“Ma-Mas Al …”
Rumi mundur satu langkah, tetapi tubuhnya langsung menabrak meja resepsionis hotel yang berada tepat di belakang. Ia baru saja berbalik dan terkejut bukan main saat mendapati Alpha ada di hadapannya. Beberapa saat yang lalu, ia sukses menghindar dari Dandi yang terpaku menatap tanya dari kejauhan. Namun, saat ini ia sama sekali tidak bisa menghindari Alpha yang berada tepat di depannya.
“Rumi Ayudhia.” Alpha menarik napas, lalu membuka topi yang dipakai gadis itu secara perlahan. Sejak menginjakkan kaki di lobi hotel, entah mengapa Alpha yakin sekali gadis yang dilihatnya di depan meja resepsionis adalah Rumi. Meskipun gadis itu memakai topi dan terlihat sering menunduk, tetapi bentuk dan gestur tubuh yang ditampilkan, membuat Alpha sangat penasaran.
“A-aku … aku cuma sebentar.” Rumi menggeser langkahnya, ketika melihat seseorang hendak menghampiri meja resepsionis. “Mau nitip kado buat resepsi mas Qai nanti malam. Permisi.”
“Eit!” Dengan sigap, Alpha meraih siku Rumi lalu membawa gadis itu dengan paksa menuju parkiran basement. “Kamu pikir, kamu bisa pergi begitu aja?”
Rumi menelan ludah. Jantungnya mulai berdebar tidak karuan, karena kalimat Alpha yang bernada mengancam. Rumi kembali mengingat sebuah kardus yang berisi rahasia perusahaan, yang pernah ia serahkan pada Qai beberapa waktu lalu. Karena isi dari kardus itu pula, perusahaan milik keluarga Mahawira – Glory – harus jatuh dan kembali merangkak dari bawah.
“Mas … sakiiit.” Rumi benar-benar merasakan nyeri di lengannya, akibat cengkraman Alpha yang terlampau erat.
“Sakit?” Alpha tertawa pelan sembari terus menarik Rumi dengan kasar. “Kamu belum tahu apa itu namanya sakit? Perusahaan papaku kamu buat berantakan. Papaku meninggal. Hera sampai sekarang masih ada di kursi roda. Jadi, apa masih harus aku jelaskan, apa itu sakit?”
Rumi kembali meneguk ludah. Matanya terbelalak setelah mendengar penuturan Alpha. Apakah, semua itu hasil dari perbuatan Rumi?
“Berani-beraninya kamu bocorin rahasia perusahaan ke Qai, he!” Alpha melepas kasar lengan Rumi, sekaligus menghempas gadis itu ketika mereka berdua sudah berada di basement. Tepatnya, di depan Alpha memarkirkan mobilnya. Ia mengeluarkan remote kunci mobil, lalu membukanya. “Masuk ke dalam dan jangan coba-coba kabur!”
Rumi menggeleng cemas. Ia ingin berlari, tetapi kakinya seolah terpaku di hadapan Alpha. Ada banyak rasa takut dan rasa bersalah karena sudah membuat kerusuhan sebesar itu. Ternyata, tidak hanya Glory yang terkena imbas dari “pengkhianatan” Rumi, tetapi keluarga dari pendiri perusahaan pun terkena imbasnya.
“Mas, a-aku minta maaf.” Tangan Rumi hanya bisa mengepal erat, untuk menahan tremor yang kini mendera. “A-aku nggak bermak—”
“Kamu pilih masuk sendiri.” Alpha menunjuk pintu mobil di sisi penumpang bagian depan dengan garang. “Atau aku seret dan paksa seperti tadi.”
“A-aku masuk.” Dengan gemetar, Rumi berjalan rikuh menuju pintu yang ditunjuk Alpha dan masuk tanpa bisa melempar protes dan bantahan sama sekali. Kali ini, Rumi benar-benar terpukul dan menyesal atas semua perbuatannya kala itu. Jika tahu akibatnya sampai harus menghilangkan nyawa, Rumi pasti tidak akan pernah melakukannya.
