Semuanya menjadi hening saat Eve tidak melontarkan kalimat dinginnya lagi. Mereka bahkan bisa mendengar suara angin berdesir. Malam yang sepi itu semakin terasa dingin. Padahal tidak ada tragedi yang terjadi di sana. Setidaknya belum terjadi. "Baiklah, maafkan aku, aku akan mengajarimu setelah aku menemukan ibuku," ucap Eve akhirnya. Gaia mengulum bibir bawahnya beberapa kali. Dia sedang menimbang-nimbang, apakah harus memaafkan Eve atau tidak. Selang beberapa menit, akhirnya, gadis itu menganggukkan kepala. "Baiklah, aku maafkan," ucapnya. Eve menjawab dengan anggukan lalu langsung berbalik badan, berniat mencari ibunya lagi. Namun, ketika dia ingin melangkah, kakinya tertahan oleh sesuatu. Tanpa Eve sadari kakinya tertanam di dalam tanah. Dia menatap sekitar lantai yang tadinya dilapisi keramik kini berubah menjadi tanah sepenuhnya. Tanah itu terlihat seperti pasir yang ada di pantai, tapi saat Eve mencoba bergerak, pasir-pasir itu mengeras seperti tanah liat. "Kau berniat untu
Gaia menatap tubuh yang sudah tidak bernyawa di hadapannya. Tidak seperti yang dia bayangkan, ternyata Eve sangat lemah. Padahal Gaia baru bersenang-senang selama beberapa jam. Sayang sekali. Tubuh Eve terlihat kacau. Rambutnya yang terpotong tak karuan, sekujur tubuhnya yang dikuliti, dan wajah yang penuh darah. Beruntung tidak ada satu bagian tubuhnya yang terpisah, kecuali satu. Gaia melihat kembali sebuah bola mata yang dia simpan di dalam wadah berbentuk tabung. Hanya mata berwarna hazel itu yang bisa menjadi kenangan untuk Gaia. Bagaimana pun Gaia harus mengingat Eve yang sudah menemaninya bermain. "Aku tidak tertarik pada bangkai," ucap Gaia. Gadis itu berdiri dan menatap rendah mayat tak berdaya Eve. Rambut pendeknya terlihat sempurna untuk gadis itu, tapi Eve harus merelakan Gaia karena dia harus berhenti di sini. Eve sudah tidak menarik di matanya. "Aku akan meratakan tempat ini dengan tanah, sebaiknya kau sedikit menjauh jika tidak ingin terkubur." Gaia membalikkan tubu
Tepat di malam itu, berita-berita tentang gempa yang terjadi di kota mereka mulai muncul satu per satu. Informasi menyebar dengan sangat cepat. Seluruh proyektor yang ada di negeri itu menampilkan sinar biru yang membentuk berita tiga dimensi. Mereka bisa melihat dengan jelas depan belakang si pembawa acara dan kondisi tempat-tempat yang diliput para reporter. Di antara banyaknya tempat yang terdampak, ada satu tempat yang hancur total. Semuanya runtuh dan merata dengan tanah. Bahkan setelah itu terjadi masalah listrik yang mengakibatkan kobaran api muncul dan membesar di sana. Dua kecelakaan itu terjadi dengan mendadak hingga tidak ada yang mewaspadainya. Tidak ada peringatan dari organisasi yang menangani masalah bencana alam. Bahkan alat pendeteksi api rusak sebelum sempat mengeluarkan sirinenya. Riany, ibu Eve menangis tersedu-sedu setelah menyadari anaknya itu sedang berada di sana saat kejadian. Petugas yang menangani masalah ini mengatakan bahwa dia mungkin tertimbun dan ter
Adrea menatap wajahnya di cermin. Bayangan cantik yang sangat dibencinya itu benar-benar membuat Adrea muak. Seakan terus mengingatkan Adrea tentang seberapa kotor dirinya. Dulu, Adrea bahkan tidak ingin bercermin sedetik pun. Namun, kini dia merasa lelah. Rasanya masih menyakitkan, masih membuat hatinya marah, tapi Adrea sudah tidak memiliki kemampuan untuk mengungkapkannya dan hal ini adalah yang paling menyedihkan. Setelah berhari-hari bahkan berminggu-minggu Adrea memohon, tidak ada siapa pun yang datang untuk menolongnya. Sampai semalam pun Adrea masih memohon dan berdoa untuk kehadiran mereka, dia masih percaya. Meski begitu, kini dia merasa segalanya mustahil. Bantuan itu tidak akan pernah datang. "Apa yang sedang kau pikirkan?" Tiba-tiba saja sepasang tangan melingkar di pinggang Adrea. Raja itu datang begitu saja dengan kekuatannya. Adrea sudah terbiasa, dia bahkan tidak terkejut lagi. Adrea hanya membiarkan pria itu memeluknya dari belakang dan menghirup aroma tubuh yang
