Ivy mengangguk gugup. Tatapan matanya berkabut. Seakan-akan memohon kepada laki-laki asing di atasnya itu untuk melanjutkan apa yang tertunda.
Laki-laki itu menatap dingin. 'Kau yang datang menyerahkan diri. Semoga setelah ini, kau tidak bermain drama seolah-olah tersakiti.'
Tak dihiraukannya wajah cantik bersemu kemerahan itu meringis dan menjerit karena sakit.
Ivy yang masih dikepung sensasi membakar dari minuman bercampur obat afrodisiak itu, bingung mengartikan apa yang sebenarnya terjadi pada tubuhnya. Ingin menolak, tetapi tubuhnya bereaksi berbeda.
Kegiatan panas itu terus berlanjut. Laki-laki itu tidak memberi kesempatan Ivy untuk beristirahat. Sampai akhirnya, Ivy kehilangan kesadaran.
Ocean Aloysius, laki-laki yang memiliki tato harimau, di otot pejal perut bagian kanan itu, tersenyum puas. "Kenikmatan yang kau berikan, sebanding dengan harga yang aku bayar."
Lelaki bermata sebiru lautan itu keluar. Ia duduk di area balkon. Menikmati kesunyian dini hari sambil merokok, bergantian dengan menyesap wine.
Merasa kedinginan karena hanya mengenakan boxer, Ocean memilih untuk masuk ke kamar. Ocean melirik sekilas gadis yang terbalut selimut itu, sebelum ikut merebahkan diri di sebelahnya.
Beberapa jam kemudian, Ivy terbangun. Dia meringis menahan sakit. Perih di bagian bawah tubuhnya begitu menyiksa. Ivy membekap mulut saat menyadari betapa menyedihkan kondisinya ketika terbangun.
Ivy sadar, percuma saja menangis. Karena dia ingat bagaimana sikapnya ke laki-laki asing yang tidur nyenyak satu selimut dengannya itu. Ivy ingat dia memohon untuk dipuaskan.
'Kenapa aku berubah menjadi jalang murahan semalam? Aku bahkan tak tau malu, menyentuh otot perutnya, lalu menggoda agar dia bergerak lebih cepat?' Ivy menggeleng berkali-kali.
Takut kalau kembali mengalami kejadian yang mampu membuatnya serasa ingin mati itu, terulang kembali, Ivy pelan-pelan beringsut turun dari ranjang.
"Awhh. Perih sekali." Ivy kembali mengingat bagaimana peristiwa itu terjadi. Digigitnya bibir kuat-kuat, sambil berusaha berjalan menuju kamar mandi.
Di depan pintu kamar mandi, semua pakaiannya teronggok pasrah. Tanpa berniat membersihkan diri, Ivy mengenakan pakaiannya kembali. Sadar kalau tasnya dibawa Lucy, Ivy diserang rasa bingung.
"Ak-aku bahkan tak memegang uang sepeser pun. Gajiku sudah pasti tidak dibayar karena aku tak kembali bekerja. Bagaimana bisa aku melarikan diri dari sini?" Ivy bergerak perlahan. Rasa sakit di pangkal pahanya masih begitu menyiksa.
Matanya tanpa sengaja melihat setelan jas tersampir begitu saja di sofa bench. 'Di sana pasti ada dompet. Ya ya, tak mengapa aku meminjam uangnya. Hanya untuk sekedar uang taksi."
Tentu tak mungkin Ivy pulang menaiki bus atau kereta bawah tanah, dalam kondisi berantakan seperti sekarang. Karena itulah dia butuh uang lebih untuk membayar ongkos taksi. Dengan jemari yang gemetar, dicarinya keberadaan dompet.
Ivy tak tertarik pada jumlah uang yang ada di dalammya. Dia hanya mengambil seratus dollar saja.
