“Nih, habisin dulu es krimnya. Nanti baru Om antar ke rumah Om Alan.” “Yeay... makasih, Om. Tapi jangan bilang Papa Alan ya! Nanti Papa Alan bilang ke Bunda. Bunda suka malah kalau Noah makan es klim.” “Emang Bunda kamu galak?” Sambil memakan es krimnya, bocah itu pun mengangguk. “Bunda kalau malah, selam banget. Kayak singa kelapalan,” ucapnya. Membuat lelaki itu langsung terkekeh pelan. “Kamu pernah dimarahin?” “Pelnah, tapi habis itu Bunda nangis.” “Kenapa nangis?” “Katanya nyesel, udah malahin Noah.” “Kalau ayahnya Noah, galak nggak?” “Noah nggak punya Ayah,” jawabnya enteng. Membuat lelaki itu langsung terdiam kaget. “Emang ayahnya Noah ke mana?” “Nggak tau. Bunda nggak pelnah jawab kalau Noah tanya.” Lelaki itu mengangguk- anggukkan kepalanya. Agak sedikit kasihan, melihat wajah Noah yang berubah menjadi cemberut. “Eh, kalau boleh tau, Noah sekarang sekolah kelas berapa?” tanya lelaki itu mengalihkan pembicaraan. Ia sadar, jika pertanyaannya tadi sangat sensitif bagi
Setelah sama- sama terdiam selama beberapa menit, Rachel mulai membuka mulutnya untuk berbicara. Karena Alan juga tak kunjung bertanya sedari tadi. “Nggak perlu saya jelasin lagi, kan? Pak Alan pasti udah ngerti,” ujar Rachel dengan kepala yang masih tertunduk. Alan mengangguk- anggukkan kepalanya. Kemudian ia merubah posisi duduknya menjadi menghadap Rachel. “Saya cukup cerdas buat membaca situasi. Jadi nggak perlu kamu jelasin lagi,” balas Alan seraya meminum teh hangat yang tadinya ia siapkan untuk Noah “Tolong jaga rahasia ini ya, Pak. Terutama dari Juna. Saya nggak mau, kalau muncul masalah baru yang bisa mengganggu ketenangan hidup saya dan Noah. Kedepannya, saya bakal lebih berhati- hati lagi,” ucapnya. Membuat Alan langsung menghembuskan napasnya kasar. “Saya tau. Masa lalu biarkan menjadi kenangan. Kamu cukup fokus ke masa depan aja.” Rachel mengangguk. “Kalau nggak ada yang mau ditanyakan lagi, saya pamit pulang,” ucapnya. “Oh iya, barang- barang yang saya kirim uda
Sudah hampir setengah jam lamanya, Rachel menunggu Alan yang sedang rapat dengan para pemegang saham VJ Group. Ia tidak diperbolehkan masuk ke dalam ruangan, karena rapat kali ini sangat tertutup dan hanya orang- orang penting saja yang boleh masuk. Selain menjadi seorang konsultan bisnis, Alan memang suka berinvestasi saham di perusahaan- perusahaan besar. Salah satunya adalah VJ Group, perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan dan perindustrian. Di sini, Alan merupakan pemegang saham tertinggi diurutan ke tiga. Maka dari itu, ia selalu hadir jika ada rapat penting seperti ini. Sebenarnya ia disuruh Alan untuk menunggu di depan ruang rapat. Namun karena ia sudah bosan, akhirnya ia memilih untuk menunggu di cafetaria perusahaan. “Ngantuk, ya?” tanya seseorang, seraya meletakkan satu botol minuman di meja yang sedang di tempati oleh Rachel saat ini. Rachel yang sedang menguap pun seketika langsung menutup mulutnya. Matanya membelalak kaget, saat melihat seseorang yang sedang be
Bekasi, 19.15 Alan dan Rachel melangkah masuk ke dalam sebuah Restoran mewah, tempat diadakannya pertemuan keluarga besar Mama Alan. Bagaikan sepasang kekasih seperti pada umumnya, Alan dan Rachel berjalan bersama dengan bergandengan tangan. Outfit yang mereka pakai juga sangat serasi. Alan memakai celana hitam dengan kemeja panjang berwarna hitam. Sedangkan Rachel memakai dress maroon selutut. “Selamat malam, keluarga Bapak Irawan ya?” tanya seorang pelayan Restoran pada mereka berdua. “Iya,” jawab Alan. “Di lantai dua ya. Sudah ditunggu sama keluarganya,” ucapnya lagi. “Iya, terima kasih.” Setelah itu, mereka lantas menaiki tangga menuju lantai dua. Alan yakin, semua keluarganya sudah datang dan sedang menunggu kedatangannya. “Pak, saya takut,” ujar Rachel. Seraya meremas jari jemari Alan dengan kuat. “Takut kenapa?” “Takut gagal, aktingnya.” “Santai aja. Yang penting nanti kamu lakuin apa yang saya ajarin tadi.” Rachel mengangguk. Kemudian tanpa diduga, Alan melepas ge
