Ana beranjak keluar kamar. Untuk mengambilkan baju ganti Angga. Beruntung kamar Anjar tidak dikunci, jadi bisa dengan mudah masuk. Segera keluar, setelah mengambil apa yang Ana butuhkan. Kembali ke kamar, meletakkan baju tersebut diatas ranjang.
“Pas nggak ya, di pakek Kak Angga,” gumam Ana.
Menatap baju tersebut sambil bersedekap. Mengendikan bahu, lalu kembali membereskan bukunya. Menata buku-bukunya kedalam kardus dan kotak.
Angga keluar kamar mandi, dengan handuk melilit sebatas pinggangnya. Memperlihatkan abs, yang tampak menggiurkan untuk disentuh. Jangan lupa tato di atas dada kanan. Menggosok rambutnya yang basah. Ana tampak masih sibuk dengan bukunya.
&
Keesokan paginya, Ana bangun lebih pagi seperti biasa. Mengacuhkan Angga yang masih tertidur pulas. Setelah mandi, dia memeriksa tugasnya yang tampak sudah rapi. Dan selesai tanpa terkecuali. Ana melirik Angga sekilas, menghela napas. Ana memasukan tugasnya ke tas ransel. Memastikan semua tugasnya sudah dia bawa. Duduk di tepi ranjang, melihat wajah damai Angga. Menepuk pipi Angga pelan. Berusaha membangunkan suaminya yang jago molor. “Bangun kak,” ujar Ana masih menepuk pelan pipi Angga. Mengerjabkan mata. Melihat wajah manis Ana, “An,” lirih Angga serak. “Udah siang kak. Aku tunggu dibawah ya,&r
Ana masuk apartemen lebih dulu, setelah di bukakan pintu oleh Angga. beranjak masuk ke kamarnya. Ana segera membersihkan diri, dengan sedikit cepat. Karena waktu sudah semakin malam. Angga bisa terlambat makan malam. Kalau Ana beraktivitas semakin lama. Selesai dengan membersihkan diri. Memakai piama panjang, menutupi setiap jengkal tubuhnya. Menggulung rambut panjangnya, lalu beranjak keluar menuju dapur. Memasak pasta carbonara untuk mereka berdua. Dengan cekatan Ana dapat menuntaskannya dengan cepat. Angga melangkah mendekati Ana. Ketika melihat sepiring besar pasta sudah tersaji di meja. Berdiri disebelah Ana, melihatnya masih meracik kopi. Angga tersenyum, mengusap lembut tengkuk Ana. Membuat y
Esok hari, ketika Ana keluar dengan ransel di tangannya. Angga sudah duduk di kursi meja makan. Telah rapi dengan setelan kantornya. Ana melirik sekilas, lalu meletakkan secangkir kopi hangat didepan Angga. Ana tidak membuka mulutnya sama sekali. Dengan diam mengambil sarapan untuk mereka. “Lo kaget liat gue udah rapi gini. Nggak lagi molor kayak biasanya,” ucap Angga. Ana menatap Angga, tapi tak mengeluarkan kalimat apapun. Angga tersenyum, melanjutkan sarapan. “Gue nggak mau liat lo ngomel tiap pagi An,” kata Angga sambil tersenyum. Setelah menyelesaikan sarapannya. “Syukur deh, kalau lo nyadar
Kelas hari ini sudah berakhir, Ana berjalan bersama Vita. Tak lama setelahnya disusul oleh yang lain. Melangkah bersisian, mereka kemudian terpisah di area parkiran. Kebetulan hari ini Hana bawa motor. Sebagai sahabat yang baik, Hana menawarkan diri untuk mengantar dan menemani Ana. Yang katanya akan berbelanja terlebih dahulu sebelum pulang. “Kita mau belanja dimana Na?” Tanya Hana, seraya memberikan helm pada Ana. “Supermarket aja kali ya, sekalian belanja bahan yang lain,” jawab Ana. “Oke,” balas Hana. Mulai melajukan motornya keluar area kampus. 
Pagi hari Ana sudah beraktivitas seperti biasa. Bangun subuh, memasak dan menyiapkan keperluan untuk dibawa ke kampus. Sengaja tidak membangunkan Angga. Ana sudah menyiapkan sarapan dan bekal makan siang untuk Angga. Tertata rapi di sisi lain meja makan. Masih terlalu pagi untuk berangkat ke kampus. Kelasnya baru akan dimulai beberapa jam lagi. Tapi Ana harus berangkat lebih dulu sebelum Angga siap. Meninggalkan beberapa stiki note didekat sarapan. Dan lainnya disisipkan dalam tas bekal. Ana berangkat ke kampus tanpa mempedulikan Angga. Dengan acuh Ana meninggalkan apartemen. Setengah jam selanjutnya Angga baru bangun. Melihat jam, dia kesiangan rupanya. Mengusak rambut frustasi, Angga segera berlalu ke kamar mandi. &nbs
Angga masih di cafe, melakukan pertemuan dengan pihak Pradana grup. Sudah dari jam setengah 6. Sekarang waktu sudah mendekati pukul 7 malam. Angga melakukan pertemuan ini dengan seefisien mungkin tanpa banyak basi-basi. Karena dia sudah rindu pada Ana. Hampir seharian tanpa melihat wajah Ana. Rasanya ada yang kurang dari rutinitas Angga. Mereka sudah mencapai kata sepakat. Dengan mempertimbangakan keuntungan yang diperoleh masing-masing. Beserta pembangiannya, akhirnya pertemuan tersebut usai juga. Berkas sudah dibereskan oleh Dinar, sang sekertaris. Setelah bersalaman dan saling melempar senyum. Pihak Pradana pamit lebih dulu, sedangkan Angga masih mengamati Dinar. Yang kembali meneliti kelengkapan berkasnya.  
Di dapur, Ana kembali melanjutkan aktivitasnya. Membereskan meja makan, menyimpan lauk yang masih tersisa. Melihat makanan yang masih tersisa banyak. Mungkin dia akan membagikannya pada pegawai apartemen besok, batin Ana. Memanaskan semua makanan tersebut. Atmosfer setelah Nabila dan Angga meninggalkan ruangan, sudah lebih baik. Ana tidak pernah menghadapi situasi konflik yang tidak kondusif baginya. Ana sebagai putri bungsu, selalu mendapatkan perhatian penuh dari orang di sekelilingnya. Walau Fiona dan Doni membiarkan Ana untuk mandiri dan tidak memanjakannya. Tetapi Ana baru kali ini, berada di tengah suasana tidak nyaman seperti tadi. Angga tampak berbeda dan Ana tidak ingin memikirkan lebih jauh tentang itu. Meskipun Ana termasuk jutek dan galak bila ada s
Angga menghela napas. Menumpukan sikunya ke lutut. Menutup wajahnya dengan telapak tangan. Apakah dia sudah salah melangkah?. Apa perbuatannya membuat Ana merasa tidak nyaman?. Tapi Ana membalas ciumannya. Mereka berdua sama-sama menikmati ciuman itu. Kata hati Angga bingung, dengan sikap Ana setelah mereka usai dengan ciuman itu. Ana tidak tahu saja bagaimana sulitnya Angga menahan hasrat yang berkobar dalam dirinya. Bahkan sampai sekarang bagian bawahnya masih mengeras terasa begitu sesak. “Arrghh,” erang Angga. Menahan kejantanannya yang sudah ingin diepaskan. Ck mandi air dingin deh gue habis ini, kata Angga dalam hati. Merutuki adik kecilnya, yang tidak bisa dikondisikan. &nb