Ivy mengembalikan dompet itu ke tempatnya semula. Dengan gerakan sangat lambat, Ivy melangkah menuju pintu keluar. Dia berusaha untuk meminimalisir suara yang bisa membangunkan laki-laki yang entah siapa namanya itu.
Dua puluh menit kemudian, Ivy sudah berdiri di depan pagar rumahnya. Ah, tidak. Bukan lagi rumahnya. Ibu tirinya, Payton, sudah menguasai semua aset keluarga Ivy. Apalagi ketika ayahnya stroke. Wanita jalang itu langsung menunjukkan siapa dirinya. Seekor ular berkepala manusia.
Begitu Ivy menjejakkan kaki menelusuri lorong menuju kamar, teriakan Payton membuatnya bergidik ngeri. "Dari mana saja kau?"
Ivy tak berani mengangkat wajah. Takut ketahuan sudah berbuat hal yang melanggar aturan.
"Mmh, itu, Tante, ak-aku ...." Ivy tak tahu harus menjawab apa.
"Cepat bersihkan dirimu. Kau seperti tikus got yang berbau busuk! Lalu urus ayahmu yang tak berguna itu!" Payton berkacak pinggang.
Ivy masih belum bisa berpikir jernih. Otaknya masih belum bekerja sepenuhnya, karena mengalami guncangan yang mengerikan hanya dalam semalam.
"Hei, kenapa kau malah bengong? Kau memang gadis bodoh! Cepatlah!"
"Ba-baik, Tante." Ivy berusaha berjalan lebih cepat. Namun, lagi-lagi rasa perih itu membuatnya tersiksa.
Payton menatap tajam ke arah Ivy yang tampak kepayahan. Sudah sejak lama, Payton berusaha menyingkirkan anak tirinya itu. Namun, upayanya belum menemukan hasil.
"Tapi ini semua belum cukup, Elisabeth." Payton menyebut nama ibunya Ivy dengan nada dendam.
Ivy berjalan melewati kamar Lucy. Tanpa sengaja dia mendengar suara lenguhan manja. Otaknya langsung membayangkan apa yang mungkin terjadi di dalam kamar itu.
Didorong rasa penasaran, Ivy mendekat ke pintu yang ternyata tidak dikunci rapat. Sialnya, tubuh Ivy terhuyung dan membuatnya bisa menyaksikan apa yang sedang terjadi di dalamnya.
"Astaga, Brian!"
Laki-laki yang dipanggil namanya itu, langsung menarik diri. Dikenakannya kembali celana yang melorot itu.
Lucy pun tampak panik, sibuk menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya.
"Kau dari mana saja, Ivy?" Brian menatap tak suka.
Penampilan acak-acakan yang dilihat Brian dari sang kekasih, seperti pembenaran atas informasi tentang kelakuan Ivy di belakangnya.
"Ak-aku ... aku habis bekerja sebagai pelayan katering di acara Mike," jawab Ivy sambil berdiri. Dia gugup luar biasa.
Tanpa berniat mengenakan baju, Brian mendekat. Diendusnya aroma tubuh Ivy. "Kau ... habis bercinta dengan siapa, hah?"
Ivy tak bisa mengelak lagi. Apalagi ketika Brian menyentuhkan jemari di leher dan tulang selangka Ivy. "Lihat, lehermu penuh jejak. Katakan, siapa laki-laki sialan itu!" Brian mencengkeram erat dagu kekasihnya.
Ivy terisak-isak. Dia menggeleng berkali-kali. Karena memang tidak tahu dengan pasti, siapa laki-laki bermata sebiru lautan yang sudah merampas kehormatannya itu.
Lucy yang sudah mengenakan gaun tidurnya itu, menghampiri Brian. "Sudah. Jangan paksa Ivy. Dia pasti mengalami malam yang sangat berat."
"Pergilah, Ivy. Aku tak mau lagi berurusan denganmu. Kita putus!" Brian berbalik badan. Isi kepalanya kacau.
