Pita langsung tersentak dengan pertanyaan Aristela yang dirasanya sangat lancang itu, sementara menurut Aristela sendiri, dia takkan peduli jika perasaan Pita akan sakit atau teriris akan kalimat sadisnya, karena dia sudah terlanjur buruk mood-nya, ditambah lagi dengan dua wanita songon yang tambah memanas-manasinya.
"Kenapa diam? Apa ucapanku bener yah? Kalau memang bener, miris banget demi duit sampai segitunya mempermalukan diri sendiri, bahkan harga dirimu dapat ditukar dengan iphone," lanjut Aristela semakin sinis menatap Pita, Pita ingin membalas wanita itu, akan tetapi ... suasana di toko roti semakin ramai dengan hadirnya para pelanggan yang sedang menyaksikan adu mulut mereka.
Aristela yang merasakan situasi makin ramai, segera menghindari mereka yang terus menatapnya dan memilih untuk masuk ke dapur saja agar dapat menenangkan diri sejenak.
"Pagi-pagi langsung disemprot sama bos, nasib ... nasib," gumam Aristela. Karena semprotan tersebut, dia jadi mengingat hari-hari yang lain, di mana dirinya selalu saja dijadikan sumber masalah oleh karyawan yang cari muka, terutama Asma dan Pita, keduanya bagaikan ular yang kompak dan terus menatapnya sebagai mangsa yang harus disingkirkan atau dimusnahkan dari tempat ini, tetapi Aristela selalu kuat menghadapi gangguan mereka dan tidak akan menyerah sampai mereka sendiri yang mengibarkan bendera putih.
Namun, pada akhirnya dialah yang kalah karena terlalu lelah dengan semua tekanan yang menumpuk dalam batinnya, di lubuk hati gadis tersebut, dia merasa ada niatan untuk resign saja dari tempat kerjanya ini.
Tapi, nanti Aristela dapet duit dari mana? batin Aristela membuat dirinya sendiri berpikir keras untuk memilih, jika dia berhenti, maka ayahnya akan bertanya apa alasan untuk menentukan putusan tersebut.
"Tidak masalah sih, soalnya Ayah kan juga banyak duit, sementara aku sambil nyari kerja yang lain juga, atau enggak ... gimana kalau aku kuliah aja?" ujar Aristela berbicara sendiri, hingga sebuah tepukan dari belakang mengagetkannya, dan tak lain dan tak bukan, orang yang membuatnya seperti itu adalah bosnya sendiri.
"Kamu ngapain di sini, Aristela? Bukannya bekerja malah melamun sambil bergumam sendiri, atau ... kamu merencanakan sesuatu?" tanya sang bos dan Aristela menggeleng cepat.
"Tidak, Pak, saya hanya berpikir dan merasa ada niatan untuk resign," jawab Aristela, walau di dapur, lebih baik ia menyampaikannya langsung, mumpung bosnya sedang ada, jangan sampai dirinya ingin resign tapi sang bos langsung keluar kota, bisa-bisa dia menunggu lagi dalam waktu yang lama.
"Hah, resign? Apa penyebabnya? Atau ... jangan-jangan karena saya membentak kamu tadi?" tanya Pak Syahrul.
Jawaban dari seorang Aristela adalah sebuah gelengan dan disusul oleh senyum tipisnya sembari mengatakan, "Bukan itu, Pak. Saya ingin resign karena sudah lelah, lelah fisik dan batin, apalagi di tempat ini terdapat dua karyawan yang selalu cari muka, bahkan ada yang mengaku jika ingin merasakan kenyamanan di toko roti ini, kita harus menjadi simpanan," jawab Aristela dan Pak Syahrul mengerutkan keningnya karena belum bisa mencerna perkataan Aristela, terutama pada kalimat terakhir.
"Simpanan, maksudnya?"
"Mohon maaf yang sebesar-besarnya, mengetahui jika Pita adalah simpanan Bapak, tepat di detik itu pulalah saya menjadi kecewa dengan Anda, Anda sebagai pemimpin di perusahaan ini, tentunya harus objektif dan tidak membeda-bedakan, akan tetapi ... Bapak ternyata subjektif dan pilih kasih hanya karena diberikan labirin oleh karyawannya sendiri, terima kasih sebelumnya Pak karena telah menerima saya untuk bekerja di sini, maaf jika sekali lagi jika saya lancang, karena berita tersebut saya dapatkan dari Pita sendiri, kalau begitu, saya pamit undur diri dari pekerjaan ini." Jawaban Aristela begitu panjang lebar, membuat Syahrul benar-benar terkejut akan karyawannya yang mengetahui rahasia gelapnya. Dalam beberapa detik ke depan, Syahrul menggeram dengan tangan yang dikepal kuat, bahkan di dahinya terlihat urat yang sedikit menonjol karena pria tersebut menahan emosi yang hampir meledak.
