Iring-iringan mobil serba hitam milik Adimas menguasai jalan. Pak Ramlan begitu iba saat melihat Andini memeluk Adimas karena trauma atas apa yang terjadi. Isak tangis memenuhi seluruh ruang di mobil. Sementara Adimas, hanya bisa mengelus-elus pundak anak semata wayangnya itu. Dalam hati, dirinya begitu marah. Harga dirinya sebagai seorang ayah begitu disayat-sayat. Ia nyaris gagal melindungi anaknya.
Sebetulnya, ia memang senang jika Andini menghampiri dan memeluknya. Akan tetapi, menurutnya—momen menakutkan seperti ini sangat tidak pas untuk diapresiasi. Lima menit saja ia terlambat, mungkin Hendri pun sudah merenggang nyawa. Pistol yang dipegang Hendri berhasil direbut oleh musuh entah bagaimana. Sementara Dave sudah kehabisan tenaga dan tidak kuat lagi untuk melawan. Tubuh keduanya dihiasi luka-luka saat bala bantuan tiba. Samuel, Tama, dan Liam segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. Setelah mengetahui kalau Liam terluTrauma pasca penyerangan itu membuat Andini jadi takut untuk berkeliaran sendiri. Ingatannya tentang bagaimana Liam ditusuk dan disaksikan dirinya sendiri, mampu menciptakan mimpi buruk baginya.Sebelum mentari terbenam, Michelle tergopoh-gopoh mencapai ruangan di mana Liam dirawat. Pandangan kedua gadis itu bertemu. Dua gadis yang sama-sama mencintai Liam, yang saling tak mau mengalah.“Bagaimana keadaannya?” mata Michelle nanar menatap orang yang dikasihinya tak sadarkan diri. “Apa yang sebenarnya terjadi?”Andini menatap Michelle lekat-lekat. Jelas, tanpa diberi tahu, harusnya ia tahu tanpa perlu bertanya lebih jauh. Ia benci pertanyaan itu. Sangat membencinya. Manusia mana yang ingin dilahirkan sebagai penyebab celakanya orang lain?“Jelaskan padaku apa yang terjadi, An,” desak Michelle serius.“Perlukah aku menjelaskannya?” Andini menatap Michelle sejurus, sepasang matanya menyala tajam.“Itu kewajibanmu.”“Bagaimana jika aku tidak mau?”Keduanya bersitatap. Sama-sama meneguhkan
Apa yang akan kau lakukan jika kejadian yang pernah menghancurkan persahabatan serta masa depan orang lain kembali terulang?Di perjalanan pulang, Michelle menyandarkan kepalanya pada kaca mobil taksi yang mengantarkannya ke rumah. Rasanya, saat ini, ia ingin memuntahkan makanan yang baru saja disantapnya tadi. Ia menyesal. Seharusnya ia mampu mengalahkan rasa penasaran itu dan membiarkan ketidaktahuannya akan perasaan Andini sebagai pecutan untuk meraih hati Liam.Pendar lampu kota tak mampu menyilaukan pandangan matanya. Matanya memang memandang ke luar jendela, namun ia tak mengamati apa pun. Pikirannya berhasil menguasai tubuh. Sepanjang perjalanan, lalu lalang kendaraan tidak mampu menghancurkan konsentrasinya.Ingatan lama itu tiba-tiba kembali berputar dengan runut.Di selasar lantai dua, Michelle remaja tersenyum senang mengamati Andini yang tengah duduk sendirian, termangu menatapi kesedihan mendalam. Kepala Andini menduduk hingga rambut lurusnya
Mobil CR-V hitam berhenti di depan gedung tiga lantai berwarna putih keabuan. Tak lama kemudian, seorang pria berusia empat puluh turun dari mobil tersebut. Ia mengenakan kacamata hitam dan berjalan memasuki gedung di hadapannya.Kakinya melangkah tegas. Sepatu pantofelnya berketak-ketuk membentuk sebuah irama. Di arah jam dua belas, terlihat terdapat tangga yang akan membawanya menuju lantai dua.Ia menaiki anak tangga itu. Setibanya di atas, matanya menyisir deretan pintu kamar yang terlihat dari muka koridor, tempatnya berpijak saat ini. Pandangannya tertuju pada kamar yang terdapat di sisi kanan urutan ke tiga.Sejurus kemudian, ia menghampiri kamar itu dan mengetuk pintunya beberapa kali.“Andy, bisa kita bicara?” kata pria itu. Telinganya menyimak, berusaha mendengar suara dari dalam namun ia tak mendengar ada suara yang menyahut di sana.Di dalam, penghuni kamar kos itu tentu jelas mendengar. Dia memang tak berniat membuka pintu.
