BAB 3
Kemarahan Rindu"Ma, Bintang nggak mau sama Mba Nini, maunya sama Mama." Anak lelakiku kembali merajuk, kebiasaan yang akhir-akhir ini sering dilakukannya saat aku tengah menyiapkan mobilku. Tubuhnya akan memeluk kakiku dengan erat, tak mengizinkanku beranjak sedikit pun."Ma, Bintang ke sekolah sama Mama. Mama nggak boleh kerja hari ini," rajuknya dengan tangan makin erat memeluk kakiku. Jika seperti ini, aku luruh. Duduk di depannya. Menatap sepasang telaga bening milik separuh hidupku."Mama harus kerja, kalau nggak kerja siapa yang mau bayar uang sekolah Bintang. Beli mainan Bintang, atau uang untuk jalan-jalan Bintang?" tanyaku berusaha berdiplomasi. Anakku tak mau menatap wajahku. Tentu saja aku tahu hatinya tengah bergejolak. Bintang anak yang cerdas, aku yakin dia akan paham jika kuberi pengertian seperti ini."Tapi Bintang pengin ditemenin. Mama Rendra, Mama Tama, Mama Giska… mereka semua ada mamanya. Cuma aku saja yang sama Mba Tini. Mereka bilang Mamanya Bintang lebih sayang uang dari pada Bintang."Hatiku terasa perih seperti teriris. Aku tak tahu jika anakku merasakan hal seperti itu. Rasa bersalah menyelimutiku. Bintang yang ceria itu mendadak bersikap lain. Ternyata inilah sebabnya. Dia ingin seperti anak-anak lain dimana mama mereka menunggu dengan sabar di ruang tunggu khusus orang tua."Bu, Bintang akhir-akhir ini juga susah makan."Mba Tini, pengasuh yang kuambil dari sebuah yayasan memberi laporan yang membuatku mengernyit heran. Apakah benar aku kehilangan beberapa momen penting pertumbuhan Bintang?"Bintang kenapa? Mama sedih kalau Bintang seperti ini," ucapku lirih. Anak itu tak menyahut."Kenapa Bintang nggak punya Papa? Biar yang kerja itu Papa Bintang. Mama temenin Bintang makan, sekolah, main. Jangan sama Mba Tini terus, Ma. Bintang itu anaknya Mama, bukan anaknya Mba Tini."Aku menatap anakku dalam. Aku menyadari satu hal. Aku memang kehilangan masa emas anakku. Dia tumbuh begitu cepat tanpa kusadari. Jantungku bertalu-talu menahan gejolak yang membuatku sesak. Pertanyaan Bintang tak akan pernah mampu kujawab."Mama minta maaf, Bintang. Ada beberapa hal yang belum Bintang mengerti. Nanti kalau Bintang besar, mama janji akan menjelaskan semuanya. Bintang mau Mama sedih liat Bintang seperti ini?"Anak itu menggeleng. Tentu ini adalah pertanyaan pamungkas yang membuat anakku kembali tersadar. Aku tahu, sekeras kepala apapun Bintang tak akan mampu merajuk hingga membuatku bersedih. Bintang cukup bisa diatur, dia bukan tipe anak bengal yang membuat pengasuhnya kewalahan."Hari ini Mama harus bekerja, Mama janji sebelum jam empat Mama sudah pulang. Mama akan minta Om Satya yang menjaga restoran. Setelah itu kita jalan-jalan beli mainan yang kemarin Bintang ingin beli. Setuju?"Bintangku mengangguk cepat. Dia luluh seperti biasanya. Aku menarik napas perlahan, begitu pula dengan Mba Tini yang dengan sabar menunggu Bintang selesai merajuk sambil duduk di anak tangga terakhir rumahku. Gadis berusia dua puluh tiga tahun itu benar-benar beruntung aku mendapatkannya.Mba Tini mengawasi Bintang memakai sepatunya. Meski agak kesulitan, Mba Tini tetap tak mau meladeni anakku. Dia biarkan anak itu memakai sepatunya sendiri sebagai bentuk tanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Dan aku setuju sekali dengan pola asuh gadis itu. Apa yang ada di pikirannya sejalan denganku. Itu yang membuatku menyayanginya seperti anggota keluargaku sendiri."Mba, makan siang kalau nggak sempat masak beli aja. Jangan maksa buat masak, senyamannya Mba Tini saja," ucapku padanya. Gadis itu mengangguk. Meski aku memperlakukannya seperti adikku sendiri, dia tetap bersikap sopan padaku.Aku melambaikan tangan pada mereka berdua yang sudah naik bus sekolah. Rasanya sudah lega kalau Bintang dan Mba Tini sudah masuk ke kendaraan itu. Aku tinggal mempersiapkan diri untuk ke restoran tempat usahaku