Ada rona penyesalan sekaligus kemarahan di wajah Ayah. Mungkin beliau menyesal pernah menjodohkanku dengan pria yang tidak mencintaiku. Tepatnya, belum mencintaiku.
Dulu ayah sangat yakin, cinta bukanlah modal utama dalam suatu pernikahan. Dan cinta akan tumbuh layaknya tanaman yang harus dipupuk dan disiram. Jika aku bisa selalu menghadirkan kenyamanan buat Mas Bayu, tentu saja, cinta Mas Bayu akan bersemi.
“Ira hanya mohon Ayah dan Ibu mau merestui rencana Ira,” ujarku. Kuberanikan diri menatap keduanya, bergantian.
Jika pun ayah dan ibu mau menuntut tanggung jawab orang tua Mas Bayu, tapi lalu apa? Apa aku akan bisa mendapatkan Mas Bayu seutuhnya?
Aku takut Mas Bayu hanya akan menerimaku sebagai wujud tanggung jawab saja, tapi cintanya bukan untukku.
Aku takut di belakangku Mas Bayu masih mencintai orang lain. Dan aku belum bisa menerima itu untuk saat ini.
“Fahira, kamu saat ini masih istri Bayu. Kamu harus mendapatkan restu dan ridho darinya kemanapun kamu pergi, agar hidupmu aman dan berkah.” Ibu memberikan nasehat.
Aku tahu, ibu adalah pribadi yang penurut. Ibu pula yang mengajariku untuk itu. Menurut kepada suami. Bahkan berusaha mencintainya sebelum dia mencintaiku. Aku harus mencintainya dengan tulus tanpa mengharapkan balasan.
Tetapi, mengingat itu, justru air mataku yang meleleh.
Apakah aku tidak tulus selama ini? Hingga aku merasa terluka ketika tahu Mas Bayu tidak membalas cintaku?
“Baik, Ayah, Ibu. Besok sebelum Ira berangkat, Ira akan mohon restu Mas Bayu. Tapi, Ira mohon Ayah dan Ibu mau merahasiakan. Tak perlu memberi tahu pada Mas Bayu kemana Ira pergi. Biar Ira yang akan memberitahukannya sendiri,” pintaku.
Aku mengatakan ini bukan tanpa alasan. Aku hanya ingin tahu seberapa cinta Mas Bayu terhadapku. Akankah informasi dari ayah dan ibu bahwa aku baik-baik saja sudah cukup. Atau, dia akan mencari informasi yang lain.
Tetapi, meski begitu aku tak mengharap lebih dari nya. Aku tahu, aku bukanlah prioritas baginya.
Buktinya? Dia tak mengatakan saja yang sebenarnya kepadaku. Termasuk fakta kalau menurut kalender kerjanya dia sebenarnya saat ini sedang cuti, bukan bekerja. Meskipun dia memang tidak bohong.
Ayah dan Ibu menyetujui permintaanku.
Dua hari di rumah ayah dan ibu. Keduanya memperlakukanku dengan baik. Aku bisa merasakan, ada keprihatinan di wajah mereka tiap kali melihatku. Tapi, aku meyakinkan keduanya kalau aku baik-baik saja. Aku kuat.
Aku melakukan semua ini --sejenak ingin pergi-- hanya karena aku perlu ketenangan untuk menerima takdirku.
Aku tak menolak takdir ini. Tapi, aku hanya butuh waktu.
Saat ini, aku tak tahu kemana aku harus sembunyi. Jika aku hanya ke rumah ayah dan ibu, tentu saja Mas Bayu akan mudah mencariku dan membujukku kembali. Dan itu bukan yang aku harapkan.
Aku hanya wanita yang lemah. Aku bukanlah orang yang pandai menuntut hak. Terlebih memang posisiku juga lemah. Aku bukan siapa-siapa yang punya jasa ke Mas Bayu. Tentu saja, dia akan sangat mudah melepaskanku. Dan aku belum siap untuk itu. Belum siap andaikata dia mengucapkan perpisahan itu. Aku butuh waktu. Aku butuh menyiapkan mentalku.
