"Nggak juga sih, Yi. Kedua belah pihak sepakat, kalau aku harus nyelesain pendidikan pilot dulu sebelum kami menikah. Seenggaknya setelah aku resmi menjadi pilot profesional dengan pengalaman kerja satu tahun. Itu pun sudah diusahakan sekali buat diskon. Agar Om Barra tidak terlalu lama menunggu. Walau bagaimana pun, setelah lulus pendidikan, pilot muda belum dibolehkan menikah dulu. Kecuali nanti ada perubahan rencana. Kalau pun aku harus menikah dengan Om Barra setelah lulus pendidikan, aku mesti rahasiakan dulu sampai surat ijin aku kantongi.
"Kau yakin itu tidak akan mempengaruhi hubunganmu dengan Om Barra? Jam terbangnya pilot kan, padat sekali. Aku tak yakin, aku bisa setangguh kamu, kalau berada di posisi itu. Dan lagi, memangnya Om Barra sanggup pisah sama kau selama beberapa waktu? Minimal kalian tidak ketemu itu tiga hari, Mi."
“Emmm...Kris,sorry. Gue mau diskusi dulu sama Ayi.” Aku langsung menyeret Ayi keluar dari kafe. Ini masalah serius. Aku harus bicarakan masalah ini dulu dengan cewek Larva ini. Sebelum Mulut Toaknya makin berkoar. “Gue nggak bisa, Yi. Mau besok atau kapan pun gue nggak bisa nerima ajakan Krisan. Gue minta lo ngertiin gue.Please, yang satu ini aja. Kalau gue bilang nggak, itu artinya nggak. Lo bisa lihat dari ekspresi gue. Lo kenal baik sama gue. Benar?” Ayi mengangguk, tanpa menyela ocehanku. “Okay!” Aku putuskan untuk berterus terang akan keadaanku saat ini pada Krisan. Tidak termasuk soal aku yang sudah bertunangan. Yang pasti aku berusaha meyakinkan cowok ini untuk tidak terlalu berusaha dalam proses pendekatannya padaku. Tapi, tentunya deng
Yaampun, ini kereta besi jalannya seperti siput. Papa bilang sudah diperbaiki, tahunya masih lambat gini jalannya. Aku sudah bilang nggak usah dipakai lagi. Jual saja ke tukang besi. Tapi masih saja beliau ngeyel. Jadinya gini, kan. Dugudugudug......boooooom, cusssss! Astaga! Ini apa lagi masalahnya? "Papaaa!" Sumpah, aku beneran kesel tingkat Miss Universe. "Subhanallah! Bacot lo, ya. Sakit kuping gue." Pekik Bang Orion. Bacot aku emang udah kayak mercon acara sunatan si Entong kalau lagi kesel gini. Ini Abang, bikin tambah kesel. "Gue kesel, Baaang." Teriakku lagi. "Ya ampun, dah. Punya adek pengen gue lempar ke Samudra Hindia aja. Stabil nih hidup gue, pasti." Astaga! Makin tambah kesel, aku tuh. "Sudah, sudah. Sebaiknya kalian turun. Sementara Papa meriksa kerusakannnya, kalian nya
Please, aku dikacangin. Itu manusia bertiga sesama spesies ngobrolin soal perbintangan dari tadi. Seru sih, tapi kan aku bosen. Udah berapa kali Papa ngulang materi soal mata kuliah yang satu itu.Kalau di rumah, nggak Papa, nggak Mama, bahkan Bang Orion. Mereka bertiga tuh, sama. Pasti yang dibahas soal benda-benda langit dan seisinya. Awalnya dulu saat pertama kali aku diperkenalkan sama Papa tentang Astronomi, aku merasa antusias banget. Tapi, lama-lama aku bosen juga. Apalagi rencananya aku nggak bakal ngikut jejak mereka. Aku hampir mirip sama kakak sulungku, Kak Vega. Wanita dewasa satu itu juga lebih suka keluar jalur. Dia memilih masa depannya sendiri. Kalau Papa, Mama dan Bang Orion memilih jadi pemerhati langit, Kak Vega lebih suka jadi pemerhati bumi, cuaca dll. Sejak usia 22 tahun, dia udah kerja di BMKG.Kalau aku sih, ya.... Aku.... Aku mau jadi apaan, ya? Bingung. Aku nggak tahu musti kuliah di bidang apa. Atau aku ng
