Share

Mekanisme Pembayaran Hutang

Pening, itulah yang pertama kali Kia rasa saat membuka matanya hingga ia harus memegang kepalanya kuat-kuat. Sepertinya ini masih dalam mimpinya, pikir Kia ketika melihat seorang pria tampan duduk bersandar sambil melipat tangan di dada dengan kedua matanya terpejam. Dia lah bosnya, sang pemilik kafe tempatnya bekerja. Jadi ini pastilah mimpi, karena tak mungkin bosnya itu ada dalam kamarnya. 

Eh, tunggu!

Ini bukan kamar tidur di kontakannya, kamar bernuansa putih dengan aroma menenangkan ini begitu asing di ingatan Kia. Jadi sekarang dia ada dimana?

Cepat-cepat Kia bangun dari tidurnya tanpa aba-aba, dan itu membuat sekujur tubuhnya seperti dialiri sengatan listrik yang cukup menyakitkan terutama di bagian kakinya. Jadi ruang tidur ini adalah sebuah ruang rawat inap rumah sakit.

APAAAA? 

RUMAH SAKIT?

Seketika gadis itu panik membayangkan tagihan rumah sakit mewah ini dengan deretan nol yang tiba-tiba saja membuat gadis itu merinding. Karena sepertinya rumah sakit ini adalah sebuah rumah sakit swasta yag pastinya tidak akan mau disodorkan dengan kartu jaminan kesehatan dari pemerintah yang ia miliki.

Dan saat Kia akan berusaha untuk turun dari ranjang pasien yang terasa empuk itu, dia tanpa sengaja menyenggol sebuah gelas di atas nakas yang ada di sebelah ranjangnya karena tubuhnya yang masih belum bisa duduk dengan tegak. Membuatnya dan pria yang tengah tertidur itu terhenyak kaget.

“Kamu udah sadar?” ucap bosnya yang dengan raut wajah senang bercampur khawatir saat menatap Kia. “syukurlah!”

Kia hanya mengangguk gugup. Sambil berpikir bagaimana cara menjelaskannya kepada bosnya kalau ia ingin pulang saja saat itu juga?

“Haus?” tanya pria berwajah oriental itu lagi.

Dan anehnya Kia kembali mengangguk. Gery pun langsung mengambil gelas lain yang ada di tempat lain kemudian memberikan air itu kepada Kia. Masih menatapnya dengan khawatir. Membuat Kia bingung dengan perlakuan bosnya itu. Masih bertanya-tanya mengapa pria itu ada di ruangan ini?

“Pak, saya kenapa ada di sini ya?” Sepertinya gadis itu lupa jika dia telah menjadi korban kecelakaan lalu lintas.

“Dari semalem kamu pingsan, setelah kecelakaan yang…”

“BAPAK!” seru Kia saat teringat kejadian yang ia anggap mimpi buruk itu. “gimana keadaan Bapak saya, Pak? Semalem saya sempet liat kepalanya berdarah, jadi itu semua bukan mimpi?” ucap Kia dengan bibir bergetar menahan emosi, kekhawatiran bercampur ketakutan langsung menyelimuti hatinya.

“Bapak kamu ada di ruangan lain,” jawab Gery dengan wajah terunduk, seperti malu dan takut menatap wajah pekerja paruh waktunya itu. “Ibu kamu yang di kampung dalam perjalanan ke sini, mungkin sebentar lagi sampe.”

Keberadaan Gery di sana awalnya hanya untuk menjelaskan perihal yang terjadi semalam, dan meminta maaf kepada gadis itu secara langsung setelah itu pulang, tapi melihat Kia begitu  ketakutan seperti ini membuat nyali Gery langsung menciut dan segera mengurungkan niatnya. 

Dan saat Kia masih meratapi kesedihannya dengan Gery yang hanya berdiri di hadapannya tanpa bisa berbuat apa-apa, seorang dokter ditemani seorang perawat datang memeriksa keadaan sang pasien, sedang Gerry yang adalah penyebab wanita cantik itu menjadi pasien hanya bisa mendengarkan penjelasan dokter dengan tak banyak bicara.

“Saya udah boleh pulang, Dok?” tanya Kia buru-buru. “Alhamdulillah saya udah baikan, urusan kaki saya yang keseleo ini sih gak apa-apa, Dok. Tetangga kontrakan saya tukang urut,” jelas gadis itu agar dokter itu mau mengizinkannya keluar dari rumah sakit saat itu juga. Lebih cepat, lebih baik, pikirnya. Bahkan belum sempat sang dokter menjawab pertanyaannya, otak cerdas gadis itu sudah punya rencana untuk meminjam uang kepada bosnya itu, kemudian segera memindahkan sang Bapak ke rumah sakit yang bekerjasama dengan asuransi kesehatan yang ia miliki.

“Tekanan darah Mbaknya masih di bawah normal, pasti sekarang Mbak masih ngerasa pusing, ya kan? Coba nanti kita cek lagi setelah jam makan siang. Jadi untuk sekarang istirahat dan makan yang cukup dulu ya, biar kondisi Mbaknya cepet pulih lagi!” jawab dokter itu sambil tersenyum, baru kali ini ia bertemu pasien rumah sakit elit ini berbicara dengan begitu polosnya.

“Pulihin dulu kondisi kamu, saya udah bilang Angel untuk menjelaskan kondisi kamu ke pihak kampus, dan mungkin katanya setelah makan siang nanti mereka akan jenguk kamu ke sini,” ujar Gery. “Sus, bisa tolong panggilin cleaning servis untuk beresin puing-puing gelas ini?” ucapnya pada perawat yang baru akan keluar dari ruangan itu. 

