralaya yang senggang. Tubuh-tubuh yang kurus kering, tinggal tulang yang terbalut kulit tergeletak di sana-sini. Potongan tangan, bahkan hingga kepala pun ikut memeriahkan acara menghias jalanan besar tersebut.Aku terengah, menatap satu persatu anatomi tubuh yang terlepas dari batang kokohnya karena tebasanku. Sudah setengah jam berlalu, tapi jumlah dari makhluk menjijikkan ini tidak berkurang sedikit pun. Semakin bertambah hingga membuat kami kewalahan. Bahkan ada beberapa dari mereka yang membuatku terkejut.Mereka membawa bahan peledak! Entah dari mana mereka mendapatkannya, tapi yang pasti mereka mengerti cara menggunakannya. Dan itu membuat kami kewalahan karena harus menghindari tempat yang dilempari bahan peledak tersebut.“Kalau begini terus, kita bisa mati di sini!” Tidak jauh dari tempatku, Helios terdengar sedang mengeluh. K
Serpihan-serpihan ingatan yang berisikan kobaran api mengganggu kegelapanku.Eugene yang berlari kesetanan mengejar Reptilian yang menyanderaku.Kemudian terdengar sebuah ledakan dan berakhir aku mati di pelukan seseorang misterius.Aku melompat bangun. Memaksakan membuka mata begitu saja hingga sebuah denyutan yang terasa perih di kelopak mata kiriku. Sebelah pandanganku juga terlihat gelap. Apakah aku mengalami kebutaan di sebelah mataku?Ada sebuah rasa sakit lain yang terasa di berbagai tempat di sekujur tubuhku. Ada sebuah perasaan hampa, dan sebuah rasa lapar yang sangat luar biasa hingga membuat tenggorokanku terasa kering. Mungkin jika aku bersuara sedikit saja bisa menyebabkan tenggorokanku lecet.Namun mengabaikan kekhawatiranku, aku memilih untuk melihat sekitar. Tempat yang sangat asing. Usang, berdebu, terlihat sudah ditinggalkan pu
Di sinilah aku. Berada di sebuah ruangan yang sepertinya adalah sebuah kantor di masa lampau. Bersama dengan Aquilla yang sedang sibuk memperhatikanku yang berdiri kikuk di hadapannya. Pria itu menyenderkan bokongnya pada meja yang telah berjamur, kedua tangannya menyilang di dada. Benar-benar terasa seperti aku sedang diinterogasi oleh atasan karena melakukan kesalahan.“Sejujurnya, aku juga merasa takjub dengan kecepatanmu menerima suatu hal di luar logika, seperti saat ini.” Dia membuka suara setelah sekian menit diselimuti keheningan. “Tapi itu membuatku bisa menghemat waktu untuk meyakinkanmu akan kenyataan.”Aku hanya mengangguk dan terus menatap Aquilla yang melakukan hal yang sama denganku. Tidak ada percakapan lagi selanjutnya. Kembali diselimuti keheningan, membiarkan suara-suara alam dan desis angin menguasai indra pendengaran kami.“Kau tahu siapa aku?”
