Share

4

Aku berjalan beriringan dengan Ayi menuju kantin. Di sana aku udah melihat keberadaan Berry dan kawan-kawan. Saat aku melewati meja mereka, dia tampak acuh dan nggak mau repot membalas celetukan Michele. “Awas! Ada si Nona pembuat patah hati sedang lewat."\

“Berisik, lo.” Bukan aku atau Ayi. Justru Septi yang ambil alih kendali. Mungkin dia paling rasional, melihat keadaan Berry yang tampaknya jauh dari kata ‘Baik’.

“Aw! Septick Tank. Kira-kira dong kalau mau nendang kaki gue. Sakit nih.” Kayaknya kaki Michele habis kena timpas kaki jenjangnya Septi.

“Bacot lu, ya. Nama gue Septi. Septiani Rumokoy. Bukan benda beroda empat pengangkut tinja.” Septi membalas tak kalah sangar. Sedangkan teman-temannya malah ngakak kocak mendengar ucapannya.

Aku mah, pura-pura cuek aja. Mencoba nggak memikirkan kekacauan yang telah aku buat. Memangnya apa salahku? Mereka aja yang terlalu sensitif pas udah liat muka masam Berry yang nggak berubah sedari tadi pagi. Aku bersyukur, dia emang beneran nggak senekat apa yang dibilang Adul tempo hari. Dia nggak masuk sekolah waktu itu emang lagi ada urusan. Tapi,  nggak ada hubungannya denganku.

“Bu, pesan mi ayam dua porsi. Minumnya es jeruk ya.” Ayi memesan untuk kami berdua.

Sambil menunggu pesananku dan Ayi datang, kami berdua memilih duduk di meja yang agak jauh dari Berry dan kawan-kawan.

“Mi, lo beneran nggak apa-apa?”

Seruan Ayi berhasil membuyarkan lamunanku.

“Hah! Eh, aku nggak apa-apa. Kenapa emang?” Aku balik bertanya.

“Kayaknya lo kepikiran soal omongan mereka, deh.”

“Nggak kok. Sok tau lo. Udahlah, nggak usah dibahas. Lo udah nemu tempat les yang cocok nggak?”

