“Lo pada di sini?!” Hampir saja Edo menabrak pohon mangga di depan rumah Bara saat ia sampai. Ia melompat dari motor bagai orang kesetanan. “Kita harus cari Leo dan Nilam!” katanya, kepada Putra dan Fadlan yang duduk di teras rumah Bara.
Putra bersandar ke dinding, menatap jalanan dengan tatapan kosong. Sedangka Fadlan duduk di undakan teras, tak bergeming sama sekali.
“HEH, KALIAN DENGER NGGAK SIH?!” bentak Edo sambil membuka helm. “NILAM DAN LEO HILANG! KITA HARUS CARI SEKARANG JUGA!” Edo menghampiri Fadlan, menariknya berdiri. “KALIAN KESAMBET SETAN?! WOY!” Kini giliran Putra yang mendapat dorongan kerasnya. “KITA HARUS CARI NILAM DAN LEO SEBELUM BARA SADAR MEREKA HI—lang.”
Suara Edo mendadak menghilang saat menyadari keberadaan Bara di dalam rumah. Jantungnya hampir saja berhenti berdetak karena terkejut.
“Ba-Bara? Lo udah keluar rumah sakit?” tanyanya gugup. Ia
Tok. Tok. “Maaf, Bu, ada dua anak SMA yang mau bertemu. Mereka bilang sudah buat janji kemarin.”Anak SMA?Ah, anak yang mengirim surel ratusan kali itu?“Haruskah saya…?”Tanganku terangkat. “Biarkan mereka masuk,” kataku, seraya melirik jam di ponsel. Setidaknya masih ada waktu 20 menit, itu waktu yang cukup untuk menemui dua murid SMA, bukan?Namun, saat sekretarisku membawa keduanya masuk, aku tau 20 menit tidak akan cukup untuk menjawab keingin tahuan mereka berdua.“Selamat pagi, Kak, saya Syakilla, dan ini Sahara, kami dari SMA yang sama dengan Kakak.”“Kakak?” Aku tersenyum geli saat mendengar panggilan itu.Salah satu gadis itu, yang menggunakan kaca mata berbingkai pink, menyikut lengan gadis di sebelahnya. “Ma-maaf, maksud kami Ibu.”“Oh, no, no. Kalian bisa pakai Kakak. Rasanya saya jadi kembali muda
Aku mengambil remot tv dari dalam laci, lalu menyalakan tv di belakang mereka. Dan beruntung, tepat di berita tentang kasus yang ditangani pria itu.“Itu,” kataku, menunjuk tv dengan anggukan dagu.“NO WAY! Apa kataku! Itu dia!” Syakilla berteriak dramatis. Pasti seru berteman dengannya di SMA.“Astaga. Itu benar-benar Kak Bara?”Oke. Ini sedikit aneh. Apa mereka tidak melihat namanya? Mengapa mereka seperti melihat mahluk aneh dari mars?“Ya, itu dia,” kataku, sedikit bingung.“Kan! Apa kubilang?!”“Ta… tapi dia beda banget!” Sahara menatap foto di jurnal dan tayangan tv berkali-kali.Ya, kalau dibandingkan dengan masa lalu, pria itu memang yang paling banyak berubah.Aku menghela napas panjang, sambil terus menonton berita tentangnya dan segala kasus kriminal yang dikerjakannya.Ia masih menjadi seorang pengacara, tapi harus
“Apa? Jadi akhirnya lo diputusin Cindy? Hahahahaha.” Tawa Edo menggema keras.Bara menyesap rokoknya dalam-dalam lalu mengembuskan asapnya ke langit malam.“Hus! Jangan dibahas, lagi gloomy banget dia. Hahahaha. Pacaran 6 tahun akhirnya putus gara-gara mobil. Gokil!” Fadlan terkekeh sambil mengambil sepotong pisang goreng di plastik, sedang matanya tidak pernah lepas dari layar televisi.“Anjing. Jadi alesannya gara-gara mobil doang? Elah, lu tinggal ngambil aja mobil di si Putra, cicil dah sampe lo mati, atau pura-pura lupa. Case clear, Bro!”Lagi-lagi Bara hanya mengabaikan kata-kata salah satu sahabatnya itu.“Sesat lu, Bego!”“Hahaha, gue udah sampe mabok nawarin mobil sama si batu. Bukannya kenapa, tabungan dia itu udah lebih dari cukup buat beli mobil sama showroomnya! Emang dasar otaknya batu, bisa-bisanya tetep pake motor butut yang napasnya satu-dua. Padahal gajinya udah dua digit!” Putra menengahi tanpa sekalipun memalingkan mata dari layar televisi. “Lagian, Cindy kan mahas
“Badan aja gede, giliran putus mewek, Anj*ng,” gerutu Edo kesal sambil mendorong-dorong punggung Bara untuk segera turun dari mobil.“Cewek masih banyak, Bar. Besok gue kenalin sama klien gue! Mau model kaya gimana juga ada!”“Yang jadi-jadian juga ada ya, Lan?”“Hahahaha banyak, Bro, kalo lo doyan.”Edo bergidik seketika, “Dikasih gratis juga ogah gue, masih doyan yang ori!” katanya, sambil mengusap tengkuk yang meremang seketika. “Nah, baru juga diomongin, tuh ada cewek.” Edo menyeringai lebar saat melihat dua orang wanita duduk berhadapan di kedai nasi goreng favorit mereka.Fadlan ikut mengekor arah pandang Edo, dan mengangguk-ngangguk.“Kang, 4 ya, seperti biasa.” Putra menghampiri Firman, sang pemilik kedai nasi goreng. “Siap, Mas,” jawab Firman riang. Akhirnya setelah sempat sepi sesorean ini, ia mulai mendapatkan konsumennya kembali.Ketika berjalan melewati meja kedua wanita itu, Edo sengaja sedikit bersiul dan mengeraskan suara untuk menarik perhatian keduanya. Ia juga sen
