Share

BAB 5

"Kamu kenapa cuma mematung di situ? Kamu gak mau mendekati pamanmu ini?" ujar Arini dengan tatapan sinis ke arahku yang sedang berdiri disamping Bibi.

"Oooh... Iya Rin..." tukasku seraya menghampiri paman.

"Paman maafin aku karena aku gak bisa membantu untuk pengobatan paman," ucapku pada paman karena merasa kasihan pada paman yang sedang terbaring lemah diatas kasur lusuh itu.

"Gak kenapa-kenapa... " paman berusaha menggeleng-gelengkan kepalanya.

Selang beberapa menit ku lihat jarum jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 17.30 WIB. Aku pun segera pamit kepada Bibi, Paman dan Arini yang masih menoleh ke arahku.

"Bi... Sepertinya aku tidak bisa lama-lama disini karena hari sudah hampir senja. Aku mengkhawatirkan keadaan ibu dan Geri yang berada di rumah," ungkapku pada Bibi.

"Baiklah... Kamu pergilah sekarang! Kasihan mereka gak ada yang menemani," ucap Bibi.

Dengan cepat ku langkahkan kakiku melewati batu dan kerikil yang berserakan di sepanjang jalan. Entah mengapa rasanya jalan pulang itu terasa begitu lama dan jauh sekali padahal saat ingin ke rumah Bibi terasa begitu cepat.

"Allahuakbar Allahu Akbar..."

Terdengar suara azan telah berkumandang dari masjid yang berada tak jauh dari posisiku saat ini.

Perjalananku masih lumayan jauh dan rasa cemas semakin kurasakan.

"Bagaimana ini? Penyakit ibu pasti mulai kambuh," gumamku dengan terus berlari.

Setelah cukup jauh berlari akhirnya aku tiba di depan rumah. Aku mencoba mengatur nafasku yang masih tersengal-sengal karena kecapekan. Tak sengaja aku menatap ke arah pintu utama dan jendela yang ternyata sudah tertutup semua.

"Loh... Siapa yang menutup semua pintu itu? Apa ayah sudah pulang?" Dengan cepat ku dorong pintu utama.

Dari kejauhan nampak ayah tengah menggendong adikku.

"Ayah?" ucapku pada ayah yang kaget melihat aku yang tiba-tiba sudah muncul di ambang pintu.

"Kamu dari mana saja Nis? Kenapa kamu meninggalkan ibu dan adikmu di rumah?" tanya ayah.

"Kamu lihat kan Ibumu!" timpal ayah seraya menunjuk ke arah ibu yang kembali marah-marah gak jelas seperti biasanya terjadi di setiap senja.

"Maafkan aku yah... Tadi aku disuruh ibu untuk menjenguk paman yang baru kecelakaan yah," ujarku.

"Kenapa lama? Kalau saja ayah lama pulang tadi, ayah gak bisa membayangkan gimana keadaan adikmu."

"Iya yah... Aku gak akan meninggalkan ibu dan Geri lagi," ungkapku pada ayah yang nampak kecewa kepadaku.

Tak berselang lama akhirnya ibu kembali sadar.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku menemui ayah yang sedang duduk di dekat ibu dan Geri.

"Yah... Apa ayah gak merasa ada sesuatu yang janggal dengan ibu? Kenapa penyakit ibu cuma datang disaat senja tiba saja? Apa gak sebaiknya kita bawa saja ibu ke tabib Yah?" usulku pada ayah yang sibuk menggendong Geri.

Ayah nampak diam sejenak. Sepertinya ayah sedang mencerna omongan aku yang masih dianggap kecil oleh ayahku padahal aku sudah duduk di bangku SMA. Dan aku sudah bisa membedakan mana yang benar dan yang salah.

"Gak usah ke tabib! Kita gak punya banyak uang untuk membayarnya. Lebih baik sama pamanmu saja! Kalau sama pamanmu sudah pasti gratis!" usul ibu dari tempat duduknya.

"Jangaaaaan Bu! Eh... Maksudnya jangan sama paman bu soalnya pamankan masih sakit jadi mana mungkin dia bisa menyembuhkan ibu sedangkan buat menyembuhkan diri dia sendiri aja gak bisa," ucapku yang berusaha mengalihkan pembicaraan agar ibu gak marah kepadaku.

