Langit yang indah.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Adrea entah kepada siapa.Tangannya terulur ke atas langit, melihat banyak bintang bertebaran di sekitar bulan yang bersinar terang. Sudah sejam lebih Adrea hanya duduk di jendela kamarnya. Memperhatikan bulan sambil menunggu umurnya bertambah malam ini."Sudah ke enam kalinya aku merayakan ulang tahun di penjara ini, aku bisa menebak bahwa besok dia akan datang membawakan seonggok kue dengan lilin-lilin cantik yang menghiasinya ... lalu dia akan mengambil sebuah ciuman, dan kembali memaksaku. Tangan itu akan menggerayangiku lagi," monolognya.Adrea melihat telapak tangannya yang memerah karena kedinginan. Sangat wajar karena saat ini Adrea sedang menggunakan dress pendek tanpa lengan. Kakinya menggelantung di bawah jendela tanpa alas kaki. Angin bisa menyentuhnya dengan sangat mudah. Rambut panjangnya terurai dengan indah. Bahkan seseorang yang melihatnya akan merasa bingung memilih manakah yang lebih cantik, dia atau bulan."Kenapa tangan ini tidak berubah? Padahal Aku pernah mengirisnya dengan pisau."Adrea beralih menyentuh wajah cantiknya sendiri. "Wajah ini ... kenapa tidak hancur? Padahal aku pernah melompat ke bawah dari sini," tanyanya.Dia sedikit memajukan tubuhnya untuk melihat ke bawah. Sekitar sepuluh meter hingga ke permukaan tanah, seharusnya itu cukup untuk menghancurkan seluruh tubuh. Namun, Adrea sama sekali tidak terluka kecuali lecet dan lebam di kakinya. Sangat tidak adil."Nona, sebaiknya Anda segera tidur," tegur seorang penjaga dari bawah sana. Dia menyorot Adrea menggunakan senter besarnya hingga wanita itu mengalihkan pandangan, itu terlalu menyilaukan."Baiklah," jawab Adrea tanpa bisa membantah. Dia menaikkan kakinya dan kembali masuk ke dalam kamar.NGIINGGG!!!"Ah!" Adrea menutup telinganya dengan kedua tangan. Dia baru saja berjalan selangkah, tapi tiba-tiba sebuah dengung yang memekakkan memenuhi seisi pendengarannya."Apa ini? Akh! Tolong hentikan!" teriak Adrea.Dia sampai meringkuk di lantai karena tidak tahan dengan suara itu. Rasanya gendang telinga Adrea akan pecah. Belum lagi kilas balik yang aneh muncul tak berurut di kepalanya. Semuanya seperti kilat yang saling menyambar di atas langit."Apa itu?!""A-aku?""Siapa?""Kenapa?""Hentikan!"NGIINGGG!!!***"Aku mohon maafkan aku, Ratu!"Seorang wanita tua memohon ampun sambil bersujud di hadapan seorang wanita yang lebih muda. Benar-benar pemandangan yang menyedihkan dan keterlaluan. Namun, tidak ada satu pun yang berani menginterupsi atau menentang keinginan wanita muda yang mereka panggil ratu itu."Berikan aku satu alasan untuk mengampunimu," desis sang ratu dengan nada mengejek. Dia tersenyum meremehkan dari atas singgasananya. Menatap rendah kepada ribuan orang di bawah sana, terutama kepada wanita keriput yang terus menangis itu."A-aku ... aku hanya memiliki dia, j-jika kau mengambilnya, maka ... a-aku-""Terlalu lambat! Hukum dia sekarang!" potong si ratu jahat dengan egoisnya.Sebenarnya ada rasa kasihan di dalam hati si algojo, tapi karena tak mau ikut dihukum, dia langsung mengikuti perintah ratunya. Menghukum mati bocah sepuluh tahun yang terbukti mencuri makanan. Entah sudah berapa kepala yang dia buat terpisah dari tubuh seseorang sampai sekarang. Itu seperti pertanyaan mengenai seberapa banyak gandum yang sudah dia makan.Kepala yang terlepas dari tubuh itu langsung menggelinding ke arah wanita tua. Dia menangis histeris, tidak berani membuka kain hitam yang digunakan untuk menutupi wajah tanpa dosa si anak malang. Tubuhnya seperti mati rasa. Jika saja dia tahu akan seperti ini, maka dia tidak