Share

1

Please, aku dikacangin. Itu manusia bertiga sesama spesies ngobrolin soal perbintangan dari tadi. Seru sih, tapi kan aku bosen. Udah berapa kali Papa ngulang materi soal mata kuliah yang satu itu.

Kalau di rumah, nggak Papa, nggak Mama, bahkan Bang Orion. Mereka bertiga tuh, sama. Pasti yang dibahas soal benda-benda langit dan seisinya. Awalnya dulu saat pertama kali aku diperkenalkan sama Papa tentang Astronomi, aku merasa antusias banget. Tapi, lama-lama aku bosen juga. Apalagi rencananya aku nggak bakal ngikut jejak mereka. Aku hampir mirip sama kakak sulungku, Kak Vega. Wanita dewasa satu itu juga lebih suka keluar jalur. Dia memilih masa depannya sendiri. Kalau Papa, Mama dan Bang Orion memilih jadi pemerhati langit, Kak Vega lebih suka jadi pemerhati bumi, cuaca dll. Sejak usia 22 tahun, dia udah kerja di BMKG.

Kalau aku sih, ya.... Aku.... Aku mau jadi apaan, ya? Bingung. Aku nggak tahu musti kuliah di bidang apa. Atau aku nggak usah kuliah aja ya? Ah, ngaco. Bisa dicincang sama Papa, kalau aku nggak lanjutin pendidikan. Secara kan, hampir semua anggota keluarga aku punya pendidikan terakhir yang mumpuni. Bergengsi hingga kancah internasional.

"Pap, Dedek ke toilet dulu, ya." Aku berjalan menuju toilet yang letaknya udah pasti di luar kepalaku. Gimana nggak? Wong Papa sering ngajakku ke Observatorium ini. Jelas lah, aku hapal betul seluk beluk tempat ini. Biar kata aku keliling sendirian, aku nggak takut bakal tersesat.

Aku keluar dari toilet setelah beberapa menit buang hajat. Ah, mending jalan-jalan sendiri aja lah di sekitaran sini. Aku males buntutin Papa dan dua orang lainnya. Pasti bakal dikacangin juga.

"Mimi!" Aku menengok ke sumber suara. Eh, si kunyuk. Bisa aja ketemu aku di sini. Siapa kate Bandung itu luas? Ah, musti balik lagi nih ke pelajaran Matematika soal kemungkinan-kemungkinan.

Kemungkinan aku ketemu dia itu antara 50:50. Tapi lebih banyak kesempatan untuk ketemu. Kadang aku cuma bisa ngelus pantat kalau tiba-tiba dia nongol di depan mata.

"Eh, ha...hay, Berry." Aku nyengir pura-pura antusias akan keeksisannya di depanku. Ya Allah, dari beberapa tempat yang ada, kenapa Engkau pertemukan hamba dengan manusia satu ini di sini?

"Lo sendirian aja?" Tanyanya mulai beramah tamah.

"Sekarang sendirian, tadi berangkat sama Bokap dan Abangku." Aku sengaja nggak nanya balik untuk pertanyaan dia. Paling dia bersinisiatif sendiri.

"Oooh, gitu. Kalau aku sendirian nih, udah dari rumah tadi." Tuh, kan.

Aku nyengir lagi, untuk menghalau rasa kesal. Ya Allah, pengen banget aku sikut muka tebal cowok satu ini. Aduh! Aku jadi ingat tentang kejadian beberapa hari yang lalu. Ini cowok nggak tahu malunya 'nembak' aku di depan murid-murid dan guru-guru sekolah sehabis upacara bendera. Boro-boro bikin aku merasa tersanjung. Aksinya waktu itu justru bikin aku musti tenggelamin muka ke dalam air kembang tujuh rupa. Sumpah, tebal-tebal muka aja aku setelahnya, saat kegiatan belajar mengajar berlangsung.

"Oh, gitu ya." Balasku basa basi.

"Emmm....Mi, jadi gimana jawaban lo?"

"Hah! Jawaban apaan?" Masa, dia masih nagih jawaban ke aku? Perasaan aku nggak janji bakal jawab pertanyaan soal perasaan dia waktu itu. Seingatku, saat itu aku lebih memilih kabur ke dalam toilet.

"Jawaban atas pertanyaan tentang perasaan lo ke aku. Jadi, lo mau jadi pacarku?"

OGAH!

Mikir keras Qarmita, lo nggak boleh terbawa suasana. Tolak dia dengan tegas atau hidup lo bakal acak adut gegara nih bocah.

"Emmm....Ber, aku, aku nggak yakin jawaban aku bakal memuaskan buat lo. Jujur, aku nggak bisa." Sip! Good job Qarmita. Lo emang the best.

"Tapi...."

"Aku nggak akan minta maaf. Karena nggak membalas perasaan lo itu bukan sebuah kesalahan. Tapi, aku makasih banget untuk keberanian lo itu. Lagian, aku mikir kita ini masih SMA. Aku males terikat pada suatu hubungan yang nggak jelas. Aku juga nggak yakin, kalau kita pacaran bakal jamin kita berjodoh."

