“Menjadi wanitanya? Apa itu artinya aku harus jadi bagian hidup Kak Alvaro? Aku harus berselingkuh dengan Kakak iparku sendiri?” gumam wanita itu dalam hati.
Nayla dapat melihat sorot mata serius dari sang Kakak ipar. Pria itu seolah meyakinkan Nayla, jika Alvaro mengetahui di mana keberadaan Alvin.
Penawaran dari Alvaro seolah memanfaatkan kondisinya saat ini. Entah rencana licik apa yang ada dalam benak pria itu.
“Saya menerima tawaran yang Kakak ucapkan beberapa hari lalu,” cetus Nayla saat sarapan bersama Alvaro.
Tangan pria itu dengan cepat menghentikan kegiatannya. Ekor matanya melirik sekilas ke arah Nayla tanpa wanita itu sadari. Bibirnya perlahan tersenyum sinis.
“Kau sudah memikirkannya? Apa kau tidak merasa menyesal nantinya?” balas pria itu tanpa menoleh ke arah Nayla. Tangannya dengan santai kembali memotong roti isi di depannya.
Nayla menggeleng singkat. “Jikalau tawaran itu sudah tidak ada, aku bisa mencari suamiku sendiri.”
Alvaro kembali terkekeh mendengar jawaban sinis dari raut wajah Nayla yang sudah cemberut. Pria itu merasa puas saat dirinya berhasil membuat sang adik merajuk karena ulahnya.
“Penawaran itu masih berlanjut sampai kau sendiri menyetujuinya. Jadi, sampai kapanpun kau tidak boleh menolak.” Pria itu berkata sembari berdiri dari duduknya. Dia hendak meninggalkan Nayla di meja makan. Wajah wanita itu masih seperti semula, cemberut sekaligus sedikit menunduk.
Namun, sebelum dia melangkah pergi, Alvaro berkata, “Apa kau sudah meminum vitamin kandungan?” tanya Alvaro memastikan.
Wanita itu tak menjawab, dia lantas melanjutkan sarapannya yang hanya tinggal beberapa suap. Nayla kembali heran dengan sikap pria di depannya yang seolah berubah-ubah itu. Terkadang dia peduli. Kerap kali merasa acuh.
“Untuk apa dia mengetahui keadaan anak dalam kandunganku? Sedangkan dia tahu di mana keberadaan seseorang yang jauh lebih berhak pada calon anak ini?” gumam Nayla.
“Aku hanya tidak ingin terjadi apa-apa pada calon anakku?”
Mendengar itu, Nayla kembali tertegun. Wanita itu menghentikan tangan dengan suapan terakhirnya di udara.
Bisa-bisanya dia berpikir bahwa anak yang ada dalam kandungannya adalah anak pria itu. Sedikitpun, pria itu tidak pantas mengatakan hal seperti itu. Kini mata Nayla menatap tajam kepada sang Kakak ipar.
“Kenapa Kakak bicara seperti itu? Saya wanita bersuami, Kak. Sudah pasti ini anak suami saya!” berang Nayla. Wanita itu sungguh tidak terima jika Alvaro mengaku jika anak dalam perutnya adalah anak dia.
Alvaro kembali duduk di kursinya semula. Wajahnya terlihat santai saat menatap Nayla.
“Hatiku mengatakan seperti itu. Selama ini aku selalu percaya sebab apa yang hati kecilku katakan, itu adalah sebuah kebenaran,” jawab pria itu tanpa adanya rasa malu sedikitpun.
Nayla tersenyum mengejek. Ingin rasanya dia memuntahkan semua isi dalam perutnya. Bukan karena dia merasa mual, tetapi karena Nayla merasa mual mendengar perkataan Alvaro yang katanya memiliki hati.
“Kakak memiliki hati? Bolehlah aku tertawa keras sekarang?” ejek wanita itu. “Aku bahkan hanya menemukan sikap dingin serta hati yang keras pada diri Kakak,” lanjutnya mencibir.
Memang benar apa yang dikatakan adik iparnya. Jangankan rasa peduli, memiliki rasa iba atau belas kasih pun, pria itu seolah tak memiliki. Namun, berbeda saat bersama Nayla. Nalurinya ingin sekali menjaga wanita dua puluh tujuh tahun itu agar selalu merasa aman.
Alvaro sendiri kerap merasa bingung. Perasaan macam apa yang dia berikan pada Nayla, untuk bisa melindungi, bukankah dia sudah memiliki Alvin yang jauh lebih berhak?
“Baiklah jika kamu tidak mau mengakui rasa peduliku. Tapi, apa kamu ingat kapan Alvin terakhir pulang?”
Pertanyaan Alvaro seperti jebakan untuk Nayla, sehingga membuat wanita itu terdiam dengan cepat.
