BUKAN SALAH IBU 37Sebulan berlalu, kabar hilangnya Singapore Airlines di portal berita online maupun televisi mulai redup. Pesawat yang membawa seratus tujuh penumpang dan tujuh awak kapal itu benar-benar bak hilang ditelan bumi. Ini tentu bukan yang pertama terjadi, tapi aku tak pernah menyangka bahwa peristiwa yang mengerikan ini menimpa kamiMengerikan. Karena, hendak kemana aku dan Ibu menziarahi makam Ayah jika rindu?Jika dulu, aku yang kerap duduk di bangku kayu teras rumah demi menunggu Ayah, sekarang, Ibulah yang melakukan kebiasaanku. Setiap pagi sore setelah mandi dan berdandan cantik dan rapi, Ibu akan duduk di teras depan. Matanya yang sendu menatap ke ujung jalan, seolah berharap keajaiban."Ibu, bukankah dulu Ibu yang mengajariku untuk menerima semua takdir yang Allah berikan dengan lapang dada? Ayah mungkin tak akan pernah kembali. Mari kita doakan saja agar Ayah tenang di alam sana."Dan Ibu langsung mendelik."Kenapa kau bicara seolah-olah Ayahmu sudah tiada? Mana b
BUKAN SALAH IBU 38"Pergi! Semua ini gara-gara kalian. Belum puas dulu selama delapan belas tahun kalian merebut suamiku. Sekarang, kau dan Meira yang menjadi penyebab dia tak kembali lagi. Pergi!"Aku terkejut, dengan segera berlari ikut berjongkok di depan Ibu sambil menahan tubuh Helena. Kubimbing dia agar berdiri. Tapi, Helena menggelengkan kepala."Tante Ana benar, Bella. Ini memang salahku dan Mama."Ibu menatap nanar pada Helena, lalu berdiri sambil mengusap air matanya."Suruh dia pergi, Bella. Ibu belum sanggup melihatnya."Lalu, beliau berjalan masuk ke dalam rumah. Tak lama kudengar suara pintu kamarnya ditutup. Aku menghampiri Helena dan membimbingnya agar berdiri."Maafkan Ibu, Helen. Ibu tidak baik-baik saja sejak Ayah hilang tanpa kabar untuk kedua kalinya."Helena terdiam, menatap pucuk daun mangga yang melambai tertiup angin pagi hari."Bagaimana kabar Tante Meira?"Gerakan kepalanya menoleh padaku tampak terlalu tiba-tiba. "Oh, Mama sudah sembuh. Sekarang, Mama kerj
BUKAN SALAH IBU 39Suasana ruang makan sedikit canggung. Kami duduk bertiga, dengan Helena di sebelahku, tak berani sedikitpun mengangkat kepala. Dia menekuri piringnya yang berisi salad buah. Sudah lama kutahu bahwa dia tak biasa sarapan nasi sepertiku. Jadi pagi-pagi sekali aku meminta Mbak Rina, salah satu ART yang diberikan Eyang untuk kami, membuat salad itu khusus untuknya.Di seberangku, Ibu duduk, makan dalam diam. Sementara di kepala meja, tempat seharusnya Ayah duduk, kosong. Dan setiap kali tatapan terpaku pada kursi itu, hatiku mendesis perih.Sungguh tak ada kesedihan yang lebih dari ini, saat kau tak bisa melihat orang yang kau cintai untuk selamanya, juga tak tahu hendak kemana menjunjung pusaranya.Ibu selesai lebih dulu. Beliau mengangkat piringnya ketika Helena berdiri dan menahannya."Tante, biar aku saja."Ibu terdiam. Dibiarkannya Helena mengangkat piring sarapannya yang kosong ke wastafel. Gadis itu langsung mencucinya sekalian. Setelah itu, dia sibuk mengelap k
BUKAN SALAH IBU 40"Apa yang akan kau lakukan jika seseorang yang kau sayangi dan percayai, ternyata membohongimu?"Helena tertegun sejenak. Diangkatnya kepala dari atas kertas yang sedang dicoret-coretnya. Bukan coretan sembarangan, tapi dia sedang membuat rancangan gaun pengantin. Sekilas kulihat, gaun itu pastilah sangat indah jika sudah jadi."Maksudnya gimana?" tanyanya pelan. Aku tahu dia bukannya tak mendengar. Ada nada gugup yang samar terdengar.Aku tersenyum, ikut duduk di sebelahnya, di atas lantai. Dia memang lebih suka duduk di lantai jika sedang membuat sketsa baju-baju rancangannya."Ada seseorang yang sangat aku sayangi, Helen. Aku menyayanginya dengan tulus, dan menaruh kepercayaan besar padanya. Tapi ternyata, dia membohongiku."Helena mengerjap, sesaat wajahnya tampak pucat. Dia lalu membuang pandang dengan cepat."Kalau begitu, kau tak perlu memaafkannya. Buang saja dia jauh-jauh dari hidupmu."Suaranya bergetar, seperti sedang menahan tangis dan juga rasa takut."