"Tap-tapi, Brian, aku tak--"
"Pergi!" Brian membentak.
Ivy menangis dengan keras. Tak percaya kalau Brian, satu-satunya orang yang memperlakukannya seperti layaknya manusia, sekarang tega membentaknya.
Tubuh Ivy kembali luruh ke lantai. Kali ini, dia seperti kehilangan daya tumpu. Semua hal buruk menghantamnya bertubi-tubi.
Susah payah Ivy bangkit dari posisi jatuhnya itu. Karena bukan hanya tubuhnya sedang tak baik-baik saja, hatinya juga.
Apalagi melihat Lucy yang sibuk mengelus lembut punggung Brian. Salahkah kalau Ivy merasa cemburu? Apalagi awalnya Ivy memergoki keduanya sedang bercumbu di atas ranjang.
Bagaimana bisa Brian yang sudah berpacaran dua tahun belakangan ini, tega menggoda Lucy? Apa Brian lupa kalau Lucy adalah adik tiri Ivy?
"Brian," panggil Ivy.
Lucy mendekat dan ikut bersimpuh di depan Ivy. "Kau pergilah dulu. Dia sedang kacau. Biar aku yang bantu menenangkannya."
Plakk!
Lucy meringis. "K-kau! Kenapa kau menampar aku?"
"Kau yang jahat! Kau pasti dalang di balik semua ini, kan? Kau ... aduhh." Ivy memekik keras.
Brian menyeret Ivy. "Keluar! Jangan pernah berani menampakkan diri di depanku lagi! Aku menyesal sudah pernah mencintai gadis murahan sepertimu."
Sebelum menjadi sepasang kekasih, keduanya sudah bersahabat sejak bangku sekolah menengah. Seharusnya Brian hafal betul bagaimana karakter Ivy. Gadis cantik berpinggul ramping menggoda itu, menangis tergugu di sepanjang koridor menuju kamarnya. Ivy tampak kacau. Di kamarnya yang sangat sempit, Ivy duduk memeluk lutut. Tubuhnya berguncang keras. Suara ratapan tangisnya pun terdengar memilukan.Ivy tak habis pikir, bagaimana bisa dalam waktu singkat, kesialan menimpanya bertubi-tubi. Keperawanannya hilang dengan cara memalukan. Lalu Brian kedapatan hampir meniduri adik tirinya. "Rumah ini sudah lama berubah menjadi neraka. Tapi kali ini yang paling mengerikan." Ivy terisak-isak.Semua dimulai ketika Elisabeth mengetahui perselingkuhan suaminya dengan Payton. Elisabeth stres berat. Bobot tubuhnya turun drastis. Apalagi ketika tanpa malu Payton dibawa pulang ke kediaman mereka dengan sepasang anaknya pula.Elisabeth jatuh sakit. Ivy yang saat itu masih duduk di bangku sekolah atas, menj
Sejak peristiwa pemenangan lelang gadis di malam dua bulan lalu, Ocean Aloysius Alexavier, tak pernah lagi berselera menghabiskan malam panjang bersama wanita bayaran.Setiap ingin menuntaskan dahaga, seleranya menguap walau wanita bayaran itu sudah dalam kondisi siap tempur. Bayangan wajah cantik gadis bermata kehijauan dengan rambut ikal berantakan, lengkap erangan sendu, terus menggema di kepalan Ocean.Sayang, Ocean kehilangan jejak dan petunjuk tentang siapa gadis yang mencuri uang seratus dollar miliknya pagi itu. Padahal Ocean dengan senang hati akan memandikan gadis itu dengan jutaan dollar jika saja ada malam-malam panas berikutnya. Bibir sensual yang merekah merah alami itu seakan-akan membiusnya agar tidak lagi sembarangan memagut milik jalang lain. Wajah sendu yang mengerang manja itu pun menari-nari di pelupuk mata Ocean."Pakailah bajumu. Aku berubah pikiran." Ocean mendengkus keras lalu berpindah ke sofa. Diteguknya wine untuk mengusir rasa kesal.Wanita bayaran yang s