Senyum mengejek yang sedari tadi mengembang, kini perlahan sirna setelah mendengar pertanyaan dari pria itu. Memori Nayla berputar pada beberapa saat lalu. Memang, akhir-akhir ini, sudah hampir satu bulan dirinya tidak bertemu sang suami.
Satu-satunya kabar yang dia terima adalah dua minggu yang lalu. Alvin tiba-tiba mengirimkan pesan jika dirinya berada di sebuah kota yang berada di pulau seberang.
“Selamat sore, Sayang. Maafin Mas tidak ada kabar untuk beberapa hari ini. Setalah selesai rapat di Puncak. Mas mendapat kabar buruk dari proyek yang ada di Sulawesi. Karena saat itu Mas buru-buru, jadi Mas tidak sempat mengabari kamu. Oh iya, mungkin satu bulan ini Mas tidak bisa hubungi kamu karena kendala sinyal di sini. Sudah dulu Nayla, istriku sayang. Love you.”
Hati Nayla yang sempat berbunga karena mendapat pesan dari Alvin, dengan cepat berubah menjadi perasaan yang sangat sedih. Wanita itu harus menerima kenyataan jika sang suami seolah mengesampingkan dirinya.
Benar saja beberapa saat kemudian ponsel Alvin tidak dapat dihubungi. Padahal dirinya ingin sekali mengabari Alvin perihal kehamilannya. Nayla hanya dapat membayangkan bagaimana raut wajah senang Alvin saat mendengar kabar itu. Dalam rahim Nayla kini telah tumbuh seorang janin yang mereka impikan.
Nayla hanya tersenyum miris, sembari mengusap perutnya yang masih rata.
“Dengan sibuknya Alvin. Dia jarang sekali pulang, bukan? Apa kau tetap yakin jika janin yang ada dalam kandunganmu adalah anaknya?”
Kembali pertanyaan Alvaro seolah memojokkan Nayla. Wanita itu teringat akan kejadian malam itu bersama Alvaro. Saat itu, Nayla ingat ketika Alvin meninggalkan dirinya untuk sebuah urusa pekerjaan, padahal Nayla sudah memohon agar pria itu tidak pergi sebab malam itu menurut dokter kandungan, adalah hari masa subur Nayla.
Namun, Alvin tetap keukeuh dengan keputusannya. Tanpa wanita itu sadari, Alvaro lah yang telah menjalankan tugas Alvin kepadanya. Pria itu tanpa sadar telah memberikan nafkah batin kepada Nayla.
Nayla berusaha menepis semuanya. Bayangan bagaimana dia sangat menikmati setiap sentuhan dari Alvaro malam itu.
“Tidak! Kak Alvaro tidak ada hak mengakui anakku sebagai anak Kakak. Kejadian itu sudah sangat lama, dari kejadian yang sangat menjijikkan itu, saya yakin tidak berefek apapun,” tegas Nayla semakin geram.
“Cih, menjijikkan tapi kau terlihat sangat menikmatinya. Bahkan, pada beberapa sentuhan lainnya,” cibir alvaro. Bibirnya tersenyum mengejek ke arah Nayla.
“Wanita itu kenapa terus saja naif? Dalam hatinya terus saja mengagungkan Alvin yang sudah jelas-jelas sangat berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada,” batin Alvaro. Tatapannya terlihat teduh kala memperhatikan Nayla.
Senyumnya sedikit tersungging ketika wanita itu terlihat sangat rakus saat meminum susu hamilnya sampai tandas.
“Wanita sebaik dia, tidak pantas mendapatkan Alvin!” keukeuh Alvaro dalam hati. Tangannya meremas kuat tisu dalam genggamannya.
Lamunan Alvaro tersadar saat tiba-tiba ponsel pria itu berdering. Terpampang nama Ronal di sana. Dia adalah asisten kepercayaan Alvaro. Alvaro segera mengangkat telpon dari pria itu.
“Tuan, saya telah menemukan mereka di salah satu apartemen elit di jakarta.” Ucapan dari Ronal di seberang sana berhasil membuat salah satu ujung bibir Alvaro terangkat.
“Bagus. Selidiki mereka terus!” Panggilan diputuskan secara sepihak oleh Alvaro.
Meski sangat lirih. Namun, Nayla dapat sedikit mendengar pesan dari si penelpon tadi, sehingga membuat wanita itu menjadi bertanya karena penasaran.
“Apartemen siapa yang Kakak maksud?”