“Apes banget yang semalem.” Edo menyisir rambut yang sengaja ia cat pirang dengan santai. Matanya melirik beberapa gadis yang berpapasan dengan mereka sambil menebar senyum andalannya.Beberapa gadis tersenyum sambil melirik malu-malu saat ketiga pria itu memasuki lobi mall dengan langkah tegap. Edo sengaja menggulung lengan baju untuk memperlihatkan otot lengannya kepada gadis-gadis yang berpapasan dengan mereka di mall.“Jangan dibahas lagi, Blok,” ujar Fadlan sambil memeriksa email di ponselnya.“Hhh, emang cewek cantik dan baik itu udah mulai langka. Tapi gue nggak nyangka kalo dia bahkan udah beranak. Bodynya masih gadis banget, Bro!” keluh Edo sambil menebar senyum kepada beberapa siswi SMA yang cekikikan saat berpapasan dengan mereka.“Masih ada, Do, yang cantik, sukses, baik, dan masih single.” Fadlan mensejajari langkah Edo di escalator.Pria berkaos hitam itu menatap ragu.“Si Putri? Kurang apa dia? Kaya tujuh turunan, cantik, bohay, dan masih single.”“Anj*ng. Dia mah beda
SH*T.Bisa-bisanya ia menanyakan hal itu secara langsung kepada Nilam.“B*ngsat!” maki Bara kesal.Fadlan dan Edo saling beradu pandang. “Gue yakin gara-gara putus dari si Cindy dia jadi gila beneran,” desis Fadlan sambil memasukkan barang-barang aneh yang dibeli Bara ke dalam plastiknya.“Kayaknya gitu.” Edo mengangguk setuju. “Gue nggak nyangka dia secinta itu sama Cindy.”Putra tidak mampu berkomentar lagi. Ia sendiri menatap ngeri sosok sahabatnya yang sekarang benar-benar terlihat aneh.“Eh, Mas Bara sudah datang?!” Lengking suara Putri terdengar riang. Dengan gaun berwarna merah muda, dan rambut terurai sepunggung, gadis itu berjalan di antara meja-meja yang dipenuhi pengunjung restorannya.“Hhhh, kita dari tadi di sini nggak disambut begitu tuh! Memang keadilan hanya untuk yang good looking,” gerutu Fadlan yang hanya mendapat lirikan sekilas dari Putri.Tanpa diminta lagi, Putri langsung duduk di samping Bara, bergelayut manja seperti yang selama ini ia lakukan.“Hus! Dia lagi
“WOY, ANJ*NG GILA, HP LO BENERAN UDAH NGGAK GUNA, HAH?!” bentak Edo di telepon. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Bara, tapi hingga malam bergerak semakin larut, Bara belum juga megangkat telepon atau membalas pesannya. “LO JADI MAU KE SINI KAGA SIH SETAN?!” teriak Edo kesal. “Gue pass dulu malam ini,” jawab Bara lelah. “Lo lagi di mana sekarang? Lembur?” Bara tidak menjawab. Ia sudah keluar dari kantor sejak dua jam yang lalu. Dan saat ini tengah menepi bersama motornya di bawah bayangan pepohonan, lagi-lagi, secara diam-diam menatap Nilam dari kejauhan. Pukul 10 malam, Nilam akhirnya keluar mall sambil menggendong Leo yang terlelap. Itu bukan sebuah kebetulan, karena Bara sebelumnya memang menunggu Nilam di dalam mall, hingga security mengusirnya karena mall akan tutup. Bara tau ini adalah tindakan paling gila yang pernah ia lakukan seumur hidupnya. Namun, Bara masih ingin memastikan sekali lagi sebelum melangkah mundur. Ia ingin memastikan siapa yang menjemput Nilam da
Sabtu pagi.Jika biasanya keempat pria itu tetap di ranjang sampai petang menjelang, dan hanya akan bangun saat lapar atau buang kotoran, tapi sabtu ini, keempatnya sudah berada di showroom milik Putra.Bahkan Putra yang hampir tidak pernah ada di showroom saat akhir pekan, kini ikut datang, membuat karyawannya berdeham tak nyaman.Satu-satunya yang terlihat sangat antusias adalah Bara. Ia berkeliling showroom, dan untuk pertama kalinya setelah berabad-abad, pria itu terlihat sangat tertarik. Padahal selama ini, tidak peduli sudah berapa kali Putra menawari Bara untuk membeli mobil, pria itu selalu menolak.“Akhirnya,” desah Fadlan. Ia dan Edo sudah memiliki mobil yang mereka beli dari showroom Putra. Hanya Bara yang masih bertahan dengan motornya sejak mereka lulus kuliah, dengan alasan selama ini ia bisa menggunakan mobil inventaris kantor jika butuh.“Lo yakin Cindy nggak hamil?” bisik Edo kepada Fadlan.“Nggak! Gue udah tanya si Riri. Lagian gila aja kalo si Cindy hamil, bisa di D