"Aristela, tunggu!" teriak Syahrul, tetapi tidak ada respon di luar sana dan ia melihat di balik kaca yang ada di pintu dan tak menemukan tanda-tanda Aristela yang ada di sana, itu berarti ... Aristela benar-benar meninggalkan pekerjaannya.
"Pita, yah semuanya karena Pita," ucap Syahrul tersadar dari penyebab resign-nya Aristela, dengan langkah terburu-buru, Syahrul pun keluar dari ruangan tersebut dan mencari keberadaan wanita yang menjadi biang masalah.
Aristela tersenyam-senyum akibat kelegaannya karena telah lepas dari toko roti yang bagaikan neraka baginya, serta dirinya pun tidak akan bertemu dengan dua iblis wanita licik itu lagi.
"Semuanya," panggil Aristela yang berdiri di hadapan pintu keluar, setelah itu Aristela melambaikan tangannya kemudian menundukkan badan sebagai salam perpisahan.
"Terima kasih karena telah menjadi temanku di sini, tetapi tidak untuk dua wanita licik dan murahan itu, untuk karyawan lainnya, jangan seperti mereka berdua yah, karena sebentar lagi, kalian akan melihat akibat dari ulah mereka yang selalu saja cari perhatian bahkan sampai menghasut Pak Syahrul dengan segala godaan serta rayuan fitnah mereka untuk menjatuhkan karyawan yang berkualitas di sini, dan salah satunya aku yang menjadi korban. Mulai detik ini, aku telah resign dari toko roti, maka dari itu, kalimat ini akan menjadi salam perpisahan kita, kalau begitu, diriku pergi dulu," jelas Aristela dan semuanya terkejut begitu saja, perasaan para karyawan menjadi campur aduk dalam kesedihan serta kebahagiaan, di mana kesedihan tersebut berasal dari berhentinya Aristela, sementara rasa senang yang berada di sisi lain, disebabkan oleh kedua wanita licik Asma dan Pita itu, akan segera mendapat balasannya.
"Aristela, jangan pernah melupakan kami!"
"Tentu, kalian teman kerja yang baik, selamat tinggal!"
"Selamat tinggal!" balas para karyawan yang mulai menitikkan air mata saat punggung Aristela perlahan menghilang dari pelupuk mata.
"Pita!" Tiba-tiba, suara menggelegar dari arah dapur mendiamkan suasana di sana, tidak peduli dengan pelanggan yang menatap Pita penuh kesinisan saat Aristela mengungkap alasan dirinya berhenti bekerja dari toko roti ini.
"Kamu, temui saya di ruang kerja, sementara saya ingin mendengarkan kalimat jujur dari karyawan lainnya dan jangan ada yang takut karena akulah yang akan bertanggung jawab atas ketidaknyamanan dari dua orang yang bekerja di tokoku. Pertanyaanku adalah, selain Pita, siapa yang membuat Aristela merasa tidak betah bekerja di sini? Sampai-sampai di berhenti untuk bekerja, padahal sebelumnya saya sangat khawatir jika dia berhenti karena bentakan saya tadi pagi, ternyata tidak karena Aristela memang mengakui kesalahannya, serta sikap saya tadi pagi itu merupakan bentuk ketegasan untuk tetap di siplin, jadi ... sekarang beritahukan siapa wanita selain Pita yang selalu cari perhatian di tempat ini?"
Kompak, semuanya menunjuk arah Asma, dan detik itu pulalah, Asma menggigit bibirnya dengan penuh ketakutan, karena di saat itu pulalah nasibnya akan berakhir buruk.
...☆▪︎▪︎☆...
