Hilang rasa lapar, kini haus tak tertahankan menyerang. Cuaca yang panas tanpa ampun seolah mematahkan semangatku.
"Ayo, Leena, jalan lagi!" Gumamku pada diri sendiri. Sekuat tenaga kuteruskan langkah dan sesekali berteriak menawarkam barang daganganku. Suara keras yang kuhasilkan tentu saja semakin menambah kering tenggorokan.Akhirnya aku sampai di sebuah gedung yang sedang dibangun. Tempat langganan yang sering kudatangi. Tidak laris memang, tapi setidaknya ada yang membeli. Namun, harapanku seolah sirna ketika kulihat para kuli bangunan di sana tengah santap siang. Nasi kotak dengan lauk yang sepertinya enak menjadi jatah makan siang mereka kali ini. Niatku untuk menawarkan dagangan seketika sirna. Namun, dengan niat dan sedikit takut akhirnya aku mendekat. "Nasi uduknya, Pak?" Beberapa lelaki yang tengah mengunyah makanan menoleh ke arahku. Mereka menatapku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Hingga tatapan mereka berhenti pada tampah yang kupegang. Mereka saling tatap, lantas acuh menghabiskan nasinya. "Kita udah makan!" jawab salah seorang dari mereka. Aku menelan ludah dan mengangguk. "Hei, ngapain itu?" teriak lelaki yang mengenakan topi bulat berwarna putih. Dia mendekat. "Ganggu orang makan aja, sana!" Dia mendorong tubuhku pelan dengan wajah masam. "Cuma mau nawarin nasi uduk, Pak," ucapku takut-takut. "Nggak liat mereka udah makan?" Aku terdiam dan menunduk. Hingga kemudian lelaki itu mendorongku lagi untuk menjauh. Satu tetes air mata akhirnya lolos. Dengan cepat segera kuhapus. "Jangan nangis Kaleena, pasti ada rejeki," ucapku menghibur diri sendiri. Bukannya tersenyum dan kuat, kalimat itu justru membuatku semakin menangis. "Dek?"Aku menoleh dan mengusap air mata dengan cepat. Seorang lelaki berwajah teduh mendekatiku. Dia tersenyum dan menatap dagangan di kepalaku. "Masih banyak, belum laku, ya?"Aku mengangguk cepat. "Masih anget kayaknya!" ucapnya menyentuh bungkusan nasi udukku. "Dua, ya?" Dia memilih dua bungkus nasi uduk dan mengulurkan selembar uang sepuluh ribu padaku. Refleks kuucapkan terima kasih berkali-kali padanya. "Terima kasih, ya, Allah."Dengan tujuh bungkus yang tersisa aku kembali memacu semangat. Kususuri jalanan kampungku dengan hati mantap akan mendapatkan rejeki. Namun, tetap saja hausku mulai membuatku lemah. Mataku beredar mencari sumber air yang mungkin bisa kuminum. Sayangnya tanah di kampungku yang kurang baik membuat airnya berwarna kekuningan. Bagaimana mungkin aku bisa meminumnya?Mataku tertuju pada sebuah gelas air mineral yang tersisa setengah di tepi jalan. Air liurku langsung berhamburan. Namun, kembali kutelan air liur itu sebanyak mungkin ketika kuperhatikan dengan seksama gelas plastik transaparan itu. Kondisinya sedikit kotor dan mengembun. Mungkin sudah berhari-hari begitu, pikirku, tapi hausku semakin menyiksa. Maka tanpa ragu lagi segera kuambil gelas plastik itu dan dengan cepat meneguk habis isinya. Air mataku mengalir pelan bersamaan dengan air mineral sisa yang membasahi tenggorokanku. Lega. Hingga sore, tidak ada satupun nasi uduk yang terjual. Ingin rasanya aku menangis keras, tapi sayang air mataku sepertinya sudah habis. Hari sudah sore dan aku sudah terlalu jauh dari rumah. Jika kuteruskan langkah hingga ke desa sebelah, aku mungkin akan kemalaman sampai di rumah dan itu tentu akan menambah kemarahan ibu. Setelah berpikir lama, akhirnya