Alpha akhirnya bisa menghela panjang. Entah itu menunjukkan rasa lega, senang, marah, ataukah kesal karena bisa kembali bertemu dengan Rumi. Ada rasa yang tidak bisa ia ungkapkan dan hal itu akan Alpha cari tahu, setelah membawa Rumi ke apartemennya.
Ya, Alpha akan membawa Rumi ke unit miliknya. Tempat di mana mereka biasa menghabiskan waktu dengan bebas dan melakukan semua hal tanpa batas.
Akan tetapi, baru saja Alpha membuka pintu mobil, suara klakson dari mobil yang berhenti di depannya, seketika membuat Alpha mengumpat pelan. Risa, gadis yang dijodohkan dengannya kini baru saja membuka jendela kaca mobilnya.
“Al, aku cari …” Tatapan Risa memicing, saat melihat sosok seorang gadis di dalam mobil Alpha. Merasa pernah bertemu dengan gadis itu, Risa lantas kembali menatap Alpha yang menutup pintu dengan kasar. Pria itu berjalan ke arahnya, lalu menunduk dengan kedua tangan bertumpu pada bingkai jendela kaca mobil.
“Aku—”
“Siapa dia, Al?” Risa menunjuk ke arah mobil Alpha dengan dagunya. “Kenapa aku kayaknya nggak asing dengan mukanya?”
“Dia …” Alpha menghela lalu menoleh sebentar ke arah Rumi. “Dia orang yang sudah bocorin rahasia perusahaan.”
“Rumi bukan?” Risa mengumpat keras. Ia baru saja hendak membuka pintu, tetapi Alpha kembali menutup dan menahannya. “Dia, perempuan yang masuk ke unitmu waktu itu, kan? Dia—”
“Iya, dia!” Alpha tidak akan membantah. Karena semakin Alpha berkelit, maka rencananya bisa berantakan. “Aku mau bawa di ke kantor polisi. Aku mau buat laporan—”
“Serius kamu mau bawa dia ke kantor polisi?” Antara percaya dan tidak, tetapi Alpha punya alasan kuat untuk melakukan itu semua. Lagipula, tidak ada yang perlu Risa khawatirkan, karena dirinya dan Alpha juga akan menikah tidak lama lagi. Gadis itu memang pembuat onar dan harus diberi hukuman setimpal, atas semua perbuatannya pada keluarga dan perusahaan.
“Kenapa? Nggak percaya?” Alpha semakin menunduk dan mendekatkan wajahnya dengan Risa. Ia memberi satu kecupan singkat, lalu kembali berdiri dan menatap sejenak pada Rumi. “Pergi duluan ke atas, tapi jangan bilang sama siapa-siapa, misal kamu ketemu Rafa atau yang lainnya.”
Risa tersenyum tipis. “Tapi, kenapa dia bisa diam dan nurut begitu? Kalau aku jadi dia, aku pasti bakal kabur waktu kamu tinggal.”
“Berani kabur, keluarganya di Malang aku pastikan bakal dapat masalah.” Alpha mengusap sisi wajah Risa sebentar, lalu menunjuk ke arah belakang mobil wanita itu. Ada sebuah mobil yang berjalan pelan ke arah mereka. Entah sedang mencari tempat parkir, atau hendak keluar dari basement. “Buruan cari parkir. Terus masuk ke dalam.”
Risa mengangguk-angguk dan segera mengganti persneling mobilnya. Alasan yang dikemukakan Alpha sungguh masuk di akal, jadi Risa tidak perlu curiga dan ikut campur. “Aku cari parkir dulu, terus ke atas. Buruan balik, I love you.”
“Hm …” Alpha melambai pada Risa dengan senyum tipisnya. Permasalahan dengan Risa selesai dengan mudah dan tinggal menyelesaikan permasalahannya dengan Rumi. “Love you too.”
Baru beberapa detik mobil Risa melesat melewatinya, Alpha segera berbalik dan masuk ke dalam mobilnya.