BUKAN SALAH IBU 41Sejak hari pertama kedatangan Helena, aku sudah menaruh curiga. Apalagi dia sering kali meminta maaf entah untuk apa. Gesture tubuhnya yang canggung, padahal sebelum berangkat ke Singapura dulu, dia sudah cukup dekat dengan aku dan Ibu. Begitu juga dengan mimik wajahnya yang berubah drastis setiap kali aku menyebut tentang Ayah. Tadinya kupikir, itu hanya karena dia merasa bersalah. Tapi, intuisiku mengatakan bahwa ada sesuatu dibalik ini semua."Eyang, aku minta rekomendasi orang-orang kepercayaan yang bisa membantu menyelidiki keberadaan Ayah di Singapura."Eyang terkejut ketika suatu hari aku datang ke rumahnya dan meminta hal itu. Aku tak punya pilihan selain menceritakan kecurigaanku pada Eyang, karena hanya Eyang yang tahu persis tempat tinggal mereka. Dua tahun lalu saat pesawat dinyatakan hilang, Eyang kesana menemui Helena dan Mamanya. Kata Eyang, mereka sama terpukulnya dengan kami disini."Apa maksudmu, Bella?""Aku nggak bisa membiarkan saja firasatku in
BUKAN SALAH IBU 42Aku meninggalkan Ayah dan Ibu berdua saja di meja makan. Biarlah, Ibu punya caranya sendiri untuk menuntun Ayah agar kembali mengingat kami. Kami hanya perlu bersabar. Dan bukankah sudah beberapa kali kami lulus dalam ujian kesabaran itu?Kuhentikan langkah saat melihat Helena keluar dari kamarnya sambil menggeret tas. Rasanya aku hampir saja berteriak, melarangnya pergi saat melihat wajahnya yang sembab sehabis menangis. Tapi tidak, kali ini, aku belum bisa memaafkannya. Dulu, saat Tante Meira merebut Ayah dari Ibu, Helena tak tahu apa-apa. Tapi sekarang, dia bahkan menjadi salah satu sutradaranya.Helena menyandarkan koper dan berjalan ke arah dapur. Namun, langkahnya terhenti saat melihatku."Mau kemana?""Aku… mau pamit pada Papa dan Tante Ana.""Tak usah. Pergi saja. Kau bisa pamit pada Eyang.""Tapi … "Aku mendekat. Kutatap matanya tepat di maniknya yang hitam."Kau bahkan tak mengizinkan kami tahu keadaan Ayahku yang menyedihkan selama dua tahun lamanya."He
BUKAN SALAH IBU 43"Nyonya Wardhana meminta saya menjemput Nona Helen untuk menemui Ibu anda di kantor polisi. Katanya, Mama anda memaksa ingin bertemu."Aku membelalakkan mata. Jam sepuluh pagi, Abimanyu datang lagi. Aku kenal dia, asisten kepercayaan Nenek berusia akhir dua puluh yang ramah dan mudah tersenyum, tapi tegas dan tak ada toleransi untuk sebuah pelanggaran. Entah kenapa Eyang terus-terusan membuat aku bertemu dengannya."Oke. Tapi, aku bisa pergi sendiri."Abimanyu menggeleng."Tidak, Nona. Nyonya berpesan untuk mengantar dan menunggui Nona lalu memastikan Nona pulang lagi."Aku menggeram dengan marah."Kau membuatku terlihat seperti tawanan!"Abimanyu tersenyum."Mematuhi aturan, atau membatalkan kesempatan … ""Oke! Oke! Dasar sialan!"Lelaki itu hanya memutar bola mata mendengar umpatanku yang kasar. Aku masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian. Tanpa bicara apa-apa, aku keluar dan langsung naik ke mobilnya. Dia ikut melompat naik sambil tersenyum."Tersenyumlah se
BUKAN SALAH IBU"Dasar anak pel-acur! Berani-beraninya kamu sekolah disini!"Sepasang tangan mendorongku dengan keras dari belakang. Aku terjerembab dan jatuh ke lantai sekolah yang menyisakan jejak-jejak tapak sepatu berdebu. Mendongakkan kepala, kudapati Helena dan gerombolannya, berdiri sambil bertolak pinggang. Aku menelan ludah, berusaha berdiri tapi sepatu putih gadis itu telah mendarat di atas kepalaku.Sungguh, ini adalah hinaan yang paling menyakitkan. Aku berontak, berusaha berdiri, dan kejap berikutnya, kudorong gadis itu sekuat tenaga, tanganku mencari-cari bagian tubuhnya, apa saja, yang bisa kupakai untuk membalasnya."Ibuku bukan pelacur!" teriakku histeris.Tentu saja aku kalah. Helena dan ketiga temannya memiting tanganku, menyandarkan tubuhku ke dinding. Gadis itu menamparku berulang kali, keras sekali, hingga kurasakan cairan asin menetes dari sudut bibir."Ibumu menjual dirinya pada laki-laki! Apa namanya kalau bukan pel-acur?!" teriak Helena di depan wajahku. "Ib