Share

09. Laki-laki di Pemakaman

"Aku udah sehat! Nih, lihat, badan aku juga enggak sakit lagi meski banyak gerak." Erisca melompat dari kasur, menggoyang-goyangkan tubuh ke sana-kemari guna meyakinkan Sarah. 

Hari ini Sarah hendak pergi berziarah ke makam mendiang sang ibu. Fendi yang mengantarkan menggunakan mobil karena letak pemakaman itu lumayan jauh dari kawasan komplek. Jika Erisca ikut, Sarah khawatir gadis itu akan lebih sakit lagi. 

"Enggak, Erisca! Mama takut kamu makin parah. Lebih baik kamu istirahat aja di rumah supaya pulih total. Nanti kita ziarah bareng-bareng kalau kamu udah bener-bener sembuh." Sarah memutar kenop pintu, ingin pergi dari sana, tetapi Erisca malah menahannya. 

"Aku mohon, Ma .... Lagian udah lama juga aku enggak datang ke makam nenek. Masa mama larang anaknya buat ziarah, sih? Itu sama aja dosa, lho, Ma." Erisca menakut-nakuti. Sarah menghela napas pelan, mengangguk samar meski sebenarnya enggan menyetujui. 

"Yeay! Makasih, Ma. Aku siap-siap dulu, ya? Mama jangan pergi duluan, lho!" Senang, Erisca berlari mendekati lemari lantas mengacak-acak hingga berantakan. Dia mengambil setelan baju gamis beserta hijabnya. Sementara Sarah hanya tertawa kecil. Ia tidak bisa berbuat apa-apa jika Erisca sudah seperti itu. 

"Aku wudhu dulu aja kali, ya? Takutnya air di sana kering." Erisca bergumam. Dia segera mengambil pergerakkan cepat karena takut ditinggalkan. 

Selepas itu dia langsung memakai gamis dan juga hijab. Mengambil tas selempang warna hijau tosca lantas keluar kamar tergesa-gesa. 

"Ma, aku udah siap!" teriak Erisca, keras, sampai Sarah tercengang. 

"Ya, ampun ... kamu bisa 'kan enggak perlu teriak-teriak? Masa orang sakit kelakuannya kayak gitu." Sarah menutup majalah yang sempat ia baca. Berdiri lalu menuntun Erisca keluar rumah. 

"Aku udah sembuh, Ma. Ayo lah, lagian sakitnya juga enggak seberapa, kok," kekeuh Erisca, tidak mau dianggap lemah. 

"Enggak seberapa? Kemarin-kemarin kamu bergerak aja susah. Jangan lupain itu, ya!" desis Sarah, membuat Erisca bungkam. 

Gadis itu mengangguk saja. Dia memasuki mobil dan duduk di kursi penumpang. 

"Lho, Erisca ikut juga?" Fendi terkejut melihat sang anak terdiam di belakang sana. Ia menggosok matanya, takut-takut jika yang ditatap bukan lah manusia. 

"Iya, dia 'kan emang susah dibilangin," timpal Sarah, memutar bola mata ke samping. 

"Oke, enggak apa-apa, asalkan jangan salahi papa atau mama kalau seandainya kamu sakit lagi." Fendi meyalakan mesin mobil kemudian melaju dengan kecepatan stabil. Ia terus-terusan melirik Erisca melewati kaca kecil yang terpatri di bagian depan. 

"Iya-iya ... aku pasti kuat, kok." Peka, Erisca menjawab agak jutek. Dia mengalihkan semua itu dengan membalas setiap pesan masuk dari Guntur. 

Sudah tiga hari Erisca tidak bertatap wajah dengan Guntur. Terakhir kali bertemu ketika Guntur nekat terobos pagar dan juga menaiki balkon kamarnya. Saat itu Erisca nyaris kehilangan kesucian di bibir jika saja dia tidak cepat-cepat menghindar. Beruntung lah Guntur tersadar dan tidak memaksakan keinginan diri. 

Ah ... Erisca jadi salah tingkah bila memutar-mutar bayangan kala itu. Sudah dua kali Guntur ingin merenggut keperawanan di bibirnya, tetapi selalu gagal. Erisca, sih, mau-mau saja bermesraan seperti adegan di drama Korea. Namun, dia masih ingat dosa yang tentu akan Tuhan timpakan untuknya. 

"Nanti, deh, kalau udah nikah," gumam Erisca, pelan sekali. 

Dia membalas satu pesan lagi kemudian mematikan ponsel. Terus-terusan bertukar kabar membuat Erisca jadi tidak fokus. Dia terkadang suka senyum-senyum sendiri dengan wajah memerah, dan Sarah pasti akan curiga jika memergokinya. 

***

Keringat semakin bertambah. Erisca mengibaskan tangan di depan wajah guna menghilangkan sedikitnya rasa panas. Sudah hampir setengah jam dia berjongkok di samping makam mendiang sang nenek. Selepas membaca surat Yasin, Fendi memimpin doa-doa lainnya. 

