Share

Salah Paham

Belum sampai Gery mengiyakan apalagi menjelaskan perihal yang terjadi, pintu kamar rawat inap diketuk, diiringi ucapan salam.

“Waalaikumsalam,” jawab Kia dan Gery hampir bersamaan.

“Itu suara ibu saya, Pak.” Sambil tersenyum senang. “Bu, masuk, Bu!” panggil gadis itu dengan senyum yang masih melekat di bibirnya.

“Biar saya yang buka pintunya!” ucap Gery saat melihat sang pasien akan beranjak turun.

Seorang wanita yang tidak terlalu tua berdiri di depan pintu kamar dengan sebuah kantong plastic putih di tangan kirinya.

“Punten, Mas. Ini kamarnya Zaskia?” tanya ibu itu dengan logat Sunda yang khas. Matanya nampak sembab.

Pasti ibu itu sudah tahu tentang kondisi suaminya, pikir Gery kemudian mempersilakan dia untuk masuk. “Silakan masuk, Kia ada di dalam,” ucap Gery sopan. “maaf Bu, pake aja sendalnya. Gak apa-apa,” lanjutnya saat melihat ibu itu melepas sandalnya di depan pintu.

“Sandal ibunya geh kotor, sawios lah.” Sambil menenteng sandalnya kemudian meletakkannya di sudut ruangan. 

Wanita itu langsung menghampiri putrinya. Menangkup wajah sang putri sambil memperhatikan setiap inci wajah sang putri. Sambil bertanya bagian tubuh mana yang terluka. Mungkin inilah waktu yang tepat untuk Gery menjelaskan apa yang terjadi kemudian meminta maaf secara langsung kepadanya keduanya.

“Ibu udah ketemu bapak?” tanya Kia setelah sang Ibu merasa bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan kondisinya.

“Tacan,” jawabnya sambil menggelengkan kepala. 

“Ibu gak tau kamar Bapak dimana, ibu masih puyeng. Mabok bis tadi ibu,” jelasnya sambil menggosokan minyak angin ke bagian tengkuk dan lehernya. “Barusan aja Ibu abis muntah lagi, sebelum ke sini,” keluhnya sembari memijit-mijit pelipis.

Jadi tuh ibu mukanya bengep tadi abis muntah, gue pikir abis mewek. Gery tanpa sadar sedikit menarik salah satu sudut bibirnya, setelah mendengar penuturan wanita itu.  

“Minum dulu teh hangat ini, Bu. Mudah-mudahan bisa mengurangi rasa mual ibu.” Gery menyodorkan segelas teh hangat buatannya dengan sopan.

“Makasih, Mas…” Dia terlihat berpikir untuk memanggil nama pria tampan di hadapannya.

“Nama saya Gery. Panggil saya Gery aja!” ucapnya dengan sopan. Kemudian pergi menjauh dari pasangan ibu dan anak itu sambil berpikir bagaimana cara menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, karena setelah melihat betapa polosnya ibu dan anak itu, hati Gery jadi semakin ketakutan.

Percakapan dalam bahasa Sunda.

“Cowok ganteng itu siapa? Pacar kamu?” tanya Ibu dengan suara perlahan, mencuri pandang ke arah Gery yang sedang sibuk dengan gadgetnya.

“Bukan lah, itu Bos Eneng. Yang punya kafe,” jelas Kia sambil mengupas buah jeruk yang dibawa sang ibu. “manis, Bu jeruknya. Seger,” serunya.

“Sisain buat Bapak. Ibu cuma beli segitu doing!” Dia memperingatkan sang putri. “kok dia ada di sini? Jangan-jangan dia naksir kamu,” selidik sang ibu dan kembali melirik ke arah pria tampan di atas sofa.

“Ngaco si Ibu, dia udah punya pacar. Cantik, tinggi, pinter, kaya lagi,” jawab Kia sambil menepuk tangan sang ibu agar berhenti memperhatikan bosnya.