Hanya satu pilihanku. Pergi ke tempat lain yang tak mudah Mas Bayu menemukanku.
Tentu saja, sebenarnya dia bisa menemukanku. Apa sih yang tidak bisa saat ini. Tapi, saat ini yang terpenting, dia akan butuh waktu untuk dapat mencariku.
Biarlah saat dia menemukanku, mentalku sudah siap menerima segalanya.
***
Setelah memasukkan dua koper besar di counter check in, aku segera melangkah memasuki jalur imigrasi bandara.
Sebenarnya masih banyak waktu. Penerbanganku masih jam 10 malam. Tapi, aku memilih menunggu di dalam ruang tunggu bandara.
Tak ada sanak saudara atau teman yang mengantarkan kepergianku. Tapi memang inilah pilihanku. Aku memang tak mau meninggalkan jejak kepergianku.
Sesuai janjiku kepada ayah dan ibu, aku akan pamit pada Mas Bayu, untuk terakhir kalinya. Kutekan nomornya untuk melakukan panggilan video. Tapi tak diangkat. Mungkin sudah terlalu malam.
Jam di ruang tunggu bandara sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB.
Sambil menunggu panggilan diangkat, aku memilih membuka laptop. Tanpa aku sadar, aku masuk ke aplikasi biru milik Mas Bayu. Mungkin karena aku beberapa kali menggunakan email dan password-nya sehingga aku tak sadar melakukannya kembali.
Tiba-tiba tanpa sadar aku membuka story yang ada di aplikasi biru itu. Air mataku hampir luruh saat tak sengaja story milik Nabila terbuka.
“Saya terima nikah dan kawinnya Nabila Salsabila binti…..”
Ingin rasanya aku menangis mendengar suara Mas Bayu mengucapkan lafaz itu. Sungguh aku tak percaya telah mendengarnya.Ada penyesalan. Seandainya aku tidak melihatnya, bukannya aku tidak menjadi sesakit ini? Aku berjanji dalam hati, tak akan membuka aplikasi biru milik Mas Bayu lagi.Segera kututup aplikasi itu dan mematikan laptop. Sesak rasanya rongga dadaku. Aku memilih segera memasukkan laptop ke dalam tas. Hingga, tak sadar panggilan keberangkatan nomor penerbanganku sudah terdengar. Penumpang dengan pelayanan member eksekutif sudah bersiap.Masih ada beberapa menit untuk melakukan panggilan dengan Mas Bayu. Aku harus berhasil mendapatkan izinnya untuk pergi. Aku berdoa dalam hati agar panggilan ini segera diangkat.Namun, hasilnya nihil! Hingga akhirnya semua penumpang regular diminta berbaris.Aku memilih berbaris di belakang karena tanganku masih sibuk menekan panggilan ke nomor Mas Bayu. “Mas, aku pamit ya,” ujarku saat terdengar nada panggil yang entah keberapa telah terh
Aku pulang diantar oleh Mbak Nadine, sedangkan sepedaku masih ditinggal di warung makan. Mayang masih menemani di kamar meski aku sudah menyuruhnya pulang. “Kamu istirahat aja, Fa. Kata Mbak Nadine, besok kamu tidak usah kerja dulu,” ujar Mayang. Aku menatapnya lekat. Jangan-jangan gara-gara insiden ini, Mbak Nadine memecatku?Padahal, aku baru mulai bekerja di tempatnya. Dan aku suka kesibukan yang seperti itu. Membuat hariku berjalan lebih cepat. “Kalau kamu udah sehat betul, baru kasih tahu ke Mbak Nadine aja,” tambah Mayang seolah paham apa yang ada dalam pikiranku. “Tapi aku merasa sehat, May,” ujarku. Aku sejatinya takut kehilangan kesempatan bekerja di warung milik Mbak Nadine. Bagiku, ini adalah kesempatan berharga dapat pengalaman bekerja di sini. “Sudah, jangan dipaksa. Kalau kamu pingsan lagi, yang repot ngga hanya kamu. Tapi, Mbak Nadine juga bisa kena masalah, memperkerjakan kamu,” jelas Mayang. Aku heran, Mayang tahu banyak hal di sini. Mungkin karena dia supel da
