"Cuma dicas? Gak rusak?" Aku mengulangi.
Suami mengangguk dengan tatapan serius."Tapi kata Sarah hape nya rusak Pak, makanya gak dipake dari dulu.""Ya ini hape nya baik-baik aja, tadi Bapak cuma disuruh ke conter aja sama Pak Tomo, katanya suruh beli kartu baru dan pasang di sana, nih kalau gak percaya Bapak mau telepon Mila, tadi Bapak juga udah diajarin gimana caranya nelepon sama Pak Sutomo di kantor bale desa," ujarnya lagi.Ia mulai memencet beberapa tombol hingga ponsel itu pun berbunyi menunggu telepon diangkat."Mana, Pak? Mila mana?" Aku tak sabar."Sabar dulu, tadi kata Pak Tomo sebelum ada bunyi hallo berarti belum diangkat, Bu."Akhirnya kami pun menunggu beberapa detik."Hallo." Suara Mila pun mulai terdengar di jauh sana. Aku dan suami sampai melonjak kegirangan."Ha-hallo, hallo hallo hallo Mila.""Ibu? Ini Ibu?""Iya, Nak ini Ibu, Ibu sama Bapak khawatir banget sama kamu, kamu masih di mana sekarang?" Aku langsung mencecaer karena sudah tak sabar lagi rasanya."Maksud Ibu apa? Ini Mila lagi di tempat kerja, Bu," jawabnya terheran-heran.Sontak aku beregming lalu melirik ke arah suami, ia sekarang juga sama bingungnya denganku."Di tempat kerja?" Aku memastikan."Iya Bu, ini lagi di tempat kerja, ada apa? Kenapa? Dan Ini nomor siapa? Tumben Ibu nelepon duluan? Biasanya walaupun Mila yang nelepon duluan Ibu sibuk terus di sawah," cecar anak itu tanpa jeda.Apa maksud Miila? Dia bilang aku sibuk dan tidak mau bicara dengannya di telepon?Selama ini bahkan aku dan bapaknya selalu menunggu terus kapan anak-anakku menelepon tapi kata Sarah tak ada telepon dari Mila atau pun Nila berapa bulan ini.Terus apa katanya tadi? Mila masih di tempat kerja? Maksudnya gimana? Sarah bilang Mila sedang di perjalanan pulang.Aku bingung sendiri jadinya."Bu, Halo, Bu." Mila bersuara lagi.Aku mengerjap."Mila masih di tempat kerja Bu, kenapa? Ada apa " Mila mencecar lagi, sementara aku mendadak bingung apa yang harus kukatakan.Tanpa babibu suami pun merebut ponsel itu dari tanganku."Halo Mila, ini, Bapak.""Ya, Pak, Ada apa? Kenapa?" Mila terdengar begitu cemas."Kamu enggak pulang, Nak?""Pulang? Emangnya kenapa? Ada apa?" Mila balik bertanya?"Apa kemarin Sarah gak nelepon kamu, Nak?" tanya suamiku lagi."Enggak Pak, emangnya ada apa? Bapak sama Ibu butuh uang? Apa kalian sakit?""Enggak, bukan begitu Nak, tapi kata Sarah kamu sedang dalam perjalanan pulang ."Mila diam sebentar."Pulang? Tapi Mila enggak lagi pulang, Pak, Mia lagi sibuk ini di kantor. Ada apa?" Mila memastikan lagi.Ya Tuhan, kalau sekarang Mila enggak lagi di perjalanan pulang, kenapa kemarin Sarah bilang Mila sedang pulang? Kenapa anak itu berbohong? Apa maksudnya?"Mila, sebetulnya ...." Suamiku mulai bicara lagi, tapi tampaknya ia sangat berat untuk mengatakan tentang semua yang terjadi pada Nila."Ada apa, Pak?"Suamiku tetap diam, segera kuambil lagi ponsel itu dari tangannya."Halo, Nak.""Ya, Bu, kenapa? Bapak kenapa?" Mila terdengar makin cemas."Mil, kamu bisa pulang 'kan malam ini juga?" tanyaku."Pulang? Tapi kenapa memangnya? Bu?" Lagi-lagi Mila balik bertanya dengan nada suara yang makin kebingungan.Ya Allah bagaimana caraku mengatakannya? Jangankan Mila yang jauh di sana, aku saja merasa tak