Ocean menatap lembut. Jemarinya terulur untuk merapikan rambut Ivy, lalu diselipkan di belakang telinga. "Kau adalah hal paling luar biasa yang bisa mengubah sudut pandangku tentang cinta."Ivy tak mampu menahan semburat merah yang hadir akibat rasa jengah karena pujian itu. Isi kepala dan hatinya bertentangan. Kedua organ tubuh itu sedang melakukan tugasnya masing-masing."Katakan, Sayang. Apa yang terjadi sampai kau bisa mengikuti acara lelang itu?" Ocean ingin memperbaiki semua dari awal pertemuan mereka. Lalu Ivy pun bercerita tentang pekerjaan sampingan yang diambilnya setelah pulang kuliah, yakni menjadi petugas katering. Saat itu, adik tirinya datang sebagai tamu. Salah satu pelayan yang juga bekerja di sana, memberi Ivy minuman. Setelahnya tubuh Ivy terasa aneh. Ivy pun mengadukan hal itu ke Lucy, adik tirinya. Lalu dia dibimbing masuk ke kamar milik penyelenggara pesta, Mike.Ocean tahu ada sesuatu yang dicampurkan dalam minuman itu. "Maaf, apa sebelum ini, kau pernah minu
Ocean membimbing Ivy ke depan kaca. "Lihatlah. Betapa cantiknya wajah istriku."Ivy menggeleng. "Tidak. Kau memuji hanya untuk menyenangkan hatiku saja."Ocean mengecup pundak Ivy. "Kenapa bisa terpikir seperti itu, hm?""Entahlah. Mungkin karena beberapa bekas luka yang belum sepenuhnya sembuh. Atau kau bosan karena sudah terpisah sekian lama denganku." Sebenarnya, hati Ivy sakit saat mengutarakan rasa. Ocean tersenyum. "Apa kau ingin tau seberapa parahnya keadaanku saat kau pergi tanpa pesan?""Kau tampak baik-baik saja." Ivy masih bersikeras. Ocean menarik tubuh Ivy agar saling berhadapan. "Lihat baik-baik suamimu ini. Apa yang berubah sejak kau pergi, hm?"Ivy menelisik dengan teliti. "Kau lebih kurus. Cambangmu berantakan. Kau juga seperti lupa caranya bersisir dengan rapi.""Dan apa kau tak melihat kalau aku punya kantung mata?"Tatapan Ivy terkunci di sepasang bola mata sebiru lautan itu. "Apa kau tidak bisa tidur?"Ingin sekali Ocean mengigit bibir Ivy yang begitu ringan ber
Ivy merasa seluruh tubuhnya terbakar. Sesuatu yang tak dimengerti olehnya sedang terjadi. "Lu-lucy, kenapa badanku mendadak panas?"Adik tirinya itu hanya tersenyum tipis. "Itu karena kau belum pernah minum alkohol. Ini reaksi wajar, Ivy. Ayolah, kau memang lugu dan ... bodoh!" "Tap-tapi, rasanya semakin panas dan aneh," keluh Ivy, lagi."Diamlah! Kau terlalu berisik. Ayo, kita sembunyi di kamar hotel yang disediakan Mike saja." Lucy merasa tak sabar langsung menarik tangan Ivy dengan keras. Ivy yang tidak bisa membantah, terpaksa mengikuti semua keinginan Lucy. Ivy, si gadis bermata kehijauan itu, membantu di acara ulang tahun salah satu teman kampus. Menjadi pekerja katering panggilan dari pihak hotel tempat diselenggarakannya pesta. Ternyata, Lucy datang sebagai tamu undangan. Ya, kenyataan hidup yang miris. Jika Lucy tampil memukau dengan gaun pesta berharga mahal, Ivy malah mengenakan seragam khas pekerja. Kedatangan Lucy ke acara pesta itu punya dua tujuan berbeda. Karena it
Ivy mengangguk gugup. Tatapan matanya berkabut. Seakan-akan memohon kepada laki-laki asing di atasnya itu untuk melanjutkan apa yang tertunda.Laki-laki itu menatap dingin. 'Kau yang datang menyerahkan diri. Semoga setelah ini, kau tidak bermain drama seolah-olah tersakiti.' Tak dihiraukannya wajah cantik bersemu kemerahan itu meringis dan menjerit karena sakit. Ivy yang masih dikepung sensasi membakar dari minuman bercampur obat afrodisiak itu, bingung mengartikan apa yang sebenarnya terjadi pada tubuhnya. Ingin menolak, tetapi tubuhnya bereaksi berbeda. Kegiatan panas itu terus berlanjut. Laki-laki itu tidak memberi kesempatan Ivy untuk beristirahat. Sampai akhirnya, Ivy kehilangan kesadaran. Ocean Aloysius, laki-laki yang memiliki tato harimau, di otot pejal perut bagian kanan itu, tersenyum puas. "Kenikmatan yang kau berikan, sebanding dengan harga yang aku bayar." Lelaki bermata sebiru lautan itu keluar. Ia duduk di area balkon. Menikmati kesunyian dini hari sambil merokok,