-Pov Author- Supermarket berada di luar area kampus. Jaraknya hanya sekitar sepuluh menit bersepeda menuju pusat kota. Mayang hanya membeli barang-barang yang diperlukan saja. Kebetulan, dia sudah terbiasa merencanakan apa yang hendak di beli. Jadi tak perlu memakan waktu lama. Antrian kasir juga tidak panjang. Pada jam-jam tertentu, jumlah kasir disesuaikan dengan jumlah pengunjung supermarket untuk mengurangi kepadatan di lajur antrian. Untuk membeli titipan Fahira, Mayang hanya cukup pindah ke toko di sebelah supermarket. Di sana ada toko khusus kosmetik dan obat-obatan. Kalau enggan mencari-cari, tinggal bilang ke petugas untuk ditunjukkan rak display-nya. Yang paling disukai di toko obat dan kosmetik ini, mereka juga menjual pernak-pernik. Kadang-kadang Mayang menghabiskan berjam-jam untuk melihat barang-barang lucu itu. Namun, hati ini tidak, dia harus bergegas karena sahabatnya menunggu obat sakit kepala. Tak sampai satu jam, dia sudah tiba kembali ke apartemen dengan se
-Pov Fahira-Meski aku tak jadi masuk kelas karena sakit, aku tetap memaksakan diri untuk belajar mandiri. Aku tak mau tertinggal. Senangnya, materi kuliah bisa dengan mudah diakses. Hanya bedanya, kalau tidak masuk kelas, kita nggak bisa mendengar langsung penjelasan dosen. Kalaupun tidak paham, tak bisa langsung bertanya. Enaknya lagi, di sini, dosen terbuka. Jika ada yang kurang paham, kita bisa kirim email. Kadang, beliau memberi waktu dan mengijinkan kita datang ke ruangannya, untuk minta dijelaskan hal yang kurang paham.Kalau bicara tentang sistem pendidikan tinggi, aku yakin cara dosen mengajar dan sistem perkuliahan di sini sudah banyak diadopsi oleh kampus ternama di Indonesia. Fasilitas kampus yang ditawarkan pun sebenarnya sudah mulai banyak ditawarkan di kampus-kampus top di Indonesia. Sayangnya, memang pendidikan di Indonesia masih kurang merata. Misalnya kampus yang berada di kota besar dan masuk top kampus, akan berbeda kualitasnya dengan kampus daerah dan belum masu
POV Bayu Namaku Bayu. Dalam hal percintaan aku tipenya setia. Bahkan, aku berpacaran dengan Nabila selama 8 tahun, meski akhirnya hubungan kami harus putus. Nabila menerima perjodohan dari orang tuanya. Aku mengerti mengapa Nabila memilih calon yang ditawarkan oleh orang tuanya dibandingkan aku. Calon dari orang tuanya usianya lima tahun di atasku dan secara ekonomi, ia sudah mapan. Beda dengan kondisiku yang saat orang tua Nabila menghendaki kekasihku itu segera menikah, aku masih tertatih dengan masa depanku. Ditinggalkan Nabila bukanlah hal yang mudah bagiku. Delapan tahun bersamanya, tentu saja tiba-tiba aku mengalami kekosongan jiwa. Meskipun kami pacarannya tidak melakukan hubungan terlarang, tetap saja aku merasa kehilangan. Rasa kehilanganku sering kuluapkan dengan emosi pada orang terdekat, yaitu mama dan papa. Di rumah aku sering marah-marah tanpa alasan. Hingga akhirnya mama dan papa memutuskan menikahkanku dengan anak teman baiknya dengan harapan aku segera move on