"Rumput-rumput panjang ini jadi bukti kalau mama emang jarang ziarah ke sini. Harusnya setiap hari Jum'at mama datang, tapi selalu enggak ada waktu luang." Sarah menyeka air mata, rasa nyeri menyerang dada tatkala mengingat keburukan diri. 

"Enggak apa-apa, Ma. Lagian kita juga bisa, kok, kasih doa buat orang-orang yang udah meninggal dari rumah aja." Erisca buka suara. Sembari mencabuti rumput liar, dia tak henti memperhatikan wajah sendu sang mama. 

Begitu lah manusia ketika ditinggalkan orang tua. Erisca jadi tidak siap jikalau Sarah dan Fendi pergi begitu saja. 

"Tapi sebagai anak, mama merasa enggak berbakti sama orang tua. Selagi mereka hidup pun, mama jarang komunikasi karena lebih peduli terhadap kerjaan." Sarah mengutarakan isi hati. Ia semakin terisak saat Fendi memeluknya dari samping. 

"Udah-udah ... papa ngerti, kok, perasaan mama. Kalau kayak gitu, setiap satu Minggu sekali kita ziarah ke sini, ya? Kapan pun harinya, asal mama ada waktu luang." Fendi memberi usulan, Sarah mengangguk dengan antusias. Tidak ada penyesalan sedikit saja menjalani hidup bersama suami seperti Fendi. Pria itu selalu bisa menyelesaikan masalah dengan tenang dan apik. 

"Sekarang kita pulang ke rumah. Di sini juga panas banget cuacanya." Fendi membantu Sarah untuk berdiri. Ia mengedipkan sebelah mata kepada Erisca sebagai kode-kode agar segera mengikuti dari belakang. 

Gadis itu menurut. Dia berjalan agak gontai karena berdiri terlalu cepat. Maklum, mempunyai penyakit rendah darah membuatnya menjadi sensitif terhadap pergerakkan tubuh. 

"Eh, Pa, aku mau beli minuman dulu di warung itu, ya? Kalian tunggu aja di mobil, nanti aku nyusul." Tenggorokan Erisca kering, dia butuh air dingin sebagai penghilang rasa haus. 

"Boleh. Papa titip minuman isotonik dua botol, uangnya dari kamu dulu. O, iya, kamu jangan pergi ke mana-mana, habis beli minum langsung masuk mobil, oke!" perintah Fendi, mutlak. 

Erisca mengacungkan jempol sembari berjalan menuju warung. Dia membeli minuman dingin dari dalam kulkas, beberapa camilan ringan serta satu bungkus tisu kering. Setelah itu dia membayar sesuai belanjaan. 

Saat hendak kembali ke mobil, suara berat seseorang memanggil namanya secara berulang-ulang. Spontan Erisca berbalik, mencari sumber yang bersangkutan, tetapi tidak ada siapa pun di sana. 

"Aku di depan, bukan di belakang." 

Terkejut, Erisca melompat sembari memegangi dada. Dia menggosok kedua mata, memperjelas wajah familiar di hadapannya. 

"G-Gema?" 

Ah ... apakah benar cowok itu Gema? Jika iya, mengapa Erisca mesti dipertemukan kembali setelah lama menunggu kabar yang tak kunjung hadir? 

"Iya, aku Gema. Pacar yang enggak bisa dibilang pacar, mantan yang enggak bisa juga dibilang mantan,  karena di antara kita belum pernah ada kata putus." Gema mendekat satu langkah, mengusap lembut pipi tembem Erisca. Ia ingin memeluk erat tubuh Erisca, tetapi tak sempat tersentuh, gadis itu sudah menjauh. 

"Kamu brengsek, Gema. Kamu bajingan. Kamu pengecut!" Erisca menepis setiap kali tangan Gema meraih. Dia tidak bisa lagi meredam emosi yang membludak dalam diri. 

"Aku emang brengsek. Tapi aku harap, kamu masih bisa terima lagi aku sebagai seseorang yang selalu ada buat kamu." Mata Gema berembun. Ia tak mampu menguatkan diri ketika mendapati kenyataan bahwa sang pujaan telah berubah menjadi pribadi yang lain. 

"Hati aku bukan sesuatu yang bisa kamu permainkan! Aku manusia, bukan permen karet yang habis manisnya sepah dibuang! Coba sadar, selama ini kamu menghilang tanpa kabar, dan sekarang kamu balik lagi sambil minta buat jadi seseorang yang selalu ada buat aku? Maaf, kamu di masa lalu bukan cowok pengecut kayak gini. Aku enggak bisa terima kamu. Permisi." 

Secepat mungkin Erisca berlari menuju parkiran. Dia buru-buru memasuki mobil dan meminta kepada Fendi agar segera pergi. Walau pun keheranan, Fendi tetap menurut. Mobil mulai melaju ke jalanan. Erisca menoleh ke belakang, Gema tampak terdiam berjongkok sembari menyeka sesuatu di wajahnya. 

Mungkin air mata? Air mata yang membuatnya menyesal karena menjadi pribadi yang bodoh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status