"Mmm ... Bella benar, akulah pemimpi itu."
Dengan wajah sedih, Ivana melihat ke atas tempat tidur, tempat tadi Faris tidur, sebelum dirinya ke kamar mandi, kini kosong. Hanya ada kotak berbungkus kertas kado dan kotak kain beludru warna merah.Ivana mengunci pintu kamar dan kembali ke ranjang, dengan perlahan dia membuka kotak kain beludru."Sudah aku duga," ujar Ivana, saat dia melihat di dalam kotak itu terdapat satu set perhiasan lengkap dengan surat suratnya.Kotak berisi perhiasan itu dia tutup kembali dan meletakkannya ke atas nakas di samping ranjang."Terima kasih Naya."Dengan tersenyum, Ivana meletakkan kertas yang baru daja dia baca, lalu membuka bungkusan yang dia yakini telah dititipkan oleh sahabatnya, Naya.Kening Ivana tiba tiba mengerut, saat melihat isi di dalam kotak, ada sebuah jam tangan dan ... permen.Permen yang membuatnya bisa merasakan menjadi seorang istri yang utuh.Ivana teringat lima bulan yabg lalu, tepatnya seminggu setelah dirinya resmi menjadi istri Faris."Belum tidur, Va?" tanya Faris sambil melangkah menghampiri Ivana yang sedang sibuk dengan laptopnya. Di ruang keluarga."Belum, Mas sendiri kenapa kok belum rehat?" tanya Ivana yang memalingkan wajahnya ke arah Faris, sekejap. Lalu kembali menekuni keybord di depannya."Nggak datang ngantuknya. Gara-gara tadi siang sempat tidur di kantor," jawab Faris sambil sesekali merubah chanel TV, yang kemudian menghempaskan badannya di sofa panjang, samping sofa yang di duduki Ivana.Ivana hanya meng_angukkan kepala beberapa kali, matanya kembali menatap laptop, sesekali juga tangannya bergerak lincah mengetikkan sesuatu."Tugas apa, Va?" tanya Faris lagi."Laporan praktikum, laporan terakhir."Ivana menjawab singkat, karena tahu Faris bertanya hanya basa basi saja."Ooo ... mmm, berapa kau beli permen ini? Bungkusnya terlihat asing?!"Faris memajukan badannya dan mengulurkan tangan meraih permen di atas meja depan TV.Ivana hanya menoleh ke bungkus permen yang ada di tangan Faris. Tak menjawab."Aku minta permennya, ya?" pinta Faris."Permen apa itu, ya? Aku kok nggak ngerasa punya," jawab Ivana, penasaran, tangannya ikut meraih permen, membuka dan memakannya."Terus punya siapa?" tanya Faris dengan mulut penuh."Punya Naya mungkin, ketinggalan." Ivana menjawab tanpa menoleh, matanya kembali meneruskan menyelesaikan laporan.Perbincangan ringan mengalir antara keduanya. Seakan sekat yang kemarin menghadang antara mereka kini terberai.Hingga pada menit ke sekian, entah siapa yang memulai? Siapa yang menggoda siapa? Ivana dan Faris saling raba, saling mengecup dan saling menandai. Tak ada penolakan saat Faris membopong tubuh Ivana masuk ke dalam kamarnya.Malam itu Ivana memberikan hak Faris sebagai suami, nafkah bathin yang seharusnya terjadi dua bulan yang lalu, terbayar lunas. Walau ada isak, tapi Ivana ikhlas."Aduuh!" jerit Ivana dengan suara tertahan, saat dia merasa ada yang nyeri di pangkal pahanya."Masih sakit?" tanya Faris yang terbangun saat Ivana mengaduh kesakitan.Iva mengangguk, tanpa berani bertatapan, semu merah wajahnya terlihat lucu dan menggemaskan. Hingga membuat Faris tersenyum."Maap," lirih Faris merasa bersalah matanya tak putus menatap wajah Ivana."Aku tidak tahu kenapa semalam aku lepas kendali, aku tak bisa menahan hasratku," ujarnya lagi, sambil memunguti pakaian miliknya dan Ivana yang berserakan."Tidak apa, memang seharusnya terjadi, aku istrimu, suka atau tak