sendiri.Kukenakan kerudung berwarna merah maroon yang kupadukan dengan blazer coat berwarna hitam dan manset warna putih sebagai innernya. Aku suka sekali dengan warna ini, lebih terlihat cool dan berkharisma. Entahlah, aku tak mampu menjelaskan alasan ketertarikanku pada warna maroon itu.Suara bel berbunyi. Aku menengok jam yang kupakai di pergelangan tangan kiriku. Kucoba untuk menebak siapa yang sepagi ini sudah bertamu ke rumahku. Aku termasuk jarang sekali menerima tamu di rumah. Bukan tanpa alasan, meski komplek perumahanku tak akan mengusik hal-hal pribadi seperti ini, aku tetap tak suka menerima tamu di rumah.Kubuka pintu rumah perlahan. Cukup Disanalah jantungku terasa berhenti. Giandra, berdiri dengan raut yang sulit kutebak. Aku mengatur pola napasku agar kembali beraturan. Bahkan aku merasakan tanganku bergetar dan juga berkeringat seketika."Maaf, tidak ada urusan apapun lagi denganmu. Lebih baik segera pergi sebelum aku menghubungi satpam komplek," ucapku sambil menutup paksa pintu yang ditahan olehnya. Lelaki itu tak menyerah, dan aku tetap tak bisa menandingi kekuatannya."Rindu, kita harus bicara. Aku yakin ada sesuatu yang harus kita selesaikan. Kumohon, tak lama. Lima belas menit," ujarnya penuh nada permohonan."Lima menit," ucapku dingin. Lelaki itu mengangguk."Boleh aku duduk?" tanyanya. Meski tak kujawab, dia tetap menduduki sofa berwarna abu-abu yang menghiasi ruang tamuku."Sudah lama sekali kita tak bertemu. Aku bertanya pada ibumu, dia bilang tak tahu keberadaanmu. Tak kusangka, kita bertemu di kota ini. Apakah kau punya sanak saudara disini?" tanyanya dengan antusias. Aku tak menjawab pertanyaan basa-basi itu."Rindu, Maaf. Aku baru tahu ayahmu sudah meninggal, aku sungguh menyesal baru mengetahuinya belum lama saat aku berkunjung ke rumahmu."Aku menatap lelaki itu penuh tanya. Apakah yang membawanya ke rumah kami?"Bintang… .""Jangan sebut namanya. Kau tak layak menyebut namanya?" ucapku dengan pandangan tajam. Aku memang tak rela dia menyebut nama anakku."Apakah dia…""Apakah kau memanfaatkan jabatanmu untuk menyelidiki diam-diam data pasien untuk kepentinganmu sendiri? Apakah hal seperti ini sudah lazim? Atau hanya kau saja yang menyalahgunakan jabatanmu, Giandra?" Pertanyaanku membuat lelaki itu mengangguk mengakui tuduhan yang kuarahkan padanya."Bintang…""Jangan sebut nama anakku! Aku mual mendengarnya!" teriakku. Lelaki itu terdiam sejenak. Aku yakin dia akan terus-menerus mencecarku. Giandra yang kukenal tak akan pernah puas hanya dengan sekali saja penolakan."Rindu, tolong. Aku merasa bersalah selama ini. Kumohon, aku mencari keberadaanmu. Aku ingin tahu kabarmu. Apa yang kau lakukan dengan kehamilanmu saat itu. Terkesan terlambat, tapi ketahuilah aku benar-benar mencarimu!"Aku tersenyum miring. Dia kira aku akan luluh dengan kalimatnya? Dia kira aku akan memaafkan apa yang sudah menimpa kehidupanku dan Bintang selama ini?"Kenapa? Bukankah kau lebih percaya kalimat orang tuamu dan juga Aluna? Aku hanya gadis rusak yang tengah mengincar kekayaan orang tuamu. Aku gadis rusak yang sedang menipumu dengan kehamilanku. Aku gadis rusak yang sedang meminta pertanggung jawaban pada lelaki yang memiliki masa depan cerah sebagai seorang dokter? Aku yang hamil entah dengan lelaki mana tetapi menjebakmu dan mengatakan bahwa kamu adalah satu-satunya lelaki yang menjamahku?Kau lebih percaya mereka, Giandra. Kau abaikan aku yang menolak menerima uang puluhan juta dari orangtuamu untuk menggugurkan kandunganku saat itu! Akulah gadis rusak yang melahirkan seorang diri di sebuah puskesmas tanpa uang seperpun! Aku berjuang merangkak sendiri tanpa bantuan dari siapapun! Lalu kau kini datang dengan dalih mencariku selama ini? Kau kira aku bodoh?"BAB 4 Kemarahan Rindu (2) "Kenapa? Bukankah kau lebih percaya kalimat orang tuamu dan juga Aluna? Aku hanya gadis rusak yang tengah