Para karyawan yang bekerja di toko roti, tak bisa bertanya apa-apa lagi tentang nasib Asma dan Pita, karena keduanya otomatis diberhentikan atau dipecat oleh Pak Syahrul secara kejam di sana.Bahkan Asma mengeluarkan air matanya sembari memohon-mohon kepada bosnya itu untuk tidak memecatnya. Namun, Pak Syahrul tak mengucapkan apa-apa selain menunjukkan ekspresi wajah yang tidak bersahabat, sementara Pita? Wanita itu sudah pasrah dengan apa keputusan Pak Syahrul, karena perasaannya sekarang ini hanya bisa menanggung penyesalan serta emosi yang besar terhadap si Aristela itu."Untuk apa lagi kalian berada di sini? Cepat keluar dari tokoku, aku tak sudi melihat wajah kalian berdua, cepat angkat kaki!" bentak Pak Syahrul dan keduanya pun langsung pergi dari tempat tersebut dalam keadaan malu nan menunduk."HUU" sorak-sorakan dari para karyawan yang puas atas perginya mereka berdua yang akhirnya membuat karyawan-karyawan di
Saking senangnya Aristela karena dapat membantu Pak Raden bekerja, menimbulkan sesuatu yang akward, di mana gadis tersebut menabrak pria seumurannya yaitu Aderald karena tidak terlalu fokus ke depan."Sial, cokelat panasku!" desis Aderald melihat cokelat panasnya yang terbuang sia-sia karena Aristela yang menabraknya, tak hanya itu, dia pun merasa panas karena percikan air minumannya itu mengenai kaki Aderald."Ma-maafkan aku, aku terlalu gembira sehingga menabrakmu, ngomong-ngomong namamu siapa? Aku lupa." Aristela masih sempat bertanya di situasi tersebut dan Aderald memuta bola matanya malas lalu menatap Aristela dengan lekat + tajam."Namaku Aderald, lain kali hati-hati berjalan, dasar merepotkan, aku akan menuntutmu untuk menggantikan cokelat panasku, calon saudara tiri yang nakal," jawab Aderald dengan tambahan balasan yang agak jahil di akhit kalimatnya karena Aristela merinding begitu saja melihat kedipan mata pria di
Aristela POVSelesai membantu Pak Raden ada kepuasan tersendiri dalam diriku, apalagi melihat bapak tersebut semakin mudah pekerjaannya, apalagi beliau pun sudah agak tua, jadi staminanya sedikit berkurang di banding dia waktu muda.Pak Raden begitu senang menyampaikan rasa terima kasihnya dan aku membalasnya dengan senang pula bahwa aku pun menikmati kerja-kerja tadi, yang entah kenapa sikap Pak Raden tiba-tiba berubah di mana dirinya menunduk sembari tersenyum lalu pergi begitu saja, kemungkinan bapak lagi ada urusan lain jadi agak terburu-buru dilihatnya.Aku mencari keberadaan Aderald karena aku mengingat perkataan pria itu yang terlihat mulai membuka diri dan ini adalah kesempatan bagus untuk memanfaatkan agar aku dapat akrab dengannya."Aderald ke mana, yah? Enggak ketemu-ketemu orangnya, kemungkinan ada di ko-""Kenapa?"Aku terkejut, Aderald menepuk pundakku tiba-tiba dan me
Author POVSudah jam setengah dua lewat dua belas, dan di waktu itulah Adnan baru keluar dari pintu gerbang sekolahnya dan menunggu Aristela, dia pun menuju halte bersama temannya untuk nongkrong di sana."Adnan, tadi kalau enggak salah, gue liat lo lagi ngebonceng cewek cantik, lo dapet dari mana?""Rahasialah, nanti dia dateng lagi buat ngejemput gue, jangan sampai kalian-kalian ngeliat mukanya, kalau sampai, auto jatuh cinta saking cantiknya," jawab Adnan dan teman-temannya ingin menjitak si Adnan."Pelit banget lo, kasih taulah, kalau cocok sama gue, nanti dicomblangin yah," pinta pria yang bernama Garda dan Adnan langsung melarang."Heleh, enggak mau gue! Kalau dia pacaran sama lo, auto dirusakin, lo kan nafsuan tinggi sampai puncak patung mariana, dikit-dikit punya burung langsung baper, apalagi cewek yang gue bonceng tadi beningnya enggak ketulungan, mulus coy," balas Adnan.