"Benar juga kata Nisa, Her. Sebaiknya kita pergi ke tabib saja! Sudah sekian lama dan sekian banyak obat yang di minum tapi tak ada satupun yang membuatmu kembali sembuh," ungkap ayah yang ternyata menyetujui pendapatku.

Ibu pun nampak mencerna omongan ayah.

"Baiklah... Aku setuju! Lagian aku sudah tak sanggup menanggung sakit ini," gumam Ibu dengan mata yang berkaca-kaca.

"Syukurlah kalau ibu setuju. Aku yakin ibu akan segera sembuh," ucapku dengan begitu sumringahnya.

"Tapi ayah mesti mengumpulkan uang dulu," sambung ayah tiba-tiba.

Aku kembali teringat dengan apa yang dikatakan Bibi tadi kalau ayah belum membayar hutang kepada Bibi. Lalu ayah kemanakan uang itu?

"Maaf Yah, bukannya aku lancang tapi bukannya kemarin ayah sudah gajian?" tanyaku.

"Iya... Tapi sebagian sudah ayah gunakan untuk membayar hutang pada Bibimu," cetus ayah.

"Apa?" Seketika aku pun mendongak mendengar pernyataan yang diucapkan ayah.

Aku kaget mendengar pernyataan itu. Berarti Bibi berniat menjelek-menjelekkan ayah kepadaku. Entah apa alasannya? Yang jelas aku tidak akan pernah percaya lagi dengan omongan Bibi.

"Iya nak... Ayah pasti berusaha untuk mencari uang lagi agar kita bisa membawa Ibumu ke tabib secepatnya," ujar Ayah.

"Iya Yah... " Aku memanggutkan kepala ku seraya memeluk ayah dan adikku yang masih dalam pangkuan ibu.

"Iya udah. Hari ini kamu jagain ibu dan adikmu di rumah ya! Jangan sesekali kamu tinggalkan mereka lagi," ucap Ayah dengan tegas.

"Baik Yah..."

Kebetulan hari ini aku libur sekolah jadi akulah yang bertugas sepenuhnya menjaga ibu dan Geri.

Ayah pun segera berangkat ke sawah.

Aku tak tinggal diam. Aku mulai mengerjakan perkerjaan rumah dan semua pekerjaan rumah ku selesaikan satu persatu mulai dari mencuci piring hingga membersihkan rumah.

Setelah seharian cukup lelah bekerja akhirnya akupun bersantai diatas kursi yang ada di ruang tamu sembari memainkan gawai ku. Kebetulan juga ibu dan Geri sudah tertidur pulas jadi aku bisa beristirahat dengan tenang.

Dan tak lama berselang, ku lihat jam sudah menunjukkan pukul 18.00 WIB. Aku bergegas berjalan menuju jendela yang di dekat pohon pisang dan berencana akan menutupnya namun tak sengaja aku kembali melihat sosok laki-laki yang memakai hodie hitam tengah menggali-gali di bawah pohon pisang itu lagi.

"Kali ini aku harus tahu siapa sosok dibalik hodie itu sebenarnya?" Aku pun berlari menuju halaman dan sesampainya di halaman aku kembali berjalan dengan mengendap-endap menuju sosok tersebut.

Saat ini aku berdiri tepat di belakang sosok tersebut.

"Heh... Kamu siapa?" tanyaku sembari memegang bahunya.

Namun sosok tersebut tak sedikitpun menoleh ke arahku. Ia malah kabur. Namun Hodienya terdengar ada sobekan karena aku berusaha menahannya namun kekuatannya tak sebanding denganku.

Aku berusaha mengejarnya hingga beberapa meter namun aku tak berhasil mengejarnya karena sosok tersebut berlari dengan begitu kencang.

"Sebenarnya siapa sosok itu? Dan apa yang dia lakukan di bawah pohon pisang itu" gumamku.

Aku berencana ingin kembali ke dekat pohon itu tapi langkah kaki ku terhenti saat suara azan mulai bergema dari masjid.

"Astaga... Ibu dan Geri?" Dengan terpaksa aku membatalkan untuk mencari tahu apa yang telah dilakukan sosok tersebut karena aku harus menemani ibu dan Geri di ruang tamu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status