“Aku mau muntah.” Rumi tidak bisa menjelaskan dan mengungkapkan perasaannya saat ini. Ada rasa sakit, mual, benci, dan marah yang bercampur aduk jadi satu saat melihat Alpha mencium Risa. Wanita yang ternyata lebih dicintai Alpha dan kabarnya mereka berdua akan menikah sebentar lagi.
Semua yang dilakukan Rumi selama ini, ternyata tidak pernah dianggap sama sekali oleh Alpha. Rumi bahkan rela memberikan segalanya pada Alpha, tetapi semua itu hanya berakhir sia-sia. Pada akhirnya, Alpha lebih memilih mencampakkan Rumi dan lebih memilih wanita itu.
“Mau pura-pura sakit?” Alpha menstarter mobilnya dan tidak memedulikan keluhan Rumi.
“Aku jijik dan mau muntah waktu lihat kamu sama dia.”
“Hei!” Alpha menghardik dan tidak jadi menginjak pedal gasnya dan menetralkan persnelingnya. “Jangan sok—”
“Apa maumu, Mas?” Mengingat perlakuan Alpha yang membuangnya seperti sampah dan tidak pernah membalas rasa cintanya, Rumi mendadak memiliki semua keberanian itu. “Mau kamu bawa ke mana aku sekarang?”
“Kamu bahkan nggak punya hak untuk bicara, setelah semua yang sudah kamu lakukan dengan keluarga dan perusahaan papaku!”
Rumi tersentak ketika Alpha semakin mengeraskan suaranya. Rasa gemetar itu kembali datang, karena sosok Alpha memang terlalu mengintimidasi.
“Aku—”
“Diam!” hardik Alpha mulai mengganti persnelingnya dan membawa mobilnya melaju keluar dari basement. “Hak kamu itu cuma satu, yaitu diam! Berani teriak atau macam-macam, keluargamu … yang bakal menderita. Aku jamin itu!”
~~~~~~~~~~
Setelah sekian purnama, akhirnya Rumi bisa rilis jugak ~~~
Hepi riding Mba beb ... kissseeesss .....
“Ini …” Setelah sekian lama menutup mulut karena ancaman Alpha, Rumi akhirnya angkat bicara. Ia menegakkan tubuh dan menatap pelan area parkir yang baru mereka masuki. “Apartemen …”Rumi sampai tidak bisa berpikir sama sekali, ketika menatap gedung apartemen yang dulu sering didatanginya. Bahkan, Rumi juga sempat mengenal beberapa pegawai yang bekerja di tempat tersebut, karena terlalu sering menghabiskan waktu di unit milik Alpha.“Mau … mau apa kamu bawa aku ke sini, Mas?” Sejak tadi, Rumi memilih diam karena tidak ingin keluarganya mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan. Namun, saat ini yang harus dipikirkan Rumi adalah nasib dirinya sendiri.Rumi telah membuat Glory mengalami krisis dan mengakibatkan Lingga meninggal dunia. Jangan-jangan, Alpha ingin membalaskan semua sakit hati itu pada Rumi dengan mencelakakannya.Tidak … Rumi tidak boleh mati konyol di tangan Alpha.“Sudah kubilang jangan macam-macam, atau keluargamu—”“Mas!” Detak jantung Rumi mulai meningkat tajam. Terlebi
Setelah membayar ojek online, Rumi sibuk mondar mandir di depan sebuah pagar yang megah. Hampir semalaman ia tidak bisa tidur, karena memikirkan kondisi Alpha. Apakah pria itu tidak apa-apa, setelah Rumi memukulkan vas bunga ke pelipis pria itu?Rumi jadi bingung dan ketakutan sendiri. Sampai akhirnya, ia memutuskan untuk menelepon beberapa teman lamanya yang berprofesi sebagai wartawan, untuk bertanya keberadaan dan posisi Qai saat ini.Rumi tahu pria itu baru saja melangsungkan resepsi pernikahan tadi malam. Namun, Rumi yang tidak bisa lagi berpikir jernih itu, hanya bisa mengingat Qai di masa sekarang.Sampai akhirnya, sampailah Rumi di depan sebuah rumah mewah, berdasarkan informasi yang didapatnya beberapa waktu lalu.Saat Rumi mendengar suara pergerakan pintu pagar di depannya, ia langsung terpaku dan tidak bisa melangkah pergi ke mana pun.“Dari tadi saya lihat Mbaknya mondar mandir di depan pagar, apa ada yang bisa saya bantu?”Rumi menelan ludah. Ia yakin, pria yang menghampi