akan membiarkan cucunya itu pergi mencari makanan untuk dirinya yang tua dan sakit. Kini dia benar-benar sendiri."Tega sekali," lirihnya.Tangisnya semakin histeris, menggema di pendengaran seluruh orang yang melihat. "Berani sekali kau!" hardiknya.Wanita tua itu seakan kehilangan akal. Setelah menangis, dia menentang wanita nomor satu di negeri itu secara terang-terangan. Dia bahkan tidak peduli lagi dengan apa yang mungkin akan terjadi padanya."Berani sekali kau mengambil nyawa seorang anak! Siapa kau sampai memiliki kekuasaan seperti itu?! Kau hanya manusia ya-"BAGH!"AAAKHHH!"Hanya sepersekian detik kejadiannya. Sebagian orang histeris karena terkejut dan sebagian yang lain termenung karena masih berusaha mencerna apa yang terjadi."Kalau begitu ikuti cucumu itu," ucap Adrea, si ratu jahat.Dengan mudah dia mengangkat wanita itu ke langit tanpa menyentuhnya. Kemudian, tanpa berpikir panjang dia menghempaskan tubuh rapuh itu ke tanah dengan kuat. Membuat darah mengalir dari setiap bagian tubuhnya.***Dia adalah Adrea Electa, dua ribu lima ratus tahun yang lalu. Ketika segalanya ada di bawah kaki Adrea dan dia bisa melakukan semua yang diinginkannya. Menyingkirkan siapapun yang tidak dia inginkan dan berdiri di posisi tertinggi tanpa harus takut pada apa pun. Pemilik tahta dan anugerah telekinesis, mengendalikan benda tanpa menyentuhnya, hanya melalui pikiran.Dia adalah wanita yang di kemudian hari akan mendapatkan sebuah hukuman dan karma. Namun, dia tidak menyadarinya sampai utusan pemilik anugerah itu datang dan menyapa."Apa kau gila?!" hardik Adrea.Ada rasa takut di dalam hatinya, tapi Adrea berusaha sangat kuat untuk tidak memperlihatkan itu. Dia menatap langsung pada wanita bertudung putih yang sama sekali tidak bisa Adrea lihat wajahnya.Entah bagaimana wanita itu tiba-tiba muncul di kamar Adrea pada malam hari dan mengagetkannya. Adrea pikir wanita misterius itu adalah penyusup dan dia bersiap untuk menggunakan kekuatannya. Namun, itu sama sekali tidak berfungsi."Aku diperintahkan untuk mengambil kembali apa yang Dia titipkan padamu dan aku sudah melakukannya," ujar wanita itu dengan suaranya yang sangat indah.Adrea tidak mengerti dengan apa yang dibicarakannya. Pertama dia mengatakan tentang karma dan kini dia mengambil sesuatu yang entah apa itu."Mungkinkah ...."Adrea kembali mengarahkan pikirannya pada wanita itu, mencoba untuk mendorongnya jauh-jauh tapi gagal. Tidak puas dengan hasilnya, Adrea mengganti target ke vas bunga yang ada di kamar itu. Sayang sekali semua usahanya kembali gagal."Aku diperintahkan untuk mengambil kembali apa yang Dia titipkan padamu dan aku sudah melakukannya," kata wanita misterius itu sekali lagi."Kembalikan kekuatan itu padaku! Aku tidak meminjamnya darimu atau dari siapapun! Aku tidak perlu mengembalikannya sedikit pun!" balas Adrea."Dia sudah meminjamkannya kepadamu dan Dia bisa mengambilnya kapanpun Dia merasa tidak puas kepadamu."*****"Karma is real.""Apa?! Aku tidak mendapatkan itu dari siapapun! Itu milikku! Cepat kembalikan apa yang sudah kau ambil!" kesal Adrea. Dia berusaha menyerang wanita tersebut menggunakan tangannya. Namun, Adrea sama sekali tidak bisa meraihnya. Wanita itu sama sekali tidak bisa disentuh meskipun Adrea sudah yakin mendapatkannya. Dia seperti cahaya yang tidak memiliki bentuk tapi Adrea bisa melihat dengan jelas bagaimana rupanya. Dia seperti fatamorgana yang membingungkan. "Kembalikan milikku!" pinta Adrea lagi. "Maukah kau membuat kesepakatan denganku?" tawar wanita misterius. Adrea sampai berhenti menyerang karena mendengar itu. "Kesepakatan?" "Akan aku pinjamkan lagi anugerah itu untukmu, tapi kau harus memakainya untuk kebaikan. Jika kau tidak menuruti kesepakatan ini, maka akan aku ambil kembali anugerahmu dan menggantinya dengan karma ... dengan kata lain, ini adalah kesempatanmu untuk memperbaiki," jelasnya. "Karma? Hahah apa itu? Kau bercanda?" ejek Adrea. "Kuberi satu kesempatan lagi untu