Nafasnya terengah. Bibirnya bahkan tidak bisa saling bertemu karena dia memaksakan oksigen masuk melalui mulut. Ah, tidak, bibir merahnya mengering, membuatnya sedikit pucat. Jadi seperti itu wajah ketakutannya?Namun, wajah cantik itu benar-benar membutakan semua orang yang melihat. Keringat yang membasahi sebagian wajah itu membuatnya semakin indah. Seperti sebuah pahatan dari seniman terbaik. Menggoda siapapun untuk melihatnya lebih dekat. Memperhatikan setiap lekuk dari kecantikannya. Seperti sebuah aroma manis yang menggoda lebah berbahaya. Apakah pahatan itu akan hancur jika seseorang menyentuhnya? "A-aku mo ... hon," pintanya dengan suara tercekat. Lihat bagaimana air matanya mulai menggenang. Mata bulat dan biru itu menjadi seperti kristal paling mahal. Wajahnya memerah karena takut, tapi kenapa dia malah jadi semakin cantik? "Kenapa kau duduk di sudut seperti itu?" tanya pria dengan mata hitam yang paling dalam, lebih dalam dari sebuah lautan. Dia tersenyum? Tidak, dia men
Langit yang indah. "Bagaimana menurutmu?" tanya Adrea entah kepada siapa. Tangannya terulur ke atas langit, melihat banyak bintang bertebaran di sekitar bulan yang bersinar terang. Sudah sejam lebih Adrea hanya duduk di jendela kamarnya. Memperhatikan bulan sambil menunggu umurnya bertambah malam ini. "Sudah ke enam kalinya aku merayakan ulang tahun di penjara ini, aku bisa menebak bahwa besok dia akan datang membawakan seonggok kue dengan lilin-lilin cantik yang menghiasinya ... lalu dia akan mengambil sebuah ciuman, dan kembali memaksaku. Tangan itu akan menggerayangiku lagi," monolognya. Adrea melihat telapak tangannya yang memerah karena kedinginan. Sangat wajar karena saat ini Adrea sedang menggunakan dress pendek tanpa lengan. Kakinya menggelantung di bawah jendela tanpa alas kaki. Angin bisa menyentuhnya dengan sangat mudah. Rambut panjangnya terurai dengan indah. Bahkan seseorang yang melihatnya akan merasa bingung memilih manakah yang lebih cantik, dia atau bulan. "Kenap
"Apa?! Aku tidak mendapatkan itu dari siapapun! Itu milikku! Cepat kembalikan apa yang sudah kau ambil!" kesal Adrea. Dia berusaha menyerang wanita tersebut menggunakan tangannya. Namun, Adrea sama sekali tidak bisa meraihnya. Wanita itu sama sekali tidak bisa disentuh meskipun Adrea sudah yakin mendapatkannya. Dia seperti cahaya yang tidak memiliki bentuk tapi Adrea bisa melihat dengan jelas bagaimana rupanya. Dia seperti fatamorgana yang membingungkan. "Kembalikan milikku!" pinta Adrea lagi. "Maukah kau membuat kesepakatan denganku?" tawar wanita misterius. Adrea sampai berhenti menyerang karena mendengar itu. "Kesepakatan?" "Akan aku pinjamkan lagi anugerah itu untukmu, tapi kau harus memakainya untuk kebaikan. Jika kau tidak menuruti kesepakatan ini, maka akan aku ambil kembali anugerahmu dan menggantinya dengan karma ... dengan kata lain, ini adalah kesempatanmu untuk memperbaiki," jelasnya. "Karma? Hahah apa itu? Kau bercanda?" ejek Adrea. "Kuberi satu kesempatan lagi untu
Vancouver, British Columbia.***Rintik hujan membasahi sebagian besar kota Vancouver sejak beberapa jam yang lalu. Langit seolah enggan memberikan malam yang indah kepada setiap makhluk yang bernaung di bawahnya. Di tengah itu, Bella, gadis yang sebentar lagi berusia dua puluh satu tahun, berjalan melewati genangan air. Mantel hitamnya membungkus tubuh itu dengan sempurna, membantunya untuk mengurangi hawa dingin yang masuk. Bella menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul sebelas malam lebih sembilan menit. Seharusnya Bella sudah di rumah sejak dua jam yang lalu. Namun, hujan membuatnya bekerja lebih lama dengan dalih 'menunggu reda'. Ya, begitulah bosnya bicara. Dia seolah peduli padahal hanya memanfaatkan situasi. Dan buruknya, Bella tidak bisa menolak itu.Bella mengeratkan mantelnya karena angin tiba-tiba berhembus kencang. Dia berhenti melangkahkan kaki dan melihat sekitar. Jalanan masih ramai, tapi entah kenapa terasa sangat sepi. Mungkin karena dia sendiri? Ya