aku memutuskan untuk pulang. Tentu saja dengan tujuh bungkus nasi uduk yang tersisa. Urusan dimarahi, biarlah kuhadapi nanti. Termasuk urusan sebungkus nasi uduk yang masuk ke perutku sendiri. Aku sampai rumah ketika adzan maghrib berkumandang. Di luar rumah sepi. Terdengar suara dentingan sendok yang beradu dengan piring. Sepertinya orang rumah tengah santap malam, pikirku. Aku melangkah semakin cepat. Mungkin ibu sudah menyisakan satu porsi untukku. Kudorong daun pintu perlahan dan memasuki rumah. Kudapati Bapak duduk di lantai, dekat meja dan Ibu yang duduk di depan kamar."Darimana kamu?" tanya Bapak menatap sinis padaku. Di depannya ada sepiring nasi dan sepotong ikan asin panggang. Lelaki itu menyantapnya dengan nikmat. Aku menelan ludah membayangkan rasanya. "Jualan, Pak," jawabku meletakkan tampah di meja, sembari melirik Ibu yang tak melihatku. Aku berharap ibu tidak melihat barang daganganku yang masih banyak. "Habis?" tanya Bapak lagi.Aku terdiam dan memperhatikan Ibu yang duduk membelakangiku, tengah menyuapi Kaina sembari menyusui Kinara. Wanita itu menoleh, seolah meminta jawaban. Aku menunduk dalam. "Ditanya tuh dijawab!" bentak Bapak dengan keras membuatku tersentak kaget. "Laku dua," jawabku dengan cepat. "Apa? Laku dua?"Kali ini suara tinggi Ibu ikut menginsterogasiku. Tanganku meremas selembar uang yang kuikatkan dengan karet di ujung baju. Tubuhku gemetar ketika kudengar langkah kaki ibu mendekat. Kulirik dia melihat isi tampah, memeriksa barang daganganku. "Terus ke mana satunya?" Aku terdiam. Mulai menangis. Sepertinya tidak mungkin untuk berkata jujur. "Satunya ke mana?" bentaknya lagi. Kali ini disertai dengan pukulan di kepalaku. Aku meringis kesakitan. "Kamu makan, ya?"Pertanyaan Ibu kali ini disertai jambakkan di rambutku. Dia menariknya ke belakang dengan kuat, membuatku mendongak menatap wajahnya yang penuh kemarahan. "Pasti kamu makan, kan?" Aku menggeleng dan menangis. Namun Ibu semakin marah."Ampun, Bu," rengekku pelan dan gemetar, berharap wanita yang kupanggil Ibu itu kasihan padaku. Namun, aku salah. Salah besar!Dengan kasar ibu menyeretku. Aku hampir terjatuh karena rambut yang terus ditarik menyulitkan langkahku. Ibu tidak peduli. Dia terus menyeretku melewati dapur hingga berhenti di tempat pemandian belakang rumah. Tempat tanpa atap dan hanya bertembok sepinggangku saja. Ibu mendorong tubuh lemahku hingga terjerembab ke lantai yang dingin. "Ampun, Bu!" Aku bergerak cepat dan memeluk kaki Ibu dengan erat saat dia akan meninggalkanku. Namun, dengan kasar dia justru menendangku, membuatku kembali jatuh terduduk. "Itu akibatnya kalau kamu berani bohong pada ibu!"Tanpa menoleh lagi Ibu lantas bergegas pergi, meninggalkanku dan mengunci pintu dapur. Aku menangis meraung-raung memanggil namanya dan memohon ampun. "Ampuni Kaleena, Bu! Kaleena janji nggak akan begitu lagi!" teriakku menggedor daun pintu yang sudah reyot. "Bu .... Ampun, Bu!"Aku terus menangis dan berusaha membuka daun pintu yang kutahu akan percuma saja.Semua panggilan dan rengekanku seolah hilang ditelan bumi atau tidak terdengar sama sekali. Tidak ada sahutan dari dalam rumah. Mataku yang mengintip dari celah pintu tidak menemukan siapa pun di rumah. Entah ke mana mereka pergi. "Bu, buka, Bu!" rengekku lirih. Suaraku sudah habis untuk berteriak memanggil. Begitu juga tubuhku yang sangat lelah karena terlalu lama