“Kalian berdua sudah GILA? Ha?” Dandi melotot sembari mendesis, saat menatap Qai dan Thea yang kembali ke meja makan. Dandi yang masih menikmati beberapa camilan itu, sontak kehilangan selera makan karena perkataan Thea barusan. “Qai! Kamu punya apartemen, kan? Kenapa nggak simpan si Rumi itu di sana? Aku nggak mau ikut-ikut urusan kalian!”Jaya hanya melirik sekilas pada Dandi, kemudian kembali beralih pada tablet di yang masih melekat di tangan. Ia belum berminat untuk ikut campur dan masih menyimak pembicaraan yang ada.“Enak aja!” protes Thea sambil memeluk erat lengan Qai. “Kami masih make apartemen itu, Dan! Jadi—”“Urusan Rumi sama Alpha, itu bukan urusanku!” Dandi menolak telak permintaan tolong tersebut. “Apa kata mamaku, kalau tahu ada cewek tinggal di rumah, The?”“Nanti, biar aku yang ngomong sama tante Tya.” Terus terang, Thea benar-benar kasihan setelah mendengar semua cerita Rumi. Jika gadis itu dibiarkan seorang diri di luar sana, Alpha pasti akan membalaskan dendamnya
“Rumi?” Rafa segera berdiri dari kursinya, ketika melihat Rumi berjalan bersama Qai dan Dandi. Debaran jantung yang tadinya baik-baik saja, mendadak berdegup tidak karuan setelah melihat gadis itu di depan mata.Rafa kira, hatinya sudah aman-aman saja setelah Rumi menghilang tanpa kabar sama sekali. Terlebih lagi, Rafa telah memiliki Hera yang sudah menjadi pusat dunianya selain Glory.“Mas! Urgen!” Qai segera berceletuk, sembari menarik kursi di samping Rafa dan duduk di sana. “Tolong telpon Alpha dan cari tahu posisi dia sekarang. Aku tadi sempat nelpon bu Agnes dan— Mas!” Qai sampai harus menepuk lengan Rafa, yang masih saja tercenung saat melihat Rumi. Dahulu kala, Rafa memang memendam rasa pada Rumi, tetapi tidak berbalas. Namun, Qai tidak menduga jika perasaan itu ternyata masih ada sampai saat ini.“Ah ya! Rumi!” Rafa mengerjap. Ia kembali duduk dengan perlahan, tanpa melepas tatapan penasaran pada gadis itu. “Risa bilang, kemarin kamu pergi sama Alpha ke kantor polisi.”Dandi
“Maaf kalau saya sudah merepotkan,” ucap Rumi setelah melakukan perkenalan singkat dengan ibu Dandi. Saat pertama kali bertemu, Rumi cukup terkejut karena penampilan wanita yang bernama Tya itu ternyata cukup sederhana. Tidak seperti wanita dari kelas atas pada umumnya, yang kerap berpakaian modis dan terlihat mahal. Bahkan, Tya datang ke rumah putranya hanya dengan mengenakan sandal jepit.“Nggak masalah. Tante juga sudah dengar semuanya.” Tya melirik putranya dengan malas. Pria itu berada di antara Rumi dan Tya yang kini duduk berseberangan. “Jadi, nggak usah sungkan. Anggap rumah sendiri dan kamu bisa tinggal sampai ada titik terang.”Rumi tertawa sungkan. “Nggak sampe lama, kok, Tante. Mungkin, dua tiga hari masalahnya sudah selesai. Kalau saya sudah tahu kondisi orang itu, saya pasti langsung pergi dari sini.”“Pergi? Mau pergi ke mana?” Sebenarnya, Tya penasaran dengan putranya. Apakah Dandi tidak tertarik dengan gadis secantik Rumi. Kira-kira, akankah terjadi “sesuatu” ketika m
