Aku menggeliat bangun ketika tangan hangat menyentuh pipiku pelan dan mengusapnya perlahan. Kubuka mata pelan-pelan dan kudapati wajah kecil dan bulat yang menatapku.
"Kaina?"Aku beringsut bangun dengan bantuannya. Bocah tiga tahun dengan rambut keriting itu menuntunku masuk ke dalam rumah. Kepala pening hebat, dengan persendian yang terasa sakit semua, membuat langkahku sedikit terhuyung.Kaina lantas langsung bermain dengan tumpukkan mainan bekas yang didapat Bapak. Mainan yang rata-rata sudah rusak dan bahkan mungkin tidak layak dimainkan lagi. Dia mengacuhkanku yang duduk di kursi, tak jauh darinya.Aku memperhatikan sekitar. Sepi. Tidak ada suara dengkuran Bapak yang biasanya menggema di seluruh rumah atau suara rengekkan Kinara. Kulihat nenek yang berbaring lemah dengan napas yang sangat pelan.Ke mana ibu?"Ibu mana, Dek?"Kaina hanya menggeleng, membuat rambut kriting kriwilnya bergerak-gerak. Kuperhatikan lagi bocah yang terpaut usia 12 tahun denganku itu. Baju tidur usang dengan sebagian kancing yang sudah terlepas dan celana panjang yang robek di bagian pantat dan berbau pesing masih terpakai sejak aku pulang kemarin maghrib. Itu artinya Kaina belum dimandikan."Mandi, yuk!"Aku melambaikan tangan mencoba mengajaknya ke pemandian. Namun bocah itu menggeleng dan berlari menghindar."Mandi dulu! Nanti kalau ibu pulang kamu belum mandi, pasti dimarahin. Ayok!"Aku mendekat dan Kaina semakin menjauh. Dia berlari menyibak gorden kamar, membuatku melihat Bapak yang masih terlelap.Gawat!"Sstt, sini!" bisikku sepelan mungkin. Bukannya manut, bocah itu malah duduk di pojokkan kamar dan menjerit. Sontak saja Bapak yang masih tidur langsung terbangun. Matanya menatap nyalang padaku yang berdiri ketakutan di pintu."Kamu ini!"Sebuah pukulan mendarat di kepalaku. Aku menunduk dan meringis kesakitan."Kaina nggak mau mandi, Pak," ucapku mencoba membela diri.Lagi, satu pukulan kali ini mampir di punggungku."Kamu itu sudah 15 tahun, Leena. Bujuk anak sekecil dia saja nggak bisa! Nggak becus kayak ibu kamu!"Aku terdiam dengan air mata yang sudah entah sejak kapan mengalir. Bapak lantas meninggalkanku dan menghampiri Kaina. Dengan kasar ditariknya lengan bocah yang sepertinya ketakutan itu. Kaina menjerit ketakutan."DIAM!"Satu pukulan diberikan Bapak di punggung kecil Kaina. Dia semakin menangis. Aku dengan cepat menggendongnya setelah Bapak mendorong tubuh Kaina ke pelukanku. Kubawa Kaina ke belakang, tempat pemandian.Tangis Kaina reda setelah kuajak bermain air mandi. Tidak ada sabun atau pewangi tubuh yang lain. Untuk membeli makanan saja kami sudah bersyukur. Cukup air yang menjadi satu-satunya alat pembersih tubuh kami sekeluarga.Ketika memandikan Kaina kudengar suara Kinara. Sepertinya ibu baru pulang."Lama amat kamu!" Suara Bapak terdengar nyaring hingga ke belakang."Kamu pikir gampang nyari yang mau beli nasi uduk di tengah malam, hah?"Aku terdiam. Jantungku seolah baru saja dipukul dengan hebat.Nasi uduk?"Kalau bukan karena anakmu yang nggak becus jualan, aku nggak mungkin baru pulang. Aku juga bisa ambil cucian dan setrikaan di tempat biasa!""Halah, alasan!"Suara barang yang dibanting terdengar nyaring."Lalu apa yang kau lakukan? Tidur seharian? Kenapa sudah bangun jam segini?" Ibu terus berteriak. Sementara aku terus menggosok tubuh Kaina, berusaha mengulur waktu agar tak segera masuk ke rumah."Kau