berjalan dan berdiri. Hingga akhirnya aku memilih duduk menghadap pintu. "Ampun, Bu ...."Aku sesenggukkan dan memeluk lutut. Kutatap sekeliling yang gelap. Tidak ada apa-apa di belakang sini, selain tempat pemandian terbuka yang hanya ditutup kertas sablon bekas reklame di bagian atasnya. Dingin dan menakutkan. Semak pisang di belakang rumah seketika menjelma menjadi makhluk hitam yang menyeramkan. Rumah kontrakan yang kami sewa memang tidak punya akses jalan keluar dari belakang. Satu-satunya jalan keluar ya lewat pintu depan. Bagian belakang rumah hanya diisi oleh tempat pemandian seadanya yang berhadapan langsung dengan tempat pembuangan sampah dan semak belukar. "Kaleena takut, Bu!" Aku semakin memeluk lutut dan mulai merasakan dingin. Lelah menangis dan kedinginan, perlahan aku membaringkan tubuh di atas papan cucian. Aku menggunakan benda itu sebagai alas tidur untuk mengurangi dingin. Meski rasanya tetap sama saja. Di dalam rumah sepi. Tidak ada lagi suara Kaina ataupun Kinara. Sepertinya semua sudah tertidur. "Lapar, Bu ...." Ya, sekarang baru terasa jika perutku mulai lapar lagi. Rasanya perih dan melilit. Tanganku menekan-nekan perut dan menggunakan lutut untuk mengganjalnya. "Leena mau makan, Bu ...."Suaraku habis. Mungkin hanya telingaku saja yang mendengarnya. Aku hanya berucap dalam hati, "Tuhan, kirimkan malaikatmu padaku! Beri aku makan!"Mata yang hampir terpejam langsung terbuka saat kudengar seseorang membuka pintu. Aku dengan cepat bangkit dan menunggu. Berharap itu adalah ibu yang menyuruhku masuk, atau setidaknya memberiku makan. "Leena ...."Aku terdiam. Dari lantai dalam rumah, nenek beringsut merangkak mendekatiku. Dia mendorong sesuatu padaku. Aku melongo. Betapa sulitnya nenek harus turun dari sofa dan merangkak perlahan untuk mendekatiku."Makanlah!"Air mataku langsung berurai tak tertahankan. Mulutku seolah terkunci meski sekedar mengucap terima kasih. Kuseret piring itu mendekat padaku setelah nenek kembali merangkak pelan memasuki rumah dan menutup pintu. Dalam gelap kuraba sepiring nasi yang sepertinya tidak disentuh sama sekali oleh nenek. Nasi. Ya, hanya nasi, tanpa lauk. Aku mengusap air mata di pipi lantas mulai menyuapkan rejeki itu ke mulut. Asin, karena bercampur dengan air mataku. Tangisku semakin kencang ketika menyadari mungkin saja nenek belum makan. Atau tidak makan sama sekali sehari dan semalaman ini. Aku menggeleng kuat dan berusaha menelan nasi yang dengan susah payah kukunyah. Tuhan, nenek kah malaikat yang Kau kirim untuk memberiku makan malam?....BersambungDemi membayar semua kesalahan, seharian aku habiskan waktu dengan bersih-bersih. Mulai dari ruang depan yang hanya ada meja usang yang salah satu kakinya sudah ditambahi kayu, ruang tengah yang berisi kasur lapuk tempatku tidur bersama Kaina, dan kamar Bapak, Ibu, dan Kinara yang hanya dibatasi kain besar sebagai tirai. Lalu ruangan sempit berisi sofa buruk tempat nenek tidur yang bersebelahan langsung dengan dapur kumuh. Hingga bagian belakang, tempat pemandian dan mencuci. Semua kubersihkan dan kulap, meski tak menyamarkan usangnya. Selesai berberes aku lantas teringat tas sekolah yang kemarin robek ditarik Bapak. Kuperhatikan benda usang yang pernah kubeli dengan uang hasil memunggut sampah selama seminggu, tiga tahun lalu. Ya, tiga tahun lalu, saat aku masih duduk di bangku kelas 6 SD. Tas dengan warna merah muda—yang sekarang kecokelatan dan pudar—bergambar bunga dan princess itu kubawa ke depan pintu, untuk melihatnya dengan jelas. Tuhan, sepertinya ini tid