Suatu hari Nabila tiba-tiba datang kepadaku. Matanya sembab bekas tangisan. "Bay, aku sudah pisah dari suamiku. Dia kasar dan suka memukul," ungkapnya saat menceritakan alasannya bercerai. Aku yang selama ini hidup tanpa masalah dengan Fahira, sangat iba dibuatnya. Awalnya, dia hanya minta dibantu mencari pekerjaan, karena selama menikah dia berhenti kerja. Lama-lama bertemu dengannya menjadi mirip seperti kebutuhan. Mirip jaman aku masih menjadi kekasihnya. Padahal aku sudah punya Fahira. Rasanya, bertemu dengan Nabila menimbulkan sensasi dan getaran tersendiri. Sedangkan dengan Fahira memang rasanya biasa saja. Mungkin karena aku awali hidup dengan Fahira tanpa cinta, sehingga kehadiran Nabila hanya membuat Fahira tak terlalu berarti lagi. Aku tahu, Fahira sangat mencintaiku. Tapi, aku juga mencintai Nabila. Meskipun begitu aku tak mau melepaskan Fahira. Dia adalah pelengkap hidupku. Aku memang serakah. Siapa yang mau melepaskan gadis sebaik Fahira. Gadis yang menerimaku apa ada
Akhirnya, saat yang ditunggu pun tiba. Aku sudah mengajukan cuti ke kantor jauh-jauh hari agar persiapan pernikahan keduaku tidak terganggu. Aku bilang ke Fahira kalau aku akan keluar kota. Biasanya dia akan percaya saja dan tidak banyak bertanya. Herannya, di saat yang sama dia merengek mengajakku mengunjungi orang tuanya.Memang kuakui, kami sudah lama tidak mengunjunginya. Mungkin lebaran terakhir kami ke sana. Dan setiap ke sana pertanyaannya sama dengan pertanyaan mama, kapan Fahira hamil. Padahal, aku memang belum menghendakinya. Akhirnya aku mengijinkan Fahira pergi sendiri ke rumah orang tuanya karena aku sudah terlanjur menyusun acaraku selama seminggu di luar kota. Selama aku pergi, aku memang tak menanyakan kabar apapun tentang Fahira. Itu juga sudah menjadi kebiasaan kami berdua. Kami saling percaya. Jika tidak ada yang teramat mendesak, kami tidak saling menghubungi.Dia hanya sekali menghubungi saat berada di Yogya. Aku yang memintanya agar aku dapat menelpon ayah me
“Jawab, Nabila!” Aku mengulangi pertanyaan dengan suara yang meninggi, seolah aku ingin meluapkan emosiku dalam beberapa hari terakhir. Iya, aku memang kesal dengan Nabila, tapi aku tidak bisa mengungkapkannya. Dan kini aku seperti punya kesempatan itu. Nabila membalas tatapanku dengan nyalang. Dia seperti tidak menduga aku bisa sekasar ini. Biasanya aku sangat lembut dan penyabar terhadapnya, mengimbangi sifatnya yang meledak-ledak. Dahulu aku menyukai semua sifatnya itu. Tapi, tidak untuk sekarang! Aku benar-benar tidak dapat mengontrol emosi saat melihat tatapan mata Nabila. Aku tak pernah melihat tatapan menantang seperti itu dari Fahira. Egoku menjadi tersulut. Aku memilih mengemasi semua barang-barang pribadiku, memasukkannya ke koper dan mengambil kunci mobil. Malam itu juga kutinggalkan rumah Nabila. Aku tak peduli dengan tatapan penuh tanya dari orang tua Nabila. Kewarasanku mendadak lenyap. Aku khawatir terjadi sesuatu pada Fahira. Sebelum menstater mobil, kubuka