“ Apa maksud kakakmu menculik Alena bukankah kita sudah sepakat kamu akan melepaskan hak atas anak itu jika aku membantumu!”
Farhan mencengkeram kemudi dengan kencang sampai buku-buku tangannya memutih, tak ada suara dari seberang sana, Farhan sedikit melirik ponsel di dasboardnya, kalau-kalau sambungan itu terputus, tapi tak lama kemudian terdengar helaan napas.“Aku tidak tahu menahu tentang rencana kakakku, sepertinya dia bertekad membuatmu menghentikan semuanya,” kata suara dari seberang sana.“Benarkah?” tanya Farhan dengan sinis.Rasa kagum yang pernah dia miliki pada wanita yang telah melahirkan putrinya itu kini sirna sudah, dia sudah terpelosok terlalu dalam demi ambisinya untuk membalas dendam, tapi tentu saja sudah sejauih ini Farhan tidak bisa mundur begitu saja, dengan berbagai cara Farhan akhirnya menemukan beberapa kecurangan yang didalangi Andreas.Meski itu sama sekali tidak liear dengan tujuannya, tapi itu cukup me“Sebaiknya kita pulang, Mbak ini sudah sore kasihan anak-anak.” Tiara langsung mendongak mendengar suara Fariz, dia menatap mata kelam pemuda itu, meski ditutupi dengan baik ada sebersit rasa duka yang dia temukan di sana. Dipalingkannya pandangan pada Farhan yang masih memeluk batu nisan itu, sesekali terdengar sedu sedannya yang mendalam, lalu terakhir pandangannya jatuh pada gundukan merah yang bertabur bunga. Gadis kecil manja yang selalu berbinar saat melihatnya kini telah tiada, rasa bersalah itu terus bercokol di hatinya andai saja dia bersikeras membawa Alena ikut serta dengannya, bersama anak-anaknya yang lain ini semua tidak akan terjadi, dan andai saja dia berhasil membujuk Farhan untuk melupakan semua balas dendam konyol ini, tentu anak itu akan tetap hidup dan... astaga apa dia sudah berdosa karena mempertanyakan takdir Tuhan? “Mbak,” panggil Fariz sekali lagi para pelayat sudah meninggalkan area pemakaman ini,
“Apa kamu yakin dia bukan anak suamimu? Kok wajahnya mirip.”Waktu Keysa mengatakannya, Tiara langsung tertawa. Konyol sekali pemikiran itu, mana mungkin anak yang dia temukan di depan pintu rumahnya adalah anak suaminya. Akan tetapi hari ini Tiara sama sekali tidak berpikir hal itu konyol. Perhatian dan kasih sayang suaminya, bahkan melebihi pada dua orang anak yang telah dia lahirkan. Sejak awal suaminya memang menginginkan anak perempuan, kelahiran Araz si bungsu yang berjenis kelamin laki-laki membuat Farhan begitu kecewa dan mendesak Tiara untuk memberinya anak perempuan, tapi sampai si bungsu berusia lima tahun, Tiara tak juga hamil lagi padahal mereka sudah mengupayakan segala cara. Akhir-akhir ini memang suaminya sama sekali, tidak menyinggung tentang anak perempuan yang dia inginkan, dan itu sedikit membuat Tiara lega, awalnya.Penemuan bayi perempuan di depan rumahnya waktu itu seperti jawaban do’a yang dia panjatkan selama ini, yah disaat suaminya begitu menginginkan a
“Apa mas mengenal Alena sebelumnya?” Pertanyaan itu langsung keluar begitu saja dari mulut Tiara saat dia berhadapan dengan suaminya, sepuluh tahun mereka sudah mengarungi rumah tangga bersama, dengan dua orang anak yang menjadi anugerah untuk mereka. Meski sang suami tidak puas karena dia belum bisa memberikan anak perempuan.Tiara melihat wajah suaminya sedikit pias saat dia mengucapkan kalimat itu, wajah Farhan yang tadi sesekali menoleh pada box tempat Alena berada langsung sempurna menghadapnya, membuat ular yang dari tadi menebarkan bisa diotaknya menggeliat bangun dan siap menerkam. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” “Bukankah mas seharusnya tinggal menjawab.” Tiara masih menunggu jawaban dari suaminya, melihat gelagat suaminya yang gelisah membuat hati Tiara sakit. Apa sepenting itu anak perempuan untuk suaminya? Tidak bisakah suaminya berbaik hati dengan melakukan usaha yang lain? Atau memang itu hanya alasan untuk membenarkan kekejaman ini? “Aku menunggu,” kata Tiar
Suasana ruangan yang memanas langsung membeku seketika, oh ini tidak ada hubungannya dengan pendingin ruangan yang sedang menyala. Ini tentang suasana hati yang tak bisa diterka.“Apa yang perlu aku tahu? Kenapa tidak sekarang saja?” “Bukan hal penting.” Farhan melangkah mendekati Tiara dan bermaksud mengambil Alena yang sedang menangis dari gendongannya, tapi dengan gesit Tiara menepis tangan suaminya itu. “Katakan apa yang harus aku tahu, aku bukan anak kecil yang mudah teralihkan.” Sejenak suasana kembali canggung. “Hari minggu ada arisan di rumah, Ibu ingin mbak datang membantu,” suara Fariz memecah ketegangan, tapi tentu saja Tiara tahu bukan itu permasalahan yang sedang mereka bicarakan. Akan tetapi beberapa hari ini dia sudah terbiasa. Terbiasa untuk berpura-pura bahagia, terbiasa bahwa semua baik-baik saja, meski ada bom besar yang bisa saja meledak sewaktu-waktu tanpa dia sadari. Tiara tidak akan mengumpankan diri untuk menyalakan bom itu, tentu saja tidak, dia akan men
