Share

TEMAN LAMA

“Gimana rasanya punya anak tapi enggak punya suami? Enak?” sindir Andin saat Zahra tengah menyiapkan susu di dapur.

“Bukan urusan kamu, Mbak!” jawab Zahra sembari berlalu.

“Mending kamu bawa lagi bayi itu ke kota, di sana ada orang yang menawarnya mahal, dua ratus juta, lumayan, kan? Kita bisa kasih Ibu dan Bapak seratus buat beli sawah, yang seratus kita bagi dua.”

“Dasar str-ess!”

“Kamu yang bikin aku str-es!”

Zahra tak memedulikan omongan kakaknya. Wanita itu bisa berkata demikian karena saat ini kedua orang sedang berada di sawah. Nanti saat mereka pulang, pasti Andin akan bersandiwara jika ia bukanlah Ibu kandung Amora."

“Minum su-su dulu ya, Sayang.” Zahra menyodorkan dot berisi seratus mililiter susu yang baru saja di buatnya pada Amora.

Bayi yang kini sudah bisa tengkurap namun belum bisa kembali terlentang itu langsung meraih botolnya seolah ia bisa memegangnya sendiri.

Hampir lima bulan menjadi Ibu asuh bagi keponakannya membuat Zahra sudah terbiasa dengan tingkah lucu Amora. Bayi yang kini sudah pintar tersenyum dan mengoceh itu cukup membuat dirinya bangga karena bisa bertahan hingga saat ini.

Biasanya seorang bayi akan bisa membedakan antara sentuhan orang lain dan Ibu kandungnya. Tapi mungkin hal itu tidak berlaku bagi Amora. Bayi itu tetap saja tenang meskipun yang merawatnya tak ada hubungan darah dengannya. Malah bayi itu akan langsung menangis jika Andin tiba-tiba menyentuh atau menggendongnya. Mungkin saja bayi itu tahu jika sejak awal Ibunya tak pernah menginginkannya. Bahkan Zahra juga mendengar dari David jika Andin sudah berulang kali meminum obat pil peluruh kandungan, tapi bayinya tetap bertahan.

Suntuk terus berada di rumah, Zahra memutuskan untuk jalan-jalan. Ia yakin jika Mora pun ingin berganti suasana karena sejak kepulangan Andin, Zahra hampir tak mengeluarkannya dari dalam kamar, bahkan ia selalu mengunci kamarnya untuk berjaga.

“Nah, gitu, anaknya di ajak jalan-jalan, jangan di rumah terus,” sapa Bu Eni—tetangga selisih dua rumah sekaligus pemilik toko jajanan.

“Beli biskuit, Bude.” Zahra memilih beberapa biskuit coklat dan makanan ringan.

“Orang menyu-sui emang bawaannya laper ya, Ra. Untung saja ada Andin yang selalu kirim uang, jadi enggak sampe kelaparan,” sindir Bu Seli.

Zahra memutar bola matanya malas. Entah mengapa sang biang gosip itu ada di semua tempat yang Zahra kunjungi. Dan tentunya wanita itu juga pasti sudah mendengar cerita kepahlawanan Andin yang mengaku telah membantu Zahra dan anaknya.

“Aku enggak menyusui, Bu. Takut kendor!” jawab Zahra ketus.

“Emangnya kamu kuat beli susunya?”

“Dikuat-kuatin, Bu.” Zahra mengeloyor pergi setelah membayar belanjaannya.

“Ditanyain baik-baik malah nyolot! Pantesan aja dihamilin terus ditinggal pergi.”

Zahra mengulum senyum, terkadang kita perlu julid untuk menghadapi emak-emak rempong macam Bu Seli.

Zahra berjalan sembari memayungi Mora. Bayi itu kini lebih suka di gendong dalam posisi duduk dan melihat pemandangan di sekitarnya.

Kampung yang Zahra tempati tepat berada di bawah area perbukitan. Kampung yang sebagian besar wilayahnya di dominasi dengan area persawahan dan kebun terasa ramai saat mulai musim tanam seperti sekarang ini. Banyak orang berada di sawah untuk mempersiapkan lahan, mentraktor bahkan sudah ada yang mulai menanam.

Selain mengandalkan sektor pertanian, penduduk kampung rata-rata beternak sapi. Hampir setiap rumah memiliki sapi entah itu milik pribadi atau hanya merawatnya dengan sistem bagi hasil. Seperti Pak Sarip yang saat ini mempunyai empat ekor sapi yang semuanya dibelikan oleh Andin. Itulah mengapa lelaki berumur lebih dari setengah abad itu sangat tak terima saat anak sulungnya di tuduh sebagai Ibu yang melahirkan Mora.

“Zahra, tunggu!”

Zahra yang sedang berjalan santai seketika menoleh saat mendengar ada seseorang memanggilnya.

“Dila? Hai apa kabar?”

“Baik, Ra.”

Zahra menyalami lalu memeluk Dila—sahabat karibnya.