“Baik, Pak,” jawab suster itu sambil berlalu.

Hanya kurang dari 10 menit kamar rawat inap yang itu sudah kembali bersih seperti sedia kala. Benar kata orang, dengan uang semua masalah bisa berjalan lancar. Dan itu membuat Kia takjub, karena tak mungkin dia mendapatkan fasilitas semewah ini di rumah sakit yang mampu ia bayar dengan hanya menyodorkan asuransi kesehatan dari pemerintah itu.

Gery membuka gorden jendela, mencari kegitan lain karena ponselnya sudah kehabisan daya. Sebetulnya bukan mau Gery berada di sana sejak semalam, tapi perintah sang Papi tidak bisa dia abaikan, agar dia memantau kondisi gadis itu hingga ia siuman, kemudian meminta maaf secara langsung kepadanya. Sudah cukup kebodohan yang dia lakukakn ini berhasil membuat orang tuanya syok dan kecewa, dia tak mau mereka bertambah marah jika dirinya kembali membantah ucapan mereka. Ditambah lagi dengan duo sableng sahabatnya yang malah mengompori kedua orang tuanya semalam, makin murka saja sang Papi kepadanya hingga sebuah tinju mendarat tepat di ulu hatinya semalam tadi.

“Pak!” panggil Kia saat gery sedang menyesali perbuatannya semalam.

“Iya?” pria tampan itu berbalik menatap Kia, beberapa detik yang mengagumkan. Karena saat sebagian tubuh Gery membelakangi cahaya, aura ketampanan pria itu semakin terpancar. 

“Ehem!” Kia mengusir gugupnya. Jujur meski sudah hampir dua tahun bekerja di kafe pria berkulit putih itu, ini kali pertama bagi Kia bisa bicara sedekat dan sebanyak ini

“Ada yang bisa saya bantu?”

Muka gue, keliatan banget mau pinjem duit, gitu ya? 

Sekali lagi Kia berdehem. “Sebetulnya, iya.” Wajah cantiknya langsung dilipat di dada.

“Apa itu? Apa kamu mau ke toilet? Apa saya harus panggil bantuan suster untuk nemenin kamu, atau-”

“Saya mau pinjem uang, Pak,” serobot Kia tanpa basa-basi.

“Apa?” Gery harus memastikan apa yang baru saja sensor gendang telinganya terima dari bibir bocah di hadapannya. Sebab gery masih belum percaya dengan apa yang ia dengar tadi. “kamu bilang apa barusan?” ulang Gery.

“Saya mau pinjem uang untuk biaya rumah sakit ini. Saya ….”

“Urusan rumah sakit ….” Gerry awalnya akan menceritakan semua yang terjadi malam itu.

“Jangan dulu potong omongan saya, Pak. Dengerin dulu penjelasan saya biar bapak ngerti mekanisme saya mengembalikan uang Pak Gery lagi.” Kia langsung memotong ucapan bosnya yang tadi terlebih dahulu memotong ucapannya. “Sebetulnya saya dan bapak saya punya BPJS dari pemerintah, jadi saya berniat untuk mindahin perawatan bapak saya ke rumah sakit yang kerjasama sama BPJS, tapi saya gak punya uang untuk nebus Bapak dari rumah sakit ini, jadi saya pinjem dulu uang dari Pak Gery. Semakin cepat semakin baik, soalnya kalau dientar-entar pasti biaya rumah sakit ini makin membengkak. Aduh. Kenapa juga saya harus masuk kamar kayak gini ya, kenapa gak bangsal umum aja gitu,” rengeknya kesal. Dan bahkan dia mulai memikirkan digit angka yang tertera pada tagihan kamarnya sendiri. 

“Mungkin saya juga gak bisa cepet balikin uang Pak Gery. Tapi jangan takut, saya bukan orang yang suka nyepelein utang, keluar dari sini saya akan nambah anak didik les saya. Di kampung, Bapak saya juga punya empat ekor kambing, dua biang, satu jantan dan satu masih bayi, baru dua bulan anaknya, yang kambing perempuan satunya lagi hamil, kira-kira dua bulanan lagi lahir, kalau kata ibu saya. Nah, kalau kambing-kambing itu dijual cepat, paling cuma sedikit dapetnya, tapi saya yakin Pak Gerry tipe orang yang sabar kan, ya. Jadi saya harap Pak Gerry bisa kasih waktu buat saya dan keluarga untuk jual kambingnya saat anak-anak mereka udah besar, syukur-syukur itu para biang udah punya anak lagi, ya kan! Jadi makin banyak lah omset penjualan kambing keluarga saya. Biasanya harga kambing naik pas mendekati lebaran haji, jadi mungkin nanti Bapak saya usahakan untuk jual kambing di musim kurban.” Kia menjelaskan dengan penuh semangat.

Sedangkan Gery hanya bisa melongo mendengarkan konsep pembayaran hutang yang sedang dijelaskan bocah di hadapannya.

Kenapa malah ngomongin keluarganya si Embek gini ya?    

Apakah Kia masih akan bicara panjang lebar seperti ini setelah tahu bagaimana kondisi ayahnya yang sedang kritis di ruang ICU, dan juga tentang Gery yang adalah orang yang bertanggung jawab atas semua yang terjadi??

Komen (11)
goodnovel comment avatar
kak rose
baca di awal tuh sedih ampe merinding disko, pas baca mekanisme pembayaran hutang langsung ngakak...astaga, si Kia bengek aah
goodnovel comment avatar
Martinus Siagian
kia mengusirnya keluar
goodnovel comment avatar
Martinus Siagian
makin murka aja ibunya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status