Hai, sudah tayang chapter 9. Yuk, jangan lupa subscribe dan bagi gem kamu buat aku, ya. Biar aku semakin semangat untuk up🥰
Rasa curiga mulai menyergap. Tapi, tak berani untuk bertanya apalagi memeriksa ponselnya. Benda berlayar sentuh itu hampir tak pernah lepas dari genggamannya."Mas," Suara manja Lina menyadarkanku dari lamunan. "Hum," jawabku, malas. Pikiran ini masih menerawang tentang Jane.Lina yang duduk di pinggir meja kerjaku, menelengkan kepalanya."Kamu kenapa, Mas? Sakit?" Tangannya diletakkan di atas dahiku. Namun, dengan cepat kutepis."Apaan sih kamu, Lin?""Kamu aneh deh, Mas. Kamu sakit?" Lagi, Lina mencoba meraba pipiku.Aku berdecak sebal. "Nggak, aku nggak sakit. Aku cuma lagi nggak pengen diganggu."Lina menatapku nyalang. "Kamu kok ketus begitu sih, Mas? Aku perhatikan, sejak kepulangan si gorilla, kamu jadi berubah.""Jaga bicaramu, Lina. Dia masih istriku. Atasan kamu di perusahaan ini."Wajah Lina berubah murung. Matanya mulai berkaca-kaca. "Kamu bentak aku, Mas?"Kuhela napas kasar. Terbersit rasa kasihan sebenarnya. Tapi, Jane benar-benar sedang sangat mengganggu pikiranku saat
KUBALAS PENGHIANATANMU, MAS PART : 10[Oke, abang segera ke sana. Kamu jangan masuk dulu. Tunggu abang datang. Kebetulan banget, Revan baru sampai naik pesawat terakhir tadi.][Bang Revan? Kok bisa?][Katanya besok dia ada meeting penting dadakan. Sekalian aja dia abang ajak buat menggerebek Firman.]Aku tersenyum miring. Tamatlah sudah riwayatmu kali ini, Mas![Oke, Bang. Aku tunggu!]Aku berinisiatif untuk mendatangi RT setempat. Karena khawatir dianggap membuat kerusuhan.Kuputar mobil menuju pos jaga tadi. Pasti pihak keamanan komplek tahu di mana rumah RT setempat."Ya, Bu, ada yang bisa dibantu?" tanya salah seorang petugas jaga."Saya mau ketemu nih sama Pak RT. Rumahnya di mana ya, Pak?"Security tersebut ke luar dari pos jaga untuk menunjukkan arah. "Oh, Ibu cukup ke luar dengan belok ke kanan. Hanya beberapa meter aja kok dari sini. Nanti di sebelah kanan, ada papan namanya. Pak Samsul namanya.""Baik, terima kasih, Pak.""Kalau boleh tahu, ada keperluan apa ya, Bu, malam-m
"Sebenarnya saya kurang begitu yakin. Tapi mereka terus mendesak saya dan berusaha meyakinkan. Alasan mereka, kartu keluarga sedang diurus, karena saat itu mereka masih baru menikah. Ketika saya minta buku nikah, mereka beralasan masih tertinggal di Bandung." "Setelah itu, Bapak tidak minta lagi data-data mereka?" Pak Samsul menghela napas sambil membuka kaca matanya. "Itulah kecerobohan saya, Dik. Beberapa kali saya ingin menemui mereka, tapi selalu gagal. Mereka jarang di rumah. Kabar yang saya terima, mereka sering pulang larut malam. Lama kelamaan, saya jadi lupa," sesalnya. "Lalu, apa rencana Adik?" Istri Pak Samsul bersuara. "Saya dan abang-abang saya berencana menggerebek mereka. Makanya saya ke mari. Supaya Bapak bisa menyaksikan sendiri kelakuan salah satu warga Bapak. Setelah itu, tinggal Bapak yang memutuskan. Masih menerima mereka kumpul kebo di sini atau tidak." "Sebenarnya rumah itu bukan rumah Pak Firman." Mataku membelalak kaget. "Terus, rumah siapa, Pak?" "Itu r
"Maafkan aku, Sayang. Aku- " "Nggak usah banyak alasan!" potongku cepat. "Mendingan sekarang turun dan bicara langsung!" Suara napas Mas Firman terdengar dihela panjang. "Tunggu … Aku turun," Suaranya tercekat, serak. Sambungan telepon terputus. Kutatap nanar mobil paj*ro hitam yang terparkir. Bisa-bisanya tadi dia memeluk dan mencumbu, setelah itu dia berpindah ke pelukan wanita lain untuk dicumbu juga. "Gimana, Jane, mana si Firman?" tegur Bang Revan. "Sebentar, Bang. Katanya dia akan turun." "Udah gatal tangan abang ini. Pengen nonjok aja rasanya," Tangan Bang Revan mengepal keras. Tak lama suara anak kunci terdengar diputar lalu pintu kayu bercat putih itu membuka. Mas Firman dengan mengenakan kaos putih dan celana boxer pendek, melangkah tertunduk menuju pagar yang hanya setinggi dada orang dewasa. Tubuhku bergetar di dalam rangkulan Bang Revan. Kakak keduaku itu mengeratkan rangkulannya. Berharap bisa memberikan kekuatan pada adik perempuannya yang tengah terluka. Tiba-t
"Dulu, setiap aku mau perawatan ke salon, mau beli obat pelangsing, selalu kamu larang. Kamu bilang itu berbahaya lah, nggak baik untuk kesehatan lah, kamu menerimaku apa adanya lah. Bullsh*t! Kenyataannya apa? Kamu malah menyimpan perempuan di belakangku," Kuungkapkan isi hati yang selama ini terpendam. Air mata menganak sungai. Hati ini benar-benar hancur. Lebih dari sekedar memergoki mereka dari kolong meja saat itu. Kali ini, bahkan aku melihat sendiri penghianatan suami yang selama ini kukira benar-benar tulus. Bagaimana nanti jika Zahwa mengetahui kelakuan ayah yang selama ini ia puja? Pasti hancur. Dan aku tidak bisa membayangkan itu. Tapi aku juga tidak mau dimadu. Melihat kelakuan suami seperti ini, sungguh tidak bisa untuk diberi maaf.Tungkaiku seakan lemas dan tak mampu berdiri. Hingga terhuyung ke belakang, tersandar ke dada Bang Revan."Aku minta maaf, Jane," ucapnya dengan tampang memelas. Wajah yang sudah dipenuhi luka lebam di mana-mana itu, dibuat sesedih mungkin.
