Esok hari Ana sudah bangun lebih pagi dari biasanya. Berbeda dengan kebiasaannya ketika masih dirumah lama. Dia melakukan kegiatan sebagai seorang istri yang baik, walau belum sertaus persen ikhlas. Ana memasak untuk sarapan, sedikit membersihkan apertemen.
Selesai dengan semua itu dia beranjak mandi. Menyiapkan keperluan kuliahnya. Dia masih ada beberapa mata kuliah yang belum selesai. Sedangkan Ana juga sedang dalam proses pengerjaan skripsi.
Keluar kamar setelah siap, dilihat meja makan masih sepi. Dia mendekat kearah kamar Angga. Mendekatkan telinganya, terdengar alarm berbunyi. Mengetuk pintu berulang kali, namun tak ada sahutan. Dia perlahan membuka pintu dan tampak tempat tidur berantakan.
“Om,” panggilnya sambil berkacak pinggang. “Om, om,” sambil menepuk bagian tubuh Angga yang tertutup selimut. “Om, bangun udah siang nih,” katanya dengan menaikkan suaranya.
Berdecak melihat jam sudah di angka 6.45. Belum lagi nanti ketemu macet, bisa telat gue, batin Ana kemudian mematikan alarm. Dengan muka cemberut, dia meninggalkan kamar Angga.
Sarapan sendirian, lalu menyiapkan bekal makan siang Angga. Ini adalah salah satu hal yang menjadi pesan dari mertuanya. Kalau bukan mertuanya yang berpesan, mungkin dia acuh saja. Berhubung dia sudah jadi menantu, hitung-hitung berbaktilah pikirnya.
Menempelkan stiki note pada cangkir kopi. Kemudian meraih tas sekolahnya, beranjak keluar apartemen.
.
Angga mengerjab, meraih jam bekernya. Matanya melebar, melihat jam sudah menunjukkan setengah delapan pagi. Mengusak rambut frustasi, lalu bergegas masuk kekamar mandi untuk membersihkan diri. Selesai dengan penampilannya, lalu dia meraih ponselnya diatas nakas.
Sayang, pesanku kok nggak dibales sih (emot sedih), Angga tersenyum membaca chat Yuri. Kemudian membuka pesan dari Indira, mamanya.
Neni udah Mama suruh libur, biar apartemen dibersihin Ana (emot tersenyum). Bantu dia ya Ga, Angga menghela napas malas.
Dia menyimpan ponselnya disaku tanpa membalas satupun pesan. Dia keluar kamar menghiraukan kondisi kamarnya yang seperti kapal pecah. Mendekat kearah meja makan, bibirnya kembali melengkung keatas membaca note yang ditinggalkan untuknya.
Kakak sarapannya udah gue siapin, kopinya juga.
Jangan lupa bekalnya dibawa ya,
Udah aku siapin juga,
Membuka tudung saji, menu sederhana untuk serapan. Senyum Angga mengembang, lalu meraih piring mengisinya dengan makanan yang sudah disiapkan istri kecilnya.
“Gini ya rasanya punya istri,” kata Angga. “Ck, sayangnya dia belum ngangetin ranjang gue,” kini seringai nakalnya muncul. “Sabar Ga, nanti tunggu tanggal mainnya,” tawanya pecah lalu menyurut. “Mikir apa sih Ga,” dia menggelengkan kepalanya cepat lalu kembali menghabiskan sarapannya.
.
“Lo kemarin ijin kenapa Na?” Tanya Vita ketika mereka tengah berada dikantin, menikmati waktu istirahat. Sebelum mata kuliah selanjutnya.
Ana berpikir, “Kalian bisa pada deketan dikit nggak!” Seketika para sahabatnya mendekatkan kepala. “Jangan heboh ya pliss!” Mohon Ana ditanggapi anggukan. “Gue kemarin nikah gaess,”
Hening tak ada suara, lalu mereka saling bertatapan satu sama lain.