Aku berlari tunggang langgang dari rumah hanya untuk ngejar angkot terakhir menuju sekolah. Kampret, aku telat di hari Senin pagi. Haduh! Bisa-bisa aku kena hukuman nih, sama Bu Yuli. Guru biologi terkiller sejagat SMA Cinta Kasih Bunda.Sumpah, nggak biasanya nih aku telat begini. Selama ini aku juga dikenal dengan sebutan murid teladan sepanjang sejarah. Aku tebak, satu catatan pelanggaran ini bisa bikin nama baikku tercoreng. Katakanlah aku ini Miss Perfect. Aku terlalu terobsesi dengan yang namanya “Kesempurnaan”. Nggak boleh ada cela sedikit pun walau sebiji zarah. Halah, apaan dah.Degedegedeg..........double shit. Mogok?“Haduh, si akang. Kenapa angkotnya mogok atuh?” Itu suara emak-emak di sampingku. Kayaknya dia nggak kalah keselnya daripada aku. Ya elah, aku musti gimana nih? Jalanan udah mulai sepi, lagi. Nggak ada pangkalan ojek pula di sekit
Kegalauan berlanjut hingga aku pulang ke rumah. Entah kenapa, aku jadi kepikiran soal keberadaan Berry. Jangan-jangan dia beneran bunuh diri. Ah, nggak. Pikiran dia nggak sedangkal itu. Aku yakin pasti ada alasan yang lebih masuk akal, kenapa dia nggak masuk sekolah hari ini."Assalamu'alaikum!" Aku mengucap salam, sembari memasuki pintu utama yang memang sudah terbuka lebar entah sejak kapan."Wa'alaikumussalam!" Aku berpapasan dengan Papa dan tamunya, waktu aku berjalan melewati ruang tamu. "Alhamdulillah anak Papa sudah datang. Mitol bisa nggak, Dek? Bikinin minum buat tamu Papa.""Oke, Pap. Tunggu sebentar, ya. Dedek naruh tas dulu ke kamar." Aku tersenyum sebelum meninggalkan Papa dengan tamunya. Entah siapa itu. Dari bentukannya, usia Papa sama tamunya itu sepantaran."Putrimu oke juga ya, Lan. Pantesan istrimu nggak pernah ngomel soal anak-anak. Wong penurut gitu.
Aku berjalan beriringan dengan Ayi menuju kantin. Di sana aku udah melihat keberadaan Berry dan kawan-kawan. Saat aku melewati meja mereka, dia tampak acuh dan nggak mau repot membalas celetukan Michele. “Awas! Ada si Nona pembuat patah hati sedang lewat."\“Berisik, lo.” Bukan aku atau Ayi. Justru Septi yang ambil alih kendali. Mungkin dia paling rasional, melihat keadaan Berry yang tampaknya jauh dari kata ‘Baik’.“Aw! Septick Tank. Kira-kira dong kalau mau nendang kaki gue. Sakit nih.” Kayaknya kaki Michele habis kena timpas kaki jenjangnya Septi.“Bacot lu, ya. Nama gue Septi. Septiani Rumokoy. Bukan benda beroda empat pengangkut tinja.” Septi membalas tak kalah sangar. Sedangkan teman-temannya malah ngakak kocak mendengar ucapannya.Aku mah, pura-pura cuek aja. Mencoba nggak memikirkan kekacauan yang telah aku buat. Memangnya apa
Ayi: “Jadi, Om Barra itu siapanya elo? Sumpah gue masih penasaran. Kayaknya ada sesuatu deh sama si Om. Gelagatnya aneh, kalau menurut gue.” Aku tersenyum sambil geleng-geleng kepala saat melihat isi chat Ayi yang masuk sekitar satu jam yang lalu. Tadi ponselku emang lowbatt. Aku matiin dulu waktu mau charge. Ini Cewek Larva pasti kepo banget soal Om Barra. Aku jadi ingat waktu kami dianter pulang sama Om Barra tadi sore. Di dalam mobil Om Barra, Ayi kepoin Om Barra. Bukannya langsung jawab aja apa adanya, si Om malah bilang gini, “Tanya aja sama Qarmita. Dia maunya saya ini siapanya dia.” Kampret emang. Jelas lah aku jadi kalang kabut. Maksudnya apa coba melontarkan pe
Tiga puluh menit yang lalu Ayi sudah mengirim pesan WA kepadaku, katanya dia dan Om Ridwan akan menjemput aku satu jam lagi. Sekarang aku sedang membubuhkan make up di wajah, sebelum pakai baju. Akhirnya, hari ini datang juga. Aku gugup banget, sumpah. Padahal bukan kayak aku yang ketemu sama keluarganya Om Barra. Ini Ayi, loh. Diajak Om Ridwan ketemu dengan keluarganya. Walau begitu, tetap aja rasanya deg-deg-an, karena aku juga bakal ketemu Om Barra. Ya ampun, aku kenapa sih? Setelah selesai denganmake up, sebagai bahan pertimbangan, karena kami akan pergi ke daerah puncak bukit, aku memilih mengenakan kemeja putih polos lengan panjang yang dilapisi dengan switer berwarna biru malam. Lalu dipadukan dengan celana jins semata kaki. Rambutku yang panjang nan ikal, aku urai. Aku kenakan bando kawat berlapis kain motif polkadot berwarna hitam-putih, yang aku bentuk