Vancouver, British Columbia.***Rintik hujan membasahi sebagian besar kota Vancouver sejak beberapa jam yang lalu. Langit seolah enggan memberikan malam yang indah kepada setiap makhluk yang bernaung di bawahnya. Di tengah itu, Bella, gadis yang sebentar lagi berusia dua puluh satu tahun, berjalan melewati genangan air. Mantel hitamnya membungkus tubuh itu dengan sempurna, membantunya untuk mengurangi hawa dingin yang masuk. Bella menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul sebelas malam lebih sembilan menit. Seharusnya Bella sudah di rumah sejak dua jam yang lalu. Namun, hujan membuatnya bekerja lebih lama dengan dalih 'menunggu reda'. Ya, begitulah bosnya bicara. Dia seolah peduli padahal hanya memanfaatkan situasi. Dan buruknya, Bella tidak bisa menolak itu.Bella mengeratkan mantelnya karena angin tiba-tiba berhembus kencang. Dia berhenti melangkahkan kaki dan melihat sekitar. Jalanan masih ramai, tapi entah kenapa terasa sangat sepi. Mungkin karena dia sendiri? Ya
Matahari terbit di timur dengan cerahnya. Menyapa wajah sembab yang sedang tertidur di atas lantai yang dingin. Bulu mata Bella bergerak pelan, menandakan bahwa dia terganggu dengan cahaya yang masuk ke ruangan. Tubuh itu menggeliat, mencoba untuk mengumpulkan kesadaran dan bangun. "Ahh, kepalaku sakit," keluh Bella sambil memijat pelan pelipisnya. Dia duduk dengan mata yang masih terpejam. "Rasanya aku bermimpi aneh semalam," tambahnya. Dia berusaha mengingat kembali mimpi yang datang saat dirinya tertidur. Bella tidak bisa mengingat dengan jelas hal itu tapi dia bisa merasakan bahwa mimpi tersebut benar-benar menakutkan. Kepalanya sampai berdenyut kencang saat ini. "Bella! Di mana kau?!" teriak Angeline dari bawah. Bella yang namanya disebut langsung terbangun sempurna dan pergi dari loteng. Dia nyaris berlari agar Angeline tidak mencarinya lebih lama. Kenapa juga dia bisa tertidur di loteng?"Aku di sini, Bu," ujar Bella setelah menemukan Angeline sedang sibuk menyiapkan sarap
Rio de Janeiro, Brasil.***"Lusa nanti ayah akan mengundang banyak tamu penting ke rumah. Sebaiknya kalian tidak banyak bertingkah dan memperlihatkan sikap yang baik." Vins tidak mendengarkan perkataan ayahnya dengan baik. Dia memainkan makanannya menggunakan pisau. Menusuknya dengan brutal kemudian mencincangnya sampai menjadi bubur. Sementara itu, ibu dan saudaranya sedang makan dengan tenang sambil mendengarkan perkataan kepala keluarga di sana. "Kau mendengarku, Vins?" tegur William, ayah dari Vins, setelah melihat sikap anaknya."Tidak," jawab Vins dengan santai. Dia masih mengaduk-aduk makanannya hingga menjadi tidak berbentuk. "Apa?!" "Apa kau tuli? Kau menanyaiku apa aku mendengarmu atau tidak, tapi kau sendiri tidak mendengarku," ejeknya. "Berani sekali kau mengejek ayahmu seperti itu! Berhentilah membuat masalah, aku terus mendapat laporan karena kau mengacau." "Benarkah? Masalah mana yang kau bicarakan? Aku tidak mengingatnya satupun. Lagipula, untuk apa mereka menga