Ivy merasa tubuhnya seperti tidak bertulang. Seluruh sendi terasa nyeri dan rasa mual terus saja mengganggu. Belum lagi lidahnya yang bereaksi aneh jika mengecap rasa.Sekuat tenaga, Ivy berusaha melawan semua rasa tak nyaman yang menggerogoti tubuhnya. Dia harus sehat karena ada ayah yang harus diurusi. Ivy mengendap-endap menuju dapur. Harum aroma kaldu sapi yang menguar seolah-olah menuntunnya menuju ke ruangan itu. Air liurnya menetes membayangkan bagaimana gurihnya kuah beraroma rempah itu. Namun, tatapan galak dari kepala koki, membuat Ivy merasa miris. "Bukannya Nyonya Besar melarangmu berkeliaran di dapur?" Riddle, kepala koki, berkacak pinggang."Ma-maaf, Tuan. Aku lapar," ucap Ivy, jujur. "Tidak bisa. Menu ini khusus untuk Nona Muda yang sedang hamil. Kau harus menunggu jika ada sisanya." "Tapi ini rumahku! Kenapa kalian memperlakukan aku seperti ini?" Suara Ivy gemetar ketika menyuarakan protesnya."Aku hanya menjalankan perintah Nyonya Besar. Pergilah! Aku tak mau di
Ketika Ivy baru saja kembali dari pekerjaan paruh waktu sepulang kuliah, tak sengaja mendengar obrolan Payton dan Lucy. "Pemberkatan pernikahan akan digelar minggu ini, Mama. Pestanya menyusul bulan depan. Bagaimana menurut Mama?" Lucy tampak semringah, sambil menggelayut manja di lengan Brian. "Terserah bagaimana baiknya saja. Di mana diadakan pestanya?" Payton tersenyum lebar. "Di rumah ini saja, Tante. Aku akan mengirimkan uang untuk biaya keseluruhannya. Atau Tante mau terima beres?" Brian menatap manis ke arah Lucy. Hati Ivy terasa seperti ditikam pisau. Di saat dirinya harus menyeimbangkan antara mencari uang untuk menghidupi diri, mengurus ayah, juga menjaga kandungan, Lucy mendapatkan semua dengan mudah. Jika biasanya Ivy bisa menahan diri, kali ini entah kenapa dia merasa begitu kesal. Apalagi ketika melihat bagaimana cara Brian mengusap lembut perut Lucy yang terekspos jelas itu. Lucy tanpa malu mengenakan tank top model crop top. 'Tuhan, ini tidak adil. Kenapa selalu a
Ivy tak peduli dengan apa yang didapatkan Lucy sebagai calon pengantin di keluarga Brian Ashley. Pun ketika semua atribut mewah pesta yang diselenggarakan di kediaman keluarga Ivy. Dia dikurung Payton di kamar sempit Alden. Namun, bukan Ivy namanya kalau tidak bisa mencoba untuk keluar. Mansion ini tempat tinggalnya sejak lahir. Sudah tentu Ivy hafal area yang tak diketahui Ibu dan saudari tirinya.Separuh mengendap, Ivy menelusuri lorong menuju taman belakang di mana pesta berlangsung. Gaunnya lusuh, penampilannya mirip pelayan kelas bawah.Lampu-lampu menghiasi taman yang luas itu. Kursi dan meja kayu disusun rapi lengkap dengan hidangan lezat. Sepanjang jalan menuju area yang dibuat menyerupai altar dikelilingi rangkaian bunga-bunga di mana Lucy dan Brian duduk dengan senyum semringah tercetak jelas. Dari tanaman yang dibentuk rimbun itu, Ivy mengintip dengan hati penuh luka. 'Kalian bersenang-senang di atas lukaku. Kalian makan dan minum, berpesta menggunakan kekayaan Ayah.' Di