Tiara langsung mengusap air mata yang nekad jatuh di pipinya, dan pergi ke kamar mandi untuk membasuh muka. Ini rumah mertuanya dan dia datang ke sini untuk membantu acara, bukan mendekam dalam kamar untuk menangis. Harum bau kue langsung menyebar begitu Tiara membuka pintu kamar, dan mendapati ibu mertuanya sedang duduk di meja panjang di ruang tengah dengan berbagai kotak kue yang sepertinya baru datang. “Apa yang bisa Tiara bantu, Bu?” “Kamu istirahat saja kalau masih lelah, farhan bilang kamu tidak enak badan.” Tiara menggeleng dengan pelan, bukan badannya yang sakit tapi hati dan jiwanya. “Tiara baik-baik saja, Bu.” Tiara langsung menundukkan kepalanya saat pandangan ibu mertuanya yang terkesan lembut tapi tegas seolah menelanjanginya. “Kamu pasti kesulitan dengan anak itu.” “Mas Farhan?” “Yah dia juga, tapi maksudku adalah anak yang kalian temukan itu.” “Alena maksud ibu, ehm... tidak sebenarnya dia anak yang manis.” “Benarkah? Tapi ibu tidak ingin membuat anak itu
Ruangan itu sudah seperti kapal pecah. Buku-buku berserakan di mana-mana, baju, botol parfum semuanya sudah tak pada tempatnya, dan sepertinya keadaan ini belum cukup kacau karena dari lemari pakaian mash berhamburan baju-baju. “Aku yakin itu ada di sini kenapa sekarang tak ada?” Disekanya peluh yang telah membanjiri keningnya dengan tangan yang kotor terkena debu di tangannya, membuat wajahnya yang putih bersih ternoda. Tiara terduduk di ranjang kamarnya menatap nanar semua kekacauan yang telah dia buat.Kotak itu tak ada. Padahal dia sangat yakin beberapa hari yang lalu melihatnya di dalam almari. Apa Farhan memindahkannya? Tapi kenapa? Tiara menarik napas panjang, bertanya pada Farhan bukan opsi yang akan dia pilih, laki-laki itu sangat protektif pada kotak itu. Di mana lagi tempat yang bisa digunakan Farhan untuk menyembunyikan kotak itu? tidak mungkin dibawa ke kantor? Tiara sedikit terkejut saat melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dia harus berge
Tiara mengerjapkan matanya saat merasakan tangan mungil menepuk pipinya. Alena tertawa senang memperlihatkan giginya saat Tiara membuka mata, refleks Tiara ikut tersenyum juga, dia memeluk anak itu sejenak. Bohong kalau dibilang tidak menyayangi anak ini, lebih dari satu bulan dalam pengasuhannya, membuat rasa sayang itu tumbuh subur, tapi saat mengingat siapa anak ini hatinya tidak baik-baik saja. Bagaimnapun dia hanya wanita biasa yang tidak ingin berbagi apapun dengan wanita lain, apalagi yang dikorbankan disini adalah kasih sayang seorang ayah untuk anak-anaknya. Dia tidak bisa menerima semua ini. “Ibu baik-baik saja, tumben bangunnya siang.” Senyum yang terulas di bibir Tiara langsung memudar saat mendengar suara sang suami. Tadi malam seingatnya Farhan yang meminum obat tidur tapii kenapa dia yang bangun kesiangan. “Aku hanya capek,” kata Tiara datar. Yah capek hati dan pikiran. “Ini sudah jam berapa?” Mata Tiara langsung membulat saat jarum jam sudah menunjukkan angka
“Ini bukan salahmu, jangan konyol.” “Tetap saja andai aku tidak mengatakannya kamu pasti tidak akan melakukan hal ini.” “Dan membuatku terus saja dibodohi, tidak terima kasih.” “Sepertinya kamu sudah menduga hasil dari test ini.” “Sebenarnya aku berharap dugaanku salah,” suara lirih Tiara yang penuh dengan kesakitan mengundang tatapan kasihan dari Keysa. Tiara berdecak kesal. “Jangan menatapku seperti itu, aku tidak suka dikasihani.” “Maafkan aku, tapi apa kamu tahu penampilanmu saat ini sungguh mengenaskan,” ejek Keysa. Tiara menatap kesal pada Keysa lalu mengambil ponselnya dan melihat pantulan wajahnya di ponsel itu. “Apa yang salah tidak ada noda di wajahku dan bajuku juga tidak aneh.” “Bukan itu maksudku, kurasa penampilanmu bahkan lebih pucat dari pada mayat, di mana temanku yang cantik dan membuat banyak laki-laki bertekuk lutut,” kata keysa dengan judes. Bersahabat sejak SMA membuat keduanya seperti saudara, bahkan Keysalah tempat satu-satunya bagi Tiara untuk bercer