Vins hendak mengusap keningnya yang dialiri darah menggunakan lengan bajunya yang panjang, tapi Lily menghentikan dengan cepat. Tangan kecil itu menggenggam tangan Vins tanpa rasa takut. Dia berusia tiga tahun lebih muda dari tuannya, tapi dia sudah mengerti dengan ketidak adilan yang diterima Vins sejak lama. "Jangan lakukan itu, aku mohon ikutlah denganku dan biarkan aku mengobati semua lukamu," pinta Lily. "Lepaskan aku," bentak Vins dan dengan sedikit tenaga menghempaskan tangan Lily. Meski begitu, Lily yang sempat terdorong kembali memegang tangan Vins dengan kencang. Dia bahkan menarik Vins untuk mengikutinya ke gazebo di halaman belakang rumah. "Apa yang kau lakukan?! Jangan kurang ajar! Lepaskan aku!" perintah Vins di tengah kondisinya yang ditarik paksa oleh Lily "Tidak mau! Aku harus mengobati lukamu itu lebih dulu!" tolak Lily dengan suara lebih keras. Dia bahkan menghentikan langkahnya dan menyempatkan untuk menatap Vins dengan tajam meskipun air mata menganggu pandan
Vins meneguk minuman keras yang ada di tangannya. Dia seperti orang yang kehausan selama tiga hari. Namun, bukannya minum air mineral, dia malah minum alkohol. "Berani sekali dia masuk ke dalam kamarku seperti itu," kesal Vins. Dia mengingat kembali kejadian malam kemarin saat dirinya sedang dalam pengaruh alkohol. Dia sedang tertidur dengan nyaman, tapi tiba-tiba saja seseorang berbisik padanya dan terus meminta tolong. Vins sudah mengusirnya berkali-kali meskipun tanpa membuka matanya yang terpejam. Namun, wanita itu tidak juga pergi selama beberapa saat. Kini dia tahu bisikan itu berasal dari Lily. Bisikan di taman belakang tadi sudah membuktikan semuanya. Apa yang sedang direncanakan gadis itu? Apa dia sedang mencoba untuk menggoda Vins?"Minuman jenis apa ini?! Kenapa tidak memberikan efek apapun?! Berikan aku sesuatu yang lebih!" bentak Vins kepada para bartender khusus yang menjamunya. "Tuan, apa kau tidak puas dengan pelayanan mereka? Maukah kau jika aku yang melayanimu?" g
Palembang, Indonesia.***"Kau lihat pria yang sedang duduk di bawah pohon itu?" "Wah, dia tampan sekali, kenapa dia diam di sana sendiri?" Mereka menatap seorang pria yang memiliki tinggi lebih dari enam kaki itu. Dia terlihat tenang dengan headphone yang menutupi kedua telinganya. Matanya tidak bergerak sedikitpun dari buku yang entah apa judulnya itu. Yang jelas, dia terlihat sangat menikmati dunianya sendiri. "Dia Neve Alba, mahasiswa tahun terakhir yang kabarnya sama sekali tidak pernah memulai interaksi dan pembicaraan dengan siapapun selama dia kuliah di sini," jelas wanita pertama kepada juniornya. "Benarkah?" Wanita kedua yang baru memulai masa kuliahnya itu menatap tertarik pada Neve yang berada tak jauh darinya. "Ya, dia sama sekali tidak pernah berinteraksi dengan kemauannya sendiri. Meski begitu, dia memiliki banyak penggemar dan para pria tidak ingin mengganggunya." "Kenapa?" tanya seorang pria yang juga merupakan mahasiswa ta
Prediksi semua orang benar, Neve menang, sekali lagi. Namun, Neve sama sekali tidak peduli. Dia hanya ingin menjalani harinya dengan tenang. Diraihnya tas yang tergeletak di pinggir lapangan. Baru saja dia ingin pergi, tapi seseorang menghentikannya. Gadis itu, yang menjadikan dirinya sendiri sebagai barang taruhan. "Kau menang," ucap Zia. Dia datang dengan senyum yang merekah, entah apa yang sedang dia pikirkan di otaknya yang kecil itu. Sementara itu, Jack, pacarnya yang baru saja dikalahkan memandang tidak suka pada Neve. Dia sama sekali tidak rela pacarnya direbut dengan cara seperti ini. Namun, dia sendiri sudah menyetujui hal itu. "Aidan!" panggil Neve. Untuk pertama kalinya pria itu membuka mulut lebih dulu dan menyebut nama orang lain. Aidan yang dipanggil pun merasa terkejut, begitu juga dengan semua orang yang mendengar. Aidan langsung mendatangi Neve sambil berlari. "Kau memanggilku? Serius? Hahaha akhirnya kau memanggilku!" serunya. Dia bahk