suka sudah kewajibanku sebagai istri untuk melayani hasrat suami," jawab Iva tulus, walau sebenarnya di hatinya masih terganggu dengan persyaratan-persyaratan yang Faris pernah ucapkan.Seperti yang pernah di amanahkan Umi kepadanya. Setidaknya mahkota yang dia jaga selama ini, suaminyalah yang mengambilnya, terhormat bukan?"Mau ke mana?" tanya Faris saat dilihatnya Iva dengan tertatih seperti menahan sesuatu, mencoba turun dari ranjang."Mau ke kamar mandi, Mas."Ivana menjawab dengan malu-malu, ini kali pertama dia telanjang dan mengenakan baju di depan seorang pria, walau pun pria itu sudah sah menjadi suaminya.Faris melangkah mendekat, dan dengan sigap meraih tubuh Ivana, digendongnya menuju kamar mandi."Eh ... Mas! Mas!" jerit Ivana yang tak menyangka Faris akan menggendongnya. Sungguh ini pengalaman yang sangat membahagiakan buat Ivana, senyuman itu selalu terukir di bibirnya.Belum reda dengan kagetnya atas perlakuan Faris, Ivana kembali menaham malu dengan hanya bisa menggigit bibir bawahnya. Sentuhan kulit untuk yang ke dua kalinya menimbulkan gesekan yang membuat wajah Ivana blushing lagi."Mau sendiri atau aku temani ke dalam kamar mandi," tanya Faris dengan senyuman shirknya, menurunkan Ivana di depan pintu masuk kamar mandi.Tanpa menjawab Ivana langsung melangkah masuk ke dalam, dan segera menutup pintu, meninggalkan Faris yang tersenyum sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Ternyata sahabat adikku ini cantik juga ya?" desis Faris yang melangkah menjauh dari kamar mandi."Apa ini?!" tanya Faris pada dirinya sendiri saat melihat ada noda bercak merah di beberapa bagian sprei.Faris terdiam. Namun itu hanya sesaat, karena saat ini wajah lelaki tampan itu terlihat sangat senang dengan senyum bibirnya yang lebar.****"Nay ...!" panggil Ivana, nyaris tak terdengar, saat mereka duduk berdua, berdampingan, di kantin fakultas.Naya tidak menjawab panggilan Ivana, hanya mengalihkan pandangan dari buku ke arah wajah sahabatnya. Sambil mengangkat ke dua alisnya, isyarat bertanya ada apa?"Aku mau nanya sesuatu boleh, nggak?" Ivana dengan ragu membuka suaranya.Naya tersenyum, ini pasti pribadi banget. Jarang terjadi seorang Ivana mau bertanya tapi izin dulu."Mau bertanya apa, sayang?" tanya Naya, tangannya memberi tanda lipat kecil di ujung buku lalu kemudian menutup dan menaruhnya di atas meja di depannya."Ini permen apa?" tanya Ivana dengan ragu-ragu dan muka yang memerah, perlu keberanian yang tinggi untuk bertanya ke Naya. Dengan segera diulurkan tangannya menunjukkan bungkus permen tanpa isi.Naya yang sebelumnya hanya melirik ke tangan Ivana, seketika melonjak kaget sambil tesenyum kegirangan."Ketinggalan di rumahmu ya, kenapa nggak kepikiran kalo ketinggalan? Aku pikir jatuh di jalan," cerocos Naya sambil mengambil bungkus permen di tangan Ivana yang hanya terdiam melihat kelakuan sahabatnya itu."Syukur dah, kalo ketinggalan di rumahmu," lanjut Naya dengan tangan membolak balikkan bungkus permen"Eh ... kamu tahu nggak? Ini permen ajaib, aku sengaja beli online, pengin tahu bagaimana reaksinya kalo ke hewan."Naya berkata lebih pelan, saat mendekat ke telinga Ivana. Takut kedengaran orang lain."Ini permen perangsang, tau?" Naya tersenyum, pandangan matanya fokus pada wajah Ivana.Ivana yang mendengar bisikan dari Naya, terkejut sesaat, lalu kembali menstabilkan hati dan gerak badannya seolah yang diucapkan Naya tidak mengusiknya."Kau