Tepat tengah malam, aku berada di atas bukit di sebuah padang rumput maha luas bersama dengan Seonghwa. Setelah sesi perkenalan itu, Aquilla tanpa menjelaskan apa pun lagi langsung memerintah Seonghwa untuk menjadi pemanduku dalam pelajaran pertama sebagai seorang Seraphie.“Aku sudah mendengar garis besarnya dari Aquilla tentang dunia ini,” ujarku membuka percakapan dengan kakak satu darahku yang sedang berdiri di ujung bukit kecil ini. “Jadi, kau sudah setua apa untuk menjadi seorang Seraphie?” Hening sejenak, kakak satu darahku itu tak bergeming sama sekali. Angin malam yang dingin yang tak dapat kurasakan berembus, menerbang surai hitamku dan juga Seonghwa yang masih berdiri di sana. Mendongak menatap langit yang bertabur bintang.“Empat puluh delapan tahun.” Seonghwa bersuara tanpa emosi dan tak berniat mengalihkan sed
Aku membulatkan mataku karena tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Yoon Seonghwa, dengan santainya mengizinkan para perampok itu untuk bersenang-senang denganku. Amarahku mendadak menyentuh ubun-ubun. Iblis di dalam tubuhku pun meraung, merasa tidak terima dengan ucapan kakak satu darahku itu. “Yoon Seonghwa,” panggilku, merasa terkhianati dan dia tetap bergeming, bahkan dia tak menoleh kepadaku ataupun melirikku. Menyebalkan. “Ini pelatihanmu. Aku yakin kau bisa bela diri jika dilihat dari pakaianmu yang kau pakai saat pertama kali Aquilla membawamu kemari.” Akhirnya dia bersuara namun tetap saja menyebalkan di mataku. Aku mendengus kesal, mengarahkan mataku untuk melihat salah satu dari mereka, para perampok itu, mendekatiku dengan senyuman nakalnya. Mungkin pria gendut dengan tangan yang diselimuti oleh kotoran itu berpikir kalau anak perempuan
Sedikit mengentakkan kakiku dengan sengaja karena kesal, Aku melangkah menuju Aquilla. Kuharap pria tampan itu masih berada di ruangannya.Seonghwa benar-benar pergi, tanpa memberikanku sebuah kesempatan untuk menyusulnya karena rasa penasaran yang melambung tinggi ke atas langit. Alhasil, aku merasa kesal seperti seorang anak kecil yang ditinggal kakak tercintanya.Dan itu membuatku merinding.Aku terperanjat terkejut saat pintu coklat yang hendak kubuka tiba-tiba terbuka dengan sendirinya. Menampilkan wajah dingin Aquilla yang melemahkan sedikit otot wajahnya. Baru kali ini kulihat wajah terkejutnya itu.“Fajar masih lama, cepat sekali kau kembali,” ucapnya segera menutup kembali pintu coklat tersebut dan kami berdiri saling berhadapan. Sial, tinggi badanku hanya sebatas tulang selangkanya saja. Dan itu membuatku harus mendongak untuk menatap tepat di mata ungunya.
Aku melompat dan terbangun di malam berikutnya karena sebuah suara gaduh dari luar gudang ini.Sebuah gudang yang tak tersentuh oleh cahaya matahari sedikit pun dan aku memutuskan untuk tidur di sini setelah mengucapkan selamat tidur kepada Aquilla. Dan benar saja, aku membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk terpejam.Aku beranjak dari posisiku, duduk meringkuk di sudut gudang. Keluar dari tempat ini untuk memeriksa apa yang sedang terjadi di luar sana. Lorong gelap dan berbau apak. Berantakan. Kertas-kertas berjamur yang berserakan di seluruh lantai kayu yang berderit setiap kali kuinjak. Dan terkadang aku mencium aroma darah yang sudah disamarkan oleh bau jamur yang entah pusatnya di mana.Aku menengok di balik tembok berjamur dan retak, mendapati sosok Yoon Seonghwa yang sedang berhadapan dengan seorang pria yang tak kukenal di ruang terbuka di bangunan tua ini. Pria itu bersurai hitam kec
Lusinan kilometer sudah kami lewati ketiak tengah malam tiba.Melewati padang rumput, hutan kecil, dan juga reruntuhan bangunan. Aquilla membimbing kami semua menuju ke arah timur tanpa istirahat ataupun sekedar berbelok untuk berburu darah. Perjalanan kami sesekali terhenti karena pertikaian antara Jake dan Seonghwa yang selalu berakhir dengan baku hantam.Awalnya mereka saling melontarkan ejekan, kemudian memaparkan semua dosa-dosa mereka masing-masing, saling menyalahkan atas dosa tersebut, dan berakhir mereka saling berbagi bogem mentah . Aquilla sendiri hanya sesekali memberi peringatan pada mereka, tanpa berniat melerai.“Apakah kalian berdua bisa berhenti berdebat seperti itu?!” Aku bertanya untuk ke sekian kalinya. Belum genap setengah jam baru saja saling memukul, kedua kakak satu darahku itu kembali berdebat. “Terlalu banyak luka yang kalian ciptakan walaupun sembuh d