“Terus ngapain dia di sini? Emang dia gak ada kerjaan. Mungkin aja dia emang punya perasaan sama kamu, selama ini. Kayak di sinetron-sinetron, awalnya diem-diem naksir, eh pas orang yang dia naksir sakit, dia jadi khawatir.” Wanita itu mulai berspekulasi.

“Ngaco ih si Ibu. Masih mabok bis kayaknya ibu nih.” Tapi tak urung hati kecilnya pun bertanya, mengapa orang sekelas Gery, mau repot-repot menemaninya di rumah sakit. Bahkan perlakuannya pun begitu manis. Dan sekarang dengan bodohnya hatinya malah menerima spekulasi yang ibunya katakan tadi.  Karena tak mungkin juga Gery tahu niatnya yang akan meminjam uang kepadanya.   

Berkali-kali Gery menghela nafasnya karena gugup. Sambil berusaha menyimpulkan percakapan ibu dan anak itu, karena meski berbisik suara keduanya masih cukup jelas diterima sensor-sensor di telingannya, walau begitu tetap saja Gery hasilnya tak bisa menyimpulkan apa yang mereka ucapkan.

Dan akhirnya Gery memilih untuk mengerahkan seluruh keberaniannya untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi kepada kedua wanita itu, karena cepat atau lambat mereka pasti akan mengetahui tentang semua yang terjadi.

“Maaf, saya memotong percakapan kalian. Sebetulnya ada yang mau saya ungkapkan.”

Mendengar kata ungkapkan yang terlontar dari mulut Gery, dengan bodohnya kedua wanita beda generasi itu malah terlihat senang, otak mereka yang terlalu banyak dicekoki drama-drama televisi membuat pikiran kedua wanita itu malah berpikir bahwa Gery akan mengungkapkan cinta yang selama ini terpendam terhadap sang pasien.

Lagi dan lagi, gangguan kembali datang menggagalkan rencana Gery, sebab sesaat sebelum Gery membuka mulutnya, pintu kamar rawat inap itu kembali terdengar.

“Masuk!” seru Gery dengan lantang.

Seorang perawat dengan wajah tegang masuk ke dalam ruangan itu seperti sedang tergesa-gesa. “bisa bicara dengan wali Bapak Kusdinar?” tanya suster itu cepat.

“SAYA!” seru ketiga orang yang ada dalam ruangan itu.

“Saya istrinya,” ucap Ibu, menghampiri suster itu dengan wajah was-was.

*****

“Minum dulu, Ki, Bu!” ucap Gery sambil menyodorkan botol air mineral untuk keduanya.

Tangis sang ibu masih tak terhenti meskipun kondisi sang suami sudah menunjukan hasil positif, karena beberapa saat lalu detak jantung pak Kusdi sempat melemah, hingga membuat beberapa dokter harus bekerjasama untuk mengembalikan fungsi alat vital beliau lagi, dan untungnya Tuhan masih memberi kesempatan Pak Kusdi untuk bisa kembali menghirup oksigen, meskipun hingga saat ini dia masih belum sadarkan diri.

“Kenapa Pak Gery gak bilang ke aku kalau kondisi Bapak separah itu?” ucap Kia, terdengar menyalahkan bosnya.

“Sebetulnya dari tadi saya mau bilang, tapi ….”

“Udah, jangan nyalahin Pak Gerry begitu. Harusnya kita berterima kasih karena Pak Gery mau nolong kita sampe rela nemenin kamu di rumah sakit,” potong Ibu. “Makasih ya, Nak Gery.”

“Jangan! Jangan bilang terima kasih! Ucapan itu gak layak untuk aku terima.” Gery nampak tak enak hati. “Bu, Ki, sebelumnya ada yang dari tadi mau saya ungkapkan,” desak Gery.

“Bisa ditunda nanti? Karena kayaknya ini bukan waktu yang tepat,” potong ibu, karena pikirnya Gery masih akan bermaksud mengutarakan isi hatinya pada sang putri. 