“Ini bukan kabar hoax Na?” tanya Lira syok.
Masih hening. Kemudian mereka kembali menegakkan punggung. Kembali menikmati makan siang.
“Lo nggak lagi ngayal kan Na?” Tanya Tasya. Melihat raut jutek Ana mereka kembali diam.
“Gue masih syok sih Na,” ucap Vita sambil mengusap pelipisnya.
“Sama dong Ta, ini mah bisa bikin gempar,” seru Hana heboh yang kemudian mendapat lirikan tak bersahabat dari Ana. “Hehe Sory Na,” cengir Hana mengacungkan dua jarinya.
“Gimana-gimana Na coba cerita dong,” kata Lira memohon. Ana menghela napas malas lalu menceritakan semua kepada mereka tanpa ada yang tertinggal.
“Gila sahabat gue udah punya laki,” ucap Vita menggeleng. Sedangkan Ana tetap acuh menyuput es teh manisnya.
“Kapan-kapan boleh dong kita-kita main ke apartemen lo?” tanya Lira dengan menaikan alisnya.
“Boleh lah,” jawab Ana tenang.
“Kita tetep bisa hang out dong,” ucap Tasya seraya tersenyum.
“Iya dong gaess,” jawab Ana senang.
Mereka kembali bercanda ria hingga jam masuk. Membuat masing-masing dari mereka beranjak. Masuk ke kelas masing-masing. Anehnya walaupun tidak pernah sekelas mereka hampir memiliki jam kuliah yang sama.
.
Angga acuh saja pada Yuri, yang kini sudah berada dihadapannya. Angga hampir tidak menghiraukan semua penjelasannya. Tentang mengapa dia meninggalkan Angga di mall, tempo hari. Sejak mereka berhubungan kejadian tersebut sudah berulang kali terjadi. Satu kali, dua kali, Angga masih dapat memaklumi. Namun untuk yang kesekian kalinya, Angga hanya menganggap lalu penjelasan Yuri.
Alasan yang diberikan Yuri terlalu mengada-ngada. Masih ingat waktu awal berhubungan, mereka seperti dua orang yang tak dapat dipisahkan. Namun seiring waktu, dengan semua kejadian yang terjadi. Nampaknya Angga mulai lelah walau masih ingin mempertahankan hubungan ini.
“Apakah sudah selesai penjelasanmu?” Tanya Angga. Lalu beranjak kearah sofa di tengah ruangannya. Meninggalkan Yuri yang masih coba menarik perhatian Angga.
Mengeluarkan bekal dari tas. Bibir Angga kembali melengkung melihat ada note yang tertempel ditas tersebut.
Dihabiskan ya kak,
Aku udah capek-capek masak soalnya (emot nyengir).
Yuri ikut beranjak, lalu mengambil tempat disebelah Angga. Dia mengamati yang dilakukan Angga, kemudian melihat senyum tersebut.
“Dari siapa sayang?” tanya Yuri, yang diacuhkan oleh Angga.
Angga mulai membuka bekal, dengan tatapan berminat. Dia lalu menyantap makanan tersebut. Enak batinnya, nggak rugi juga nikah sama tuh bocah katanya dalam hati. Kemudian melanjutkan makan siangnya, tanpa mempedulikan wanita disampingnya. Yuri menatap curiga bekal dan termos kecil dihadapannya.
“Sayang kamu dengerin aku kan,” kata yuri mendayu manja. Kembali mencoba menarik perhatian Angga. Sampai makanan dalam bekal Angga habis, Yuri tetap diacuhkan.
“Kamu selingkuh?” Tanya Yuri. Membuat gerakan Angga menuang kopi kedalam cangkir terhenti. Angga menoleh lalu menyeringai merendahkan.
“Nggak kebalik pertanyaan kamu?” Tanya Angga skeptis.
Yuri masih bingung, “Aku tahu kamu kesal, marah sama aku. Tapi udahan dong sayang,” kata Yuri. Mengambil sebelah tangan Angga.