“Habis belanja, ya?” Dila melirik pada kantong plastik hitam yang ditenteng Zahra.

“Beli jajan.”

“Hai, anak manis.” Dila menoel pipi Mora gemas.

“Kamu enggak ikut hujat aku, La?”

“Kamu apaan, sih!” Dila menoyor kepala Zahra.

Zahra tahu jika Dila bukan tipe cewek bermulut lemas yang suka menghakimi nasib seseorang. Meski ia tahu sahabatnya itu kecewa karena terkesan tak bisa menjaga diri hingga hamil di luar nikah, tapi Dila pasti mencoba bersikap biasa dihadapannya.

“Aku punya anak tapi belum nikah.” Zahra mencoba memancing sikap Dila.

“Mungkin ini takdir yang harus kamu jalani, Ra. Yang sabar, ya.”

Zahra mengangguk saja. Ia tahu jika Dila masih menganggapnya sebagai sahabat seperti sebelumnya.

Dila adalah teman masa kecil serta teman sebangku Zahra semenjak SD hingga SMA. Namun berbeda dengan nasib Zahra yang harus langsung bekerja selepas lulus, gadis berkacamata dan berkerudung lebar itu kini tengah mengenyam pendidikan guru di kota sebelah. Dila bisa dengan mudah kuliah karena Ibunya kini tengah bekerja di luar negeri dan tentu saja bisa membiayai pendidikan anaknya.

“Kamu enggak pengen cerita sama aku, Ra?” tanya Dila sembari menyejajarkan langkah Zahra.

“Cerita apa?”

“Cerita apa aja. Mampir ke rumahku, yuk!” ajak Dila.

“Apa enggak apa-apa? Kamu enggak malu?” tanya Zahra ragu.

“Ya ampun, Ra, kenapa malu? Asal kamu tahu, ya, di kampung kita, cewek yang hamil diluar nikah itu enggak Cuma kamu. Dari zaman dulu sampai sekarang selalu ada kasus seperti itu. Kamu ingat anak Pak Tikno, dia hamil pas kelas dua SMA. Terus si Sasti, dia melahirkan tiga bulan setelah akad nikah, apa namanya kalo bukan tek dung duluan. Mereka sekarang fine-fine aja. Yang terbaru malah ada anak Pak Darto yang dinikahkan sehari setelah melahirkan. Itu semua kasus lama di kampung kita, Cuma kasus kamu agak beda, kamu pulang dari kota bawa bayi segede ini, aku enggak bisa bayangin gimana kamu ngurusnya di sana.”

Zahra membenarkan omongan Dila, memang saat ini hamil di luar nikah sudah menjadi kasus yang biasa terjadi di masyarakat dan nahasnya hal itu tak lagi menjadi hal yang memalukan. Meski tetap banyak yang mencibir namun masalah itu akan hilang sendiri seiring berjalannya waktu.

“Masuk, Ra!”

Zahra mengamati rumah yang dulu sering ia kunjungi saat masih sekolah. Rumah minimalis itu berada di ujung gang dengan pemandangan sawah di samping dan belakang rumah. Di halaman rumah, pohon mangga dan jambu tempat bermainnya dulu masih berdiri kokoh.

Sejak kecil, Dila hanya tinggal dengan kakak perempuannya yang kini sedang bekerja sebagai perawat di rumah sakit daerah. Sejak Dila kecil, Ibunya bekerja sebagai TKW dan akan pulang setiap dua atau empat tahun sekali. Hal itu terpaksa dilakukan semenjak sang Ayah berpulang saat Dila masih duduk di bangku TK.

“Rumahmu sekarang bagus, La.” Zahra melangkah masuk ke dalam rumah.

“Alhamdulillah, Ra. Mbak Sari sudah bekerja, jadi bisa sedikit-sedikit merenovasi rumah.”

Dila mengambil alih bayi dalam gendongan Zahra lalu meletakkannya di sofa.

“Gimana kuliah kamu? Lancar, kan?”

“Sejauh ini masih terkendali.” Zahra menautkan ibu jari dan tulunjuknya membentuk huruf O.

“Sukses buat kamu ya, La.”

Jujur saja, Zahra merasa iri dengan nasib Dila yang bisa kuliah. Hal itu tak lepas dari peran sang Ibu yang menomorsatukan pendidikan anak-anaknya.

Berbeda dengan orang tua Dila, Pak Sarip yang tadinya hidup serba kekurangan memang tak terlalu mementingkan pendidikan. Baginya bisa makan saja sudah sangat bersyukur.

“Coba cerita tentang bayi ini, aku penasaran banget sebenernya tapi aku takut mau ke rumah kamu. Katanya Bapakmu marah-marah terus.”

Zahra terkekeh.

“Aku akan cerita, kamu mau percaya atau tidak dengan ceritaku itu terserah kamu yang jelas aku akan mengatakan yang sebenarnya.”

Dila mengangguk, sebagai seorang sahabat, ia yakin jika apa yang nanti keluar dari mulut Zahra adalah hal yang sebenarnya terjadi.