Betapa naifnya mereka yang tak terpikir jika pria di hadapannya adalah orang yang bertanggung jawab atas apa yang menimpa kepala keluarga mereka.

“Keluarga Pak Kusdi?” sapa seorang suster.

Kia dan Ibu sontak mengangguk, dengan wajah penuh tanya.

“Dokter Herman, ahli spesialis dalam ingin berbicara,” ucap suster itu. “Mari ikut saya!” suster itu berjalan memimpin.

Tapi tak hanya Kia dan sang ibu yang mengekori suster itu karena ternyata Gery pun ikut bersama mereka. Bagaimanapun Gery perlu mengetahui kondisi orang yang telah ia buat kritis di ruang ICU itu.

Mereka dipersilakan masuk ke ruangan dokter yang bernama Herman tadi. Dan sepertinya dokter itu sudah menunggu kedatangan mereka. Setelah mempersilakan mereka duduk, dokter itu mulai menjelaskan tentang kondisi pasiennya.

“Sebetulnya cedera di kepala Pak Kusdi tidak terlalu mengkhawatirkan, meskipun lukanya di kepalanya cukup lebar tapi hanya sobekan di bagian kulit kepalanya.” Dokter mulai menjelaskan.

“Kalau begitu, kenapa Bapak saya masih belum sadar, Dok?” tanya Kia seperti ingin cepat-cepat mengetahui kondisi sang Bapak.

“Entah kalian sudah tahu atau  belum tentang kondisi liver Pak Kusdi yang rusak juga jantungnya yang membengkak. Karena sepertinya, penyakit bawaan Pak Kusdi itulah yang menyebabkan kondisinya sempat kritis seperti tadi,” jelas sang dokter.

Betapa terkejutnya ibu dan anak itu setelah mendengar penjelasan sang dokter, bahkan Ibu langsing berpegangan pada lengan Kia karena tubuhnya yang tiba-tiba saja seperti kehilangan otot-ototnya. Begitu pula dengan Kia, dirinya juga tidak kalah syok dengan sang ibu. Pikirnya sakit di bagian perut yang sering dikeluhkan sang bapak adalah penyakit maag biasa yang memang biasa diderita para kaum pinggiran seperti mereka, bahkan tak jarang Kia berpikir keluhan sesak sang bapak karena masuk angin yang bisa diobati dengan hanya kerokan. 

“Terus kami harus gimana? Sampai kapan kami nunggu Bapak sadar, Dok?” Lelehan air mata kembali mengalir di kedua pipi gadis itu.

“Sebetulnya kami pun gak bisa memastikan kapan Pak Kusdi bisa siuman hingga kami bisa memberikan pengobatan untuk penyakitnya itu,” jelas sang dokter dengan nada prihatin. “Untuk saat ini, Pak Kusdi hanya butuh doa dari keluarganya.”

Makin ketakutan saja Kia mendengar hal itu, karena itu artinya para dokter pun belum bisa memastikan keselamatan nyawa sang ayah.

“Dok, kayaknya kami mau mindahin Bapak ke rumah sakit lain, karena biaya rumah sakit ini terlalu mahal untuk kami,” ucap gadis pemberani itu, diiringi anggukan sang ibu.

“Untuk urusan biaya rumah sakit, biar saya yang tanggung. Sekarang, cukup berikan perawatan yang terbaik untuk Pak Kusdi.” Dengan lantang Gery membuka mulutnya seperti seorang pahlawan.

Makin menjadi-jadi saja pikiran kedua wanita itu. Karena keduanya semakin yakin, jika Gery memang ada hati terhadap Kia.  

Comments (7)
goodnovel comment avatar
Martinus Siagian
tidak bisawnyimpulkan kepada ibunya
goodnovel comment avatar
Martinus Siagian
apa yang dipikirkan si ibu ya
goodnovel comment avatar
Fera Hikmaramayanti
pokoknya mah ya .... gemeeezzzzz..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status