mengincar kekayaan orang tuamu. Aku gadis rusak yang sedang menipumu dengan kehamilanku. Aku gadis rusak yang sedang meminta pertanggung jawaban pada lelaki yang memiliki masa depan cerah sebagai seorang dokter? Aku yang hamil entah dengan lelaki mana tetapi menjebakmu dan mengatakan bahwa kamu adalah satu-satunya lelaki yang menjamahku? Kau lebih percaya mereka, Giandra. Kau abaikan aku yang menolak menerima uang puluhan juta dari orangtuamu untuk menggugurkan kandunganku saat itu! Akulah gadis rusak yang melahirkan seorang diri di sebuah puskesmas tanpa uang seperpun! Aku berjuang merangkak sendiri tanpa bantuan dari siapapun! Lalu kau kini datang dengan dalih mencariku selama ini? Kau kira aku bodoh?" Kutumpahkan segala sesak yang kutahan bertahun-tahun. Lelaki yang segala kemarahanku bermuara padanya. Giandra, lelaki yang lebih percaya pada orang
BAB 5 Pertemuan Bintang dan Ayahnya Seolah tak mengenal lelah Bintang mengitari area mall ini. Entah apa yang dia cari sebenarnya. Berkali-kali aku bertanya padanya, dia hanya tersenyum sambil menarik tanganku agar mengikuti ritme berjalannya. "Kenapa? Mama capek?" tanyanya setelah melihatku bergeming di tempatku berdiri. "Bintang cari apa?" Anak lelaki memutar matanya sembari berpikir. Aku tahu dia tak benar-benar menginginkan mainan yang kujanjikan tadi pagi. Bintang hanya butuh momen seperti ini, berjalan-jalan menghabiskan sisa sore dengan ibunya tanpa harus berkali-kali menengok ke arah jam di pergelangan tangan kirinya. Sayangnya hari dan hati ini sudah lelah sejak pagi, sejak lelaki bernama Giandra itu dengan begitu lancang merusak semuanya. "Bintang cuma pengin jalan-jalan sama Mama seperti ini. Tapi kelihatannya Mama lelah?" Nada suaranya yang sendu membuatku tercubit. Aku tak boleh egois. Bintang layak mendapatkan haknya. Kuatur napas dan segera kusunggingkan senyum te
Pertemuan dengan Aluna"Wajahmu itu tidak bisa bohong. Kamu sedang tidak baik-baik saja." Satya mengurai kalimatnya yang pertama saat mobilku berada pada kendalinya. Aku memilih mengabaikan kalimatnya dengan memandang ke luar kaca mobil. Rintik-tintik hujan yang perlahan turun membuat suasana hatiku makin tak menentu. Entah apa yang sedang kurasakan, nyatanya semakin tenggelam menyelami rintikan hujan itu membuat jiwaku makin tersentil, seolah mereka tengah menertawakan kondisiku saat ini. Nyatanya hampir enam tahun ini aku menghilang dari kehidupan lamaku, rasa rindu pada sosok di masa lalu itu sering muncul. Dalam anganku, ingin sekali melihat sosok ceria yang hanya tahu bagaimana beratnya menggapai cita-cita. Gadis penuh semangat yang mendewakan senyum ayahnya. Rasanya sesak setiap kali mengingat akulah satu-satunya yang harus disalahkan karena gugurnya sosok Rindu yang dulu. "Aku tahu, ada banyak sesal yang ada di hatimu. Tetapi sampai kapan? Kumohon lepaskanlah semuanya, Rindu
Hari ini aku sengaja mencari gaun yang akan kukenakan di acara pesta pernikahan salah satu temanku. Aku bertemu dengan Gina saat sama-sama merintis usaha kuliner beberapa tahun lalu. Kebetulan kami mengikuti pelatihan salah satu motivator bisnis kuliner yang diadakan di salah satu hotel cukup terkenal. Dari sanalah hubungan baik kami terjalin hingga kini, saat usaha kebab fenomenalnya memiliki puluhan cabang di kota ini.Kuparkirkan mobil di halaman depan butik langgananku ini. Selain harganya yang pas di kantong, aku cukup suka dengan rancangan gaun pemilik butik ini. Saking seringnya aku mempercayakan gaunku disini, pemiliknya—Mba Dena, sampai kenal baik denganku. Aku tak tahu apakah itu bentuk keramahan pemilik butik pada customernya. Yang jelas aku nyaman berkonsultasi mengenai rancangan yang kuinginkan. "Hai, sendirian? Mana bodyguard kesayanganku itu?" Mba Dena mencium pipiku kanan kiri sambil meledekku dengan membahas Satya setiap pertemuan kami yang tanpa diikuti lelaki itu.