Angga menepis, lalu menyeruput kopinya, “Jujur Yuri?” kata Angga dengan tatapan dingin.
Yuri bingung, sedikit gelagapan melihat sorot dingin nan tajam Angga, yang menghunus padanya.
“Selain sibuk pemotretan, aku harus jaga Ibuku yang lagi sakit Ga,” ucapnya lirih, dengan kepala menunduk.
Tatapan Angga menghangat, “Tinggal bilang, apa susahnya si!”. Katanya sambil mengusap kepala Yuri, kekasihnya. Dalam hati Angga menerka, apakah ini benar-benar yang terjadi. Dia tetap menampilkan senyum hangatnya, ketika menerima pelukan Yuri.
“Kamu udah maafin aku kan?” Tanyanya singkat. Menyandarkan kepalanya ke dada Angga.
Angga tak menjawab, namun hanya mengusap punggung sempit wanita itu. Masih menampilkan senyum tipis. Ketika Yuri perlahan melepaskan pelukannya.
“Gimana kalau besok aku aja yang nyiapin makan siang buat kamu?” Tanya Yuri diiringi senyum dibibirnya.
Kembali Angga hanya diam masih menatap hangat Yuri. Menyembunyikan berbagai pertanyaan dalam hatinya.
17.30 sore Ana masuk apartemen, menemukan suasana sunyi. Yah dia sekarang harus terbiasa dengan keadaan ini. Meletakkan sepatu dirak, melangkah masuk. Membasuh tangan diwastafel, lalu beranjak ke meja makan. Menuang air putih untuk dirinya sendiri. Segar batinnya lega, kemudian berlalu ke kamar. Dia sudah tidak sabar, untuk membasuh tubuhnya dengan sedikit berendam air hangat. Hah menyenangkan pikirnya. Meletakkan tas punggungnya, lalu masuk kekamar mandi. 30 menit dia habiskan untuk membersihkan dirinya. Memakai pakaian santai sedikit terbuka. Lalu dia keluar beranjak menyiapkan makan malam. Terdengar suara dari arah depan. Namun dia tanpa rasa ingin tahu, tetap melanjutkan aktivitasnya memotong sayur. “Lo udah pul
Menutup pintu agak keras. Ana kemudian melangkah menuju meja belajarnya. Meredakan rasa kesalnya didadanya. Mengabaikan notifikasi di ponselnya. Ana mulai melihat pekerjaan rumahnya. Huufff, banyak batinnya. Mencari laporan sementara praktikum minggu kemarin. Lalu menyiapkan lembar laporannya. Ana menulis cepat dan teliti mendeskripsikan semua yang harus dia paparkan dalam lporannya. Karena harus menulis secara manual, membuat waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya lebih lama. Walau terkesan rumit dan kompleks, tapi Ana suka dengan jurusan biogi. Makanya dia memutuskan masuk jurusan tersebut. Bersama dengan para sahabat yang sudah Ana kenal sejak SMA. Mencari bab yang membahas soal pratikum tumbuhan, lalu kembali menulis. Ketika dia mencari buku taksonomi t
Mobil Alpart tersebut menepi, tepat didepan gerbang kampus. Ana masih tetap menekuk wajahnya, membuat Angga terkekeh pelan. Tangan Ana sudah akan membuka pintu, namun ditahan oleh Angga. “Pamit dulu dong sama suaminya,” kata Angga. Yang membuat Ana semakin bad mood. Menghela napas, Ana kemudian meraih tangan kanan Angga ogah-ogahan. Mencium cepat punggung tangan Angga, lalu melepasnya. Namun tangan lembut tersebut tetap digenggam oleh Angga. “Jangan pulang malam-malam. Jangan pecicilan saat nggak ada gue,” mata Ana memicing tak suka. “Suka-suka mata gue, mau pecicilan atau nggak. Itu bukan urusan lo Om. Da