buat apa dengan permen itu, Nay? Jangan bikin sesuatu yang aneh-aneh dong," ujar Ivana bersikap wajar, mencoba mengalihkan perhatian Naya."Tapi ini kok bungkusnya aja, Va. Kamu memakannya ya?" selidik Naya. Pandangannya kembali fokus dan tak menghiraukan pertanyaan Ivana."Tapi aku bersyukur, permen ini tidak jatuh ke tangan yang salah, aku jadi nggak lagi kepikiran. Takutnya yang makan anak anak atau ah ... Sudahlaah, kita pulang yuk?!" Naya segera berdiri, mengemasi barangnya yang tadinya berserakan di atas meja, kemudian melangkah pergi.Ivana menarik nafas panjang sambil mengamati Naya yang sibuk bersiap pulang."Untung Naya tidak memperpanjang masalah permen." Ivana bergumam lirih.Terjawab sudah misteri 'malam pertama' yang terjadi bukan karena mas Faris mencintai atau menerima Ivana. Namun karena permen perangsang milik Naya.Terserah mau dengan cinta atau tanpa cinta, intinya Ivana telah mengikhlaskan kehormatannya untuk suaminya yang 'SAH'.Naya yang melihat Ivana tetap duduk terdiam. Melangkah kembali menghampiri sambil terus memanggil sahabatnya. Namun tak ada respon dari Ivana."Va ... !" panggil Naya untuk yang kesekian kalinya sambil mencolek hidung Ivana."Kamu lagi mikiran apa? Ayo cerita, kamu, sehatkan?" cecar Naya lagi. Tangannya yang usil menjowel pipi kanan sahabatnya."Eh ... apa?" gelagapan Ivana tersadar dan menjawab pertanyaan Naya dengan balik bertanya pula."Mikir apa?" Naya kembali bertanya untuk yang ke dua kalinya. Ia malah kini duduk kembali. Tangannya di lipat di atas meja, dengan mata fokus ke arah Ivana. Siap mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh kakak iparnya itu."Apa ada hubungannya dengan permen yang tadi?" selidik Naya, gemes melihat Ivana hanya diam, tak menjawab pertanyaannya."Va ... Please, ada apa denganmu?" Sekarang Naya benar-benar khawatir dengan keadaan sahabatnya. Tak biasanya diam saat sedang berdua bersama"Karena permen itu, Mas Faris sudah mengambil kehormatanku, Nay," jawab Ivana dengan suara pelan dan kepala tertunduk menyembunyikan air matanya.Naya dengan mata membulat, kaget. Ia sontak merengkuh badan Ivana dan membawanya ke dalam pelukannya."Maap, maap!"Ucapan Naya di telinga Ivana terdengar beberapa kali, mereka menangis berdua sambil berpelukan."Papa di mana, Ma?!" tanya Naya, saat dirinya yang baru datang dari rumah sahabatnya, hanya bertemu dengan Mama yang baru saja turun dari lantai dua."Di ruang kerjanya, memangnya ada apa? Kok tumben, baru masuk rumah sudah nanya Papa? Lagi pula kamu dari mana aja, Nay? Kenapa pulangnya malam begini?"Mama menjawab sekaligus bertanya pada anak perempuannya yang baru saja memeluk dan mencium ke dua pipi."Dari rumah Ivana, Ma," jawab Naya, yang melangkah ke arah kamar yang di jadikan sebagai kantor Papa kalau di rumah. "Kamu sudah makan malam? Kalau belum, sini temani mama makan," ajak Mama penuh harap."Masih kenyang, Ma. Di rumah Ivana tadi, aku terlalu banyak makan gorengan." Naya menjawab tanpa menoleh. "Oh iya, sekarang Ivana ulang tahun, ya? mama dan Papa tadinya juga mau ke sana, hanya saja tadi pagi ada insiden tidak mengenakkan sehingga membuat papamu terlupa tentang niatnya tadi."Langkah Naya tiba tiba terhenti, perempuan cantik itu membalikkan badannya kembali ke arah M