Dunia yang Sempit"Hai Lun? Kapan sampai?" Mba Dena menuju ke arah Aluna yang masih berdiri di depan pintu. Matanya tak bisa berbohong, dia masih syok saat mendapatiku tengah berada di ruangan yang sama dengannya. Aku yang masih punya janji dengan Mba Dena untuk melihat koleksi bajunya memilih bertahan di tempatku duduk. Kuambil katalog design produk yang lain demi membunuh rasa canggung yang tak bisa kuhilangkan dalam sekejap. Kulihat Aluna masuk meski dengan langkah yang ragu. "Minggu kemarin, Mba. Beres-beres rumah dulu baru sempat kemari," ucapnya berusaha menampilkan senyum pada Mba Dena yang memeluknya erat. Sementara aku memilih membuka kembali katalog yang lain lagi untuk mengalihkan perhatianku. Tetapi dari ekor mataku aku bisa melihat Aluna masih memandangku dengan tatapan yang sulit kuartikan. "Jadi ambil rumah yang di Residen itu?" Pertanyaan Mba Dena pada Aluna membuat kedua alisku bertaut. Perumahan Residen? Hatiku mulai dilanda tanda tanya. Perumahan Residen di kota
"Aduh, maaf malah jadi lupa, Ndu. Bentar kuambil brownies dulu di dapur. Titip buat Bintang." Mba Dena berlalu dari ruangan yang hanya diberi pembatas kaca. Kulihat langkahnya buru-buru, mungkin karena tak enak telah membuatku menunggu beberapa saat. "Jadi selama ini kamu bersembunyi di sini?" Aluna membuka kalimatnya saat Mba Dena sudah tak terlihat. Aku menoleh, membalas tatapan matanya yang menghujam seolah di hadapannya adalah musuh lama yang baru ditemukan. Aku tersenyum hanya dengan menarik salah satu sudut bibirku. Kulihat tangan Aluna meremas tas di pangkuannya. Bahkan aku masih hafal perangainya jika hatinya tengah gusar. "Bersembunyi? Siapa yang tengah kutakuti hingga harus bersembunyi?" Kujawab pertanyaannya dengan kalimat tanya yang pasti tak dapat dijawabnya."Aku tak melakukan kesalahan apapun. Jadi tak pernah terbersit dalam pikiranku untuk bersembunyi," lanjutku. "Kau memang pandai memainkan kata, Rindu. Apakah kau melahirkan anak itu?" tanyanya dengan suara bergetar
Hanya Aku dan Bintang Aku datang ke restoran jam sebelas siang. Sebelumnya aku sudah meminta izin Satya untuk datang agak telat karena ada urusan di sekolah Bintang. Hari ini acara pembagian raport, jadi mau tidak mau aku harus menyempatkan diri mengambil laporan hasil belajar anakku selama setengah tahun terakhir. Tak mungkin aku meminta Mba Tini untuk mengambilkannya, hingga pengasuh anakku itu kuminta istirahat hari ini. Sedangkan Bintang sendiri kuajak ke restoran karena beberapa kali dia memintanya demikian. "Sepagi ini sudah ada yang ngapel. Apaan banget sih, Ndu!" ucap Satya dengan sorot mata penuh penghakiman namun dengan mimik yang dibuat lucu. Aku menautkan kedua alisku bermaksud mempertanyakan kalimatnya. Dengan gerakan dagunya dia menunjukkan salah satu sudut dimana seorang laki-laki duduk. Tentu saja membuatku sedikit bertanda tanya siapa yang sudah mendatangiku sepagi ini. "Bukan customer biasa, Sat?" tanyaku meletakkan tas selempang di ruanganku. Dia menggeleng sambi
"Anakmu?" Dia menoleh ke arah Bintang yang tengah memainkan ponsel Satya, kebiasaan buruk yang berulang kali kucegah. Anakku dan Satya memiliki kebiasaan buruk yang susah kuingatkan. Mereka akan kompak memainkan perasaanku dengan sengaja menentang aturan yang kubuat. "Bodoh. Anak itu memang mirip dengan ayahnya. Kurasa dia akan benar-benar gila dengan rasa bersalah yang menghantuinya setelah ini." Mas Enggar tersenyum getir tanpa menatap mataku. Aku tahu baru saja dia mengumpat Giandra. "Laki-laki itu menemuiku. Dia yang mengatakan telah bertemu denganmu di kota ini. Awalnya aku tak percaya, Rindu. Tetapi dia meyakinkanku hingga mengirimi fotomu saat berada di depan restoran ini. Kurasa diam-diam dia mengambil gambarmu untuk meyakinkanku bahwa dia telah benar-benar menemukanmu." Aku mencengkeram ujung meja saat mendengar penjelasan Mas Enggar. Dari tadi aku ingin menanyakan dari mana dia mengetahui keberadaanku di sini. Bukan tanpa sebab, karena tak seorang pun dari keluargaku tahu