“Sama Jeny, Yah. Oh iya. Ayah belum tahu ya kalau aku punya teman baru? Ini teman aku, Yah. Namanya Jeny. Jeny, kenalin. Ini Ayah aku.” Kata Alea yang berusaha memperkenalkan mereka berdua.
Sontak Reihan terkejut mendengar perkataan puterinya. Reihan dan Jihan saling bertatapan. Mereka bingung dengan apa yang sedang terjadi kepada puterinya. Tidak ingin Alea lebih lama bermain. Akhirnya mereka mengajak Alea untuk makan malam.
“Sayang. Kita makan dulu yuk. Nanti main lagi.” Ajak Reihan. Ia merasa bahwa ada hal tak kasat mata yang dilihat oleh anaknya.
“Oke, Yah.”“Sama Jeny, Yah. Oh iya. Ayah belum tahu ya kalau aku punya teman baru? Ini teman aku, Yah. Namanya Jeny. Jeny, kenalin. Ini Ayah aku.” Kata Alea yang berusaha memperkenalkan mereka berdua.
Sontak Reihan terkejut mendengar perkataan puterinya. Reihan dan Jihan saling bertatapan. Mereka bingung dengan apa yang sedang terjadi kepada puterinya. Tidak ingin Alea lebih lama bermain. Akhirnya mereka mengajak Alea untuk makan malam.
“Sayang. Kita makan dulu yuk. Nanti main lagi.” Ajak Reihan. Ia merasa bahwa ada hal tak kasat mata yang dilihat oleh anaknya.
“Oke, Yah.”
***
Waktu maghrib telah tiba. Mereka bertiga bergegas untuk mengambil air wudhu dan selanjutnya melaksanakan sholat maghrib berjamaah. Ini kali pertama mereka sholat di rumah yang hawanya cukup mencekam itu. Reihan berada di baris depan untuk menjadi imam sholat. Sedangkan Jihan dan Alea berada di belakang menjadi makmum.
Ditengah kekhusyu’an mereka menjalankan ibadah, tiba-tiba seperti ada seseorang yang meniup telinga Jihan dari belakang. Kekhusyu’an itu seketika buyar menjadi takut. Namun ia berusaha tetap tenang, meskipun sekujur tubuhnya sebenarnya merasa merinding. Sampai di rokaat terakhir, tepatnya saat duduk tahiyat akhir, Jihan kembali menerima godaan. Kali ini bukan tiupan di telinga, melainkan bisikan.
“Aku menginginkannya.” Entah siapa yang membisikkan kalimat itu di telinganya. Jihan merasa semakin takut. Karena tidak ada orang lain di rumah itu selain ia, suaminya dan juga anaknya. Jihan tidak mengerti apa yang dikatakan sosok itu. Apa yang ia inginkan? Ia merasa ada yang tidak beres semenjak kehadirannya di rumah ini.
“Assalamualaikum warohmatulloh. Assalamualaikum warohmatulloh.” Reihan menyudahi ibadah mereka dengan salam. Jihan dan Alea pun mengikuti apa yang dilakukan imam. Selesai sholat, wajah Jihan terlihat ketakutan. Ia menoleh ke belakang dan sekitarnya. Apa yang telah ia dengar barusan? Apakah hanya perasaannya saja? atau ada hal lain yang memang sengaja ingin meneror mereka. Dilihatnya tidak ada siapapun di ruangan itu.
Melihat istrinya yang kebingungan dan cemas, Reihan pun bertanya.
“Ada apa, Jihan?”
“Tidak, Mas. Tidak apa-apa.”
“Kok kamu cemas gitu?”
“Mama lihat sesuatu?” Tanya puterinya kepada mamanya.
“Tidak, Sayang.” Jawab Jihan yang masih celingukan.
“Kamu nyari apa sih?” Tanya Reihan yang kini mulai penasaran.
“Mmm.. Tadi pas aku sholat ada yang niup telingaku, Mas. Terus pas mau salam, ada yang bisikin ditelingaku. Dia bilang ‘aku menginginkannya.’ Begitu.”
“Mungkin itu perasaan kamu aja kali. Di rumah ini tidak ada orang lain selain kita bertiga. “
“Iya sih, Mas. Tapi aku dengernya jelas kok. Suaranya seperti perempuan. Tapi serem banget. Mangkanya tadi sholatku jadi gak khusyu’. Aku takut, Mas.”