Aristela harus berhenti di pertengahan jalan, gadis tersebut merasa lupa sesuatu dan ia terus mencoba untuk mengingatnya kembali, beberapa menit berkutat dengan memori, akhirnya Aristela menemukan jawaban, bahwa dia ketinggalan ponselnya di rumah Adnan, maka dari itu ... Aristela menghela napas karena dia harus putar balik, dia menjadi heran, padahal sebelum pulang, dirinya membahas mengenai papanya yang akan dia hubungi. Namun, namanya juga sifat lupa itu adalah manusiawi, manusia takkan bisa mengelak salah satu sifat wajar tersebut.Aristela pun sampai di rumah megah Tante Cahyani, langkahnya cepat-cepat memasuki rumah tersebut dan menuju suatu tempat di mana dirinya meletakkan ponsel tepat di ruang keluarga dan berada di samping televisi."Adnan!" panggil Aristela memanggil bocah tersebut, Adnan yang asik ganti baju, segera keluar kamar walau dia bertelanjang setengah-hanya bagian bawah saja yang ditutupi-Adnan segera ke pusat suara dan m
"Gila! Aku enggak akan mau, walau kalian mengancam untuk membunuhku, lebih baik aku harus mati," balas Aristela dengan nada yang murka, tetapi perlahan wajah marahnya berubah menjadi sendu dengan air mata yang diiringi isak yang pelan, "bukan ini yang aku mau, Kak, aku selalu mencoba terbuka kepada kalian agar kita bisa menjadi saudara yang akrab, tetapi aku selalu ragu dan takut, jadi ... aku hanya selalu berbicara dengan Adnan sahaja. Bahkan waktu sebelum diriku menjemput Adnan, diriku sempat berbincang bersama Aderald, yang kurasakan waktu itu adalah senang dan sangat bahagia, karena aku yakin, satu per satu akan mulai terbuka pada diriku, akan tetapi ... dengan kejadian yang baru ini, semua kepercayaan diriku untuk mengenal kalian lebih dekat, telah sirna," lanjut Aristela dan tangisnya pun menjadi pecah.Abraham, Agam, dan August, serta Aderald terharu mendengar kejujuran Aristela, tetapi tidak setuju dengan kalimat akhirnya, hingga sang kakak yang
Cahyani sangat panik dan khawatir ketika mendapat telepon dari Agam bahwa si Adnan ada di rumah sakit, ibu dari lima anak itu pun sampai di lokasi tujuan dan mendapati Adnan yang belum sadarkan diri."Mamah pusing banget sama kalian, udah berapa kali Mamah kasih tau kalau jaga Adnan dan selalu awasi dia, karena anak itu memang selalu lari-lari tanpa sadar kalau hal itu bisa membahayakan dirinya, apalagi kalau Adnan udah panik, malah semakin menjadi-jadi, memangnya ... apa yang terjadi sampai adikmu lari seperti kesetanan?" tanya Cahyani yang marah kepada Agam, August, dan Aderald.Sebagai kakak tertua di situasi sekarang ini, Agam mulai menjelaskan semuanya, kalau Adnan lari terbirit-birit karena melihat Aristela yang tidak sadarkan diri ketika berada dalam gendongan Abraham, lantas ... Adnan mengira jika keempat abangnya melakukan hal yang tidak-tidak kepada putrinya Pak Adibal.Penjelasan tersebut membuat Cahyani kembali be
Aristela menjadi salah tingkah apabila Abraham mendekatkan diri pada gadis tersebut, dan sekarang ... hal tersebutlah yang dilakukan oleh Abraham pada Aristela saat ini, jarak mereka begitu dekat sehingga Aristela dapat merasakan embusan napas dari pria tertua dari lima bersaudara ini."Kenapa diam? Bukannya kamu begitu terang-terangan memerlihatkan rasa sayangmu pada Adnan? Lalu, mengapa padaku kau terlihat berat sekali? Padahal kami sama walau hanya berbeda umur," ujar Abraham dan Aristela menggeleng pelan dan perlahan bergeser agar dirinya bisa berjauhan sedikit. Namun, Aristela tidak dapat bergerak banyak lantara wanita itu sudah berada di pojok sofa, bisa-bisa dia terjatuh jika semakin bergeser."Hei, ayo jawab dan silakan lampiaskan rasa marahmu dengan kasih sayang padaku," ucap Abraham dan aroma napasnya merasuk dalam penciuman Aristela."Kak Abraham, dirimu dan Adnan tentu berbeda, a-aku tidak dapat menyamakan d