Ivy terbangun karena suhu tubuhnya terasa sangat panas. Semalaman berbaring di dalam kamar mandi membuatnya menggigil. 'Pasti para pelayan sudah bangun. Aku harus keluar dari tempat ini.' Ivy mencoba untuk menggedor pintu dengan sisa tenaga yang ada."To-tolong. Siapa saja, tolong akun!" teriak Ivy.Tidak ada jawaban. Letak kamar mandi itu memang agak di belakang. Ivy terus mencoba dan berharap akan datang seseorang untuk mengeluarkannya.Brian yang diminta oleh Lucy mengambil makanan dari dapur mansion, tiba-tiba mendengar suara dari kamar mandi itu."Aneh, aku seperti mendengar suara dari pintu itu." Sebenarnya, Brian tersasar karena salah berbelok. Harusnya ke kanan, mantan kekasih Ivy itu malah ke kiri. "Tolong," rintih Ivy sebelum akhirnya kehilangan kesadarannya.Separuh ragu Brian mendekat ke arah pintu. "Aneh, kuncinya malah tergantung di sini." Brian mendekatkan telinganya ke arah pintu. Hening. Tidak terdengar suara apa pun. "Tidak mungkin mansion ini berhantu, kan?'Did
Mansion milik Alden pagi-pagi sudah dihebohkan dengan teriakan Lucy. Wanita manja yang tengah berbadan dua itu sibuk mencari ke mana suaminya.Namun, tak ada satu pun pelayan di mansion yang berhasil menemukan Brian.Lucy menepuk jidatnya. 'Dasar bodoh! Kau kan sudah menyadap lokasi di mana Brian berada.' Lucy berbalik, melangkah ke kamar untuk menyambar ponsel di atas nakas dan mengenakan cardigan selutut. Keningnya mengernyit ketika melihat di mana lokasi Brian berada. Sementara di rumah sakit, suster sudah membantu memindahkan Brian ke sofa. Ivy tak bisa berbuat banyak. Tubuhnya terasa lemah dan tidak bisa banyak bergerak. Keduanya masih tertidur pulas ketika Lucy menerjang masuk. Dengan penuh drama, Lucy mengguncang bahu Brian. "Bangun! Brian, bangun!"Brian menatap nanar. Pengar menghantam kepalanya. Brian menelan ludah ketika menyadari di mana dirinya saat ini. "Lu-lucy, ke-kenapa kau ada di sini?" Lucy menangis keras. "Seharusnya aku yang bertanya. Kenapa kau ada di kamar i
Tidak ada hal yang mudah untuk dijalani oleh Ivy. Dalam keadaan hamil, dia harus tetap tegak dan waras menjalani hari. Ivy juga tetap pergi berkuliah dan bekerja paruh waktu.Kondisi kehamilannya pun sering menjadi bahan olokan dan cibiran. Sangat berbanding terbalik dengan Lucy yang disayang dan penuh kemudahan.Dengan alasan morning sickness yang mengganggu, Lucy tidak melanjutkan pendidikan. Tentu saja Ivy merasa sedih. Di saat dia pun hamil, tetapi masih harus tetap beraktivitas dan bekerja layaknya gadis normal.Ivy baru saja mendapatkan bis yang membawanya ke kafe tempatnya bekerja. Ivy meringis karena merasakan kram di perutnya. "Ssh." Ivy memejamkan mata sambil mengelus lembut perutnya yang mulai membuncit. Seorang nenek tua di sebelahnya menatap cemas. "Kau kenapa, Nona?"Ivy membuka mata lalu menoleh. "Aku tidak apa-apa, Nenek. Hanya sedikit kram saja.""Ah, pasti rasanya tidak nyaman." Wanita berusia senja itu tersenyum sedih.Ivy balas tersenyum. "Aku pikir semua perempu