“Kamu gak usah takut. Kan kamu gak sendiri. Ada aku, ada Alea. Kita juga punya tetangga. Kalau misalnya kamu takut di rumah pas aku kerja, kamu bisa kok main ke rumah tetangga sebelah. Kebetulan aku juga kenal orangnya. Nanti kamu aku kenalin sama mereka. Sudah. Jangan takut lagi ya.” Jelas Reihan yang berusaha menenangkan hati istrinya.
Meskipun begitu Jihan merasa was-was. Baru hari pertama, sudah ada saja kejadian aneh yang menimpa mereka. Cepat atau lambat ia harus mengetahui bagaimana seluk beluk rumah ini. Ia penasaran, apa alasannya penghuni sebelumnya mengosongkan rumah ini? Mungkin lewat informasi dari tetangga ia bisa menemukan teka-teki misteri rumah.
“Ma. Alea ke kamar dulu ya. Mau ngambil boneka.”
“Iya, Sayang.”
Gadis kecil itu pun berlari menuju kamarnya. Kini hanya ada Jihan dan sang suami sedang duduk santai di teras rumah sambil menikmati secangkir teh hangat.
“Mas. Masalah sekolah Alea, bagaimana? Kapan kita akan mendaftarkan dia ke sekolah yang baru?” Tanya Jihan mengawali perbincangan.
“Secepatnya. Aku akan carikan sekolah terbaik di sekitar sini. Aku ingin Alea merasa nyaman di sekolah barunya.”
“Tapi di sini agak susah sinyal ya, Mas. Mas coba lihat, sinyal aku naik turun kan?” Ucap Jihan sambil menunjukkan grafik sinyal di handphone nya.
“Ya maklum. Kan tempatnya agak jauh dari perkotaan. Kita punya tetangga juga gak terlalu berdempetan. Beda sama rumah kita yang sebelumnya. Penduduknya padat. Di sini banyak pepohonan juga. Apalagi penduduk sini banyak yang gaptek. Gak ngerti tentang teknologi informasi. Mereka kalau ingin berkirim kabar ke saudaranya, harus keluar dari permukiman ini untuk mendapatkan wartel. Di sana mereka baru bisa menghubungi keluarganya. Kamu yang sabar. Tinggal di sini memang gak semudah di kota. Tapi di pedesaan yang masih asri seperti ini, kamu bisa menghirup udara segar setiap hari. Orang-orang di sini juga ramah-ramah loh. Nanti lama kelamaan kamu akan terbiasa dan senang tinggal di sini.”
Mendengar penjelasan suaminya, Jihan merasa ragu. Apa benar yang dikatakan suaminya kalau hidup di pedesaan yang sekarag ia dan keluarganya akan mendapatkan kedamaian?
Tidak terasa teh milik Jihan sudah habis ia minum.
“Mas. Tehku sudah habis. Aku mau ambil lagi di belakang. Kamu mau aku ambilin juga?”
“Tidak. Punyaku masih ada separuh. Kamu ambil buat kamu sendiri aja.”
“Ya sudah kalau begitu. Sebentar ya.”
Jihan lalu pergi meningglkan suaminya sendiri di teras rumah. ia berjalan menuju dapur dan melewati kamar Alea. Niatnya memang sekalian melihat puterinya, apa yang sedang ia lakukan di kamar. Sesampainya di depan kamar Alea, ia membuka pintu dan memanggil
“Alea. Kamu sedang...” Belum selesai ia berbicara, ia malah terkejut dengan keadaan sang puteri.
“aaaaaaaaaaa” teriak Jihan ketakutan. Cangkir yang ia bawa pun reflek ia jatuhkan dan pecah. Dilihatnya sang puteri yang sangat menakutkan. Matanya merah. Wajahnya pucat. Bibirnya penuh darah. Semakin menakutkan saat Alea melihati Jihan dengan mata yang melotot.
Mendengar teriakan istrinya, Reihan langsung berlari menghampiri sang istri. Didapatinya Jihan yang ketakutan dan menutup matanya.
“Ada apa, Jihan? Ada apa? Kenapa kamu ketakutan begitu?” Tanya Reihan panik.
“Itu Alea. Kamu lihat puteri kita.” Jawab Jihan.
