“Firdaaaaaa! Firdaaaaa!”Brak … brak … brak!Aku tersentak kaget dari tidur. Itu suara Ibu dan pintu rumah kontrakan yang digedor secara kasar. Ada apa?"Firdaaaaa! Buka pintunya. Dasar pemalas!"Suara Ibu mertua semakin nyaring di telinga. Aku bergegas beranjak dari pembaringan, dengan langkah malas menuju pintu. Pintu terlihat seakan-akan mau roboh. Sudah tahu begini, masih juga digedor dengan tenaga dalam. Rengsek dong.Kreet ...“Iy—”“Lama amat sih buka pintunya! Sudah jam segini, masa baru bangun?” Belum sempat aku bertanya, Ibu sudah menyerangku dengan mulut pedasnya.“Firda lagi demam Bu. Jadi, gitu Mas Bima berangkat kerja, Firda rebahan lagi. Ada apa Bu?” sahutku masih dengan suara lembut, maklum efek setengah sadar.“Bagi duit! Ibu dikejar-kejar utang sama Bu Kokom,” perintahnya.Mertuaku menadahkan tangan sambil bertolak pinggang. Kuputar bola mata malas melihat tingkahnya yang membosankan. Seperti nyonya besar saja, pikirku.“Firda nggak punya duit lagi, Bu. Semalam buat
"Firdaaa!"Kudengar suara Mas Bima berteriak memanggil namaku. Aku tidak perduli. Rasa lapar dan amarah digodok menjadi satu kesatuan yang utuh, dan inilah hasilnya. Bisa-bisanya Mas Bima tak membaca pesan dariku, tapi dia bisa membaca pesan Mbak Yana. Apa pesanku dari kutub selatan, sedangkan pesan dari kakaknya itu dari kutub utara? Atau jangan-jangan dia punya dua Hp? Otakku benar-benar kram memikirkannya. Jika marah, warung yang biasa jauh mengapa tiba-tiba terasa di depan rumah? "Mie Goreng sed*pnya, Bu!" pintaku kepada Bu Ratna yang sedang tersenyum-senyum genit sambil mengotak-atik gawainya. "Bu Ratnaaa ... beli mie goreng sed*pnya, Buu!" kataku lagi mengulang permintaan. Bu Ratna kaget begitu melihatku berdiri di depan warungnya sambil melipat tangan di dada. "Loh Mbak Firda? Mau beli kok diam-diam aja sih?" tanyanya lugu. Hagh! Diam-diam saja katanya? Ck. Seketika uban-uban di rambutku bermunculan.Mau dilayan aku lapar. Nggak dilayan kok ngajak gelud. "Firda baru datan
Rantang kuamankan terlebih dahulu. Aku mengambil gawai di kantong celana. Kutekan nomor seseorang. Tak perlu mengotori tangan jika ada yang bisa melakukannya. "Halo … Bu, ni orangnya sedang di rumah. Kemari aja, Bu!" Aku mendengar suara dari seberang sana sebentar setelahnya gawai kumatikan. "Apa yang kau lakukan?" tanya Ibu mertua penasaran. "Nggak lakuin apa-apa Bu, cuma niat menolong Ibu aja," jawabku senang. Marniii ... Marniiii ....” Tiba-tiba terdengar suara merdu nan syahdu di telinga memanggil-manggil nama Ibu mertua. Mertuaku pun panik mencari tempat bersembunyi, karena dia kenal itu suara siapa. "Bu Kokom!" katanya panik. Aku semakin terhibur melihat ekspresi paniknya. “Yana, bilang Ibu nggak ada, awas kalau sampai ketahuan!” “Bu, bukannya berbohong itu dosa, ya?” kataku berbisik. “Diam kau, Firda! Ini pasti ulah mu kan! Awas ya, Ibu nggak akan tinggal diam.” Mertuaku cepat berlari masuk ke kamar tidur sambil mengancam. “Assalamu’alaikum!” salam Bu Kokom terdengar
"Paaaagi Firda, Sayaaang!" Sahabat sejatiku menyapa. Mood booster jika aku sudah di kantor. Aura positif selalu diberikannya buatku."Paaaagi, honey bunny sweety." Kami cipika cipiki, tos kepalan tangan, lalu saling meradukan pinggul. Akai kami jika sudah bertemu di kantor."Hullu … hullu. Gini nih kalau wanita-wanita kreak dah ketemu." Rima, teman sekantorku yang lain mengomentari aksi bocah yang kami lakuin."Iri … bilang bos … ha ha ha. Papale … papale ... palele ..." Kami berteriak bersama-sama lalu ketawa cekikian. Tak tahu tempat, yang penting kami heppi. Seluruh karyawan kantor cuma bisa geleng-geleng kepala dan ikut cekikian melihat tingkah kami berdua."Mumpung bos belum datang, Rima Sayaang," kataku lagi.Inilah suasana kantorku. Baru sehari saja tak masuk kantor, serasa seminggu ada yang kurang di dalam hidup. Lucu ya. Orang lain rasa saudara. Lah, saudara sendiri rasa orang lain.Sudah pernah sih Mas Bima menyuruhku agar tak usah bekerja lagi, agar aku bisa fokus di rumah
