Tidak ada hal yang mudah untuk dijalani oleh Ivy. Dalam keadaan hamil, dia harus tetap tegak dan waras menjalani hari. Ivy juga tetap pergi berkuliah dan bekerja paruh waktu.Kondisi kehamilannya pun sering menjadi bahan olokan dan cibiran. Sangat berbanding terbalik dengan Lucy yang disayang dan penuh kemudahan.Dengan alasan morning sickness yang mengganggu, Lucy tidak melanjutkan pendidikan. Tentu saja Ivy merasa sedih. Di saat dia pun hamil, tetapi masih harus tetap beraktivitas dan bekerja layaknya gadis normal.Ivy baru saja mendapatkan bis yang membawanya ke kafe tempatnya bekerja. Ivy meringis karena merasakan kram di perutnya. "Ssh." Ivy memejamkan mata sambil mengelus lembut perutnya yang mulai membuncit. Seorang nenek tua di sebelahnya menatap cemas. "Kau kenapa, Nona?"Ivy membuka mata lalu menoleh. "Aku tidak apa-apa, Nenek. Hanya sedikit kram saja.""Ah, pasti rasanya tidak nyaman." Wanita berusia senja itu tersenyum sedih.Ivy balas tersenyum. "Aku pikir semua perempu
Alden ingin menolak semua yang biasa dilakukan Ivy dalam mengurusinya. Namun, tidak bisa. Lagipula siapa lagi yang bisa diharapkan bisa mengurusi sama telatennya seperti Ivy?Selama hidupnya terpuruk, Payton malah meludahi dan mengatakan umpatan kasar juga kotor. Seakan-akan membalaskan semua dendam yang selama ini tanpa sadar dipupuk oleh Alden sendiri.Jadi, Alden hanya bisa menatap datar ke wajah putrinya. Walau terselip rasa marah, tetapi Alden bisa apa? Tak sedikit pun perlakuan Ivy berubah untuknya.'Apa laki-laki itu menolak untuk bertanggung jawab? Jadi kau terpaksa bertahan hidup di mansion yang tak ada ubahnya seperti neraka ini?' Alden mengerjapkan mata, berusaha menekan perasaan yang bergejolak hebat akibat pemikiran mendadak itu.Alden membuang rasa marahnya. Karena mendadak berpikir kemungkinan terburuk. 'Bagaimana kalau ternyata Ivy adalah korban pelecehan? Ya Tuhan, malangnya nasib putriku.'Air matanya mengalir perlahan. Ivy yang sedang sibuk mondar-mandir menyiapkan
Untung saja Sandy menyelamatkan Ivy dari sosok pengunjung kafe yang sok akrab itu. Bagaimana tidak, laki-laki itu dengan sangat percaya diri mendadak ingin menyentuh Ivy. Seumur-umur menjadi pelayan di kafe, baru kali ini ada yang berbuat sok akrab begitu dengan Ivy. Untungnya, Ivy bisa menguasai diri dan bersikap seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya. "Jangan takut, Ivy. Kalau kita tidak menanggapi, lelaki mata keranjang yang coba-coba menebar umpan, mereka pasti akan mundur sendiri." Sandy mengelus lengan Ivy."Iya. Leb-lebih baik kita kembali bekerja saja." Ivy masih dalam kondisi terkejut akibat sikap laki-laki tadi. Selama ini, sebisa mungkin Ivy menghindari interaksi dengan orang-orang. Terjadi sejak Payton masuk menjadi perampas kebahagiaan hidup Ivy. Gadis berambut ikal kecokelatan dengan manik mata berwarna kehijauan itu, menjadi semakin tertutup.Wajar jika dia sangat terkejut dengan sikap pengunjung kafe itu. Dess longgar yang dikenakannya tampak begitu kebesaran di t
Ketika terbangun, Ivy merasa tubuhnya nyeri. "Ssh, aduhh." Lebih terkejutnya lagi ketika menyadari perutnya sudah kempes. Akan tetapi, tidak ada keberadaan siapa pun di sebelahnya. "Perutku ... apa aku sudah melahirkan? Lalu di mana anakku?"Ruangan itu sepi. Seperti ruangan rawat dengan selang infus yang tertancap di nadi Ivy. Ditahannya rasa pusing yang masih tersisa, lalu Ivy mencoba untuk duduk.Baru hendak bangkit dari posisi rebah saja, rasa sakit seketika menghantam perutnya. "Arggh. Sakitt."Air matanya berlinang. Nyeri tak tertahankan itu terasa sangat menyiksa. "Di mana anakku? Bayiku, apa dia baik-baik saja?"Ivy tak tahu di mana keberadaannya saat ini. Dia terus menangis sampai terdengar suara pintu yang dibuka. "Tan-tante, di mana anakku?" Payton yang mengenakan gaun serba hitam itu hanya menatap datar. "Jangan banyak bergerak dulu. Kau baru bisa belajar berjalan besok."Tindakan operasi yang dilakukan tanpa seizin Ivy, terjadi di bawah permintaan Payton. Namun, ruanga