sanggup untuk mengatakan kabar soal Nila.Aku pikir kemarin Sarah sudah mengatakan soal kepergian Nila tapi ternyata tidak, anak itu sudah berbohong entah apa alasannya."Halo, Bu." Mila memanggil lagi."Mila, Nak, sebetulnya adikmu ... sudah meninggal sayang.""Apa?" Mila terkejut, suaranya mendadak bergetar."Iya, Nak, adikmu sudah pergi." Aku memperjelas sampai tak terasa mili ku kembali rembes."Tap-i kapan Nila meninggal, Bu?""Kemarin lusa, Nak, adikmu meninggal kemarin lusa," jawabku terisak-isak.Perih sekali rasanya jika kuingat lagi soal Nila yang datang tanpa nyawa."Kemarin lusa? Terus kenapa Ibu baru kabari Mila sekarang? Kenapa gak dari kemarin lusa juga?" Mila terus mencecar meski suaranya sudah terdengar berat dan serak.Aku menarik napas dalam."Ibu pikir Sarah sudah mengabarimu kemarin, Nak.""Tapi enggak ada Sarah nelepon, Bu, dari kemarin bahkan dari beberapa bulan lebih gak ada panggilan masuk dari Sarah, Mila justru sedang menunggu kapan nomor nya aktif karena saat Sarah coba telepon nomornya selalu tak bisa dihubungi, padahal Mila kangen banget sama Ibu dan Bapak," ujarnya panjang lebar.Lagi-lagi aku terkejut mendengar ucapan Mila.Selama ini Sarah bilang anak-anakku tak pernah ada yang menelepon, tapi sekarang Mila bilang ia malah sering menelepon tapi nomor Sarah memang tidak aktif.Aneh, ada apa ini sebetulnya Mungkinkah si Sarah sudah berbohong? Tapi untuk apa juga? Apa mungkin selama ini anak itu keberatan saat aku menumpang telepon? Tapi 'kan dia sendiri yang bilang kalau ponselku mati dan tak bisa digunakan lagi.Aku juga masih ingat dengan jelas, Sarah selalu menawarkan ponselnya untuk kupakai kapan saja jika anak-anakku menelepon.Ada apa ini sebetulnya?"Bu, sekarang gimana?" Mila bicara lagi.Aku mengerjap."Ya sudah sekarang 'kan kamu udah tahu kabar soal Nila, Ibu minta kamu pulang ya, Nak. Ibu membutuhkanmu, Ibu ingin cerita sesuatu padamu soal Nila.""Baik, Bu, Mila segera pulang," tutup Mila .Sambungan telepon dimatikan, aku pun kembali menatap suamiku."Pak, apa Bapak gak merasa ada yang aneh?""Aneh?" Ia mengulangi."Iya, soal Sarah, kenapa anak itu bohong sama kita? Kemarin dia bilang, dia sudah mengabari Mila soal kepergian Nila, tapi hari ini Mila bilang katanya ia bahkan belum mendapat telepon dari Sarah sejak beberapa bulan lebih," ujarku panjang lebar seraya mengigit bibirku sedikit."Apa mungkin Sarah terpaksa bohong, Bu? Dia ingin membuat kita tenang saja."Aku kembali berpikir.Mungkin saja apa yang diucapkan suamiku itu benar tapi entah kenapa lagi-lagi aku merasa seperti ada sesuatu yang disembunyikan Sarah.Tapi apa? Ah sudahlah, kenapa juga aku harus memikirkan masalah Sarah? Sekarang aku harus fokus pada masalah kepergian Nila yang masih banyak kejanggalan itu.Setelah Mila benar-benar datang, aku pasti akan menceritakan semuanya tanpa ada yang terlewat."Siapa yang berbohong, Paman?"Kaget bukan main saat kami lihat tiba-tiba Sarah sudah berdiri di belakang kami.Secepat kilat suamiku memasukan ponsel itu ke dalam saku celananya, kemudian bergegas masuk ke dalam kamar."Eh Sar, kamu kirain siapa."Sarah mendekat lalu duduk di atas dipan bersamaku."Lagi pada ngomongin apa sih, Bi? Kok serius banget."Aku mengibaskan tangan."Ah bukan apa-apa, cuma ngomongin masalah buat tahlilan nanti malam aja, Bibi bingung masih belum punya apa-apa buat jamuan yang tahlil," jawabku sekenanya."Gak usahlah dipaksain kalau gak ada Bi, mereka ikhlas mendoakan Nila."Ak