Reihan pun menoleh ke arah anaknya. Namun tidak terjadi apa-apa. Ia mendapati Alea sedang bermain bersama bonekanya.
“Alea? Alea tidak kenapa-kenapa. Dia hanya sedang bermain bersama bonekanya.”
Mendengar ucapan suaminya itu, perlahan Jihan membuka kedua tangan yang menutupi matanya. Ia terkejut saat mendapati puterinya itu kembali seperti semula.
“Tapi tadi.... Tadi Alea berubah jadi serem banget, Mas. Aku takut melihatnya.” Ungkap Jihan yang masih ketakutan.
“Ah. Mungkin itu perasaan kamu saja. lihat tuh. Anak kita gak kenapa-kenapa. Dia lagi asyik bermain boneka. Iya kan, Sayang?” Tanya Reihan kepada puterinya.
Gadis kecil itu mengangguk sambil tersenyum.
“Ya sudah. Sekarang kamu ke dapur. Katanya mau ambil teh?" Bujuk Reihan agar Jihan melupakan ketakutannya tadi. Sebenarnya Reihan juga curiga. Kenapa Istrinya selalu merasa aneh. Namun ia berusaha bersikap tenang meskipun ia sendiri terlihat ketakutan.
“Gak jadi, Mas. Aku bersihin pecahan gelas ini saja.” Jawab Jihan. wanita itu pergi mengambil sapu dan cikrak untuk membersihkan pecahan cangkirnya.
“Alea. Kamu belum mengantuk, Nak?” Tanya Reihan menghampiri anaknya dan duduk di dekatnya.
“Iya, Ayah. Alea mulai mengantuk.”
“Ya sudah. Sekarang Alea bobok ya. Besok kita bangun pagi. Kita jalan-jalan keliling desa. Mau?” Tanya Reihan kepada Alea. Gadis itu mengangguk. Ia menaiki tempat tidurnya dan kemudian berbaring memeluk bonekanya. Alea memejamkan mata. Dibalutkannya selimut oleh sang ayah agar si anak tidak merasa kedinginan. Maklum. Hawa di kota dengan di desa sangat berbeda. Di kota, mereka harus menyalakan AC atau pun kipas angin agar mendapatkan udara yang dingin. Sedangkan di desa, udara dingin bisa mereka dapatkan secara alami.
Reihan pergi meninggalkan Alea yg telah tertidur pulas sendiri. Namun saat Reihan keluar dari kamar Alea dan menutup pintu kamar tersebut, tiba2 Alea terbangun dan matanya melotot.
"Ayah!" Begitu ucapnya.
Apa gadis ini tengah kerasukan?
Reihan dan Jihan berbincang ringan di atas ranjang sebelum mereka terlelap dalam tidurnya. Menurut mereka, talk bed sangatlah penting untuk membangun sebuah keharmonisan rumah tangga. “Mas. Besok sebelum kamu berangkat kerja, aku minta tolong kenalin sama tetangga di sini dong. Katanya kamu kenal sama mereka? Biar aku bisa ada temannya kalau kamu lagi gak ada di rumah.” Pinta Jihan kepada suaminya. “Iya, Sayang. Besok aku akan kenalin kamu sama Bu Rah. Dulu waktu aku kecil, aku sering main ke rumahnya. Suaminya juga baik. Namanya Pak Sam. Namun Pak Sam lebih dulu menghadap Tuhan. Jadi Bu Rah sekarang tinggal sendirian di rumahnya. Kamu bisa main ke rumah Bu Rah kapan pun kamu mau.” “Iya, Mas. Tapi aku masih mengkhawatirkan Alea. Aku takut saat dia diajak main sama temannya yang namanya Jeny itu. Aku gak lihat loh, Mas ada anak kecil di sekitar sini. Sepanjang perjalanan kemari, aku hanya melihat banyak manula yang lagi duduk di teras rumahnya. Rumah di sini juga terlihat lawas s