”Na lo dijemput,” tanya Vita ketika mereka berjalan bersama keluar. “Nggak Vit, naik taksi aja mungkin,” jawabnya. Dari arah lain Rama mendekati mereka. Menepuk pundak Ana, ketika mereka sudah bersisian. “Eh Ram,” ucap Ana pulih dari rasa kejutnya. “Pulang sama Rama aja Na, daripada naik taksi,” kata Tasya mengusulkan. “Kamu nggak bawa mobil sayang?” Tanya Rama. “Eh udah ya gaess, Ram jaga sahabat kita ya,” ucap Lira. Berpamitan sebelum masuk kedalam mobil. “Dah An,” ucap Han
Ana beranjak keluar kamar. Untuk mengambilkan baju ganti Angga. Beruntung kamar Anjar tidak dikunci, jadi bisa dengan mudah masuk. Segera keluar, setelah mengambil apa yang Ana butuhkan. Kembali ke kamar, meletakkan baju tersebut diatas ranjang. “Pas nggak ya, di pakek Kak Angga,” gumam Ana. Menatap baju tersebut sambil bersedekap. Mengendikan bahu, lalu kembali membereskan bukunya. Menata buku-bukunya kedalam kardus dan kotak. Angga keluar kamar mandi, dengan handuk melilit sebatas pinggangnya. Memperlihatkan abs, yang tampak menggiurkan untuk disentuh. Jangan lupa tato di atas dada kanan. Menggosok rambutnya yang basah. Ana tampak masih sibuk dengan bukunya.&
Keesokan paginya, Ana bangun lebih pagi seperti biasa. Mengacuhkan Angga yang masih tertidur pulas. Setelah mandi, dia memeriksa tugasnya yang tampak sudah rapi. Dan selesai tanpa terkecuali. Ana melirik Angga sekilas, menghela napas. Ana memasukan tugasnya ke tas ransel. Memastikan semua tugasnya sudah dia bawa. Duduk di tepi ranjang, melihat wajah damai Angga. Menepuk pipi Angga pelan. Berusaha membangunkan suaminya yang jago molor. “Bangun kak,” ujar Ana masih menepuk pelan pipi Angga. Mengerjabkan mata. Melihat wajah manis Ana, “An,” lirih Angga serak. “Udah siang kak. Aku tunggu dibawah ya,&r
Ana masuk apartemen lebih dulu, setelah di bukakan pintu oleh Angga. beranjak masuk ke kamarnya. Ana segera membersihkan diri, dengan sedikit cepat. Karena waktu sudah semakin malam. Angga bisa terlambat makan malam. Kalau Ana beraktivitas semakin lama. Selesai dengan membersihkan diri. Memakai piama panjang, menutupi setiap jengkal tubuhnya. Menggulung rambut panjangnya, lalu beranjak keluar menuju dapur. Memasak pasta carbonara untuk mereka berdua. Dengan cekatan Ana dapat menuntaskannya dengan cepat. Angga melangkah mendekati Ana. Ketika melihat sepiring besar pasta sudah tersaji di meja. Berdiri disebelah Ana, melihatnya masih meracik kopi. Angga tersenyum, mengusap lembut tengkuk Ana. Membuat y
Esok hari, ketika Ana keluar dengan ransel di tangannya. Angga sudah duduk di kursi meja makan. Telah rapi dengan setelan kantornya. Ana melirik sekilas, lalu meletakkan secangkir kopi hangat didepan Angga. Ana tidak membuka mulutnya sama sekali. Dengan diam mengambil sarapan untuk mereka. “Lo kaget liat gue udah rapi gini. Nggak lagi molor kayak biasanya,” ucap Angga. Ana menatap Angga, tapi tak mengeluarkan kalimat apapun. Angga tersenyum, melanjutkan sarapan. “Gue nggak mau liat lo ngomel tiap pagi An,” kata Angga sambil tersenyum. Setelah menyelesaikan sarapannya. “Syukur deh, kalau lo nyadar