Share

MENJEMPUT DI BANDARA

Bandara Soekarno-Hatta tidak pernah sepi. Orang-orang berlalu lalang serta sibuk mencari apa yang sebenarnya tidak perlu dicari. Dari kacamata Liam, mayoritas mereka yang ada di sini berniat untuk bepergian. Mulutnya tak sengaja berdesis pelan, hidup memang tak adil. Yang punya keluarga justru menjauh, yang tak punya keluarga justru mencari yang telah pergi.

Tapi, bukankah memang hidup ini tidak adil? Ada banyak orang yang kehilangan justru tak memiliki siapa-siapa. Sementara itu, mereka yang dikelilingi orang-orang tersayang malah ingin pergi karena merasa perlu punya waktu sendiri.

“Ingat, ketika Nona Andini tiba, perketat pengamanan!” kata Sardi, kepala pengawal keluarga Adimas. Ucapan Sardi sontak menyadarkan Liam dari lamunannya.

“Baik.” jawab seluruh bawahannya serempak.

Bersama dengan enam orang lainnya, Liam menunggu kedatangan Andini beserta rombongan di muka bandara. Mata Liam terus mengamati mereka yang keluar masuk bandara ini. Tak jarang, ia melihat senyum orang-orang mengembang kala menyadari bahwa ada yang menunggu, ada yang mengharapkan kedatangan mereka, dan mengharapkan keadaan mereka baik-baik saja.

“Liam,” bisik Tama. “Kau lihat mobil Marcedez itu! Seumur hidup kita bekerja, belum tentu bisa memilikinya!”

“Betul,” tambah Dave. “apalagi kalau keahlian beladiri kita hanya dihargai dengan jabatan sekuriti. Beruntungnya kita bisa diterima oleh A&B Guard.”

“Suatu saat nanti, aku pasti akan memiliki mobil sejenis itu,” tutup Hendri menambahkan. Sorot matanya mengisyaratkan harapan yang teramat besar.

Pertanyaan ketiga temannya itu tak dijawab dengan kata-kata. Memang betul, bekerja di kepolisian sampai pensiun pun, ia tak akan bisa memiliki mobil itu. Kecuali kalau ia ikut bermain kotor seperti senior-seniornya yang memanfaatkan jabatan untuk memperoleh kekayaan.

Untuk menjemput Andini, mereka membawa empat mobil. Mobil pertama dikemudikan oleh Pak Ramlan, Marcedez Benz S-Class berwarna silver. Mobil yang baru saja dibicarakan. Sangat wajar jika Adimas memiliki mobil itu. Sebagai pemilik pabrik sabu dan ladang ganja puluhan hektar, membeli mobil tersebut sensasinya seperti membeli minuman kaleng di minimarket terdekat.

“Itu dia!” Sardi menunjuk rombongan serba hitam sedang berjalan di arah jam dua belas.

Andini beserta Lukman dan pengawal yang berjumlah lima orang terlihat berjalan ke arah mereka. Pakaian mereka yang serba hitam spontan menarik perhatian siapa saja yang melihat. Di tengah kelompok tersebut, penampilan Andini justru tak mencolok seperti enam lelaki di sampingnya. Penampilannya sederhana. Riasannya pun sederhana. Rambutnya yang hitam mengkilap itu terurai seadanya.

Penampilan Andini nan sederhana itu sedikit membuat Liam terkejut. Sosok Andini yang dibayangannya justru berbanding terbalik dengan kenyataan. Semalam, Liam membayangkan bahwa Andini adalah sosok yang angkuh, berpakaian serba elegan, dan suka mencari perhatian. Hal-hal tersebut didasarinya dari kenyataan kalau hubungannya dengan Adimas tak berjalan baik. Bukankah anak yang bermasalah dengan keluarga selalu mencari perhatian di luar? Mengapa Andini tidak?

***

Mercedes Benz S-Class melaju dengan sangat kencang dan segera hilang dari muka bandara. Andini berulah. Sopir kesayangan Adimas, Pak Ramlan, tak jeli membaca situasi. Ia masuk ke dalam tipu muslihat Andini dan mobil yang dikendarainya itu pun dibawa lari olehnya.

“Ramlan!” bentak Lukman tak sadar jika usianya beberapa tahun lebih muda. “Bagaimana mungkin pria dewasa berpengalaman sepertimu masuk ke dalam tipu muslihat anak itu?!!!”

Jauh di dalam hatinya, Lukman juga tak menyangka kalau Andini akan melakukan pemberontakan saat kedatangannya di Jakarta. Segala kejadian yang terjadi, benar-benar di luar pikirannya. Maklum saja, selepas kematian Melisa, kedekatannya dengan Andini hanya sebatas kuasa hukum dari tante Eka. Kejadian Andini yang berupaya melakukan bunuh diri sewaktu di Singapura, dipikirnya tak akan terjadi di Jakata.

 “Maafkan saya, Pak.” Pak Ramlan tertunduk. “Saya tidak menyangka Nona Andini akan nekat seperti ini.”

“Kamu memang bodoh!” Lukman benar-benar berada di luar kendali.