“Jangaaaaan.” Teriak Jihan kepada Reihan. Lelaki itu semakin mengangkat kedua tangannya. Kemudian memeluk istrinya. “Aku ingin menikmati malam ini bersamamu.” Ucap lelaki itu. Merasa dijebak oleh sang suami, Jihan menatap Reihan dengan tatapan jengkel. “Kamu ngerjain aku ya?” Tanya Jihan kepada suaminya. Mukanya cemberut. Membuat Reihan semakin gemas melihatnya.Lelaki itu tertawa sesukanya. Ia berhasil menakut-nakuti istrinya yang sedari tadi terlihat cemas. “Hahahaha. Abisnya kamu sih. Dari tadi takut mulu. Takut apa sih, Sayang? Gak ada hantu di sini. Malah hantunya yang takut sama kamu.” Goda Reihan. Jihan mencubit perut sang suami. Reihan masih tertawa senang, sedangkan Jihan masih cemberut dengan kejengkelannya terhadap suaminya.Jihan berjalan menuju ranjangnya. Reihan mengikuti istrinya dari belakang. “Ayo lah, Sayang. Aku ingin malam ini kita melakukannya. Ini kan hari pertama kita tinggal di rumah ini.” “Salah sendiri. Siapa suruh nakutin istrinya? Aku kan jadi m
Udara begitu sejuk. Banyak pepohonan yang memayungi desa tua itu. Reihan, Jihan dan Alea sangat menikmati kesegaran yang mereka hirup. Maklum, di kota mana sempat menghirup udara sesegar ini? Banyak polusi udara yang disebabkan oleh asap kendaraan bermotor dan juga asap pabrik. “Haaaahh. Sejuknya.” Kata Jihan sambil merentangkan kedua tangannya. “Apa aku bilang? Kamu suka kan?” Tanya Reihan. Jihan menjawab dengan hanya menganggukkan kepalanya. “Itu. Bu Rah lagi duduk-duduk di teras rumahnya. Yuk kita kesana.” Ajak Reihan kepada istri dan juga anaknya. “Assalamualaikum, Bu Rah.” Ucap Reihan. “Waalaikumsalam.” Jawab wanita tua tersebut. “Gimana kabarnya, Bu Rah? Baik?” Tanya Reihan sambil mencium punggung tangan wanita tua yang ada di hadapannya itu. “Baik.” Jawabnya singkat. Wanita tua bernama Rah itu memang tidak banyak bicara. Ia hanya akan bicara jika ada hal penting yang harus dijawab. “Perkenalkan. Ini istri saya. Namanya Jihan.” Kata Reihan yang memperkenalkan J
Pagi ini terasa biasa saja. Tidak ada yang aneh dan mengganjal. Ini hari ke dua mereka tinggal di rumah itu. Jihan menyiapkan hidangan untuk sarapan. “Ma, Alea bantu ya?” Tawar sang puteri. “Iya, Sayang. Tolong bawakan ini ke meja makan ya.” Kata Jihan sambil menyodorkan piring berisikan potongan ayam goreng. “Oke, Ma.” Gadis kecil itu pun menuruti apa yang diperintahkan ibunya. Begitu juga Jihan yang menyusul di belakangnya dengan membawa nasi dan juga sayuran. “Makanannya sudah siap. Ayo kita sarapan.” Kata Jihan. Mereka bertiga pun mulai mengambil makanan yang telah tersaji di hadapannya. Dengan lahapnya Reihan menyantap masakan istrinya itu. “Ini enak banget loh.” Puji Reihan. “Kapan kamu bilang masakanku gak enak? Perasaan kamu bilangnya enak terus, Mas.” Kata Jihan menggoda suaminya. “Karena masakan kamu memang gak pernah gak enak. Semuanya enak. Itu yang menjadikan kita sekarang bisa memiliki rumah makan kan? Ingat jaman kita dulu waktu masih susah-susahnya
“Mama.” Panggil Alea secara tiba-tiba. Belum sempat membuka buku yang diduganya adalah buku diary itu, tiba-tiba Alea memanggilnya dari belakang. Sehingga ia buru-buru menutupnya dan menyimpannya kembali ke dalam laci tersebut. “Eh. Iya, Sayang. Ada apa?” Tanya Jihan kepada puterinya. “Ma. Kapan Alea sekolah lagi? Alea bosen di rumah. Gak ada temennya. Palingan Cuma si Jeny yang nemenin Alea.” Ucap gadis imut itu. Namanya juga anak-anak. Maklum kalau dia merasa sepi tidak ada teman. Apa lagi di tempat tinggalnya tidak ada anak kecil selain dia. Semuanya sudah lanjut usia. “Sabar, Sayang. Besok Mama ajak Ayah untuk cari sekolahan buat kamu ya.” Bujuk Jihan. Gadis itu pun mengangguk pertanda ia mengerti. Jihan pun akan lebih tenang jika waktu siang hari ia meninggalkan rumah itu. Ia bisa pergi mengantar puterinya bersekolah. Namun ia harus tetap mencari tahu, misteri apa yang tersimpan di rumah in? Ia tidak mau jika keluargaya berlarut-larut dalam ketakutan karena teror yang