pikir enak cari barang bekas, hah? Bau ... malu!""Siapa suruh kerja di sana?""Kau pikir cari kerja gampang, hah?""Salah sendiri tiap kerja cari masalah!"Plak!Aku terkejut. Bapak pasti memukul Ibu kali ini."Pukul saja! Pukuli terus kalau belum puas!"Terdengar suara bedebam di lantai, disusul suara jerit tangisan Kinara. Perlahan aku menoleh. Benar saja. Ibu jatuh terduduk di lantai dengan Kinara yang masih di gendongan. Bapak terus memukul wajah dan tubuh ibu.Aku?Apa yang bisa kulakukan?"Dasar perempuan nggak tau diri!""Kamu yang nggak tahu diri!""Apa? Kalau bukan karena aku mau menikahimu, kau mau bagaimana dengan perut besarmu itu, hah?""Hei, itu juga ulahmu, kan?""Halah, paling-paling kau juga sudah tidur dengan lelaki lain!""Jaga bicara kamu, ya!""Apa? Kau juga kan yang mau sampai akhirnya hamil. Iya, kan?"Ibu terdiam. Tidak ada tangis."Masih untung aku bertahan sama kamu yang miskin begini!""Kamu pikir aku bagaimana? Bertahan dengan semua kemiskinan dan kesusahan ini bertahun-tahun. Kamu pikir demi siapa?"Kali ini Bapak yang diam."Aku rela menanggung malu dan susah mencari uang sendiri, juga buat siapa kalau bukan buat kita?"Air mataku mulai mengalir lagi."Semalaman aku keliling, jalan kaki, menawarkan nasi uduk pada semua orang. Kamu pikir itu gampang?""Siapa juga yang suruh?""Kalau tidak begitu memangnya kita mau makan apa hari ini, hah?"Terdengar suara kaleng yang dibanting. Itu pasti kaleng bekas biskuit yang digunakan Ibu untuk menyimpan beras."Kamu pernah mikirin mau makan apa kita hari ini? Nggak, kan?"Suara pukulan kembali terdengar. Kali ini diselingi dengan suara kesakitan Ibu. Aku memberanikan diri menoleh. Ibu terduduk di kursi dapur, menutupkan lengan di atas tubuh Kinara dan kepalanya. Bapak menyerangnya bertubu-tubi. Tamparan, pukulan, hingga kemudian kaki Bapak menendang kursi dan membuat Ibu terjatuh. Ingin sekali rasanya aku menjerit, tapi itu tidak mungkin."Jadi perempuan nggak usah banyak omong! Banyak protes, kau! Kalau nggak mau kerja, ya nggak usah! Nggak usah sok paling berjasa!"Bapak mengangkat kursi tinggi-tinggi dan mengarahkan ke tubuh Ibu. Aku tidak tahan lagi. Dengan cepat kutinggalkan Kiana dan mendekati Bapak. Kupeluk erat kaki lelaki itu dan memohon."Jangan, Pak! Jangan pukul Ibu!" rengekku memohon."Apa, sih?" Bapak menyentakkan kakinya dengan keras, membuatku terjungkal ke belakang."Biarkan saja! Pukul saja aku! Bunuh kalau perlu!"Brak ....Aku memejamkan mata, tak berani menatap ke mana arah lemparan kursi Bapak. Namun suara jeritan Ibu dan tangis Kinara yang semakin keras meyakinkanku jika kursi itu pasti mengenai mereka."PERSETAN KALIAN!"Perlahan aku membuka mata. Ibu menangis memeluk tubuh Kinara.Kenapa?Ada apa?Apa yang terjadi adik bungsuku itu?Aku beringsut mendekat, tapi Ibu dengan cepat mendorongku untuk menjauh."Semua gara-gara kamu! Anak tidak becus!"Aku terdiam dan menunduk."Lihat, bahkan memandikan adikmu saja kau tidak becus! Adikmu bisa sakit Kaleena!"Ibu menjambak rambutku dengan kuat dan mendorong tubuhku ke arah belakang. Kulihat Kaina yang menggigil di dalam bak mandi. Bocah itu memeluk tubuh dengan bibir yang membiru. Dengan cepat kugendong dia masuk ke dalam rumah. Sementara Ibu masih menangis dan terus menggendong Kinara yang sepertinya kesakitan.Kinara kenapa?