“Om, saya tidak mau pulang!” tegas Andini kepada lelaki dewasa yang tengah berdiri di hadapannya. Ia benci sekali dengan kedatangan lelaki itu.“Kamu harus pulang, Andini.” Lelaki berkacamata persegi tak kalah tegas memberikan jawaban. Tak ada gamang di matanya.Tidak ada lagi hal yang bisa menahan kepulangan Andini ke Indonesia. Selama ini, setelah kematian sang ibu, Andini menetap di Singapura bersama tante Eka, adik ibunya. Sebulan yang lalu, tante Eka meninggal tiba-tiba. Kepergiannya itu meninggalkan duka kedua yang amat mendalam. Tante Eka mengasihi Andini tanpa syarat, seperti anak kandungnya sendiri.“Harusnya, Adimas Hartanto yang mati waktu itu. Hidup saya tidak akan rusak seperti ini kalau ia mati 8 tahun yang lalu!“Jaga bicaramu, Andini. Dia adalah ayah kandungmu!”“Saya tidak pernah minta orang seperti dia menjadi ayah saya!”“Dasar anak tidak tahu diri. Kalau bukan ka
Tepat pukul sebelas, di mana matahari mulai bergerak ke atas, Pak Leo datang tanpa seragam kebesarannya. Ia mengenakan topi baseball, zipper polos, dan celana jins. Pakaiannya tersebut tentu bukan gaya sehari-harinya. Ia langsung menduduki meja paling pojok yang menghadap ke jalan raya. Teriknya mentari hari ini mampu menembus kaca gelap yang berada di sebelah Pak Leo. Kedatangan Pak Leo disadari oleh pemilik cafe. “Halo, Kapten.” Max menghampiri dan menyapa Pak Leo dengan wajah sumringah. Max adalah pemilik Barry Cafe. Barry sendiri diambil dari nama belakangnya, Maximus Barry. “Halo, Max. Tumben cafemu belum ramai.” Pak Leo menyisir seluruh ruangan dan melihat bahwa hanya ada beberapa meja yang digunakan pengunjung, termasuk dirinya. Max tersenyum. Dari senyumnya itu, ia menduga kalau Pak Leo memang belum mengerti jam ramai dan jam santai di cafenya. “Masih jam 11, Kapten. Mungkin sebentar lagi, cafe ini akan penuh.” Pak Leo menggangguk. “In
Pukul empat pagi.Andy berkemas. Segala benda keperluannya dimasukkan ke dalam ransel berukuran sedang. Barang-barang yang tak berguna, ditinggalkannya begitu saja. Sebelum benar-benar pergi, Andy menyisir pandangannya ke segala sisi di kamarnya. Kamar ini sudah menjadi rumah baginya selama beberapa tahun terakhir.Ada sesuatu yang tertinggal dalam batinnya saat ia benar-benar sadar bahwa hari ini adalah hari terakhirnya berada di sini.Ponsel di sakunya bergetar. Ada sebuah panggilan masuk dari Pak Leo.“Sudah siap?” tanyanya di seberang sana.“Hmm.”“Kalau gitu, kamu bisa turun sekarang. Saya sudah ada di bawah.”Ia bergegas mengunci pintu kamar dan meletakkannya di bawah serta menuliskan surat kepada pengurus kos.Barang-barang yang ada di dalam, bisa digunakan penyewa selanjutnya. 
Bandara Soekarno-Hatta tidak pernah sepi. Orang-orang berlalu lalang serta sibuk mencari apa yang sebenarnya tidak perlu dicari. Dari kacamata Liam, mayoritas mereka yang ada di sini berniat untuk bepergian. Mulutnya tak sengaja berdesis pelan, hidup memang tak adil. Yang punya keluarga justru menjauh, yang tak punya keluarga justru mencari yang telah pergi.Tapi, bukankah memang hidup ini tidak adil? Ada banyak orang yang kehilangan justru tak memiliki siapa-siapa. Sementara itu, mereka yang dikelilingi orang-orang tersayang malah ingin pergi karena merasa perlu punya waktu sendiri.“Ingat, ketika Nona Andini tiba, perketat pengamanan!” kata Sardi, kepala pengawal keluarga Adimas. Ucapan Sardi sontak menyadarkan Liam dari lamunannya.“Baik.” jawab seluruh bawahannya serempak.Bersama dengan enam orang lainnya, Liam menunggu kedatangan Andini beserta rombongan di muka bandara. Mata Liam terus mengamati mereka yang keluar masuk band
Adimas menerima kabar dari Lukman kalau Andini melarikan diri sewaktu baru tiba di bandara. Ada rasa takut yang mencuat, setelah delapan tahun tidak bertemu dengan anak semata wayangnya, Lukman berpikir kalau Adimas pasti akan marah besar. Kelalaiannya dalam menjalankan tugas, tak akan bisa menghindarinya dari masalah.“Hahaha,” di ujung telepon, Adimas tertawa. Muncul seutas senyum pada bibirnya saat mendengar penjelasan Lukman tentang apa yang terjadi. “Ibu dan anak sama aja. Karena sifat mereka sama, kupikir sesekali kau harus membiarkannya.”“Tapi, Bang,” potong Lukman. “Kurasa kita tidak bisa membiarkannya. Pasti Andini akan bertindak lebih dari ini selanjutnya. Dengan polah tingkahnya itu, sesekali ia harus didisplinkan. Abang tahu bukan kalau Eka memanjakannya selama di Singapura. Kuliahnya pun tak selesai.”Adimas menghela napas. Ingatannya akan anak semata wayangnya itu kembali bermain-main di kepala. Hidu