Zahra menatap gambar bayi di ponselnya. Sudah dua jam ia duduk terdiam di dalam kereta yang membawanya pergi dari kota kelahirannya.“Jangan bilang siapa-siapa, La. Kalo Ibu dan Bapak tanya, bilang aja kamu enggak tahu,” ujar Zahra pada sahabatnya pagi tadi.“Kamu yakin akan pergi? Bagaimana dengan Mora nantinya?”“Ada ibu yang merawatnya. Aku sudah mencatat semua hal yang biasa aku lakukan saat mengasuh Mora. Aku juga udah ninggalin ATM yang biasa aku gunakan untuk menerima uang dari Mas David.”Semalaman berpikir, subuh tadi Zahra terpaksa pergi meninggalkan rumah. Pembicaraannya tempo hari membuatnya takut jika David akan memanipulasi hasil tes DNA miliknya juga Andin. Zahra yang tak mau menjadi orang ketiga di antara Andin dan David akhirnya mengambil jalan pintas untuk pergi diam-diam tanpa sepengetahuan siapa pun.Zahra menatap deretan bangku yang sebagian kosong. Hanya ada beberapa orang yang duduk terpisah yang semuanya sibuk dengan ponsel atau tidur berbaring karena banyak ku
Sudah hampir sebulan berlalu sejak Zahra pergi meninggalkan rumah. Selama itu ia berusaha mencari pekerjaan untuk menyambung hidupnya. Uang tabungan dan uang hasil menjual perhiasan yang ia bawa sudah mulai menipis dan mungkin hanya cukup untuk menutup biaya makan sekitar satu minggu ke depan. Selama bekerja memang gaji Zahra bisa dibilang utuh karena biaya hidupnya ditanggung oleh Andin. Tapi gadis itu juga tak bisa menabung banyak karena gajinya yang hanya setara UMR biasa ia gunakan untuk bensin, jajan, beli skincare, baju yang tak mungkin ia minta pada Andin. Setiap bulan ia juga selalu menyisihkan untuk dikirim pada kedua orang tuanya di kampung. Selama mengasuh Mora, mau tak mau tabungan itu mulai terpakai karena ia tak lagi bekerja. Alhasil, kini semuanya hampir habis tak bersisa. Untung saja mulai besok ia sudah bisa aktif bekerja di sebuah restoran yang menerimanya sebagai karyawan beberapa hari yang lalu.“Ada kabar apa?” tanya Zahra dari balik
“Ini nih biang keroknya, udah bawa pulang bayi, giliran mau dinikahin malah kabur! Mau kamu sebenarnya, hah?”Baru saja tiba di rumah sakit, Zahra langsung dicecar oleh Pak Sarip. Untung Mora dirawat di ruang VIP jadi tak ada pasien lain di sana.“Lihat! Kalo bukan gara-gara kamu, ibumu tak perlu kerepotan kayak gini! Puas kamu bikin orang tua capek? Anak dibesarin bukannya ngringanin benan malah nambah beban!”“Diam, Pak! Ini rumah sakit. Kalo mau marah-marah mending bapak pulang!” sahut Bu Sumi.“Aku lagi bilangin Zahra, Bu.”Zahra memilih tak menanggapi perdebatan kedua orang tuanya, ia langsung melangkah menuju ranjang tempat Mora tertidur.Baru sebulan tak bertemu, Zahra sudah merasa ada yang berbeda dengan Mora. Tak seperti saat terakhir kali ia lihat, tubuh bayi itu terlihat lebih kecil dan sayu.“Terima kasih sudah mau pulang, Nak. Ibu enggak tahu harus bagaimana kalo kamu enggak pulang. Lihat Mora nangis sampai
“Kamu bohong, kan Mas? Itu semua enggak benar, kan?” tanya Zahra dengan suara bergetar.David menggeleng.“Mbak Andin enggak mungkin kayak gitu!”“Aku bertemu dengan Andin di sebuah club malam.”“Pasti kamu yang goda dia, bukan Mbak Andin yang goda kamu!” Tangan Zahra menunjuk wajah David.“Terserah kamu mau percaya atau tidak, yang jelas selama kami menjalin hubungan aku yang memintanya berhenti bekerja di sana. Aku cukupi semua kebutuhannya termasuk uang yang selalu ia kirimkan pada kalian.”Zahra bergeming, ia memang sudah curiga sejak lama pada pekerjaan Andin, mana mungkin seseorang yang hanya bekerja di toko roti bisa mendapatkan uang begitu banyak setiap bulannya. Belum lagi dengan gaya hidupnya yang serba wah, tentu membutuhkan biaya yang tak sedikit. “Jangan selalu merasa tak enak, dia saja tak pernah memikirkan perasaanmu. Wanita seperti Andin itu hanya butuh uang dalam hidu