****Aku mematung di depan pintu dapur memperhatikan Ibu yang tengah mengaduk nasi di dalam panci besar. Sepertinya dia membuat nasi uduk lagi. Mengingat nasi uduk, rasa penyesalan dan rasa bersalah kembali membayangi. Teringat bagaimana Ibu yang harus menjajakan sendiri sisa nasi uduk kemarin. Aku membayangkan betapa sulitnya dia mencari pembeli di tengah malam. Belum lagi bayangan orang-orang jahat yang mungkin saja mengintai Ibu. Namun Ibu tetap melakukannya.Kuusap air mata yang mengalir dan melihat ke kamar yang terbuka. Kiana tertidur setelah kukompres keningnya dengan air hangat. Dia demam karena terlalu lama di air. Ah, aku memang bukan kakak yang baik. Memandikan adik saja tidak becus. Padahal usiaku sudah 15 tahun, sudah duduk di kelas dua SMP."Kau berberes di rumah sampai Ibu pulang! Biar Ibu yang keliling!"Aku diam memperhatikan tangannya yang cekatan membungkus satu persatu nasi uduk yang masih panas. Sempat kulihat sekilas Ibu mengusap pipinya yang basah. Entah karena asap atau air mata."Kinara diajak?" tanyaku ketika Ibu menyiapkan gendongan setelah menatap semua bungkusan di tampah."Terus kamu yang mau ngasuh? Ngurus badan sendiri saja tidak becus!"Ibu melewatiku dengan menabrak ujung bahuku. Aku hampir terjatuh karena itu. Saat itulah aku baru melihat jika pelipis dan pipi Ibu membiru. Kelopak matanya juga sedikit menghitam.Apa itu karena Bapak tadi?Air mataku mengalir tak tertahankan ketika melihat bagaimana Kinara disembunyikan di gendongan sementara tangan ibu satunya memegang tampah di atas kepalanya. Entah bagaimana nasib adik kecilku itu nanti. Bayi empat bulan itu pasti akan terus menangis kepanasan dan tidak nyaman di dalam gendongan ibu.Bu ... maafkan Kaleena!Aku lantas menghambur ke belakang, di sofa bekas tempat nenek berbaring. Kupeluk tubuh renta itu dengan erat. Kutumpahkan tangis di sana. Perlahan tangan keriput dan lemah nenek mengusap rambut kasarku."Ibumu melakukan semua ini demi kalian!"Aku menggigit bibir menahan tangis. Ya, Ibu memang melakukan semuanya demi kami. Mencuci dan menyetrika baju milik orang kaya, diminta untuk memasak, hingga menjajakan nasi uduk atau kadang aneka kue. Semua dia lakukan demi selembar uang untuk ditukar sesuap nasi. Tidak! Mungkin hanya beberapa butir nasi.Bapak?Ah, entah ke mana dia setelah pertengkaran tadi. Mungkin dia menemui beberapa temannya sesama pemulung atau ... tidak mungkin Bapak bermain judi togel lagi. Dari mana dia mendapat uang sementara dia sudah lama tidak memungut sampah.....BersambungHilang rasa lapar, kini haus tak tertahankan menyerang. Cuaca yang panas tanpa ampun seolah mematahkan semangatku. "Ayo, Leena, jalan lagi!" Gumamku pada diri sendiri. Sekuat tenaga kuteruskan langkah dan sesekali berteriak menawarkam barang daganganku. Suara keras yang kuhasilkan tentu saja semakin menambah kering tenggorokan.Akhirnya aku sampai di sebuah gedung yang sedang dibangun. Tempat langganan yang sering kudatangi. Tidak laris memang, tapi setidaknya ada yang membeli. Namun, harapanku seolah sirna ketika kulihat para kuli bangunan di sana tengah santap siang. Nasi kotak dengan lauk yang sepertinya enak menjadi jatah makan siang mereka kali ini. Niatku untuk menawarkan dagangan seketika sirna. Namun, dengan niat dan sedikit takut akhirnya aku mendekat. "Nasi uduknya, Pak?" Beberapa lelaki yang tengah mengunyah makanan menoleh ke arahku. Mereka menatapku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Hingga tatapan mereka berhenti pada
