Share

3. Untuk Sebuah Alasan

Jakarta, 2 Februari 2017

Untung saja Andra punya sejumlah tagihan untuk dibayar. Termasuk cicilan rumah yang ditempati ibunya. Jika tidak, gadis itu akan berpikir seribu kali menerima kesempatan bekerja di perusahaan itu.

Calon atasannya saja jutek begitu. Sikapnya seakan tidak menghargai. Seperti mau tak mau, terpaksa, atau apalah, menerima Andra bergabung dalam perusahaan. Belum lagi perempuan yang mendampinginya seakan mencoba mematahkan harapan gadis itu.

Semua ini harus Andra jalani akibat peristiwa empat bulan lalu. Gadis itu terkena PHK dari sebuah perusahaan distributor mesin kopi. Perusahaan pertama yang merekrutnya setelah lulus kuliah.

Uang tabungan Andra selama tiga tahun hampir menipis saat ini. Untuk menyambung hidup, dia mengirimkan tulisan-tulisannya ke berbagai media. Honor yang diterimanya tidak seberapa.

Gadis itu tidak berani pulang ke rumah. Andra tidak tega kalau harus menambah beban ibunya. Biarlah sang ibu merasa bahagia mengisi masa tua dengan mengurus toko oleh-oleh miliknya. Juga pergi bersenang-senang bersama kawan-kawannya.

Ayah Andra sudah pergi entah ke mana. Lelaki itu lebih memilih perempuan lain dibanding keluarganya. Ketika itu, Andra masih berusia tujuh tahun.

Andra baru saja merebahkan tubuh ke tempat tidur. Sejak siang, dia duduk di depan laptop menulis dua buah cerpen untuk dikirimkan ke portal sastra milik sebuah perguruan tinggi di Jawa Tengah. Pinggang dan punggungnya seperti mau patah. Sepertinya, Andra butuh berbaring sekarang.

Gawai tiba-tiba berbunyi. Andra meraih benda pipih berwarna putih itu dari nakas. Nama Vanty terpampang di sana.

[Malam, Ra. Sudah tidur?]

Tanpa berpikir panjang, gadis itu langsung membaca dan membalasnya. Sepertinya, Vanty sangat sibuk hari ini sampai baru bisa menghubungi Andra.

[Malam, Mbak. Belum, nih.]

[Bagaimana wawancara tadi?]

[Lumayan, Mbak. Lancar. Pak Bramastya minta aku datang Senin ini.]

Andra menerawang memikirkan percakapan dengan bos jutek yang diceritakan Vanty. Benar-benar orang aneh. Meskipun tampak tidak bersahabat, di luar dugaan lelaki itu langsung menerima Andra untuk mengisi posisi kosong di divisinya.

Sekarang, justru gadis itu yang jadi meragukan diri sendiri. Bagaimana kalau Andra tidak perform? Bagaimana kalau mengecewakan? Jangan sampai laki-laki itu memarahinya dengan cara yang tidak appropriate. Berteriak-teriak di depan karyawan lain misalnya. “Ah, dia nggak terlihat bakal melakukan hal seperti itu. Mudah-mudahan saja.”

Lagi-lagi, Andra harus menguatkan diri sendiri. Ada kenyataan hidup yang harus dijalani. Andra bukanlah anak konglomerat yang hidupnya dijamin harta orang tuanya. Juga tidak pernah menanam pohon yang berdaun lembaran rupiah.

[Ganteng tidak orangnya?]

[Hmmm… Ganteng sih, Mbak.]

[Ada yang terpesona pada pandangan pertama sepertinya.]

Perkataan Vanty dengan mudahnya membuat wajah Andra merona seketika. Untung saja mereka tidak sedang bertatap muka.

[Mbak Vanty bisa aja.]

[Tidak apa-apa, Ra. Supaya semangat bekerjanya. Siapa tahu berjodoh. Lagipula, dia masih single, lho. Sepertinya tidak laku. Tidak ada yang mau. Barangkali kamu berminat.]

Kali ini Andra terbahak. Bahunya sampai berguncang. Baginya pernyataan Vanty itu lucu. Bagaimana tidak lucu? Mana ada laki-laki tampan yang tidak laku? Setidaknya ada satu atau dua wanita pernah singgah di hidupnya.

[Jahat, ah, Mbak!]

[Ya, sebenarnya banyak yang naksir. Tapi Bram terlalu banyak maunya.]

[Wajar, Mbak. Pak Bramastya ganteng dan mapan pula. Nggak mungkin sembarangan mencari pasangan.]

[Mungkin juga. Kalau dia mau sama kamu bagaimana?]

[Aku nggak mau berandai-andai, Mbak. Tujuan aku melamar di sana kan untuk bekerja bukan mencari jodoh.]

