Share

PULANG KE INDONESIA

“Om, saya tidak mau pulang!” tegas Andini kepada lelaki dewasa yang tengah berdiri di hadapannya. Ia benci sekali dengan kedatangan lelaki itu.

“Kamu harus pulang, Andini.” Lelaki berkacamata persegi tak kalah tegas memberikan jawaban. Tak ada gamang di matanya.

Tidak ada lagi hal yang bisa menahan kepulangan Andini ke Indonesia. Selama ini, setelah kematian sang ibu, Andini menetap di Singapura bersama tante Eka, adik ibunya. Sebulan yang lalu, tante Eka meninggal tiba-tiba. Kepergiannya itu meninggalkan duka kedua yang amat mendalam. Tante Eka mengasihi Andini tanpa syarat, seperti anak kandungnya sendiri.

“Harusnya, Adimas Hartanto yang mati waktu itu. Hidup saya tidak akan rusak seperti ini kalau ia mati 8 tahun yang lalu!

“Jaga bicaramu, Andini. Dia adalah ayah kandungmu!”

“Saya tidak pernah minta orang seperti dia menjadi ayah saya!”

“Dasar anak tidak tahu diri. Kalau bukan karena ayahmu, kalian berdua tidak akan hidup enak di sini. Tahu dirilah sedikit.”

Andini mengepalkan kedua tangannya. Ia tidak terima akan ucapan Lukman. “Saya tidak pernah minta uang dari dia!”

“Kalau begitu, keluar dari rumah ini dan biayai hidupmu sendiri!”

“Baik!!”

Andini segera masuk ke dalam kamar dan membereskan barang-barangnya. Air matanya tertahan di pelupuk mata. Ia mengambil ransel berukuran sedang dan memasukkan barang kebutuhannya dengan penuh tekanan.

Melihat Andini yang cukup sakit hati dengan ucapannya, Lukman kembali menghampirinya. “Kuliah tidak beres. Hidup selama 25 tahun, hanya merepotkan orang lain. Dan sekarang, ingin mandiri? Hahaha.”

Andini tak bisa lagi menahan dirinya. Tangan mengepal itu disimpannya di belakang punggung. Ia segera menghampiri Lukman yang tengah berdiri di muka pintu. Ia siap melayangkan pukulan untuk manusia biadab yang ada di hadapannya.

“Jangan macam-macam kamu. Kalau kamu bukan anak orang yang sudah saya anggap sebagai kakak sendiri, saat ini juga nyawa kamu pasti hilang.” Tangan Andini berhasil ditangkap Lukman yang berbadan cukup proporsional itu.

Karena tak tahan dengan perlakuan Andini yang tidak sopan, terpaksa Lukman mengeluarkan sifat sesungguhnya. Mata mereka bertemu. Dan tatapan keji diberikannya untuk Andini.

Melihat mata Lukman yang tiba-tiba berbeda saat menatapnya, seketika nyalinya ciut. Semangat menggebu-gebu yang ditunjukkannya barusan, hilang tanpa jejak.

 “Mobil akan siap sepuluh menit lagi. Segeralah keluar. Om akan menunggu di depan.” Lukman kemudian pergi seperti yang dikatakannya.

Andini melangkah dengan gontai. Ia menyisir seluruh bagian dinding rumah ini. dinding-dinding itu, barang-barang yang telah ditutup kain putih itu, seolah mengucapkan kalimat perpisahan yang hanya bisa dimengerti olehnya.

Dalam dadanya, ada ruang kosong yang seolah tidak bisa dihuni lagi. Ruang itu seolah ditakdirkan untuk dibiarkan menyepi seorang diri tanpa ada sosok yang boleh dan diperkenankan untuk masuk. Ruang itu adalah hatinya. Hatinya sudah kosong, seperti tong yang nyaring, namun tak berarti apa-apa.

***

Waktu sepuluh menit yang diberikan oleh Lukman, dimanfaatkan Andini semaksimal mungkin. Kakinya melangkah perlahan. Satu persatu anak tangga di tangga berbentuk melingkar ini dinaikinya. Tangannya yang mungil itu meraba ujung tangga, kemudian membiarkan telapak tangannya terseret mengikuti langkah kaki yang kian naik.

Hanya ada satu cara agar ia tak pulang ke Indonesia. Satu-satunya cara yang akan membebaskan dia dari kekangan apa pun.

Ia merasakan euforia. Dadanya bergelora. Seolah bebas dan lepas. Seolah semua permasalahan dan trauma di hidupnya menghilang seiring dengan kakinya yang terus melangkah naik.

“Hidup ini memang brengsek,” ucapnya pelan.

“Hidup ini pantas untuk dicaci maki.”

Seluruh anak tangga telah habis digapainya. Kini ia siap melompat ke bawah. Kepalanya mendongak pelan. Matanya terpejam dan seutas senyum mulai terlihat jelas di bibirnya yang mungil namun memikat. Lengannya bergerak seolah mengikuti irama lagu yang hanya diketahui oleh dirinya saja.

Terbayang di kepala momen masa kecilnya dengan sang ibu. Di mana hanya ada mereka yang saling berpegangan tangan, tersenyum untuk hal-hal sederhana, dan susah maupun senang tetap mereka lakukan berdua.

“Ma, apa kita akan terus bersama-sama?” tanya Andini kala ia berusia tiga tahun. Di usianya itu, ia perlahan menyadari bahwa pekerjaan Adimas bukan pekerjaan ideal yang selama ini dibicarakan kepada teman-temannya.

“Kita akan terus bersama dan selamanya akan selalu ada Kamu, Mama, dan Ayah. Kehadiran kalian sangat membuat Mama bahagia.” Melisa menjelaskan sambil memeluk Andini dengan hangat.

Sepasang mata terpejam itu perlahan mengeluarkan derai kepedihan. Sekarang, tak akan ada satu manusia yang mau berbagai segala hal terhadapnya. Tak ada juga yang akan peduli padanya. Semua akan dilakukannya seorang diri. Membayangkannya saja sungguh terasa pedih dan beban di dadanya meminta turun ke jurang paling dalam. Jurang yang akan melepaskannya dari kepedihan juga kehilangan.

Ia telah bersiap. Tubuhnya sekarang siap menari di udara. Andini mencondongkan tubuhnya, mengambil aba-aba. Dan kemudian, terbang sambil membayangkan bahwa wajah serta tubuhnya akan tertinggal secara mengenaskan.

Aku pulang.

Saat Andini telah melepaskan pegangan. Entah kenapa, seseorang dengan sekuat tenaga memegang tangannya erat-erat.

“Tidak ada waktu untuk bunuh diri.” Lukman tidak mengizinkannya untuk mati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status