💔💔💔Pagi sekali aku sudah mandi. Setelah membantu ibu menyiapkan sarapan. Bukan sarapan sebenarnya, karena hanya ada nasi kering 'bekas' saja. Nasi sisa dijemur hingga kering, dicuci bersih, lantas ditanak lagi. Jangan tanya rasanya. Kurasa hewan pun tidak ingin mengunyahnya. Hambar dan sama sekali tidak enak. Namun itulah yang sering menjadi pengganjal perut kami ketika tidak ada apa pun untuk dimakan. Tiga ekor ikan asin dipotong dua dipanggang dan dihidangkan begitu saja di meja. Siapa yang ingin sarapan, tinggal ambil. Ibu mengambil satu porsi kecil untuk nenek. Wanita renta itu terlihat enggan menyantapnya. Dia hanya menatap makanan itu lama. Air mataku nyatis jatuh melihat bagaimana wajahnya berubah sendu. "Mau ke mana kamu?" tanya Ibu ketika aku mengenakan sepatu. "Sekolah, Bu.""Jangan lupa bawa sampah!"Aku hanya mengangguk. Ya, dulu Ibu juga seperti bapak. Tidak mengijinkanku sek
Aku pulang dengan hati riang. Ada sekantung besar barang bekas dan plastik berisi sepatu. Sepanjang jalan aku berdendang dalam hati, menyuarakan kegembiraanku. Semua orang mungkin hanya menganggap remeh kebehagiaanku, tapi tidak denganku. "Kalau nggak bisa bayar, pergi kalian dari sini!" teriak seorang wanita dengan kuat di depan rumah kami. Teriakkannya seolah menghentikan kebahagiaanku. Langkahku terhenti di tepi jalan menuju rumahku. Kulihat ibu pemilik rumah yang kami sewa berkacak pinggang di depan pintu rumah. Di depannya tergeletak sendal butut, gagang sapu, hingga ember pecah. Di depan daun pintuku juga terdapat beberapa buah batu berukuran kecil hingga sedang. Daun pintu yang sudah lapuk pun terlihat berlubang. Sepertinya apa yang kukhawatirkan benar terjadi. Ibu dan pemilik rumah beradu mulut. Atau bahkan sudah bertukar alat perang. Apa yang terjadi?"Dasar miskin! Dibantu malah ngelunjak!"Aku terdiam, memegang dua kant
Hari ini aku tidak sekolah. Satu-satunya seragamku basah setelah adegan siram-siraman bersama Ibu kemarin. Cuaca yang tidak panas membuat seragam yang kugantung di belakang tidak kering. Biarlah! Tak sekolah sehari tidak masalah. Bukankah tidak ada yang peduli aku sekolah atau tidak. Ya ... meski aku sangat menyayangkan. Aku pasti ketinggalan pelajaran hari ini. Tidak ada yang bisa kulakukan selain membantu ibu membersihkan rumah. Pagi sekali Ibu sudah menuju rumah orang kaya untuk mencuci baju dan menyetrika. Tentu saja dengan Kaina dalam gendongan. Nenek sudah membaik. Dia sudah duduk di tepi ranjang. Aku hanya melihatnya sekilas. Entahlah, sejak kejadian kemarin aku berubah pandangan pada nenek. Bukan benci, tapi kasihan yang terlalu dalam. "Tidak ada yang mau merawat nenek lagi selain Ibumu!"Kalimat nenek saat kutanya mengapa menangis terus terbayang. Ke mana saudara ibu yang lain?Lalu mengapa ibu mau menerima nene