Sementara itu, di sebuah apartemen elit. Sebuah ruangan di gedung itu dengan fasilitas presiden tampak seperti kapal pecah. Barang-barang berceceran hampir memenuhi seluruh ruangan dengan pencahayaan temaram itu.Salah satu kamar dengan dominan berwarna coklat. Di atas sebuah kasur berukuran besar, tampak dua orang manusia tengah terlelap di bawah gulungan selimut tebal.Seorang wanita dengan paras cantik perlahan membuka mata. Dilihatnya rupa seorang pria yang masih terlelap di sampingnya.Wanita itu adalah Viona. Wanita muda itu merapatkan tubuhnya pada tubuh sang pria. Bibirnya menampilkan senyum puas ketika mengingat kejadian beberapa saat lalu.Sang pria yang tidak lain adalah Alvin sudah memberikan sesuatu yang sangat berharga kepadanya. Meski bukanlah yang pertama. Namun, Viona selalu merasa puas dengan apa yang diberikan pria itu.Tubuh Alvin sedikit menggeliat. Dia merasakan sebelah tangannya seperti sedang menampung beban. Sorot mata yang belum sepenuhnya terbuka, dia dapat
Nayla terus merasa kewalahan menuruti keinginan Alvaro untuk ikut bersama dirinya. Seharusnya sore tadi setelah jam pulang kantor wanita itu sudah berada di dalam rumahnya.Entah karena hormon wanita atau sesuatu hal yang lain. Tubuhnya merasakan sangat lelah, meskipun pekerjaan yang diberikan Alvaro selaku atasan tidaklah sebanyak dulu.Kepalanya kerap kali merasa pusing, bahkan teka teki keberadaan Alvin, sang suami belum dia ketahui. Nayla juga merasa telah tertipu oleh Alvaro. Pria itu telah berjanji akan memberitahu di mana keberadaan Alvin. Namun, sampai detik ini Nayla tak mendapatkan kabar baik dari pencarian Alvaro.“Sudah, Kak. Aku capek. Kakak enak tidak hamil! Aku yang sampai engap begini!” Nayla menyentak tangan Alvaro yang sedari mengandengnya. Nada bicara wanita itu terdengar ketus dengan nafas yang terengeh.Di sinilah mereka. Di sebuah taman yang berada di tengah kota. Karena hari sudah memasuki akhir pekan, mengakibatkan tempat itu sedikit ramai.Alvaro membiarkan Na
Nayla kembali berdecak saat Alvaro hanya diam tanpa ingin menjawab pertanyaannya.Dalam pikiran wanita itu, pria di depannya seperti bunglon. Dia dapat berubah sewaktu-waktu. Kadang baik, tapi cerewet. Terkadang tegas dan ngeselin, lalu sekarang menjadi pendiam seolah banyak beban dalam pikirannya.“Kak!”“Auw!” Seketika pria tampan itu menjerit saat ujung hells yang dikenakan Nayla menginjak sepatu mahalnya.Nayla tertawa, baru pertama kali ini dia melihat wajah Alvaro yang menurut orang lain kasihan.Tanpa ingin melepas rengkuhan pada pinggang wanita itu, Alvaro mengusap bagian yang sakit di kakinya.“Kamu itu calon ibu dari anakku yang durhaka.” Alvaro menunduk lalu mengusap perut Nayla. “Kamu lihat, Nak. Mommy begitu jahat sama Daddy. Kamu janji, ya, akan menyayangi Daddy. Tidak seperti Mommy.” Alvaro mendongak. Dia dapat melihat raut wajah terkejut Nayla, alis wanita itu hampir menyatu.“Kakak kenapa lakuin hal itu?” ucapnya keberatan. Hatinya sedikit sesak, seharusnya yang melak
Nayla tidak menyadari jika Alvaro telah membukakan pintu untuknya. Tatapan wanita cantik dengan memakai jas Alvaro itu masih bergeming di tempatnya dengan tatapan mata yang entah.“Ayo, turun! Udah mulai hujan, nih!” sentak Alvaro membuyarkan lamunan Nayla.Sungguh Nayla tidak nyaman dengan nada bicara Alvaro. Benar saja hari mulai hujan. Hembusan angin dingin mulai menerpa kulit Nayla meski telah tertutup jas tebal Alvaro.Namun, itu semua tidak berpengaruh apa-apa. Justru ucapan Alvaro lah yang menjadi hawa dingin untuk wanita itu. Nayla terus saja mengumpat kenapa pria itu berubah sedingin itu.Nayla turun dengan Alvaro memayungi kepalanya menggunakan telapak tangan kekarnya. Keduanya berlari pelan menuju teras rumah.“Mas, kamu sudah pulang?” tanya Nayla kepada pria yang tidak lain adalah Alvin, suaminya.Pria itu telah pulang beberapa waktu lalu tanpa memberitahu Nayla. Apalagi? Tujuannya adalah ingin memberi kejutan kepada sang istri.Namun, entah kenapa kepulangan Alvin yang te