Aku menganggukan kepala."Ya udah gih Sar, Bibi kan udah bilang dari tadi, takut kamu lagi ada urusan gak apa-apa kamu gak usah bantu-bantu di sini dulu," ucapku.Sarah tersenyum."Sebenarnya bukan urusan penting sih, Bi, emang Sarah ada yang kelupaan aja, tapi nanti juga Sarah balik lagi ke sini, cuma bentar kok, ya udah bentar ya, Bi," pungkasnya.Sarah pun segera keluar lewat pintu dapur. Aku mengangkat bahu, entahlah anak itu mau ke mana dan ada urusan apa, tadi katanya gak ada kegiatan sekarang malah mendadak ada yang kelupaan. Hmm Saraah Saraah.Dia itu memang mirip sekali dengan Nila.-Malam hari ketika waktu tahlilan ketiganya Nila tiba. Para tetangga sudah berkumpul selepas isya.Sementara aku sibuk sendiri di dapur, menyiapkan berbagai macam makanan ringan untuk kuberikan setelah tahlilan selesai dilaksanakan.Tadi ada si Mae yang bantu-bantu tapi anaknya yang paling kecil malah nangis terus di rumahku, gak tahu kenapa, jadinya terpaksa Mae pulang saja."Kemana si Sarah? K
"Hah? Apa iya, Bi?" tanya Sarah tak percaya."Iya bener enggak tahu kenapa, apa mungkin karena kamu sahabatnya? kamu yang selalu bersamanya dan kamu yang selalu membantu kami selama ini? Jadi lah ia datang dengan rupa kamu."Sarah menelan salivanya."Tapi untuk apa Nila datang, Bi?" Dia bertanya lagi.Aku menggeleng kepala."Itulah Bibi juga enggak tahu, tapi kata paman mungkin Bibi hanya trauma jadi pikiran-pikiran itu memunculkan ketakutan dalam diri Bibi sendiri.""Iya bener, Bi, makanya Bibi harus ikhlaskan Nila, jangan sampai Nila gak tenang karena pikiran Bibi yang terlalu berlebihan," ucapnya sambil mengelus punggungku.Aku tertunduk lesu, mendadak aku tak berselera menyiapkan makanan untuk menyambut kedatangan Mila."Ya udahlah Bi, mendingan kita lanjutin aja persiapkan makanan buat Mbak Mila nya, yuk," ajak Sarah mencoba menghilangkan kesedihanku.Aku mengangguk dan kembali memegang sutil yang tadi kulepaskan itu.Selesai kami memasak Sarah juga sibuk membantuku menghidangkan
"Mbak Mila? Ya Allah Mbak apa kabar? Kapan datang?" Ia berbasa-basi."Baik, ini baru aja datang Sar." Mereka pun cipika-cipiki seperti biasanya."Ya ampun, Mbak Mila makin putih aja, makin cantik pula, hebatlah pokoknya Mbak Mila ini," kata si Sarah terkagum-kagum seraya meneliti diri Mila."Kamu ini bisa aja, padahal lebih cantikan kamu kemana-mana," balas Mila seraya mengibaskan tangannya.Kalau soal wajah aku setuju Sarah memang jauh lebih cantik, mirip bule tapi kalau soal penampian dan kebersihannya, sekarang anakku yang menang, ya maklum sih mungkin karena si Mila itu sering perawatan di sana."Mbak yang bisa aja, mana ada gadis kampung kayak Sarah ini cantik, jauh lah Mbak."Sarah dan Mila pun lanjut mengobrol, layaknya dua orang sahabat yang saling merindukan setelah sekian lama mereka bicara heboh sekali entah membicarakan apa, tapi kemudian ada juga saat mereka terisak-isak ketika membicarakan Nila."Dulu ... Nila suka menimbrung kalau kita lagi mengobrol begini ya, Mbak."