Sore itu aku berhasil menjual seluruh nasi uduk. Ya, meski aku harus pulang saat adzan maghrib sudah berkumandang. Ibu pun tidak marah karena aku pulang terlambat. Mungkin karena aku berhasil kali ini. Ibu bahkan sudah menyiapkan nasi hangat—yang masih bagus—dan sayur asem. Selepas mandi aku makan dengan nikmat. Semakin nikmat saat kutahu nenek dan adikku juga sudah makan. Hanya Bapak yang entah ke mana. "Siapa yang kasih kamu sepatu?"Aku yang tengah menyiapkan peralatan sekolah menoleh ke arah Ibu yang tengah menidurkan Kinara. "Pak Doni.""Siapa dia?""Guru olahragaku, Bu."Ibu diam. Aku lantas menatap sepatu pemberian Pak Doni dan sepatu lamaku yang kuletakkan di bawah rak. Selamat tinggal sepatu buaya.****Langkahku terasa ringan. Sepatu pemberian Pak Doni sedikit kebesaran, tapi aku menyumpalnya dengan gumpalan kertas agar tidak terlepas ketika berjalan. Hingga kemudian langkahku sam
Entah mengapa aku ingin menoleh. Melihat keberadaan Tino yang berjalan menuju kelas. Apakah dia sudah sampai? Bukan, aku menoleh karena ingin tahu apa dia juga sedang melihat ke arahku. Perlahan aku menoleh. Benar saja. Tino yang sudah agak jauh, tengah menatapku. Kami bersitatap, meski tidak terlalu jelas karena jarak yang jauh. Namun aku dengan jelas melihat dia yang menggeleng pelan. Entah kenapa?"Ayo!" Pak Doni menarik pelan lenganku, untuk segera memasuki ruangannya. Aku menatapnya. Entah mengapa kali ini aku ragu. Aku lantas menoleh lagi, melihat keberadaan Tino. Bocah kurus itu masih di sana. Di sudut sekolah yang akan menuju ruang kelas kami. Namun dia tidak menggeleng atau memberi tanda. Hanya diam. "Ayo!' Tarikkan tangan Pak Doni kurasakan semakin keras. Aku nyaris terjatuh. Kuremas tepi rok dengan erat. Kali ini aku takut, entah karena apa. Pak Doni menutupkan daun pintu dengan rapat, tanpa menguncinya. Aku hanya menelan ludah menatapnya yang kini melepas tas ransel da
10. Kamu Harus Kerja, Kata Bapak"Sini!"Tas Tino yang baru saja kupegang direbut paksa oleh lelaki yang tadi membawa Tino. Dia menatap galak padaku, lantas tersenyum ketika melihat isi tas Tino. Aku hanya memperhatikan lelaki kurus dan sedikit pucat itu hingga dia berbalik dan meninggalkanku. "Apa dia baik-baik saja?" tanyaku memberanikan diri bersuara. Dia menoleh sesaat, tanpa menjawab, lantas melenggang pergi meninggalkanku. "Pak—""Apa? Aku bapaknya, jadi nggak usah khawatir!"Lelaki itu lantas menutup pintu dengan keras, meninggalkanju yang masih bengong. Dia bapak Tino?Bukankah dia yang kemarin sore kulihat memarahi Tino di halaman rumah ini? Kenapa dia bisa semarah itu pada anaknya sendiri?Ah, bukankah Bapak di rumah juga sering memarahiku?Aku lantas melanjutkan perjalanan menuju pulang. Bayangan Pak Doni yang tadi hilang, kini seolah datang meneror. Aku menggeleng. Kembali mengingat bagaimana wajah yang biasanya menyenangkan itu berubah bak monster yang menakutkan. Pak D
11. Para MonsterAku terkesiap bangun menjelang subuh. Teringat seragamku yang rusak karena ditarik Bapak kemarin. Segera kuambil baju putih lusuh itu dan membawanya mendekati lampu. Kuambil benang dan jarum jahit. Namun sayang beberapa kancing yang terlepas tidak kutemukan. Aku berpikir keras, bagaimana caranya agar bajuku bisa dikancingkan. Hingga akhirnya kutemukan dua peniti berkarat di tembok. Selesai!Meski hanya dengan peniti, setidaknya seragam itu masih bisa kupakai. Namun semakin kutatap seragam itu, aku semakin ragu untuk pergi ke sekolah. Teringat Pak Doni, Tino, dan sesuatu yang mungkin akan terjadi nanti. Apa Pak Doni marah? Bagaimana kalau dia semakin nekat? Ah, aku mungkin bisa melapor pada guru yang lain. Tentang Tino ... bagaimana kabarnya? Dia sakit apa, sih?Pagi sekali sudah kubereskan rumah sebelum akhirnya memandikan Kinara dan diriku sendiri. Aku lantas bersiap ke sekolah. Sempat kulirik gorden kamar Ib