"Halo, ada apa Nay?" tanya Ivana, siang itu kepada orang yang sedang menelponnya.[Va, kamu nggak ke kampus?] terdengar suara Naya yang bukannya menjawab, malah balik bertanya."Aku sedang nggak enak badan, Nay." [Kamu kenapa? Sakit?]"Masuk angin mungkin, tadi malam ketiduran di balkon."[Jangan ke mana mana, ya. Setelah dari sini aku bakalan ke sana.]"Sungguh! Kalau bener mau ke sini, boleh nggak aku minta tolong kamu? Tolong ambilkan hasil pemeriksaan yang kemarin di rumah sakit."[Ke Dokter Agustien kan, ya?]"Iya ...."[Ok, aku bakalan ambil.]"Makasih ya, terus kalo udah dalam perjalanan ke sini. tolong belikan ice cream coklat ya, please."[Ok, siap!]"Makasih ya ... Nay," jawab Ivana sambil menutup ponselnya, sesaat setelah mendengar Naya menjawab salam dan menutup pembicaraan lebih dulu.Dari kemarin Ivana merasa kondisi badan tidak enak, Namun suhu badan tidak panas, hanya pusing dan lemas aja, dan ditambah selera makan yang turun drastis.Saat hendak menaruh phone ke temp
"Aku berhak bahagia, Nay. Mas Faris pun juga.""Tapi kondisi---""Aku bahagia, masih ada kamu, Umi. Ada Dimas dan Rizal," ujar Ivana di antara gemetar suaranya. Naya mendekati Ivana dan memeluknya, Namun terlihat raut amat sedih Naya, yang merasa bersalah. Perlakuan kakaknya telah membuat sahabatnya menderita."Aku akan menjagamu, Va. Percayalah.""Makasih, Nay. Kamu tetap adikku, mantan adik ipar, jangan songong loo." Ivana tersenyum mencoba keluar dari zona sedih. Tanpa mereka berdua sadari. Dari arah dapur, tampak Mak Ijah dan Pak No dan empat perempuan berseragam, saling bertatapan karena mendengar pembicaraan itu sejak awal, mereka terdiam sedih."Apakah, kau membawa apa yang aku pesan, Nay?" tanya Ivana."Oiya, ini hasil pemeriksaan yang kau minta, tapi hanya fotokopiannya saja, yang asli dipegang dr. Sinta." Naya memberikan map warna kuning ke Ivana untuk ke dua kalinya."Menurut, dokter Sinta. Laporan itu udah lengkap dengan diagnosa gejala awal, sampai beberapa stadium lan
Akhirnya Ivana mengangguk, lalu kembali duduk sambil memperhatikan Naya dan dr. Agustien yang sedang siap siap."Ada berapa korban, Sus?" tanya Dokter sambil menggunakan jas putih kehormatannya."Dua, Dok. Yang parah satu, korban laki-laki. Sedangkan yang satu lagi, perempuan, hanya luka biasa saja," terang perawat."Satu di antara kalian, ayo ikut!" Menunjuk ke arah Dimas dan Rizal."Siap, Dok!" ujar Dimas, berdiri dan segera melangkah keluar dari kamar pemeriksaan."Zal, kalau mau berangkat ke panti lebih dulu, tak apa, malah menurutku itu lebih baik. Aku dan Naya gampanglah, pulangnya bisa nanti," ujar Dimas sebelum benar benar keluar dari kamar."Aku nunggu Naya dan kamu selesai aja di sini, nggak lama kan?" Ivana menjawab pertanyaan Dimas ke Rizal."Ya udah, terserah." Dimas menjawab dan kemudian berbalik arah kembali keluar dari ruangan. Menyusul Naya dan Dokter Sinta."Kamu yakin mau menunggu Naya dan Dimas, nggak mau balik duluan, mending istirahat di Panti?" Rizal bertanya
Langkah Rizal terhenti, saat menoleh ke belakang dan melihat wajah Ivana yang sudah mengembungkan ke dua pipinya, terlihat menggemaskan."Udah, nggak usah di ambil hati. Kayak anak kecil aja," rayu Rizal yang di balas dengan senyum bahagia Umi. Tak pernah di sangka sebelumnya oleh Rizal jika Ivana yang terlihat anggun, ternyata muncul manjanya jika di depan Umi."Ayo ... makan yang banyak. Biar gemuk!" Umi mengambil piring dan meletakkan nasi di atasnya untuk Ivana dan Rizal."Tak usah repot, Mi. Biar Aku aja yang melayani Rizal. Eh ... Umi nggak makan bareng kita?" tanya Ivana yang kemudian mengambil alih piring di tangan perempuan yang sudah dia anggap seperti ibu kandung."Nggak, tadi sebelum kalian datang aku sudah makan kok, bareng sama yang lain," jawab Umi dengan raut wajah yang masih kelihatan cantik di usia senjanya itu, kini tiba-tiba berubah sedih."Umi, maap ... aku hanya tak ingin merepotkan Umi, itu saja kok," sesal Ivana saat menyadari perubahan raut muka Umi.Perempua