Langkah Dandi memelan, saat menghidu aroma yang hampir tidak pernah ada di rumahnya. Aroma masakan, yang seketika itu juga membuat perutnya bergejolak.Rumi!Apa gadis itu tengah memasak di rumahnya saat ini?Namun, darimana Rumi mendapatkan semua bahan, karena Dandi sama sekali tidak memiliki apa pun untuk di masak. Karena itulah, Dandi bergegas mempercepat langkahnya menuruni tangga dan langsung menuju dapur.“Ehm!” Ternyata benar, Rumi saat ini tengah berdiri di depan kompor dan tengah berhadapan dengan sebuah wajan berukuran sedang. Namun, apa yang sedang dimasak Rumi saat ini? Dan apa yang sedang diolah gadis itu, sehingga aroma yang menyebar di area rumahnya sungguh membuat perut Dandi melontarkan protesnya. “Rumi!”“Oh!” Rumi menoleh sebentar, lalu kembali fokus pada wajan kecilnya. “Mas Dandi sudah bangun?”“Kamu tadi keluar?” Dandi menarik kursi di meja makan yang hanya berjarak sekitar tiga meter dari tempat Rumi berdiri. Ia berasumsi, Rumi pergi ke minimarket di sekitar kom
Rumi segera berlari meninggalkan Dandi di dapur, ketika pria itu mengabarkan Rafa datang untuk menemuinya. Terlebih, saat Dandi mengatakan Rafa membawa kabar tentang Alpha. Debaran jantungnya mendadak berpacu laju, karena mengingat kondisi terakhir ketika Rumi meninggalkan Alpha di apartemen.“Pak Rafa!” Rumi berseru ketika melihat pria itu benar-benar ada di ruang tamu. Ia benar-benar gelisah, memikirkan nasibnya setelah ini. “Mas Al gimana? Apa dia baik-baik aja?”“Aa …” Rafa berdiri seketika saat melihat sosok Rumi di depan mata. Sangat sederhana dan hal tersebut membuat ketertarikan tersendiri bagi Rafa. Rasa itu, ternyata belum benar-benar pergi meskipun sudah ada Hera yang Rafa pikirkan setiap hari. “Aku mau ngajak kamu keluar.”Mendengar Rafa tidak menggunakan bahasa formalnya, Rumi mendadak canggung. Mereka memang bukan lagi atasan dan bawahan seperti dulu, tetapi Rumi tetap merasa ada sebuah jarak yang tetap harus dijaga. Bahkan, Rumi saja masih memanggil pria itu dengan sebu
“Maaf …” Dengan begini, Rumi jadi tahu bagaimana harus mengambil sikap ketika menghadapi Rafa. Rumi tahu, pria itu pernah mencoba mendekatinya dahulu kala. Namun, Rumi memilih mundur dan menjauh karena saat itu masih menjalin hubungan dengan Alpha.Untuk sekarang, Rumi juga akan tetap memilih menjaga jarak, karena Rafa saat ini sudah menikah dengan Hera. Dan bagian terpenting dari semuanya ialah, Rumi tidak memiliki perasaan apa pun pada Rafa. Tidak pernah ada percikan sedikit pun, ketika ia melihat atau sedang bersama Rafa seperti sekarang. Tidak hanya itu, saat ini Rumi hanya ingin fokus pada dirinya sendiri dan menata karir yang harus kembali ia mulai dari bawah.“Kamu nggak perlu minta maaf.” Dari ekspresi Rumi, Rafa mengerti saat ini gadis itu kembali akan menolaknya. Setelah berterus terang dengan perasaannya Rafa, wajah Rumi sudah tidak seantusias sebelumnya. Senyum yang ditampilkannya pun, benar-benar terkesan datar dan dipaksakan.“Saya harus minta maaf, karena nggak akan bis