Nayla kini menjadi salah tingkah. Dia sesalkan keinginan yang terlontar begitu saja kepada Alvin. Sungguh jika diberi cermin, sudah pastilah akan memerah kedua pipi wanita itu.Alvin terkekeh mendapati sikap manja yang ditunjukkan sang istri. Permintaan itu justru membuatnya semakin senang.“Permintaanmu sungguh sangat lucu, Sayang. Tapi tidak apa, mungkin ini permintaan dari calon anak kita yang ingin lebih dekat dengan uncle-nya.” Pria yang tak lama lagi akan bergelar ayah itu mengusap perut Nayla pelan. “Tapi aku justru senang mendengar permintaan itu. Tidak apa …, tidak masalah jika kau ingin duduk di sampingnya.” Dengan penuh hati-hati tangan kekarnya menuntun sang istri untuk menempati kursi kosong di samping Alvaro “Kak, jaga anakku. Dia ingin lebih dekat denganmu sebagai uncle-nya. Tapi, jangan ajarkan dia memiliki sikap dingin dan tidak berperikemanusiaan!” canda Alvin setelah Nayla berhasil duduk di samping pria itu.Alvaro tersenyum miring. “Tenang aja, Vin. Anak itu pinta
Hari berlalu. Seperti biasa Nayla bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Blazer berwarna abu tua serta celana dengan warna senada dia pilih sebagai busana kerja kali ini.Wanita yang memang telah memiliki kecantikan alami mematut diri di depan cermin hanya untuk membubuhkan riasan tipis yang tidak terlalu mencolok. Hal itu hanya untuk wajahnya agar terlihat semakin segar.Nayla terlonjak ketika sebuah tangan kekar melingkar di perutnya. Wajahnya refleks tersenyum, dia mengingat malam itu saat bersama Alvaro.“Selamat pagi cantikku, Sayang.” Ucapan Alvin membuyarkan lamunan Nayla. Perlahan senyum wanita itu sedikit memudar.“Mas, kamu sudah bangun?” tanya Nayla menutupi kecanggungan. Entah apa yang wanita itu pikirkan. Kenapa dia justru mengharapakan jika Alvaro yang akan melakukan hal manis pagi ini?“Sudah, dong, Sayang. Malahan Mas tidak kalah wanginya dengan tubuh candumu ini.” Alvin memuji sembari mencium puncak kepala sang istri. Dagunya masih setia bersandar di pundak Nayla.Menden
Nayla membeliak. Raut wajahnya berubah sangat terkejut. Alvaro cuti? Kenapa tiba-tiba seperti ini? Nayla bergeming sembari hatinya terus meracau tentang kepergian Alvaro.“Emm …, apa kamu tahu kenapa dia cuti, Ras?" tanya Nayla canggung.Wanita yang sedang sibuk memilah beberapa dokumen itu menghentikan pekerjaannya. Dia menoleh ke arah Nayla sekilas.“Apa Bu Nayla tidak diberitahu soal ini? Kita ‘kan sama-sama sekertarisnya, Bu.” Nada bertanya Laras terdengar sangat terkejut. Sorot matanya memicing menatap Nayla.Nayla yang sedang duduk di kursinya mengembuskan napas pelan. Dia dorong sedikit kursi kerjanya ke belakang untuk melonggarkan jarak dengan meja. Jujur saja bila terlalu lama duduk tegak dia akan merasakan sesak, terutama di bagian perutnya.“Maka dari itu. Aku tidak tau akan rencana cuti dia, sebab dia tak memberitahuku,” pungkas Nayla.Terlihat wanita dengan rambut sebahu itu kembali melanjutkan pekerjaannya. Mulutnya membulat sembari kepalanya yang mengangguk.“Menurut em
Nayla merebahkan diri di atas ranjang. Wajahnya dia tenggelamkan pada sebuah bantal di atas wajahnya.Wajahnya terlihat sangat lelah sekali meski seharian tak ada pekerjaan berarti baginya.Air matanya telah lolos membanjiri pipi tanpa diminta. Hatinya merasa sedikit lega setelah menyampaikan semua yang menjadi beban di dalam dada. Namun, tetap saja dia tak bisa menahan Alvin agar tetap bersamanya. Suaminya itu sungguh sangat egois, lalu untuk apa dia dulu melamar kemudian menikahinya jika Nayla hanya menjadi istri pajangan saja. Seorang istri yang hanya untuk melengkapi status Alvaro pada kartu identitasnya.Di saat kesedihan melanda seperti ini. Wanita cantik yang masih lengkap dengan pakaian kantor yang melekat pada tubuhnya itu biasanya akan melampiaskan kekesalannya kepada Alvaro. Entah dia akan memarahi tanpa sebab pria itu, ataupun hanya meminta dirinya untuk berkeliling kota sampai rasa kesal dalam hatinya sedikit mereda.Akan tetapi, kali ini sungguh sangat berbeda. Alvaro p