Ivy seperti kehilangan kemampuan untuk menguasai diri. Ketika ingin membuka mata dan menggerakkan tubuh, rasa kantuk kembali menyerang. Ivy merasa sedang mengawang-awang. Antara sadar dengan tidak."Ayah. Maaf, aku--""Seharusnya ayah yang minta maaf kepadamu, Ivy. Selama ini, semua penderitaanmu berasal dari sikap buruk ayah. Tolong, maafkan ayah, Nak." Ivy mengerjap berkali-kali. "Ay-ayah bisa bicara lagi?" Lengan Alden mengelus lembut rambut Ivy. "Ayah menyayangimu, Ivy. Tetaplah jadi putri kecil kebanggaan Ayah."Ivy menatap bingung, lalu tertawa kecil. "Lihatlah, Ayah bahkan bisa mengelus rambutku. Akhirnya, aku bisa melihat Ayah sembuh seperti dulu." Ivy memeluk tubuh sang ayah yang biasanya hanya terbaring tak berdaya itu. "Aku rindu memeluk Ayah seperti ini. Oh, Tuhan, aku masih tak percaya kalau doaku dikabulkan."Saking bahagianya, air mata Ivy menetes. "Seandainya Ibu bisa melihat ini semua, kita pasti kembali bahagia seperti dulu."Alden mengurai pelukan itu. "Ivy, Aya
Jeritan Payton membuat Ivy semakin bersemangat. Mirip seperti orang kerasukan, Ivy mengerahkan seluruh tenaga untuk membalas semua perbuatan yang dituduhkannya ke Payton. Semacam balas dendam atas semua penderitaannya selama ini. Suara teriakan Payton memancing pekerja taman yang baru saja tiba di area samping mansion. "Nyonya Besar! Astaga.""Berengsek, kenapa kau diam saja?! Hentikan dia!" Payton menatap nyalang.Laki-laki bertubuh besar itu pun mengiyakan. Lalu tergopoh-gopoh menarik tubuh ringkih Ivy. "Lepaskan! Aku akan memberinya pelajaran! Selama ini dia lah penyebab semua penderitaan yang aku alami!" Ivy meronta-ronta sambil berteriak. Payton tak sempat membenahi penampilan. Tatapannya penuh amarah ke Ivy yang masih mencoba mencari cara untuk menerjang tubuh Payton lagi. "Kurung dia di tempat laki-laki sialan itu mati. Ingat, jangan ada yang berani memberinya makanan atau minuman."Pekerja taman itu menyeret tubuh Ivy. "Tidak! Aku harus balas semua kelakuan buruknya! Lepaska
Ivy seperti mati rasa. Tubuhnya bukan hanya berbau lembab, tetapi juga penuh dengan noda tanah. Semalaman, dia menangis di atas gundukan tanah kuburan bayi yang disebutkan Payton.Kepala Ivy terasa begitu berat. Semalaman berada di bawah langit berhujan, sudah pasti akan menurunkan daya tahan tubuh manusia. Apalagi jika dalam kondisi lemah seusai melahirkan seperti Ivy. Yang ditambah lagi dengan belum makan apa pun selain dari ruang rawat kemarin."Nak, Mommy tak tau harus ke mana. Jadi, bolehkan Mommy tidur di sini saja? Supaya kita selalu berdekatan." Ivy tersenyum paksa, berusaha menutupi rasa hancur karena kehilangan semuanya dalam sekejap mata.Ivy merindukan ayahnya. Dia belum sempat berpamitan atau berbicara panjang lebar tentang rasa bersalah yang mendera batinnya. Ivy ingin sekali mengunjungi makam ayah dan ibunya untuk berkeluh kesah. Namun, jalannya sudah ditutup paksa.Seburuk apa pun perlakuan Alden setelah membawa pulang Payton beserta Lucy dan Lucas, yang tersisa di ing
Ivy menyerahkan tas khusus yang digunakan untuk menyimpan stok asi perah miliknya ke Rose. Karena sudah ditunggu oleh laki-laki yang kemarin mengantarkan pompa ASI. Ivy ditugaskan untuk menyetoknya lagi. Walau perlakuan spesial didapatkan dari sosok laki-laki penolong itu, tetap saja ada ruang hampa di hati Ivy. Setiap kali dia memerah ASI, tetap saja sambil berlinang air mata. Kehilangan dua orang yang selama ini berusaha Ivy perjuangkan, bukanlah hal mudah. Sekarang, Ivy sebatang kara dan berada di antara orang asing. Ranjang yang ditidurinya begitu empuk, dengan suasana kamar melebihi milik Ivy di masa lalu. Namun, tak akan bisa menggantikan kenangan indah bersama Alden dan Elisabeth.Ivy meletakkan botol berisi ASI perah. Sampai pukul sembilan pagi ini, dia berhasil mengumpulkan tiga botol dengan isi 50ml. Mungkin belum termasuk banyak. Setidaknya sudah mampu mengurangi rasa nyeri akibat bengkak karena isinya terlalu penuh. Ivy sedang menunggu dokter berkunjung. Ada beberapa