Zahra mematung saat melihat rumah yang berdiri megah di hadapannya. Rumah dua lantai bercat putih dengan dua pilar besar di depannya terlihat begitu besar dan mewah persis dengan rumah yang sering ia lihat di televisi.“Ayo masuk!” David menarik tangan Zahra.“Ini rumah kamu?” “Bukan, ini rumah kita.”“Ki-kita?” Zahra menunjuk dirinya.“Iya, kita. Rumahku juga rumahmu.”Zahra masih bergeming, ia sedang menerka-nerka berapa banyak kekayaan David saat ini. “Wah, yang ditunggu sudah datang!”Baru saja berjalan beberapa langkah, Zahra dikejutkan oleh kemunculan wanita yang ia taksir berusia empat puluhan. Wanita berkulit sawo matang dengan rambut yang diikat tinggi itu tersenyum ramah lalu mengambil alih koper dan tas yang dibawa David.“Wah, ini anak Mas bos? Wah, cantiknya! Persis Mas Bos,” ujar wanita itu menoel pipi gembul Mora.“Namanya Amora
David melepas pegangan tangganya dan berjalan mendekati tumpukan tiga kardus besar di sudut ruangan. Lelaki itu memindahkan satu per satu kardus tersebut dan membuka kardus paling besar yang paling bawah. Dari sana, lelaki itu mengeluarkan benda berbentuk kayu berlapis kaca dengan berbagai ukuran.Zahra yang mulai penasaran akhirnya berjalan mendekat. Ia meraih satu foto berukuran 10R dan memperhatikan gambar di dalamnya. Belum puas, Zahra berjongkok dan menjajar sekitar lima bingkai foto dengan gambar sama namun berbeda gaya.“Ini mantan istrimu?” tanya Zahra.“Ya, ini foto pernikahan kami sekaligus foto yang kami punya selama delapan tahun pernikahan kami.”Zahra terdiam, ia masih fokus memperhatikan wajah wanita cantik berkulit putih dan bermata sipit serta lelaki berambut cepak yang ia yakini sebagai David. “Kenapa wajah kalian terlihat murung? Senyumnya juga terkesan memaksa?” Zahra menunjuk lekuk bibir di g
“Sialan kau, Zahra! Aku yang bertahun-tahun berusaha untuk mendapatkan David, eh malah kamu yang dapat.”Dalam keadaan setengah sadar Andin terus meracau, memaki dan meneriaki Zahra. Di depannya satu botol minuman beralkohol sudah habis ditenggaknya sendiri.“Dasar adik tak tahu di untung! Udah disayang-sayang malah menusuk dari belakang! Enak kamu sekarang jadi istri orang kaya, ya?”“Lagian istri si David kenapa mat1nya telat, kenapa enggak dari dulu aja?”Selalu seperti itu saat Andin mengingat kegagalannya mendapatkan David. Ia merasa jika Zahra dan mendiang istri David sebagai penghalang hubungannya dengan David.“Andin! Kamu g1L4, ya? Kamu bisa m4t1 kalo minum terus!” Seorang lelaki yang baru saja datang langsung merebut botol minuman di tangan Andin dan melemparkan kasar.“Kamu ngapain datang, hah? Suka-suka aku mau ngapain, itu bukan urusan kamu!” maki Andin sembari melayangkan pukulan bertubi-tub
“Mbak bos, dipanggil Mas bos buat makan malam,” ucap Wati yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar milik Mora.“Mas David belum makan?”“Belumlah, dari tadi nungguin Mbak bos.”Zahra mengucek matanya, lima belas menit yang lalu ia berpamitan ingin menidurkan Mora berharap David makan terlebih dahulu tapi ternyata lelaki itu malah menunggunya. Semenjak percakapan mereka tempo hari, Zahra menjadi sangat canggung jika harus berhadapan dengan David secara langsung. Ia tahu jika lelaki itu berharap jika dirinya mau menjalani perannya sebagai istri pada umumnya dan itu tak mudah bagi Zahra.Tak ingin membuat Wati curiga, Zahra memutuskan untuk bangun, membenahi rambutnya sebentar lalu melangkah keluar. Ia menapaki satu per satu tangga dengan pelan berharap David sudah tak berada di meja makan. Tapi ternyata itu hanya sekedar harapan karena lelaki itu masih duduk santai dengan posisi yang sama seperti saat Zahra lihat tadi. Hanya beda