Sudah dua hari Dimas setia mendampingi keluarga Naya di rumah sakit, bergantian dengan Mama dan Papa, menjaga Mas Faris.Semua proses penyembuhan yang di sarankan tim dokter sudah di lakukan. Namun, Mas Faris masih belum sadar, dan masih dalam pengawasan ketat tim Dokter. tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam kamar rawat mas Faris, sekali pun itu adalah keluarga. "Nay, kamu udah hubungi Ivana, belum? Mama kok nggak pernah ketemu selama kakakmu sakit dan di rawat di sini?" tanya Mama, perempuan yang telah melahirkan Naya dan Faris itu dengan nada sedih."Belum, Ma. Aku lupa." Naya berbohong tentang alasan kenapa tidak menghubungi Ivana, sejujurnya dia hanya tak ingin menambah beban untuk mantan kakak iparnya itu lagi. "Sudah ... tak usah di kabarin si Ivana. Aku tidak tahu harus menjawab apa kalau dia nanti bertanya macam macam tentang yang di alami Faris. Lagian udah jadi mantan istri si Faris kok. Jadi tak perlu lagi merepotkannya." Papa nyeletuk tanpa basa basi, saat mereka
"Aku belum minta maaf atas salahku dulu, Pa. Dan sekarang anak kita jahat pada anaknya. Bagaimana aku bisa bertemu dengannya kelak, Pa?" ratap Mama yang masih menatap langit langit kamar. Pelukan Papa sudah terurai, Namun, tangan Mama masih senantiasa di genggam erat Papa, yang memberikan isyarat agar Naya membiarkan dulu Mama untuk tenang, tanpa perlu mendengar ada pertanyaan."Aku tak menyangka, yang kita cari-cari selama ini, ternyata sudah berada sangat dekaaat ... sekali dengan kita. Namun, tanpa kita sadari, kita telah menyakitinya," ujar Mama yang lembali meraung lagi, dengan mata terpejam seolah tak tahan melihat masalah yang sedang dia hadapi saat ini."Sudahlaaah, Ma. Kita hanya bisa melakukan yang terbaik. Semuanya sudah di gariskan oleh-Nya. Kita hanya bisa mendo'akan, semoga Ana tenang di sisi Tuhan." Tangan Papa membersihkan air mata di pipi Mama dengan tisu yang tersedia di meja kecil sebelah kiri brankar.Dimas yang melihat polemik keluarga Naya, serta merta menggen
"Iya, bayi. Bukankah perempuan yang bersama anak saya dalam kondisi berbadan dua?"Papa menjawab sekaligus bertanya setelah menganggukkan kepalanya cepat, saat Dokter mengulang pertanyaan Papa tadi."Tidak Pak! Perempuan yang bersama anak anda tidak dalam keadaan hamil."Raut wajah Papa seketika terlihat tak biasa, seolah yang baru saja disampaikan Dokter bukanlah informasi yang dia harapkan."Kalau sudah tidak ada yang mau anda tanyakan lagi, kami mengucapkan terima kasih atas kepercayaan Bapak, kami akan mengupayakan yang terbaik untuk kesehatan anak anda!" Dokter Hendra berucap sambil berdiri dari kursinya, sesaat setelah suasana hening di antara keduanya."Terima kasih, Dokter." Papa pun berucap sambil berdiri dari kursinya. Kemudian mereka saling berjabat tangan."Sama-sama, Pak. Jangan sungkan untuk mendiskusikan tentang kondisi pasien, karena ini sudah tanggung jawab kami," balas Dokter Hendra membalas ucapan Papa, dengan senyum yang hampir tak terlihat. Papa mengangguk, kemu