“Oh iya, gue hampir lupa. Kemaren gue sama Nyokap ketemu sama temen kantornya. Katanya ada tempat les recommended banget. Di daerah puncak. Ntar kapan-kapan kita ke sana buat ngecek. Kalau lo suka, kita bisa langsung daftar di sana aja. Untuk syarat, rincian biaya dan fasilitasnya nanti kita cari tahu sama-sama.” Aku mengangguk antusias. Kayaknya fokus sama ujian nasional aja lah, dari pada mikirin kisah romansa remaja SMA. Nggak penting.

~~~

Setelah jam belajar sudah habis, aku dan Ayi milih nongkrong dulu di kafe. Kami berdua emang udah merencakan ini sejak kemarin. Seperti biasa, aku sama Ayi memilih duduk di pojok dekat dinding kaca yang menghadap langsung ke arah jalanan. Aku dan Ayi sekarang sedang menikmati satu cup jumbo es krim terbaik di kafe ini. Selain es krim, kami juga memesan red velvet dan bronis coklat. Emang dah, rasanya nggak ada duanya.

“Qarmita!” Aku menoleh ke sumber suara bariton di belakang aku, yang memanggil namaku.

“Eh, Om Barra.”

DEG!

Nih jantung kok malah berasa mau copot pas liat sosok tinggi tegap itu. MasyaAllah, itu jambangnya dikemanain? Mukanya jadi bersih. Kelihatan lebih manis dibanding sebelumnya.

“Boleh saya bergabung?” Gue terbengong beberapa detik sebelum akhirnya suara Ayi menginterupsi.

“Boleh, boleh banget kok Om. Perkenalkan, aku Ayi, sohibnya Mimi Peri.”

“Ayiiiii....mulut lo ya. Jangan plesetin nama gue sama manusia jadi-jadian itu.” Pekikku. Demi kancut-nya Bang Orion, aku paling benci nama indahku diplesetin sama nama laki-laki setengah matang itu.

Liat deh, tuh bocah malah ngakak sampai mengundang lirikan aneh dari pengunjung lain. Aku janji, setelah ini aku kasih pelajaran si Mulut Toak ini.

“Om Barra sendirian aja?” Tanyaku mengabaikan Ayi yang masih berusaha menguasai emosi.

“Ke sininya ya, sendirian. Tapi, saya lagi nunggu temen. Nggak apa-apa kan, dia gabung sama kita?”

“Eh, iya. Nggak apa-apa. Wong kafe ini kan bukan punya nenek moyang saya.” Aku nyengir kuda aja, biar kelar.

“Ngomong-ngomong, kok kalian masih pakai seragam sekolah? Bukan lagi ngebolos kan?” Tatapan Om Barra penuh selidik.

“Ya nggak lah, Om. Jam pulang udah lewat tiga puluh menit yang lalu. Kami berdua emang udah niat ke sini sejak kemarin.”

“Iya deh, jawabnya yang santai aja kan bisa. Nggak usah ngegas gitu.” Badanku menegang saat tangan besarnya menepuk pelan puncak kepalaku. Kayak ada rasa geli gitu di dada. Ya Allah, please jangan baper sama Om Barra. Dia pasti cuma nganggapku bocah rapuh yang butuh perhatian dari orang dewasa. Halah!

Berselang lima menit, datang orang yang katanya temen Om Barra. Penampilannya nggak kalah keren dari Om Barra. Cuma bedanya temennya ini blasteran Indonesia-Arab. Hidungnya mancung, bulu matanya aja mampu ngalahin kelentikan bulu mataku. Alisnya tebal berwarna hitam pekat.

“Hi! Udah lama nunggunya?” Dia nyengir perdamaian saat bersitatap dengan Om Barra. Sadar kalau sepertinya dia telat dari waktu yang telah dijanjikan.

“Menurut ngana?” Balas Om Barra, lalu membuang wajah dari temannya berbalik ke arahku. Aku terkesiap, ketika dia malah tersenyum manis. Apaan nih? Woy! Aku masih bocah, Om. Jangan flirting-in aku.

“Mana nih, yang namanya Qarmita?”

“Hallo, Om. Aku Ayi. Qarmita yang itu Om.” Lagi-lagi Ayi menyerobot.

“Wah! Sesuai ekspektasi.” Hah! Maksudnya? “Kenalin, saya Ridwan Zayin.” Dia mengulur tangan ke arahku. Belum sempat aku terima, Ayi lebih dulu menyerobot. Lagi.

“Ayi Amaliah, Om.” Ujar Ayi nyengir. Dasar nggak sopan. Aku memalingkan wajah. Sumpah, malu banget. Punya temen macam Ayi ini kudu kuat batin.

“Eh, iya. Salam kenal juga, Ayi.” Entahlah, aku nggak berani melihat ekspresi Om Ridwan.

“Saya pesan minuman dulu.” Om Barra beranjak dari kursinya meninggalkan kami bertiga. Lebih tepatnya Ayi dan Om Ridwan yang tampak asyik ngobrol. Aku mah, bodo amat. Paling sesekali menimpali kalau dipaksa.