Demi membayar semua kesalahan, seharian aku habiskan waktu dengan bersih-bersih. Mulai dari ruang depan yang hanya ada meja usang yang salah satu kakinya sudah ditambahi kayu, ruang tengah yang berisi kasur lapuk tempatku tidur bersama Kaina, dan kamar Bapak, Ibu, dan Kinara yang hanya dibatasi kain besar sebagai tirai. Lalu ruangan sempit berisi sofa buruk tempat nenek tidur yang bersebelahan langsung dengan dapur kumuh. Hingga bagian belakang, tempat pemandian dan mencuci. Semua kubersihkan dan kulap, meski tak menyamarkan usangnya. Selesai berberes aku lantas teringat tas sekolah yang kemarin robek ditarik Bapak. Kuperhatikan benda usang yang pernah kubeli dengan uang hasil memunggut sampah selama seminggu, tiga tahun lalu. Ya, tiga tahun lalu, saat aku masih duduk di bangku kelas 6 SD. Tas dengan warna merah muda—yang sekarang kecokelatan dan pudar—bergambar bunga dan princess itu kubawa ke depan pintu, untuk melihatnya dengan jelas. Tuhan, sepertinya ini tid
💔💔💔Pagi sekali aku sudah mandi. Setelah membantu ibu menyiapkan sarapan. Bukan sarapan sebenarnya, karena hanya ada nasi kering 'bekas' saja. Nasi sisa dijemur hingga kering, dicuci bersih, lantas ditanak lagi. Jangan tanya rasanya. Kurasa hewan pun tidak ingin mengunyahnya. Hambar dan sama sekali tidak enak. Namun itulah yang sering menjadi pengganjal perut kami ketika tidak ada apa pun untuk dimakan. Tiga ekor ikan asin dipotong dua dipanggang dan dihidangkan begitu saja di meja. Siapa yang ingin sarapan, tinggal ambil. Ibu mengambil satu porsi kecil untuk nenek. Wanita renta itu terlihat enggan menyantapnya. Dia hanya menatap makanan itu lama. Air mataku nyatis jatuh melihat bagaimana wajahnya berubah sendu. "Mau ke mana kamu?" tanya Ibu ketika aku mengenakan sepatu. "Sekolah, Bu.""Jangan lupa bawa sampah!"Aku hanya mengangguk. Ya, dulu Ibu juga seperti bapak. Tidak mengijinkanku sek
Aku pulang dengan hati riang. Ada sekantung besar barang bekas dan plastik berisi sepatu. Sepanjang jalan aku berdendang dalam hati, menyuarakan kegembiraanku. Semua orang mungkin hanya menganggap remeh kebehagiaanku, tapi tidak denganku. "Kalau nggak bisa bayar, pergi kalian dari sini!" teriak seorang wanita dengan kuat di depan rumah kami. Teriakkannya seolah menghentikan kebahagiaanku. Langkahku terhenti di tepi jalan menuju rumahku. Kulihat ibu pemilik rumah yang kami sewa berkacak pinggang di depan pintu rumah. Di depannya tergeletak sendal butut, gagang sapu, hingga ember pecah. Di depan daun pintuku juga terdapat beberapa buah batu berukuran kecil hingga sedang. Daun pintu yang sudah lapuk pun terlihat berlubang. Sepertinya apa yang kukhawatirkan benar terjadi. Ibu dan pemilik rumah beradu mulut. Atau bahkan sudah bertukar alat perang. Apa yang terjadi?"Dasar miskin! Dibantu malah ngelunjak!"Aku terdiam, memegang dua kant
Hari ini aku tidak sekolah. Satu-satunya seragamku basah setelah adegan siram-siraman bersama Ibu kemarin. Cuaca yang tidak panas membuat seragam yang kugantung di belakang tidak kering. Biarlah! Tak sekolah sehari tidak masalah. Bukankah tidak ada yang peduli aku sekolah atau tidak. Ya ... meski aku sangat menyayangkan. Aku pasti ketinggalan pelajaran hari ini. Tidak ada yang bisa kulakukan selain membantu ibu membersihkan rumah. Pagi sekali Ibu sudah menuju rumah orang kaya untuk mencuci baju dan menyetrika. Tentu saja dengan Kaina dalam gendongan. Nenek sudah membaik. Dia sudah duduk di tepi ranjang. Aku hanya melihatnya sekilas. Entahlah, sejak kejadian kemarin aku berubah pandangan pada nenek. Bukan benci, tapi kasihan yang terlalu dalam. "Tidak ada yang mau merawat nenek lagi selain Ibumu!"Kalimat nenek saat kutanya mengapa menangis terus terbayang. Ke mana saudara ibu yang lain?Lalu mengapa ibu mau menerima nene