“Alea. Mama kira kamu kemana. Ternyata ada di sini.” Kata Jihan yang menemukan Alea baru saja keluar dari kamar mandi. “Hehe. Iya, Ma. Tadi Alea kebelet banget. Sebelum Mama salam, Alea sudah salam duluan. Abisnya sudah gak tahan, Ma.” Jawab gadis cantik itu. “Iya, Nak. Gak apa-apa.”Tok tok tokTiba-tiba pintu rumah Jihan diketuk oleh seseorang. “Iya. sebentar.” Pikirnya, mungkin itu adalah suaminya. Ternyata saat ia membuka pintu, bukanlah suaminya yang datang, melainkan seorang laki-laki pengantar makanan. “Dengan Ibu Jihan?” Tanya laki-laki itu. “Iya. Saya Jihan, Mas.” “Ini. Saya mau mengantarkan makanan yang dipesan oleh Bapak Reihan untuk Ibu Jihan. Ada martabak telur dan juga martabak manis.” Kata laki-laki itu. Jihan heran. Sebenarnya kemana Reihan? Kenapa ia sampai menyuruh pengantar makanan untuk mengantarkan pesanannya? Tapi laki-laki ini terlihat aneh. “Baik lah. Saya terima ya, Mas. Terimakasih.” Ucap Jihan kepada laki-laki tersebut.Tanpa menjawab apapun d
Tidak ada siapapun di kamar mandi itu kecuali dirinya. Reihan yang mulai merinding segera meraih handuk dan juga pakaiannya. Ia keluar dari kamar mandi dengan badan yang masih basah. Ia langsung menuju ke ruang makan untuk menemui istri dan juga anaknya. “Lho, Mas? kok masih basah semua gitu? Memangnya gak ada handuk?” Tanya Jihan yang melihat suaminya keluar dari kamar mandi, namun ekspresinya seperti ketakutan. “Ada apa, Mas? kok kamu seperti ketakutan begitu?” Tanya Jihan lagi. “Kamu tadi masuk kamar mandi gak, Sayang?” Tanya Reihan yang memastikan bahwa yang memeluknya tadi adalah Jhan atau bukan. “Tidak, Mas. Aku dari tadi di sini sama Alea nungguin kamu mandi gak selesai-selesai.” “Serius?” Tanya Reihan lagi. “Serius, Mas. Memangnya kenapa sih?” Tanya Jihan penasaran. “Gak apa-apa. Kita makan bareng aja yuk. Perutku sudah lapar.” Kata Reihan yang berusaha mengalihkan pembicaraannya. “Apalagi Alea. Alea dari tadi sudah lapar, Ayah. Nungguin Ayah gak datang-datang
TapAda tangan yang tiba-tiba memegang pundaknya dari belakang. Jihan terkejut dan langsung menoleh ke arah belakangnya. “Kamu kenapa belum tidur, Sayang?” Tanya seseorang yang menepuk pundak Jihan yang ternyata itu adalah Reihan. “Ada... ada...” Kata Jihan terbata-bata. Karena ia takut mendengar suara tangisan yang tiba-tiba menghilang itu. “Ada apa?” Tanya Reihan penasaran. “Ada suara wanita menangis, Mas.” “Dimana? Aku tidak mendengarnya.” Ucap Reihan. “Di situ, Mas. Aku tadi mendengarnya.” Kata Jihan sambil menunjuk ke arah asal suara tangisan itu. “Seperti apa suaranya?” Tanya Reihan lagi. “Ya seperti suara tangisan perempuan, Mas.” Jawab Jihan. “Apa suaranya seperti ini? Heemmm heeemmm.” Tiba-tiba Reihan yang tadinya baik-baik saja menjadi menyeramkan. Suara menangisnya sama persis seperti apa yang didengar oleh Jihan tadi. Jihan menjadi takut. Ia semakin mundur. Sedangkan Reihan semakin mendekatinya. “Siapa kamu?” Tanya Jihan yang berusaha melawan rasa taku