Sebelum menjadi sepasang kekasih, keduanya sudah bersahabat sejak bangku sekolah menengah. Seharusnya Brian hafal betul bagaimana karakter Ivy. Gadis cantik berpinggul ramping menggoda itu, menangis tergugu di sepanjang koridor menuju kamarnya. Ivy tampak kacau. Di kamarnya yang sangat sempit, Ivy duduk memeluk lutut. Tubuhnya berguncang keras. Suara ratapan tangisnya pun terdengar memilukan.Ivy tak habis pikir, bagaimana bisa dalam waktu singkat, kesialan menimpanya bertubi-tubi. Keperawanannya hilang dengan cara memalukan. Lalu Brian kedapatan hampir meniduri adik tirinya. "Rumah ini sudah lama berubah menjadi neraka. Tapi kali ini yang paling mengerikan." Ivy terisak-isak.Semua dimulai ketika Elisabeth mengetahui perselingkuhan suaminya dengan Payton. Elisabeth stres berat. Bobot tubuhnya turun drastis. Apalagi ketika tanpa malu Payton dibawa pulang ke kediaman mereka dengan sepasang anaknya pula.Elisabeth jatuh sakit. Ivy yang saat itu masih duduk di bangku sekolah atas, menj
Sejak peristiwa pemenangan lelang gadis di malam dua bulan lalu, Ocean Aloysius Alexavier, tak pernah lagi berselera menghabiskan malam panjang bersama wanita bayaran.Setiap ingin menuntaskan dahaga, seleranya menguap walau wanita bayaran itu sudah dalam kondisi siap tempur. Bayangan wajah cantik gadis bermata kehijauan dengan rambut ikal berantakan, lengkap erangan sendu, terus menggema di kepalan Ocean.Sayang, Ocean kehilangan jejak dan petunjuk tentang siapa gadis yang mencuri uang seratus dollar miliknya pagi itu. Padahal Ocean dengan senang hati akan memandikan gadis itu dengan jutaan dollar jika saja ada malam-malam panas berikutnya. Bibir sensual yang merekah merah alami itu seakan-akan membiusnya agar tidak lagi sembarangan memagut milik jalang lain. Wajah sendu yang mengerang manja itu pun menari-nari di pelupuk mata Ocean."Pakailah bajumu. Aku berubah pikiran." Ocean mendengkus keras lalu berpindah ke sofa. Diteguknya wine untuk mengusir rasa kesal.Wanita bayaran yang s
Ivy merasa tubuhnya seperti tidak bertulang. Seluruh sendi terasa nyeri dan rasa mual terus saja mengganggu. Belum lagi lidahnya yang bereaksi aneh jika mengecap rasa.Sekuat tenaga, Ivy berusaha melawan semua rasa tak nyaman yang menggerogoti tubuhnya. Dia harus sehat karena ada ayah yang harus diurusi. Ivy mengendap-endap menuju dapur. Harum aroma kaldu sapi yang menguar seolah-olah menuntunnya menuju ke ruangan itu. Air liurnya menetes membayangkan bagaimana gurihnya kuah beraroma rempah itu. Namun, tatapan galak dari kepala koki, membuat Ivy merasa miris. "Bukannya Nyonya Besar melarangmu berkeliaran di dapur?" Riddle, kepala koki, berkacak pinggang."Ma-maaf, Tuan. Aku lapar," ucap Ivy, jujur. "Tidak bisa. Menu ini khusus untuk Nona Muda yang sedang hamil. Kau harus menunggu jika ada sisanya." "Tapi ini rumahku! Kenapa kalian memperlakukan aku seperti ini?" Suara Ivy gemetar ketika menyuarakan protesnya."Aku hanya menjalankan perintah Nyonya Besar. Pergilah! Aku tak mau di
Ketika Ivy baru saja kembali dari pekerjaan paruh waktu sepulang kuliah, tak sengaja mendengar obrolan Payton dan Lucy. "Pemberkatan pernikahan akan digelar minggu ini, Mama. Pestanya menyusul bulan depan. Bagaimana menurut Mama?" Lucy tampak semringah, sambil menggelayut manja di lengan Brian. "Terserah bagaimana baiknya saja. Di mana diadakan pestanya?" Payton tersenyum lebar. "Di rumah ini saja, Tante. Aku akan mengirimkan uang untuk biaya keseluruhannya. Atau Tante mau terima beres?" Brian menatap manis ke arah Lucy. Hati Ivy terasa seperti ditikam pisau. Di saat dirinya harus menyeimbangkan antara mencari uang untuk menghidupi diri, mengurus ayah, juga menjaga kandungan, Lucy mendapatkan semua dengan mudah. Jika biasanya Ivy bisa menahan diri, kali ini entah kenapa dia merasa begitu kesal. Apalagi ketika melihat bagaimana cara Brian mengusap lembut perut Lucy yang terekspos jelas itu. Lucy tanpa malu mengenakan tank top model crop top. 'Tuhan, ini tidak adil. Kenapa selalu a