Zahra menceritakan secara runtut kejadian yang dialaminya di kota. Mulai dari awal ia menemukan kakaknya melahirkan hingga sikap Andin setelah anak lahir. Tak lupa ia juga menceritakan sosok David yang ia tunggu kedatangannya.

“Astaga! Aku enggak nyangka Mbak Andin setega itu,” ucap Dila setengah tak percaya setelah Zahra menyelesaikan ceritanya.

“Aku juga enggak tahu kenapa Mbak Andin bisa berubah seperti itu. Tapi aku berani bersumpah kalo aku bukan Ibu yang melahirkan Mora. Aku berani cek dokter untuk menunjukkan kalo aku belum pernah hamil dan melahirkan, aku bahkan sama sekali belum pernah berhubungan dengan lelaki,” ungkap Zahra.

“Aku percaya, Ra. Kamu kuat banget, kamu hebat karena mau menanggung semua ini.” Dila berusaha menguatkan.

“Tapi, Bapak sama Ibu enggak ada yang percaya, La. Mereka tetap nyalahin aku.”

“Sabar ya, Ra. Tapi emang bentuk tubuh Mbak Andin enggak kelihatan kayak habis melahirkan, dia tetap langsing dan cantik. Mungkin itu yang bikin Ibu enggak percaya.”

“Gimana mau kelihatan, pas hamil aja aku enggak tahu. Setelah melahirkan dia enggak pernah pegang bayinya. Dia juga perawatan rutin, makanya tubuhnya cepat pulih. Lagian sekarang sudah lima bulan berlalu.”

Dila mengangguk, banyak kasus gadis yang hamil di luar nikah memang tak terlihat perubahan bentuk tubuhnya hingga melahirkan. Lagian banyak perawatan di zaman sekarang yang bisa dengan cepat mengembalikan bentuk tubuh pasca melahirkan.

“Semoga masalah ini cepat selesai ya, Ra. Kalo ada apa-apa kamu bisa cari aku.”

“Makasih ya, La. Aku Cuma pengen Mbak Andin sadar dan enggak nyesel di kemudian hari. Lagi pula aku enggak tega kalo Mora jadi milik orang lain. Aku ingat betul gimana lemahnya dia saat pertama kali aku temukan. Kulit basahnya masih terasa di tanganku, La.” Zahra mengusap sudut matanya. Berbulan-bulan merawat, rasanya ia telah memiliki ikatan batin dengan keponakannya.

“Semua masalah pasti ada jalan keluarnya, Ra. Berdoa saja, nanti Tuhan akan memudahkan semuanya.”

Zahra mengangguk, ia sangat bersyukur dipertemukan dengan Dila sebagai tempat curahan hatinya.

“Ra, sebenarnya ada hal yang mau aku sampaikan,” kata Dila sedikit ragu.

“Apa?” Zahra yang penasaran langsung memandang wajah Dila.

“Kamu ingat Johan?”

“Johan?”

Zahra mengingat-ingat nama lelaki yang terdengar tak asing baginya.

“Itu yang dulu sering buntutin kita pas berangkat dan pulang sekolah.”

“Oh ...” Zahra membulatkan bibirnya. Ia ingat betul pada lelaki yang sering menaiki motor dengan knalpot berisik yang sering mencegatnya di perempatan dekat jalan raya.

“Yang tinggal di kampung sebelah,” jelas Dila.

“Iya, Aku ingat, memangnya dia kenapa?”

“Dia itu dari dulu suka sama kamu.”

“Masa, sih? Dia enggak pernah bilang apa-apa. Dulu dia juga pernah DM aku di I* tapi enggak bilang apa-apa.”

“Dia emang pengecut, katanya mau cari duit dulu biar bisa langsung lamar kamu.”

Zahra terkekeh, meski ia sendiri mempunyai sedikit rasa yang berbeda saat bertemu dengan lelaki itu dulu, tapi ia tak pernah menganggap rasa itu sebagai cinta.

“Terus apa hubungannya dengan aku sekarang?”

“Dia syok waktu denger kamu pulang bawa bayi.”

Zahra mengembuskan nafas kasar. Ia tahu jika ke depannya kisah percintaannya pasti tak akan mulus karena orang-orang mengira ia adalah bekas orang lain.

“Beberapa kali dia hubungin aku tapi aku enggak bisa menjelaskan apa-apa, soalnya aku belum ketemu kamu secara langsung,” imbuh Dila.

“Tak apa, kamu enggak perlu jelasin apa-apa. Lagian kita belum berhubungan, jadi tak ada yang tersakiti dalam hal ini,” jawab Zahra santai.

“Tapi dia menitipkan pesan yang harus aku sampaikan sama kamu.”

“Pesan apa?”

“Katanya, kalo Ayah bayi itu enggak mau tanggung jawab, dia mau nikahin kamu dan mau jadi Ayah pengganti buat bayi kamu.”

“Apa?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status