"Enggak ada gimana maksud kamu?" tanyaku setengah menaikan oktaf."Coba Bibi dan Paman ke sini, lihat sendiri saja," balas si Parman.Aku pun segera mendekat dan melihat sendiri lubang makam itu."Astaghfirullah al'adzim." Aku kembali ambruk di dekat gundukan tanah bekas kuburan Nila yang sudah dibongkar habis itu."Apa yang terjadi sama kamu, Nak?" jeritku lagi."Parman apa kamu yakin jenazah Nila gak ada?" tanya suamiku."Lihat sendiri saja, Paman."Dengan kaki bergetar suami melangkah ke dekatku."Gustiii bagaimana bisa jenazah anakku hilang? Kemana dia sekarang?" Suami ikut ambruk di sampingku, dengan wajah frustasi dan kacau ia memegangi kepalanya."Apa mungkin jenazah Nila dibawa binatang buas?" tanya seorang warga yang ikut menggali."Gak mungkin, gak mungkin binatang buas membawanya atau kalaupun dirusak pasti ada bekasnya." Suamiku menyahut dengan terus menggelengkan kepala. Ia tampaknya terpukul sekali melihat kondisi makam Nila."Bang, Parman coba periksa sekali lagi, mungk
Aku paham maksud suamiku, mungkin dia tidak ingin merepotkan Mila soal biaya yang akan Mila keluarkan jika melaporkan kasus ini ke polisi, aku juga paham suamiku tidak ingin kabar menghilangnya jenazah anakku sampai tersebar luas dan menjadi bahan tontonan masyarakat luas.Aku paham betul suamiku adalah orang yang tertutup, dia sangat menjaga nama baik keluarga kami."Bapak tenang aja, enggak usah khawatir, berita menghilangnya jenazah anak kita Ibu pastikan gak akan sampai bocor ke media, apalagi sampai tersebar luas, Ibu juga tahu bagaimana rasanya malu, Pak, kasihan juga anak kita. Karena itu Ibu pastikan hanya orang-orang tertentu saja yang akan mengetahui hal ini," ujarku panjang lebar.Akhirnya suamiku pun mulai mereda dan kembali menimbang-nimbang ucapanku."Ya sudah kalau begitu Bapak dukung kalian, semoga jenazah anak kita cepat ditemukan," ucapnya. Aku mengangguk pelan.Saat sedang mengobrol tiba-tiba terdengar bunyi sirine mobil ambulans di pekarangan rumah.Bergegas aku
Tanpa menunggu lagi aku bergegas melangkahkan kaki menghampiri mereka. Tapi sekitar 5 langkah sebelum sampai mendadak langkahku mati saat kulihat Sarah bertelunjuk jari sambil berteriak tepat di depan wajah suamiku."Urus dulu wanita tua itu! Baru kau meminta bagianmu, aku sudah bilang bermainlah yang pintar, buatlah pikirannya terpecah belah tapi tidak dengan membahayakan namaku!" Teg. Jantungku langsung melonjak hebat sejurus dengan rasa shock yang lagi-lagi menyerang benakku.Aku benar-benar seperti diterjang badai yang tak berkesudahan.Sarah? Kenapa Sarah begitu pada suamiku? Ada apa ini? Apa yang sedang mereka permasalahkan sampai Sarah berani kurang ajar pada suamiku?Bagian? Bagian apa? Dan wanita tua itu siapa?"Tap-" Ucapan suamiku mendadak terhenti, saat bola mata Sarah berputar liar ke arahku."Tapi Paman paham perasaanmu sekarang Sar, semoga ibumu cepet sembuh," lanjut suami.Karena Sarah tampak sudah menyadari keberadaanku akhirnya kulanjutkan langkah menghampiri merek
Aku menoleh, seorang pria berkemeja rapi ada di sana, tampaknya dia seorang dokter karena dilihat dari penampialnnya, ia sungguh berbeda dan terlihat bersih sekali."Ah saya ... emm ... tadi habis menengok pasien yang ada di dalam, saya permisi, Dok." Aku buru-buru pergi sebelum dokter itu mengira aku sedang merencanakan sebuah kejahatan.Meski sejujurnya aku masih penasaran, ada apa antara suamiku dan Sarah? Kenapa mereka seperti sedang terlibat pertengkaran hebat hari ini? Dan apa tadi katanya? Suamiku ceroboh? Mereka juga membicarakan masalah kepulangan Mila, ada apa ini? Apa mungkin mereka menyembunyikan sesuatu dariku?"Ah sudahlah." Aku mengibaskan tangan.Ada urusan yang jauh lebih penting sekarang, aku harus buru-buru pergi ke kantor bale desa, sudah tak sabar rasanya aku ingin mengumumkan soal rencana sayembara pencarian jenazah Nila.Aku berharap dengan cara ini Nila akan segera ditemukan, karena entah kenapa polisi sulit sekali menanggapi laporan orang-orang desa seperti