Sore itu aku berhasil menjual seluruh nasi uduk. Ya, meski aku harus pulang saat adzan maghrib sudah berkumandang. Ibu pun tidak marah karena aku pulang terlambat. Mungkin karena aku berhasil kali ini. Ibu bahkan sudah menyiapkan nasi hangat—yang masih bagus—dan sayur asem. Selepas mandi aku makan dengan nikmat. Semakin nikmat saat kutahu nenek dan adikku juga sudah makan. Hanya Bapak yang entah ke mana. "Siapa yang kasih kamu sepatu?"Aku yang tengah menyiapkan peralatan sekolah menoleh ke arah Ibu yang tengah menidurkan Kinara. "Pak Doni.""Siapa dia?""Guru olahragaku, Bu."Ibu diam. Aku lantas menatap sepatu pemberian Pak Doni dan sepatu lamaku yang kuletakkan di bawah rak. Selamat tinggal sepatu buaya.****Langkahku terasa ringan. Sepatu pemberian Pak Doni sedikit kebesaran, tapi aku menyumpalnya dengan gumpalan kertas agar tidak terlepas ketika berjalan. Hingga kemudian langkahku sam
Entah mengapa aku ingin menoleh. Melihat keberadaan Tino yang berjalan menuju kelas. Apakah dia sudah sampai? Bukan, aku menoleh karena ingin tahu apa dia juga sedang melihat ke arahku. Perlahan aku menoleh. Benar saja. Tino yang sudah agak jauh, tengah menatapku. Kami bersitatap, meski tidak terlalu jelas karena jarak yang jauh. Namun aku dengan jelas melihat dia yang menggeleng pelan. Entah kenapa?"Ayo!" Pak Doni menarik pelan lenganku, untuk segera memasuki ruangannya. Aku menatapnya. Entah mengapa kali ini aku ragu. Aku lantas menoleh lagi, melihat keberadaan Tino. Bocah kurus itu masih di sana. Di sudut sekolah yang akan menuju ruang kelas kami. Namun dia tidak menggeleng atau memberi tanda. Hanya diam. "Ayo!' Tarikkan tangan Pak Doni kurasakan semakin keras. Aku nyaris terjatuh. Kuremas tepi rok dengan erat. Kali ini aku takut, entah karena apa. Pak Doni menutupkan daun pintu dengan rapat, tanpa menguncinya. Aku hanya menelan ludah menatapnya yang kini melepas tas ransel da
10. Kamu Harus Kerja, Kata Bapak"Sini!"Tas Tino yang baru saja kupegang direbut paksa oleh lelaki yang tadi membawa Tino. Dia menatap galak padaku, lantas tersenyum ketika melihat isi tas Tino. Aku hanya memperhatikan lelaki kurus dan sedikit pucat itu hingga dia berbalik dan meninggalkanku. "Apa dia baik-baik saja?" tanyaku memberanikan diri bersuara. Dia menoleh sesaat, tanpa menjawab, lantas melenggang pergi meninggalkanku. "Pak—""Apa? Aku bapaknya, jadi nggak usah khawatir!"Lelaki itu lantas menutup pintu dengan keras, meninggalkanju yang masih bengong. Dia bapak Tino?Bukankah dia yang kemarin sore kulihat memarahi Tino di halaman rumah ini? Kenapa dia bisa semarah itu pada anaknya sendiri?Ah, bukankah Bapak di rumah juga sering memarahiku?Aku lantas melanjutkan perjalanan menuju pulang. Bayangan Pak Doni yang tadi hilang, kini seolah datang meneror. Aku menggeleng. Kembali mengingat bagaimana wajah yang biasanya menyenangkan itu berubah bak monster yang menakutkan. Pak D