"Jaaane!" pekik Bang Yudha dan Bang Revan berlari menghampiri.Darah mengucur deras dari tangan kiri yang sempat tergores pisau, saat aku mencoba menangkis serangan Lina. "Sia*an!" geram Lina dan kembali mencoba menyer4ngku."Awas, Jane!" Tiba-tiba Mas Firman bergerak kilat, dan mendorong tubuh Lina dari samping hingga tersungkur."Aduh," pekik Lina karena sikunya menghantam lantai.Mas Firman menendang pis4u yang terlepas dari genggaman Lina."Amankan Lina, cepat, Bang!" teriaknya pada Bang Yudha."Bantu abang, Man!" "Cepat cari tali!""Mas, kamu tega melakukan ini padaku?" ujar Lina pada Mas Firman. Ia tak menyangka, lelaki yang dikira mencintainya, justru lebih membelaku."Perasaanku udah berubah, Lina. Aku nggak nyangka, kamu bisa sejahat itu."Bang Yudha yang dibantu Pak RT, meringkus Lina dengan mengikat tang4n wanita itu menggunakan tali."Lepaskan aku!" teriak Lina seraya meronta-ronta dalam ringkusan Bang Yudha dan Pak RT."Cepat telepon polisi!" perintah Pak RT."Sudah, Pa
"Nggak usah sok perhatian, Mas! Aku muak! Sumpah, aku muak melihat tingkahmu!""Jane, mas benar-benar khawatir dan peduli sama kamu.""Bohong! Kamu nggak pernah benar-benar peduli padaku, Mas.""Nggak, Jane. Mas peduli dan khawatir. Mas masih mencintaimu.""Diaaam!" Kututup telingaku dengan menggunakan tangan kanan. "Sebaiknya kamu pergi, Mas. Aku nggak mau lihat kamu lagi. Aku udah muak! Aku benci! Pergi, Mas, pergiiii!" teriakku seraya mendorong tubuhnya, meski gerakanku masih sangat lemah."Jane, tolong jangan usir mas.""Pergi, Mas. Pergiii!"Tiba-tiba pintu membuka. Bang Yudha, Bang Revan, dan Kak Vera masuk ke dalam ruang rawat inapku. "Ada apa ini ribut-ribut? Astaga, kenapa ada gelas pecah di sini?" tanya Bang Yudha."Ah, itu tadi aku nggak sengaja menyenggolnya, Bang," jawab Mas Firman. "Aku panggil petugas kebersihan dulu." Lelaki berkulit putih itu ke luar dari ruangan."Gimana keadaan kamu, Dik?" tanya Bang Yudha."Alhamdulillah, jauh lebih baik, Bang. Walaupun masih saki
"Kamu kenapa, Nak?" Mas Firman mendekati Zahwa seraya membingkai wajah gadis empat belas tahun itu, dengan kedua tangannya."Lepasin, Pa. Aku nggak sudi punya papa kayak kamu, huhuhu," Ditepisnya kasar tangan ayah kandungnya itu, lalu berlari menghambur ke pelukanku."Ada apa sih ini sebenarnya, Nak?" tanyaku bingung.Zahwa tak menjawab. Gadis yang mulai beranjak remaja itu, masih terus menangis sesegukan di bahuku."Ternyata ada yang merekam kasus penggrebekan kemarin, lalu di upload ke sosial media. Kemudian dengan cepat disebarkan oleh akun-akun gosip," imbuh Kak Rossa."Astaghfirullahal 'Adhiim," Serentak kami beristighfar. "Dan Zahwa melihat sendiri semua berita viral tentang perselingkuhan papanya di sosial media. Tahu sendiri, kalau berita yang disebar akun gosip, sudah pasti dibumbui sedemikian mungkin.""Mama, aku benci Papa! Aku benci," ujar Zahwa sambil menghentakkan tubuhnya dalam pelukanku."Zahwa sayang, papa nggak seburuk yang kamu kira, Nak?" Mas Firman berjalan mengha