Hmmm...apa aku terkesan sok bijak? Ah, biar aja lah. Yang pasti aku emang nggak ada niat buat pacaran. Realistis aja lah, anak SMA itu masih labil-labilnya. Lagian, kalau dipikir lagi biaya kencan pun pasti masih ngemis sama orang tua. Ah, nggak keren.

Ada semburat warna kelabu di raut wajah cowok di depanku. Aku yakin, dia butuh beberapa detik untuk menganalisa kata-kataku.

"Oh, gitu. Tapi, Mi. Aku, aku berharap banget loh, sama lo." Dia masih belum mau menyerah. Atau yang aku lihat sih lebih tepatnya dia sedang denying.

”Jangan berharap sama aku. Aku hanya manusia biasa. Berharap itu sama Tuhan.” Bener kan, apa yang aku bilang? Kenyataannya, berharap kepada manusia itu pada akhirnya akan menyakitkan.

Kata-kataku barusan berhasil bikin Berry bungkam seribu bahasa. Mungkin kalau dia berotak cerdas, aku jamin dia nggak akan berusaha lebih jauh lagi. Seakan-akan dia maksain kehendaknya sendiri.

“Emmm...Ber. Aku musti balik ke Bokap nih. Kayaknya beliau udah nungguku. Sorry ya, aku musti menyudahi percakapan ini. Bye!” Aku berbalik dan melangkah menjauh dari Berry yang masih berdiri mematung di tempatnya. “Sorry!” Itu batinku. Kasian aku liatnya.

~~~

“Kamu dari mana saja?” Langkahku berhenti tepat saat Papa bertanya perihal keberadaanku sebelumnya.

“Tadi nggak sengaja ketemu sama temen, di sebelah sana. Dia ngajak ngobrol sebentar. Pap, pulang yuk.” Asli, mood aku merosot tajam. Niat hati pengen seneng-seneng, eh malah gagal karena harus ketemu sama Berry, si bocah playboy. Yah, alasannya klasik. Aku nggak sudi jadi salah satu cewek mainan dia. Meski kayaknya dia serius. Tapi, nggak bisa menjamin kan, kalau nasibku nggak sama kayak temen-temen cewek di sekolah? Seperti pepatah: ‘Lebih baik mencegah dari pada mengobati’. Lebih baik menghindar sejak awal dari pada menyesal di kemudian hari. Excellent!

“Loh, kok tiba-tiba?” Papa kayaknya agak sangsi sama ajakanku. Perasaan sejak dari awal kan, aku yang maksa pengen ke sini.

“Nggak tau. Tiba-tiba nggak enak badan.” Tepat di kata terakhir, mataku menemukan sosok cowok dewasa yang tadi mobilnya kami tumpangi.

“Ada apa, Prof?” Tanya Om-Om itu. Kayaknya dia penasaran saat melihat raut wajah Papa yang agak ditekuk.

“Putri saya ngajak pulang. Katanya nggak enak badan.”

“Oh, ya sudah. Biar saya antar. Lagi pula, mobil Profesor Maulana kan baru saja sampai di bengkel. Kebetulan saya juga mau pulang.”

Hmmm....keren juga ini Om-Om. Gentle,  pake banget. Haha, meski pun rasionalnya kami bertiga emang berharap banget dianter pulang sama dia. Mau mesan taksi online kayaknya malah terkesan kayak yang nggak punya modal banget. Lagian tanggung jawab di Papa. Siapa suruh masih make mobil antiknya itu. Nggak enak di beliau juga sih, karena harus ngerepotin orang lain. Tapi, kayaknya nggak bakal jadi beban juga buat si Om. Dari yang aku lihat, mereka kayaknya udah cukup dekat. Pasti bukan masalah kalau musti nganter kita bertiga pulang.

“Wah, jadi merepotkan kamu, dong.” Papa agak sungkan. Sebagail kompensasi kepala yang udah rada mumet, beliau nyengir aja.

“Tidak masalah, Prof. Lagi pula kita searah.” Oh, jadi kita searah toh. By the way, rumahnya si Om di mana emang?

“Ya sudah kalau begitu, kalau kamu maksa.” Alah, pencitraan. Padahal girang banget si Papa.

“Yuk! Biar saya anter.” Tiba-tiba atensinya beralih pada aku. Dia tersenyum begitu manis. Ini jantung kenapa tiba-tiba dag dig dug ser gini ya, pas manik birunya bersirobok dengan iris coklat terangku? Ah, ada-ada aja. Masa sih aku terpesona sama Om-Om? Yang ada nanti dia dikira pedofil kalau suka sama aku. Nggak! Kayaknya otak aku mulai ngaco.

Okay!” Cuma itu yang bisa aku katakan. Sumpah, aku bingung mau bilang apa lagi.

Bersambung....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status