“Mimi mah jagonya, Om. Aku aja masih kalah jauh dari dia. Ini juga kalau seandainya aku nggak temenan sama dia, nilai aku benar-benar anjlok. Aku jadi ingat waktu masih SMP dulu. Dia yang paling semangat ngasih aku motivasi. Awalnya aku sempat pesimis, tapi berkat ketangguhan dia, akhirnya aku sadar kalau sebenarnya aku punya potensi untuk berkembang menjadi lebih baik lagi.” Hmmm...makasih loh ya, dia ngomongin aku pas akunya ada di antara mereka. Untungnya sih, yang keluar itu kalimat pujian.

“Oh ya? Wah, sahabat idaman dong. Jarang loh, ada temen yang perdulinya kebangetan begitu. Apa lagi di jaman sekarang ini. Saya salut sama kamu, Mi.” Ya elah. Si Om ngikut manggil aku Mi. "Lo kate gue makanan, Om."

“Ngebahas apa nih, seru banget kayaknya.” Suara Om Barra menginterupsi percakapan mereka. Matanya menilik ke arah kami bergantian. Ayi menunjuk ke arahku yang diikuti lirikan dari Om Barra. Aku nyengir, sedangkan Ayi sudah mulai kembali bercerita.

“Mimi itu Om, ya. Paling anti sama yang namanya Kudis, Kurap, Kutil. Kalau kata guru-guru di sekolah sih, dia ini Miss Perfect. Saking perfect-nya, hampir lupa kalau dia hidup di dunia yang para penduduk buminya adalah makhluk sosial. Dulu lebih parah. Cuek banget. Sekarang lebih mendingan. Haduh! Kalau aku ingat waktu itu, rasanya pengen nabok muka tembok Mimi pakai linggis.” Allah, harus banget gitu sedetail itu? Semerdeka lo lah, Yi. ‘Larva’ mah bebas. Loncat sana, loncat sini.

Dua cowok dewasa itu ngakak nggak ketulungan. Bukan hanya karena mendengar cerita tentangku, kayaknya mereka juga terbawa suasana sama karakter Ayi yang kocak abis.

“Hmmm...jadi kamu dulu begitu?” Om Barra menatapku dengan intens. Aku mengangguk sambil mengusap batang leher. Kikuk, cuy. “Untung ya, waktu ketemu sama saya kamu sudah lebih ramah.” Sambungnya lagi, lalu tersenyum semanis madu.

Cerita pun harus terhenti ketika Om Ridwan memutuskan untuk pulang lebih dulu. Katanya malam ini ada acara keluarga, mamanya udah ngirim pesan lewat WA. Dia musti siap-siap.

“Saya duluan, ya. Makasih banget loh, Yi. Kamu sudah mau berbagi cerita. Rasanya saya nggak sabar pengen ngobrol sama kamu lagi lain kali.”

What? Alamat bakalan ketemu lagi, nih. Super sekali. Emang ya, Ayi ini sosok cewek yang susah untuk diabaikan apa lagi dilupakan. Bawaannya kangen mulu. Iya, aku kadang suka kangen Mulut Toaknya kalau kami kebetulan lagi liburan sekolah.

“Asyiiik! Beneran ya Om. Calling aja nomorku kalau mau ketemuan. Aku mah always stand by to your side.” Haduh! Gombalan cewek SMA. Om Ridwan tampak terkekeh geli melihat tingkah konyol Ayi. Tapi, jujur aja aku nggak akan menolak kok pesona sohibku ini.

“Kalian pulangnya gimana?” Tanya Om Barra.

“Saya sama Ayi pulang pakai ojek online, Om. Kebetulan juga rumah kami beda arah.” Gue membeo sebelum Ayi menyerobot entah ke berapa kali.

“Loh, kenapa naik ojek? Saya anterin ya. Ini udah sore, nggak takut ada bahaya?” Aku saling berpandangan dengan Ayi. Dia menoel-noel pipiku. Seakan mengisyaratkan kalau aku nggak perlu sok jual mahal. Terlihat dari ekspresinya. Dasar nggak mau rugi.

“Nggak kok. Kami udah biasa pulang sore pakai ojol.”

“Jadi, kamu nolak tawaran saya? Kayaknya temen kamu nggak akan keberatan kalau saya anterin.”

“Tapi kan kami beda arah, Om.”

“Nggak apa-apa. Kita anter dia dulu. Baru setelah itu kamu.”

“Nggak deh. Nanti ngerepotin Om Barra.” Dia menghela nafas berat. Kayaknya frustasi ngadepin otak realistis anak SMA.

“Saya nggak butuh penolakan, Qarmita. Kedua orang tua kita kenal dekat. Saya nggak mau terjadi sesuatu sama kamu karena harus membiarkan kamu pulang sendirian. Sedangkan saya masih mampu nganterin kamu.” Skakmat! Boleh juga nih alibinya. Aku kehabisan akal untuk menolak.

“Okay!” Aku langsung menunduk, lalu berjalan gontai keluar dari kafe. Sedangkan Ayi malah cekikikan di sampingku sambil bergelayut manja di lenganku. Hari ini lo menang Yi. Awas lo besok.

“Lo hutang penjelasan sama gue.” Ayi berbisik di telingaku. Dan aku paham apa maksudnya.

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status