 Batin Pak Ramlan menolak. Ia tidak bodoh. Ia hanya senang bertemu kembali dengan Andini yang sudah beranjak dewasa. Selama di Indonesia, sebelum Melisa meninggal, Pak Ramlan yang mengantar dan menjemput Andini di sekolah sampai di akhir SMA-nya.

“Dasar anak liar!” keluh Lukman di hadapan rombongan pengawal. “Cepat kalian cari anak itu! Kalau tidak berhasil, kalian semua saya pecat!” Lengannya menyisir rombongan lelaki berpakaian serba hitam itu.

Matanya terbelalak kala melihat hanya ada dua mobil yang terparkir di hadapannya. Berdasarkan laporan, seharusnya ada tiga mobil yang mengiring mobil utama yang akan membawa Andini.

“Mana wrangler hitam yang biasa kalian bawa? Mengapa hanya ada 2 mobil?!” Emosi Lukman makin menjadi setelah menyadari kelalaian anak buahnya.

“Liam,” Pak Ramlan terbata-bata, “dia segera mengejar Andini selepas saya menyadari kalau sesuatu di luar kendali terjadi.”

“Liam? Siapa dia?”

“Pengawal baru yang direkomendasikan oleh Pak Hasan.”

Beberapa detik kemudian, rombongan itu berpencar menggunakan dua mobil yang tersisa. Lukman menelepon seseorang dan meminta mobil tambahan untuk membawanya bertemu dengan Adimas.

Sementara itu, di jalan, Liam berusaha mengejar Andini. Mobil mewah hitam tersebut terus menaikkan kecepatannya agar tak mampu diikuti. Liam baru tahu, tersemat sedikit perbedaan antara Andini dengan anak orang kaya di luar sana. Dari keahliannya mengendarai mobil, ia pasti anak yang cukup mandiri.

Tak kehabisan akal agar tak terus diikuti Liam, Andini memainkan gerak mobilnya dengan menyalip mobil di depan menggunakan gerakan zigzag. Marcedez S-Class itu menyalip mobil Avanza di depan ke kanan, kemudian membanting stirnya ke arah kiri dan menyalip Mobilio yang menghalangi lajunya.

“Sial!” Andini merutuk sendiri kala melihat mobil wrangler hitam itu masih mengikuti di belakang. Ia tak habis pikir, siapakah pengemudi di dalam mobil itu sehingga trik demi trik yang dilancarkannya gatot alias gagal total?

Di dalam mobil, Liam sudah cukup kesal meladeni kejar-kejaran dengan anaknya Adimas. Tak ingin melakukan drama yang makin sia-sia, ia harus menghentikannya. Tangan kirinya memainkan persneling, kaki kanannya menginjak panel gas, dan kaki kiri bersiap menginjak kopling jika sesuatu terjadi di luar kendalinya.

“Benar-benar merepotkan.” Liam melihat kendaraan-kendaraan di belakangnya dari spion luar.

Mobil Liam menaikkan kecepatan dan seketika mobil mereka bersebelahan. Dari kaca mobil yang sama-sama gelap, mereka saling memandang. Andini khawatir aksi melarikan dirinya gagal, sementara Liam sudah tak sabar menghentikan mobil di sebelahnya sambil menunggu jalan kosong di depan sana.

“Cukup sampai di sini.”

Sejurus kemudian, lima puluh meter ke depan, tak ada kendaraan yang menghalang. Maka, dengan waktu yang sangat terbatas, Liam menaikkan kecepatan, membanting stir ke kiri, memegang tuas persneling dan menginjak rem sampai maksimal.

Citttttt!!!

Suara ban berdecit menghalau bising kendaraan di sekitar. Seketika semuanya jadi hening. Andini memejamkan mata sambil mengernyitkan wajahnya. Mobil Liam di depan menghalaunya untuk maju, sementara itu waktu sangat terbatas dan jarak yang sangat dekat sontak memaksa Andini untuk menginjak panel rem sedalam-dalamnya.

Degub di dada Andini sangat kencang seperti menekan tubuhnya ke belakang. Hal ini tak terpikirkan sebelumnya. Tak ada pengawal yang berani dan nekat seperti pengemudi di depan.

Ia membuka mata. Melihat nanar ke arah kaca yang terlalu pekat untuk melihat siapa yang ada di dalamnya. Napasnya tersengal-sengal. Membayangkan dia hampir menghilangkan nyawa orang lain, sudah membuatnya sangat ketakutan. Ia lekas keluar dan menghampiri mobil di depan. Rasa penasarannya kian besar jika tak segera dieksekusi.

Kaca mobil itu perlahan turun. Andini tak sabar ingin melihat siapa yang ada di dalamnya. Ia telah bersiap-siap untuk memakinya tak peduli siapa, meskipun jika itu adalah Lukman, pria yang sangat dibencinya sekaligus cukup disegani dirinya.

Mata mereka bertemu. Andini tersentak, dan Liam hanya bisa memandangi sayup mata yang indah itu. Dada mereka berdua berdegub tak biasa. Andini merasa ada sesuatu yang mengusik ruang kosong di hatinya saat melihat tatapan tajam Liam yang mengisyarakat bahwa ia tak peduli dengan siapa yang ada di hadapannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status