Rachel membaringkan tubuhnya di samping Noah yang sudah tertidur di kasur. Matanya menatap langit- langit kamar dengan pandangan kosong, mengingat percakapannya dengan Alan tadi. Entah kenapa, moodnya malam ini tiba- tiba memburuk. Ia bahkan malas untuk sekedar berganti pakaian. Padahal masih banyak rutinitas yang harus ia lakukan malam ini. Mulai dari mencuci muka, sikat gigi, dan yang terakhir skincare routine. “Kenapa jadi kayak gini sih,” gumam Rachel seraya memijit pangkal hidungnya. “Aku harus gimana, Tuhan?” Saking stressnya ia malam ini, ia sampai mengeluarkan air mata. Tidak tahu harus bagaimana mengahadapi Alan nanti. Ia pusing, bingung, sekaligus bimbang. *Flashback on “Saya suka kamu, Rachel. Tolong buka hati kamu juga. Biar saya bisa move on dari Sania.” “Maksudnya?” “Kamu nggak bodoh. Saya udah ngomong secara terang- terangan. Masa masih belum ngerti?” Rachel menjauhkan tubuhnya dari tubuh Alan. Wajahnya masih terlihat sangat shock. Seolah tidak percaya dengan
“Kenapa percaya diri banget? Emang ini anak kamu?” tanya Rachel ketus. “Terus anak siapa lagi kalau bukan anakku?” “Emang kamu tau, kehidupan aku selama enam tahun ini? Bisa jadi aku udah nikah kan, terus punya anak sama orang lain.” “Nggak mungkin. Kalau udah nikah, mana suaminya?” “Bisa jadi udah cerai, kan?” “Tetap nggak masuk akal. Kecuali kalau Noah sekarang baru umur tiga atau empat tahun.” “Emang kamu tau, umur Noah sekarang berapa?” tanya Rachel sedikit sewot. “Tau, lah! Lima jalan enam kan?” balas Juna dengan wajah yang begitu tengil. Membuat Rachel langsung mencebikkan bibirnya kesal. “Nggak bisa jawab lagi, kan? Karena dia emang anakku. Mau bohong sampai mulut kamu berbusa juga bakal ketahuan, karena DNA udah menjawab semuanya. Nih lihat, mukanya persis sama aku waktu masih kecil,” cerocos Juna, seraya menunjukkan kertas foto berukuran kecil. Rachel berdecih. Tau gitu, ia mending minta bantuan pada Bapak- bapak yang menolongnya tadi. Ditolong Juna ternyata malah ber
Hampir selama lima menit, Rachel bediri di depan Alan yang sedang duduk di sofa sambil terus menatap pria itu dengan tangan yang terlipat di depan dada. Sedangkan Alan memilih untuk pura- pura sibuk membaca majalah. “Pak Alan... sebagai rekan kerja, kita berdua harus sama- sama profesional. Jangan membuat saya merasa canggung dengan situasi seperti ini,” ucap Rachel dengan tegas. Alan mengangkat kepalanya, menatap Rachel dengan tatapan dingin seperti biasanya. “Maksud kamu?” tanya Alan. “Berhenti mengirim pesan- pesan romantis ke saya. Saat ini, hubungan kita hanya sebatas atasan dan bawahan. Mengerti?” “Emang kamu nggak tau? Hp saya hilang. Kalau ada pesan yang aneh- aneh, berarti itu ulah hacker,” balas Alan dengan begitu santai. Rachel memicingkan matanya seraya tersenyum tipis. Kemudian ia lantas mendudukkan dirinya di samping Alan, sambil menatap pria itu dengan intens. “Oh... hilang ya?” tanya Rachel dengan nada menggoda. “I-iya,” balas Alan gugup. Seraya berusaha menghin
Hari ini adalah hari pertama Rachel bekerja setelah libur selama beberapa hari. Suasana terasa lebih canggung dari sebelumnya. Baik Alan maupun Rachel, tidak ada yang membuka suara sedari tadi. Hal ini dikarenakan Rachel yang tiba- tiba berubah pikiran terkait hubungannya dengan Alan. Sebagai wanita yang pernah memiliki kenangan buruk dalam berhubungan, tentu saja Rachel tidak mau menjadi bayang- bayang Sania dalam hidup Alan. Ia tahu persis, bagaimana perasaan Alan kepada Sania selama ini. Lelaki itu bahkan masih menyimpan rasa, meskipun Sania sudah tidak ada di dunia lagi. Jadi menurutnya, tidak mungkin Alan secepat itu menyukainya. Pasti hanya mencari pelampiasan saja. Semalaman ia memikirkan hal ini. Hingga pada akhirnya, tadi pagi ia memutuskan untuk mengirimkan pesan pada Alan seperti ini, To: Pak Alan Mahardika Pak Alan, jangan salah paham sama hubungan kita berdua ya. Meskipun saya bilang mau belajar membuka hati, tapi bukan berarti status kita berubah jadi pacar. Kita teta