[Ya, siapa tahu. Kamu cantik, Ra. Terus kalem. Benar-benar selera Bram. Dia tidak suka perempuan yang kecentilan.]

[Mbak Vanty mulai lagi, deh. Aku nggak mau terlibat cinta lokasi. Nanti nggak bisa konsentrasi. Terus, pekerjaan aku jadi berantakan.]

[Biasanya, yang suka mengelak itu suka terjebak, lho, Ra.]

[Jangan doain yang jelek-jelek.]

[Lho? Ini justru doa yang baik. Ibarat membeli satu dapat dua. Niatnya hanya mencari kerja tidak tahunya sekalian mendapat jodoh.]

Andra menghela napas menghadapi kegigihan Vanty. Gadis itu berguling hingga sekarang posisinya bertumpu pada perutnya.

[Nggak baik doain aku terjebak. Aku mau semua berjalan baik-baik saja. Pekerjaanku lancar begitu pula dengan gajiku.]

[Hahaha. Baiklah. Tapi aku berani bertaruh.]

[Maksudnya?]

[Kamu bakal jatuh cinta sama dia, Ra. Sooner or later. Aku senang kalau begitu.]

[Tapi, aku nggak senang. Lagian, kenapa bukan Mbak Vanty aja yang sama dia?]

[Dia bukan tipeku, Ra. Aku suka laki-laki Kaukasia. Sayangnya, belum ada yang mau sama aku.]

Karena mulai merasa jengah dengan pembicaraan Vanty, Andra memutuskan untuk mengakhiri obrolan mereka. Gadis itu berdalih bahwa ibunya menelpon.

Menjalin hubungan romantis adalah hal paling akhir dalam prioritas hidup Andra. Menjatuhkan diri dalam sebuah komitmen baginya adalah sesuatu mengerikan.

Rasanya baru kemarin pengkhianatan sang ayah menari-nari di depan matanya. Kesakitan yang ditinggalkannya masih membekas begitu dalam. Membicarakan soal jodoh benar-benar membuat gadis itu merasa tidak nyaman.

Menurut Andra, terlibat asmara di tempat kerja adalah yang terburuk dari semuanya. Dia teringat bagaimana pekerjaannya sempat berantakan karena terlalu dekat dengan rekan kerja di perusahaan sebelumnya. Sebenarnya bukan kedekatan mereka yang menjadi masalah. Ungkapan perasaan laki-laki itu yang mengacaukan segalanya.

Andai lelaki itu bisa menerima mereka lebih baik berteman saja, hubungan mereka tidak akan menjadi canggung. Laki-laki itu tidak perlu menunjukkan sikap bermusuhan setelah Andra menolaknya.

Mereka masih bisa bersikap profesional. Bukan mulai membuat masalah dengan menjegal Andra agar gadis itu memutuskan resign. Akhirnya, malah lelaki itu yang mengundurkan diri.

Beberapa hari sebelum meninggalkan perusahaan, lelaki itu mengirim pesan padanya. Dia berkata bahwa tidak sanggup bertemu Andra setiap hari. Dia tidak bisa berkonsentrasi. Apa-apa yang dikerjakannya selalu tidak karuan. Sungguh menyedihkan ketika persoalan asmara harus membuat seseorang kehilangan sumber penghidupannya.

Jam di layar gawai menunjukkan pukul 21.20, Andra coba memejam. Namun, wajah bos jutek itu malah muncul di pelupuk matanya. Entah mengapa hatinya berdesir. Sudah lama sekali Andra tidak merasakan hal seperti itu. Mungkin sejak di bangku kuliah.

Saat itu, Andra memang sempat menyukai salah seorang seniornya. Namun, perasaan itu hanya disimpannya sendiri. Itu pun tidak bertahan lama.

Bram memang tidak ramah tapi tidak menghilangkan kenyataan bahwa dia tampan. Menurut Andra, Bram adalah makhluk paling tampan yang pernah dia temui. Selain itu, ada hal yang menarik dari lelaki itu.

Andra merasakan sebuah ambisi sekaligus kesedihan yang bercampur menjadi satu dalam diri lelaki itu. Membuat Andra menerka-nerka apakah yang sedang dialami olehnya.

“Buat apa kamu memikirkan dia, Diandra Amaranggana? Dia nggak mungkin tertarik sama kamu. Jangan seperti punguk merindukan bulan. Nggak usah mulai berkhayal. Siapa yang berkhayal? Aku tahu, aku nggak akan berakhir dengan dia. Nggak juga dengan laki-laki lain. Aku hanya sekadar mengagumi. Hubungan romantis apalagi pernikahan bukan untukku. Aku cukup tahu diri.”

Rasa nyeri menyergap hati Andra usai bertengkar dengan suara yang muncul dalam benaknya. Ditariknya selimut sampai menutupi wajah. Daripada berpikir yang tidak-tidak, lebih baik tidur saja!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status