Sepeda motor melaju dengan santai. Itu memang mauku kepada Mas Bima, agar sampai ke rumah tidak terlalu cepat. Ingin bermanja-manja dan mesra-mesraan selama di atas motor. Padahal itu alasanku saja, karena aku malas berjumpa dengan Mak Lampir sesion kedua. "Mas, singgah sebentar yuk ke Indoapril!" ajakku. "Mau beli apa sih, Dek? Nanti malam aja kan bisa! Mas udah nggak sabar mau jumpa Tante Tika. Dah ada kali, setahun nggak ketemu," tolaknya kasar. "Pembalut Adek dah habis, Mas. Emang mau kececeran di mana-mana, gitu?" Alasanku kuat karena memang tadi pagi kuperlihatkan bungkus pembalutku kepadanya yang sudah kosong dan minta dibelikan lagi. "Ck, yodalah. Ayo!" jawabnya seperti kesal. Motor diputarkan kembali oleh Mas Bima karena sewaktu kuajak dia menolak, dia melewatinya dengan sengaja. Kami sampai di depan Indoapril. Aku segera turun. Kulihat Mas Bima masih nangkring di atas motor tak mau turun. "Ayo, Mas!" ajakku setengah memaksa. "Kamu aja deh, Mas tunggu di sini," katanya
"Dek!" Mas Bima mulai membuka suara. Istri dihina-hina dia berubah jadi putra malu. Lah, giliran istri membela diri sendiri, dia langsung berubah jadi UltraMen. Nasib … nasib! "Firda tau kok, Mas. Tapi kamu dengar sendiri kan, apa yang dikatain keluarga Mas barusan ke Firda!" timpalku ketika melihat Mas Bima berdiri dan mendekat ke arahku. "Hallah, kamu aja yang baperan. Nggak salah kan Tante Tika nanya kapan punya anak?" cibir mertuaku. "Nggak salah selagi Tante Tika bertanya dengan sopan, dan Ibu tidak menyudutkan Firda!" kataku mulai meninggi. "Kan emang jelas kalau keturunan kami itu subur-subur. Ibu, gitu nikah langsung dapat Yana. Tante Tika langsung dapat Viona karena suaminya keturunan dari Ibu. Yana juga langsung dapat Dini. Terus masih bisa kami katakan kalau yang bermasalah Bima? Nyadar kamu Fiiir." Ucapan Ibu mertua sudah benar-benar keterlaluan. "Kalau soal Ibu dan Tante cepat dapat keturunan, Firda emang nggak tau. Tapi kalau Mbak Yana, Firda tauuuu banget." Senga
Jarum kecil dipergelangan tangan melewati waktu biasanya. Aku telat. Tergesa-gesa menuju kursi kerja, kulihat oppa berdiri di depan meja Arimbi yang tertunduk. Aku duduk perlahan. Kurasakan mata elang oppa tertuju ke arahku. Oooh Tuhan. "Kamu yang bernama Firda?" Oppa bertanya, begitu kakiku mendarat manja di lantai bawah meja kerja. "Iya, Pak!" jawabku pelan. "Suara yang cempreng, mata yang minus, ditambah suka terlambat! Apa masih ada yang lain?" sindirnya sinis. "Maaf, Pak!" Hanya kalimat itu yang bisa aku keluarkan dari bibir mungilku ini. "Saya minta laporan klien yang dari kota Magelang, itu bagian kamu, kan?""I—iya, Pak! Tapi ….""Kamu mau bilang kalau belum selesai?" selanya diantara kebingunganku. "Hari ini, kamu pulang tidak seperti jam biasa. Setelah jam pulang kantor, kamu keruangan saya." Oppa berjalan angkuh meninggalkan aku yang masih syok sambil terduduk. "Mampus deh!" sungutku frustasi. "Tenang! Jajanan nanti aku yang siapkan!" Arimbi menyambung perkataanku
Hampir sampai di belokan menuju toilet aku berpapasan dengan oppa. Sepertinya dia juga barusan nyetor dari sana. Pandangan mata kami saling bertemu. Aku bergeser ke arah kanan, begitu juga dirinya. Aku bergeser ke arah kiri, begitu pun dirinya. Tiga kali kami saling melakukan senam kaki seperti itu. "Aduuh maaf Pak, saya sudah nggak tahan, Bapak diem sebentar di tempat, boleh?!" Instruksiku yang terkesan tak sopan maen perintah-perintah bos. Tapi anehnya permintaanku itu dilaksanakan segera oleh oppa. Dia berdiri sebentar di depanku. Lalu badannya bergerak sedikit ke samping. Aku langsung menerobos. "Terima kasih Pak," kataku sekilas. Aku langsung berlari masuk ke toilet wanita. Menumpahkan segala rasa yang ada.Tapi eh tapi mulesnya nggak mau udahan. Padahal rapat sudah mau dimulai. Walau masih mules, aku membersihkan diri. Keder juga jika oppa marah lagi. Aku berjalan cepat ke meja kerjaku. Arimbi sudah tidak ada. Map laporan kutarik asal dari meja, aku berlari kecil ke ruang rap